Taman Kenangan - Cerpen Motivasi Sedih

TAMAN KENANGAN
Karya Laila H.M

Hari ini tanggal 31 Juli, bertepatan dengan hari ulang tahunku. Uh… sangat menyebalkan! Semua orang seakan menjauh. Entah mungkin sengaja atau mungkin memang mereka lupa, Ibuku pergi ke Jogja dan belum pulang hingga sekarang. Sementara ayahku selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Andai mereka mengetahui perasaanku, Aku ingin murka tapi tak bisa, ingin sedih juga tak ada gunanya. Akhirnya saya tetapkan untuk jalan-jalan ke taman kecil di pinggir danau untuk mencari udara segar. Walaupun masih sedikit gerimis, saya tetap nekat menuju kesana.

Sore itu, saya masih ingin menatap indahnya mentari senja. Kulihat banyak burung-burung berterbangan berpasang-pasangan. Lukisan langit yang indah sore ini, andai saja ada seseorang yang sanggup menghiburku, niscaya saya tak akan merasa sesedih ini. Disini dikota Padang ini, saya menanti sebuah keajaiban.
Taman Kenangan
Aku menyandarkan tubuhku pada batang sebuah pohon besar, menghadap ke sungai dan menujukan lamunanku kedalamnya. Oh tuhan.. betapa tenangnya disini…, tiba-tiba lamunanku terpecah.
“Siapa sih iseng banget? Ngelemparin batunya ke arah lain bisakan?”
“Eits.. maaf saya kira nggak ada orang, kamunya sih pake sembunyi dibelakang pohon segala, ibarat nyi kunti tau? Hehe maaf ya?”
“Ya udah gapapa, tapi saya kok saya jarang liat kau ya? Kamu siapa sih?”
“Aku Dimas Fernanda, biasa dipanggil Dimas. Rumahku di RT 07 diseberang jalan, saya gres pindah seminggu yang lalu”. Aku hanya menanggapinya dengan tertawa garing. Tiba-tiba ia berbalik bertanya padaku
“Aku kan udah ngasih tau siapa aku, nah kini gentian kamunya lagi dong..”
“Namaku Arzelia, panggil aja Arzel. Aku juga tinggal di RT 07 diseberang jalan, mungkin aja kita tetanggaan”.
Rasanya saya ingin memukul kepalanya yang aneh itu, ia membuatku kesal sebab pribadi meninggalkanku begitu saja tanpa sedikit basa-basi. Ahh… tidak sopan. Tapi biarlah, lagi pula sudah hampir malam, suasana disekeliling danau juga sudah mulai gelap. Mau tidak mau saya harus pulang sendirian.
***

Berhari-hari sudah ibuku meninggalkanku, Aku hanya sanggup memandangi fotonya dikala ini. Fotoku bersama Ayah dan Ibuku. Disini saya selalu merindukannya, bahkan walaupun itu saat-saat dimana seharusnya mataku terpejam.

Dering nada handphone menciptakan saya kaget, segera kuraih benda itu. Kulihat layarnya dan disana kulihat ada nomor asing yang masuk.
“Halo?”
“Halo juga, emm ini saya dimas, itu lho yang ketemu kau ditaman tadi” Jelas orang itu
“Oh, dimas,, ngapain nelfon malam-malam gini? Lagi banyak pulsa ya?” ejekku menggodanya.
“Pengen kenalan nih, maukan kau jadi temanku?”

Aku menatap kembali foto-foto keluarga yang dikala ini ku pegang, dengan tatapan kosong. Aku terhanyut dalam lamunan. Mengandai-andaikan jikalau saja orang tuaku berada disisiku dikala ini.
“Eh.. kok diem aja sih?” Tegurnya membuyarkan fikiranku.
“Apa tadi? Apa? Ngobrolin apa?”
“Mau nggak temenan deket sama aku?”
“Boleh, toh lagian saya juga sendirian, nggak punya temen deket. Sahabat-sahabatku rumahnya jauh” Jelasku menyampaikan padanya, walaupun sedikit berkesan ibarat curhat.

Kamipun banyak bercerita perihal keseharian kami. Baik kebiasannya dirumah, hobinya, bahkan apa-apa yang tidak ia sukai. Akupun bercerita hal yang sama padanya. tampaknya saya mulai menyukainya, ia mendengar apa yang ku katakan dengan baik. Belum genap satu hari kami saling mengenal tapi rasanya saya ibarat sudah usang mengenalnya.
“Upz.. udah malem nih, kau ngga dimarahin telponan hingga larut malam begini?”
“Ayahku udah tidur, tinggal saya sendirian, tapi saya juga udah ngantuk sih”
“Ya udah, good night ya, nice dream”
“Night, papay dimas hehe” Ejekku sambil menutup telponnya.

Aku sangat senang malam ini, walaupun tak ada seseorangpun yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku, setidaknya dimas sudah sanggup membuatku tertawa sebelum memejamkan mata untuk menatap mimpi-mimpi yang akan menghiasi mala mini dan tetap berharap ada keajaiban diesok pagi.
***

Pagi ini hari libur, saya ingin bersepeda berkeliling taman. Tapi Dimas menghampiriku, ia mengajakku untuk jalan-jalan. Ya, akupun menurutinya. Segera ku taruh sepedaku didepan gerbang yang ada disekitar halaman rumahku. Anehnya setiap kali saya melihatnya niscaya ia mengenakan jaket dan sarung tangan. Hal ini sempat menciptakan saya curiga, ah tapi itu bukan permasalahan yang besar. Yang penting saya senang mendapat sahabat sepertinya.
Selama ini saya tidak pernah menduga, ternyata mempunyai sobat akrab itu sangat-sangat penting. Karena yang terbesit dalam fikiranku hanyalah bagaimana mengatasi masalahku sendiri, mengurus hidupku dan menjalaninya. Mengkin saya egois, tapi saya sebetulnya tidak ingin ibarat itu. Kinipun saya tak hanya sanggup bercengkrama dengan sahabatku sebatas abjad sms semata. Dimas, sosoknya konkret untukku. Seakan mempunyai seorang kakak, saya berusaha menjadi adik yang baik untuknya.
“Dimas.. saya boleh nanya sesuatu nggak?” tanyaku dengan sedikit menundukkan kepala, ya mungkin sebab saya sedikit gugup ketika berbicara perihal permintaanku padanya.
“Iya? Tanya apa zel?”
“Mau nggak kau jadi kakak-ku?”
“Serius? Kamu nggak malu jadi adik ku? Aku kan jelek, nanti kau diketawain sama teman-temanmu”
“Ih.. ya enggak lho, mau ya? Hehe”
“Tapi kesepakatan ya, kau nggak boleh malu. Juga kau nggak boleh bandel sebagai adikku”
“Janji deh kak dimdim” ejekku menggodanya
“Janjinya Arzel abang pegang. Kalau hingga Arzel ingkar, abang bakal ninggalin arzel”
“Wih, ancamannya sadis. Tenang aja, percayakan semua pada Arzel hehe”
“Janji diterima, kembali ke kawasan dan laksanakan haha”
“Ih.. saya serius tau! Malah dimainin”
“Iya deh, mulai kini Arzel jadi adiknya kak Dimas ya…” Jelasnya, memastikan semoga saya benar-benar mengiyakan janjiku.

Dimas ialah sosok abang yang benar-benar tulus menyayangiku. Tak ada yang sanggup menggantikan dia, bahkan rasanya saya ibarat sudah mengenal ia semenjak dulu. Berbeda dengan kebanyakan sahabat-sahabatku. Mereka tak selalu sanggup menemani dan mengerti apa yang saya rasakan. Mereka lebih sibuk dengan urusannya masing-masing, sama ibarat ayahku.

Dimas selalu sanggup membuatku tersenyum, bagiku kini hal terindah dalam kehidupanku ialah bagaimana menciptakan ia tersenyum, juga membalas senyumnya dengan bahagia. Aku juga gres menyadari ternyata melihat sahabat berbahagia itu juga sanggup menciptakan diriku sendiri bahagia. Tentu saja ini menambah rasa kagumku pada Dimas. Yang seolah telah membangunkan saya dari tidur panjangku selama ini.

Tapi kini saya merasa ia sedikit menjauh dariku. Sudah seminggu lebih saya tidak melihatnya. Aku selalu mengintip dari jendela kamarku. Aku berharap semoga ia muncul kembali dijalan kecil dipertengahan kompleks perumahan kami. Namun sangat disayangkan, berhari–hari saya menunggunya, menunggu akan kehadirannya. Tak sedikitpun sanggup ku lihat senyumannya yang sanggup menciptakan hatiku tenang.

Aku meraih Xperia ku dari atas meja belajar. Aku menghubunginya tapi sama sekali tak sanggup terhubung, saya masih tak habis pikir, mengapa ia tiba-tiba menjadi berubah drastis. Apakah ada salahku yang tak sanggup dimaafkan olehnya? Ah.. tapi saya tahu , Dimas bukan pria ibarat itu mungkin ia sedang ada urusan, sehingga tak sempat untuk mengaktifkan handphonenya. Tapi semakin saya memikirkan dia, saya semakin bertambah ingin tau saja. Yah, karenanya saya tetapkan untuk tiba mengunjungi rumahnya.

Aku mencoba menekan-nekan bel yang ada didepan gerbang rumahnya, sudah beberapa kali juga saya memanggilnya, tapi tampaknya rumah dimas kosong. Mungkin ia memang pergi meninggalkan aku. Kehilangan sahabat yang sangat baik ibarat ia semakin membuatku pesimis. Mungkinkah akan nada lagi orang yang sanggup menemaniku dikala saya sendiri menjalani kehidupan di hari-hariku yang sunyi?

Seperti biasa, dikala saya sedang galau dan ingin mencari hiburan. Aku akan duduk menyender dibawah sebuah pohon besar ditaman yang ada didekat danau. Aku memikirkan saat-saat dimas masih disini, ia menasehatiku untuk tidak melamun. Bahkan, kalau ia sedang gundah, ia akan melemparkan batu-batu kecil ke tengah danau, saya teringat juga perihal apa yang ia katakan dikala kami sedang berdua disini. “Zel, lemparin batunya agak miring ya, nanti batunya sanggup berubah jadi kerikil asing lho. Dia akan melompat, bahkan lompatan kerikil yang abang buat sanggup hingga enam kali lompatan lho” haha.. kata-kata ajaibnya hingga kini masih sanggup membuatku tertawa, mungkin ini rasanya bila ditinggal oleh sahabat yang biasa menciptakan lelucon, sangat-sangat kehilangan rasanya.
***

Setengah bulan sudah Dimas menghilang tanpa kabar, beruntungnya Ibuku sudah pulang. Sehingga saya tidak merasa terlalu kesepian. Aku banyak bercerita perihal Dimas kepada Ibuku, Ibuku meresponnya hanya dengan menyimpulkan senyum. Aku berhenti menceritakan Dimas. Aku merasa, semakin saya mengenangnya, semakin saya merasa kehilangan. Saat saya melamunkannya tiba-tiba terdengar bunyi ketukkan pintu.
“Tok..tok.. Assalaamu’alaikum….” Samar-samar terdengar bunyi pria yang tampaknya sudah taka sing lagi ditelingaku.
“Wa’alaikumussalaam..” Ibukupun membukakan pintu untuknya
“Zel, kesini nak, ada sobat kamu,” teriak ibuku dari depan rumah
“Iya Ma, tunggu sebentar”.

Bak tersambar petir rasanya, ternyata pria itu ialah Dimas, orang yang selama ini kunanti-nantikan. Rasanya ibarat keajaiban yang sangat luar biasa. Ternyata ia tidak benar-benar meninggalkan aku.
“hiks…Kakak!! Kemana aja sih? Bikin cemas tau! Aku nyariin kemana-mana. disms nggak bisa, ditelfon juga nggak diangkat, saya kira abang ninggalin aku” ucapku sedih.
“Jangan mikir macem-macem deh, abang kan udah kesepakatan buat nemenin Arzel” tuturnya menjelaskan.
“ya kan Arzel takut kak dimas lupa sama kesepakatan kita”
“Ih, ngobrolnya jangan didepan pintu ah, ntar kualat lho, kata orang jaman dulu…”
“Apa?” sahutku memotong pembicaraannya. Aku kesal, dikala ibarat ini masih saja ia mengajak saya bercanda.
“Nggak deh, nggak jadi”
“Ya udah, kita ke taman aja gimana?”
“Wah inspirasi cantik tuh”.

Akupun menarik tangan kanannya, tiba-tiba sarung tangan dan sebuah benda jatuh dari lengannya.
“Kakak?? Ini apa?” tanyaku penasaran.
“itu .. itu ..” jawabnya dengan terbata-bata,
“Ini tangan palsu kak? Jadi…” belum selesai saya berbicara, ia gentian menarik tanganku dan berlari mengajakku menuju taman. Setelah sampai, diapun menjelaskan mengapa ia hingga harus memakai tangan palsu.
“Zel, inilah abang yang sebenarnya. Kakak yakin suatu dikala nanti, hal ibarat ini niscaya akan terjadi. Kakak cacat zel…”
“Kenapa abang tidak pernah dongeng dari dulu?”
“Kakak takut, abang akan kehilangan sahabat abang lagi”
‘Tapi kenapa begitu? Aku senang sanggup punya abang angkat ibarat kak dimas”
“Kakak tidak pernah mengerti fikiran dan isi hati tiap-tiap orang. Kakak tidak pernah tau kalau arzel benar-benar mencintai sosok dimas sebagai abang arzel dengan tulus”
“Kakak itu sudah arzel anggap ibarat abang arzel sendiri, apa abang tidak pernah mengerti, bagaimana arzel ngejalanin hari-hari tanpa kakak? Sepi kak!! Sepi!!” saya mengatakannya sembari menangis, tapi seolah ia tak percaya padaku, malahan ia meninggalkan saya sendiri.
Sesampainya dirumah, nada sms di Xperia-ku berbunyi, ku tatap layarnya, ternyata kak dimas yang mengirim sebuah pesan singkat untukku.

05.35 pm
Zel, kau taukan rasanya sendirian itu kaya gimana?, niscaya sangat menyebalkan. saya sedih melihatmu sendiri. Karena saya hampir setiap hari merasakannya. Zel kalau kau masih ingin saya jadi abang mu, besok kau pergi ke taman di pinggir danau ya..?
Aku merenung sejenak, mengartikan apa maksud dari sms itu. Mungkin saya terlalu berlebihan untuk memikirkan orang yang belum usang ini ku kenal. Tanpa sadar, hampir larut malam juga, saya memejamkan mataku, mencoba bermimpi. Mungkin saja yang dikatakan Ibuku benar “Mimpi ialah ingatan, lewat mimpi kita sanggup melihat”. Aku ingin mengetahui, apa yang akan Dimas katakan dikala kita bertemu nanti.
***

Sepulang sekolah, saya bergegas menuju taman. Disini, dipinggir danau. Aku menunggunya datang. Tak berapa usang saya menantinya, karenanya ia pun muncul. Perlahan tapi pasti, ia mulai menceritakan masa-masa kecilnya. Ia bercerita padaku bahwa ia sudah cacat semenjak lahir, bahkan yang lebih menciptakan saya terkejut, ia tak pernah mencicipi bagaimana susah dan senangnya mencar ilmu di sekolah formal. Katanya ia dulu sempat masuk ke sekolah, tapi sebab teman-temannya mengetahui kalau ia tidak mempunyai tangan sebelah kanan, semua sahabatnya menjauhi dia. Teman-temannya seolah menganggap ia ibarat monster. Dan sebab itu untuk sekedar menyapanya saja sahabatnya tidak ada yang mau.
Dimas terus bercerita padaku perihal apa yang ia alami. Satu kesimpulan yang sanggup saya ambil, ia lebih kesepian dalam menjalani hari-harinya. Dia berkata padaku “Kamu harus bersyukur sebab kau masih mempunyai sahabat, walaupun mereka jauh darimu. Tidak ibarat aku, satupun saya tidak mempunyai sahabat di kediamanku yang dulu. Aku beruntung kini ada kau sebagai adikku”.
Aku menjadi tersadar kembali, ternyata saya dilarang selalu melihat keatas. Aku merasa saya paling malang didunia ini. Tapi ternyata ada yang lebih menderita dari aku.
“Kakak sudah menceritakan semuanya, kini terserah arzel masih ingin menjadi adik kakak, atau justru menjauh dari kakak”.
“Buat aku, abang terlalu special untuk dijauhi. Aku juga sendiri, jadi saya tak punya alasan untuk meninggalkan kakak”
“Kakak senang mendengar ini semua, terimakasih kau tetap mau bersamaku”

Setelah ia menjelaskan itu semua, Ia mengajakku pulang. Sesampainya di rumah, saya melemparkan tasku diatas kasur. Semua buku-buku pelajaranku berserakan. Entah mengapa rasanya malas sekali saya membereskannya. Padahal harusnya dikala ini saya merasa senang sebab kak dimas sudah kembali.

Hari-hariku masih sama ibarat biasanya, saya masih sering bermain bersama kak dimas, entah mengapa walaupun kami hanya sering bermain di taman, kami sedikitpun tidak pernah merasa bosan. Lagi pula saya tak pernah merasa sebahagia dikala saya bersama kak Dimas. Kak Dimas pernah menyampaikan bahwa harapan besarnya ialah menjadi seorang pembalap. Sayangnya semua itu ia lupakan, sebab ia sadar, tanpa tangan kanannya, ia bukan apa-apa.

Tapi bukan hanya itu yang menjadi impiannya. Dia juga ingin menjadi pelari profesional, sebab baginya dengan berlari ia sanggup menangis dan tersenyum, bahkan walaupun ia kalah, ia masih tetap menyampaikan “Aku sudah sering kalah, satu hal yang saya pelajari dari kekalahan adalah, mencar ilmu perihal diriku dan orang lain. Agar suatu dikala nanti saya sanggup menjadi pemenang”. Ya, kata-kata itu masih sanggup memotivasiku semoga tetap maju dan pantang menyerah.
“Zel!! Kesini nak, ayo ikut mama” teriak ibuku dari depan rumah
“Iya ma, tunggu bentar” Ucapku panik
“Ayo ikut mama nganterin dimas, dimas sakit”
“Apa? Kak dimas sakit?? Kak dimas sakit apa ma?” tanyaku, shock mendengar klarifikasi mama.
“Sudah nanti kau juga tau sendiri. Sekarang kita bantu orang tuanya dimas nganterin ia kerumah sakit”
“Iya ma, ayo”

Aku, Mama dan Orang bau tanah Dimas pun menuju rumah sakit dengan panik. Orang tuanya menyampaikan bahwa tadi kak Dimas pingsan dan tak kunjung siuman. Kaprikornus mereka panik dan meminta tolong ibuku untuk membawa Dimas ke rumah sakit.
***

Hampir satu bulan Dimas belum sadarkan diri, saya iba melihatnya terbaring lemah disana. Setiap hari sepulang sekolah saya menjenguknya untuk memastikan apakah ia baik-baik saja. Aku menunggunya hingga ia sadar dan sanggup menemani dan menghiburku lagi, menyemangati saya dan member makna kehidupan untukku, Aku sadar, ada banyak Dimas didunia ini. Tapi Dimas yang luar biasa hanya kak Dimas seorang.

Ibu Kak Dimas tiba-tiba menghampiriku, Ia menunjukkan selembar surat dari kak dimas. Katanya, kak dimas menulis surat itu ketika ia sadar dari komanya. Yang anehnya saya tidak pernah mengetahui saat-saat kak Dimas siuman, mungkin dikala saya sedang berada disekolah. Kaprikornus saya tidak mengetahuinya…

Dear Arzel, adikku sayang…

Maafkan saya tidak sanggup mewarnai setiap hari-harimu lagi.
Yah.. beginilah aku, dari kecil hingga kini memang sakit-sakitan.
Aku merasa bosan terus begini, bahkan terkadang saya berniat menghabisi nyawaku sendiri.
Namun dikala saya tersadar kembali, saya mempunyai orang-orang yang sangat menyayangiku.
Kaprikornus saya mengurungkan niat bodohku itu,.
Aku tau, kehidupan ini hanya menginginkan saya untuk lapang dada dan mensyukuri apapun kekuatan yang ada padaku dan menggunakannya untuk melaksanakan sesuatu yang berkhasiat untukku, keluargaku dan sesamaku.
Zel.. sebetulnya tak banyak yang kau butuhkan untuk menjadi pribadi yang damai,
Mintalah pertolongan Allah, dialah yang akan menguatkan belahan dimana engkau lemah.
Zel .. dikala ilahi memanggilku nanti, kau jangan hingga menangis. Aku tau kau niscaya mengerti kalau aku, hanya pulang kerumahku yang lebih nyaman.
Jadi, maafkan semua kesalahanku selama ini.
Never give up! Keep on fighting!
Aku harap, saya tetap sanggup menjadi sahabatmu selamanya

Tertanda
Dimas Fernanda

Akupun menangis seketika sehabis membaca surat itu, tapi saya sadar ia niscaya tak akan suka melihat saya menangisinya. Karena tak tahan menahan air mata terus tumpah ini. Aku tetapkan untuk tidak menemuinya sementara waktu. Aku berharap dengan begini, saya sanggup menghilangkan rasa sedihku.

Tiba-tiba mama menelfonku
“Halo… zel, kau dimana?”
“Aku dirumah ma, ada apa?”
“Cepat kerumah sakit”
“Ada a….” belum sempat saya bertanya perihal apa yang terjadi mama sudah menutup telponku. Aku bergegas menuju rumah sakit. Aku takut terjadi sesuatu dengan Dimas.

Setibanya di Rumah sakit, saya gundah mengapa semua orang menangis. Bahkan mamaku pun ikut menangis. Segera saya menuju ke ruang rawatnya Kak Dimas. Aku bungkam seribu bahasa melihat apa yang telah terjadi pada kak Dimas. Seolah dunia ini berhenti berputar. Dia! Dimas, telah pergi meninggalkan saya untuk selamanya. Aku merasa kesal kepada diriku sendiri, betapa bodohnya aku. Kenapa saya harus pergi disaat-saat terakhirnya.

Aku menyesal harus melihat ia yang terakhir kali, dengan kondisi tak bernyawa. Andaikan saya sanggup memutar kembali tangan waktu. Aku tak akan pergi meninggalkannya.

Aku teringat pesan Dimas, ia melarangku semoga tidak bersikap kekanak-kanakan lagi. Akupun malu, malu pada sifatku yang masih ibarat itu. Aku mencoba untuk tidak menangis, tapi apa daya, air mataku tetap tumpah. Ah.. apa sanggup waktu ku pinjam semoga saya sanggup bertemu ia lagi?
***

Setelah pemakaman Dimas selesai, saya berjalan kembali menuju danau. Aku duduk dan menatap lagi permukaannya yang tenang. Tanpa terasa, buliran air mengalir dari pelupuk mata. Aku memejamkan mataku, kemudian melemparkan kerikil ke danau. Tapi semakin saya melakukannya, semakin saya teringat kenangan-kenangan indah bersamanya.

Mentari bersinar begitu cerah, kupandangi warnanya yang sedikit ke emasan. Ia terlihat ibarat sedang tersenyum padaku. Dan kurasa senyum itu ialah senyum Dimas.
Aku merasa sedikit kecewa, ia tidak menepati janjinya untuk tetap menemani dan selamanya menjadi sahabatku. Tapi mungkin ityu sudah kehendak tuhan, apa daya tak ada yang sanggup ku perbuat, saya hanya sanggup mendo’akannya disini.

Hari ini, suatu hari di bulan September 2012. Aku merelakan kepergianmu. Aku mencoba mengerti, walaupun ia tak ada lagi disini, tapi kenangan-kenangannya akan selalu menciptakan dirinya hidup. Hidup disini, di hati setiap orang yang menyayanginya.
Tenanglah disana…
Kakak ku sayang...
-Tamat-

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel