Sekuntum Kenangan Buat Sepotong Senja - Cerpen Cinta Romantis

SEKUNTUM KENANGAN BUAT SEPOTONG SENJA
(Terinspirasi dari cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Aji Darma)
Karya Ilham

Senja kala itu masih begitu terasa dalam ingatan. Beberapa waktu silam, ketika sang surya mengendap-endap balik ke peraduan, kami berdua bagitu mesrah menikmati lautan yang mulai keemasan. Riak-riak lautan yang terus mencumbui pasir pantai seakan turut bersuka melihat kemesraan kami. Ikan-ikan serupa teri yang sedang bekejaran menambah keestetikaan alam lautan sore itu. Di senja itu pula menyadarkan kami, betapa indahnya ciptaan tuhan. Walau disayangkan, akhir kerakusan manusia, semesta ini hanya dipandang kalau bisa memuaskan nafsu-nafsu mereka.

Ketika ruang terus bersekutu pada waktu, lamat-lamat senja itu menghilang tanpa kami sadari. Satu persatu tiang-tiang lampu yang berdiri tegak di sepanjang hamparan pantai satu persatu memancarkan sinarnya. Mungkin manyambut datangnya malam itu, ikan-ikan kembali melompat tak karuan seakan ingin memangsa pijaran lampu di riak lautan itu. Kami yang mengabadikan insiden itu walau hanya sebatas pandangan memaksa kami turut senang melalui simpul senyuman.
“ Dinda, andai semua insan tahu apa yang terjadi di malam ini, mungkin pembantaian, perusakan rumah warga tak akan pernah terjadi. Coba pandangi ikan-ikan yang melompat itu, meski di dalam lautan sana hidup mereka tak pernah aman, mereka terus saja menikmati damainya kehidupan ini”. Begitu kata yang sempat terbisik di indera pendengaran kananku ketika kami terus memandangi ikan-ikan kecil itu. Tanpa bersua, kusempatkan menatap wajah kekasihku itu sambil membalas ucapannya dengan senyuman manisku.

Sekuntum Kenangan Buat Sepotong Senja
Yah, begitulah sekuntum kenangan yang ditorehkannya ketika kami sedang menghabiskan waktu untuk yang terakhir kalinya bertatap muka. Kenangan di senja itu menjadi pelipur lara hatiku ketika ingatan ini tersibak wajah polos dan lugunya itu. Itulah sebabnya, untuk yang ketiga kalinya bulan berganti tahun saya tak bisa untuk meluangkan waktu sejenak memalingkan wajah ke bibir pantai. Apalagi dengan matahari senja, meski sudah nampak menyerupai sedia kala saya belum juga bisa menikmatinya walau sejenak. Jujur, bukan lantaran apa dan siapa sehingga perasaan membuatku demikian. Setelah insiden yang kualami beberapa tahun lalu, hal itu terus saja memaksaku untuk merasa bersalah seumur hidup.

Kasihku, sesudah membaca kisahmu saya berfikir, mungkin apa yang menjadi ukiran sedih kita selama ini akan sedikit terobati kalau saya sejenak menceritakan kisah perpisahan kita selama ini. Sebenarnya saya juga menyadari, bahwa apa yang akan saya ceritakan ini tak akan bisa sepenuhnya membaluti luka hatimu. Bukan lantaran dongeng ini saya kisahkan padamu hanya melalui lembaran putih kertas. Tetapi menyerupai katamu dulu, bahwa kau tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan insan lagi. Karena menurutmu kata-kata ternyata tidak bisa untuk mengubah apa-apa. Kasihku, walau demikian benar adanya, namun saya akan mencoba memulai kisah ini dengan penuh harap, semoga kata-kata ini bisa menggetarkan hatimu yang tengah luka.

Kasihku, mungkin kau masih ingat ketika kau duduk seorang diri di pantai. Waktu itu senja tengah berdiam pada waktu. Sambil memandangi burung-burung dan pasir yang lembap dipantai itu, katamu, engkau pun sempat melihat siluet kerikil karang sambil mengharap ada bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih di atas kerikil yang berwarna-warni berhiaskan lokan. Menikmati panorama menyerupai itu, tiba-tiba saja engkau tersentak melihat cahaya bergetar bersama senja. Waktu itulah kau tersentak dan mengingatku. Katamu, senja bergetar itu tampaknya cocok buatku. Dan, tanpa berfikir panjang engkau memotong senja itu dengan ukuran sebesar kartu pos kemudian berlari menuju mobil.

Kasihku, hal inilah yang sangat perlu kuceritakan padamu. Setibanya saya di rumah ketika kau mengantarkan saya pulang di malam itu, saya pribadi menuju kamar tidurku. Aku terperanjat kaget. Saat membuka lebar-lebar daun pintu kamar, tiba-tiba saja mataku silau akhir pijaran cahaya yang memutih. Saat itu pula saya merasa bahwa akulah perempuan yang paling istimewa di antara wanita-wanita lain di seantero bumi akhir pijaran cahaya itu. Meski hampir tak sanggup melangkah akhir silau mataku, kupaksakan diri untuk melangkah mencari dari mana asal cahaya itu. Tak berselang usang kemudian, di naungan cahaya indah yang gotong royong telah usang kuidamkan itu, dengan kurang jelas saya melihat selembar amplop berwarna putih. Aku yang tak sanggup menahan kebahagiaanku ketika melihat cahaya itu, kuberanikan diri untuk meraih amplop itu. Hanya beberapa detik di genggamanku, tepi amplop itu perlahan-lahan kusobek dan melihat apa isinya.

Betapa girangnya hati ini, ketika kudapati rupanya amplop itu berisikan cuilan bulan purnama. Cahayanya yang memutih berbinar-binar mengalahkan indahnya warna senja kemerahan yang selama ini kita kagumi. Dengan tergesa-gesa kubaca nama pengirim cuilan bulan purnama itu. Namun, kecewa sempat bertarung pada kagumku, rupanya nama yang tergores di amplop itu bukan namamu, melainkan nama lelaki lain yang tak perlu kusebutkan padamu. Meski rasaku menyerupai itu, saya berfikir, rupanya cintamu selama ini tak berarti apa-apa dibanding cinta lelaki itu padaku. Akhirnya, mulai malam itulah saya tetapkan untuk tidak mendapatkan apapun darimu lagi sebagai tanda rajutan cinta kita selama ini sekarang tinggal seonggok kenangan saja. Detik itu juga, cinta dan segala yang ada pada diriku kulabuhkan pada lelaki itu.

Rasa yang terus saja senang mempunyai cuilan purnama, tak terasa olehku rupanya malam telah berlalu. Melalui celah jendela kamar, kupandang mentari yang rupanya telah bertengger di balik pegunungan. Aku yang terus memeluk dekat cuilan bulan purnama itu, wajahmu sempat terlintas di benakku. Entah mengapa, fikiranku tiba-tiba saja tetapkan untuk menemui dan memberimu kabar wacana usainya korelasi asmara kita. Setelah membersihkan badan dari kelelahan malam, saya pun meninggalkan rumah seusai menutup rapat jedela kamar supaya bias cahaya surya tak bisa menyelinap masuk untuk mencoba mengusir cahaya cuilan rembulan purnamaku.

Hampir seharian mencari keberadaanmu yang tak kunjung kutemui, sesudah sang surya mengubah dirinya menjadi senja yang tak lagi kukagumi, saya tetapkan untuk kembali pulang ke rumah. Apalagi rasa rindu pada cuilan rembulan purnamaku sudah tak bisa kubendung lagi. Tapi ketahuilah kasihku, waktu itu saya menyempatkan diri ke kantor polisi dan menemui orang-orang yang mengenalimu. Semua itu saya maksudkan hanya semata-mata supaya merekalah yang memberikan kabar wacana matinya perasaan cintaku padamu.

Kasihku, tak berselang usang kemudian, sesampainya di rumah, sesudah saya usai melepaskan rasa rindu pada cuilan bulan purnamaku, saya dengan sengaja menonton tv hanya sekedar ingin tahu kabar terakhir para polisi dan orang-orang yang kutemui sebelumnya. Alangkah kagetnya aku. Semua siaran tv di sore itu rupanya memberitakan wacana pengejaran dirimu. Menanggapi akan hal itu, saya kembali berfikir, gotong royong apa yang membuatmu berlari menghindari polisi dan orang-orang yang bermaksud baik padamu. Terus saja saya tak melepas pandanganku ke layar tv menciptakan tatapanku tertuju pada gambarmu yang sempat terekam kamera wartawan ketika kau berjalan sambil mengantongi sesuatu.
“Aku tahu kau akan menyukainya lantaran kau tahu itulah senja yang selalu kau bayangkan untuk kita. Aku tahu kau selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang bangku malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kau bawa ke mana-mana”. Saat membaca kisah menyerupai itu darimu, saya gres tahu apa maksud kau menghindari polisi dan orang-orang itu. Rupanya kau menerka mereka akan menghakimimu lantaran mengambil sepotong senja buatku yang gotong royong sudah tak pernah kuharapkan lagi.

Kasihku, gotong royong saya salut padamu. Mungkin lantaran rasa cintamu padaku sehingga kau nekat memotong senja. Tapi ketika saya tahu semuanya, kekecewaanku semakin membungbung tinggi padamu. Dari sekian kali tahun berganti dalam korelasi asmara kita dulu, ternyata kau belum bisa mencicipi apa yang gotong royong saya inginkan darimu. Aku sadar, ketika kemesraan kita kolam mekar sekuntum mawar dulu saya sering mengajakmu menikmati senja di tepi pantai. Tapi itu bukan semata-mata untuk meyakinkan kau bahwa saya benar-benar menyukai yang namanya senja. Aku hanya ingin supaya kau memperhatikan siapa saja yang menikmati senja itu. Orang gila dari banyak sekali negara bebas merampas kekayaan negeri kita dengan berdalih ingin menikmati indahnya senja di negara kita ini. Mereka dengan otaknya yang encer seperti mengagumi budaya bangsa kita yang sama sekali tak ada di negaranya. Dan lebih parahnya, mereka juga seakan mengagumi senja di pantai kita, padahal senja di pantai niscaya ada di negara mereka juga kan. Ditambah lagi pemerintah kita yang hanya memikirkan infestasi supaya kantong mereka gampang dipenuhi lembaran uang. Mereka sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana nasib rakyat Indonesia yang miskin ini tiap hari memunguti sampah bekas masakan dan minuman orang-orang asing. Coba kau pikir, semua ini akhir apa kalau bukan lantaran senja yang hanya dinikmati bagi mereka yang elit saja.

Kasihku, lelaki yang pernah mengisi hai-hariku dengan senja. Sekali lagi, semua ini kukatakan padamu supaya apa yang selama ini engkau kagumi gotong royong tidak seindah dengan apa yang ada di rasamu. Kisah ini sengaja ku ungkapkan supaya engkau tersadar bahwa segala yang kita anggap baik-baik saja ternyata semuanya bermasalah. Mulai dari sekolah yang mengumbar pendidikan gratis nyatanya masih banyak orang renta di negara ini yang tak bisa menyekolahkan anaknya hanya akhir mereka tak bisa membayar biaya pendidikan yang tak sanggup mereka jangkau. Kasihku, masih ingatkah kau ketika kita masih kuliah dulu. Kampus kita yang katanya siap untuk mengabdi bagi mereka yang tak punya, seenaknya saja menaikkan biaya perkuliahan kita. Mulai dari pembayaran ospek, PPL, hinggga pembayaran wisuda seenaknya saja dinaikkan. Padahal semua mahasiswa tahu, bahwa mulai dari bangunan fisik hingga system perkuliahan tak ubahnya kapal pecah yang tenggelam di samudera hindia. Dan bukan hanya itu, negara yang dikenal dengan kekayaan alamnya ini rupanya berutang sebanyak sembilan juta per orang. 

Coba kau hitung, berapa banyak jumlah utang negara kita kalau dijumlahkan dari keseluruhan penduduk yang ada di negara ini. Mungkin hingga simpulan zaman tiba, utang Indonesia ini tak akan pernah terlunasi lagi. Kejadian menyerupai ini hanya akhir ulah pemerintah kita yang nampaknya baik-baik saja namun nyatanya bermasalah. Akibat kebutuhan yang tak terpenuhi, perampokan dan saling bunuh membunuh sudah teramat lumrah di mata orang. Korupsi yang tak pernah lepas dari pejabat sudah tak dianggap sifat yang memalukan lagi. Semua insiden menyerupai itu mengambarkan bahwa apa yang selama ini kita anggap baik-baik saja rupanya bermasalah. Ooooh, maaf. Kalau saya jadi ngelantur menyerupai ini. Padahal saya hanya ingin mengisahkan wacana indahnya sepotong senja yang kau anggap baik-baik saja.

Kasihku, lelaki yang tak akan pernah luput dari ingatanku. Sebelum saya mengakhiri kisah ini, saya ingin berkata padamu untuk kesekian kalinya. Melalui goresan pena ini saya mewakili rasa permohonan maaf para polisi dan orang-orang yang dulu mengejar-ngejar kamu. Perlu kau ingat, bahwa mereka gotong royong tidak keberatan ketika kau mengambil sepotong senja buatku di pantai itu. Tapi, menyerupai yang saya katakan sebelumnya, mereka mengejarmu hanya untuk menyampaikan bahwa saya telah mendapatkan cuilan bulan purnama dari seorang lelaki.

Kekasihku, saya tahu, niscaya kau telah bosan membaca kisahku ini. Tapi tenanglah, kau tak perlu khawatir. Cerita ini akan benar-benar kusudahi. Biarlah kisah-kisah yang tak sempat saya ceritakan padamu melebur satu bersama ruang dan waktu yang telah jadi sejarah.

Selamat menikmati langit sore di dunia paling sunyi kasihku. Semoga senja yang selama ini kau kagumi tetap setia membentuk cakrawala demi keindahan bumi. Dan satu lagi, sepotong senja yang kau kirimkan dulu tak pernah saya terima. Sebab, apa yang kau cemaskan telah benar-benar menjadi nyata. Lautan dan matahari telah mengkremasi langit dan airnya tumpah membanjiri permukaan bumi. Akibatnya, buah hatiku yang terlahir bersama cahaya bulan purnama sekarang menjadi pedagang asongan yang menjajakan senja tiruan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Sekian

PROFIL PENULIS
Nama : Ilham
Alamat : MANDAR
Status : Ketua HMJ Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia dan sebagai Mahasiswa Unasman Jurusan Bahasa Indonesia.
Alamat email : illankijie@yahoo.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel