Ketika Pagi, Siang, Dan Senja Berlalu - Cerpen Remaja

KETIKA PAGI, SIANG DAN SENJA BERLALU
Karya Triyana Aidayanthi

Pagi yang cerah. Sinar mentari yang berkilauan, hangat. Seperti biasa setiap akan berangkat sekolah, saya selalu memanggil adik sepupuku, Sita, yang rumahnya hanya bersebelahan denganku. Kami selalu berangkat bersama. Jam dinding sudah menujukkan pukul 7 pagi, tapi Sita tak kunjung menampakkan diri. Aku pun bergegas menjemputnya. Aku tak mau terlambat olehnya. Tapi begitu saya keluar, seketika ia muncul dari tembok di akrab pohon cemara. Di sana ada jalan rahasia. Sambil cengar – cengir ia menghampiriku. Tapi aneh, salah satu tangannya ada di belakang badannya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku memandangnya penuh penasaran. Perlahan – lahan ia memperlihatkannya kepadaku. Setangkai bunga mawar merah muda yang mekar sempurna. Daun – daun memenuhi tiap lekukan tangkainya. Ada satu daun yang telah dimakan ulat. Bunga itu indah.
“Kak Dinda suka bunga, tidak?” tanya Sita padaku.
“Sejujurnya tidak, tapi kalau seandainya bunga itu untuk aku, saya sanggup berubah pikiran..”
“Awalnya memang untuk kakak, tapi…”
“Tapi apa?” tanyaku.
“Bunga ini untuk kakak, tapi nanti berikan kepada orang yang abang sayang, niscaya ia suka..” katanya sambil tersenyum. Di perjalanan kami hanya membicarakan bunga itu.

Ketika Pagi, Siang, dan Senja Berlalu
Gerbang sekolah mulai tampak. Sudah banyak murid yang masuk ke sana. Ada juga yang masih di belakang kami. Sita menghentikan langkahnya.
“Kak Dinda dilarang lupa ya.” Ia mengingatkanku sambil meletakkan bunga itu di tanganku.
“Aku tak tau siapa yang kusayang..”
“Bunga itu tau kak,” kami berpisah di depan ruang kelasku.
“Bocah itu romantis, hmm..” saya masuk ke dalam. Kelas sudah ramai. Aku berjalan menuju daerah dudukku. Ketika melewati kursi Seno, langkahku terhenti. Kulihat bangkunya kosong. Apa beliau belum datang? Tapi biasanya beliau lebih dulu dariku.
“Hayoo… ngapain termangu di sini?” Ivan menepuk pundakku dari belakang. Bikin terkejut saja. Aku kira itu Seno.
“Ahh.. ga ngapa – ngapain kok Van.”
“Koq wajahmu lesu gitu? Ada persoalan ya? Cerita dong.” pinta Ivan.
“Aku…”
“Dinda lagi galau soalnya Seno ga masuk.” sela Yuni. Nampaknya dari tadi ia mengawasi gerak – gerikku. Gawat.
“Eh.. enggak kok, jangan ngawur Yun..” saya berusaha tertawa untuk menahan grogi. Takutnya nanti mereka curiga.
“Ya Tuhan, tolong aku..” pintaku dalam hati.
“Cie.. cie.. ga usah bohong Din. Kita tahu kok kalau Seno suka sama kau dan kau juga punya perasaan yang sama. Ga usah aib – aib gitu..” mereka berdua menertawaiku. Hampir membuatku salah tingkah. Tapi saya harus tetap tenang. Hingga bel tanda masuk berbunyi. Kelas kembali tenang. Terdengar bunyi sepatu ibu Lita, yang semakin keras, semakin dekat. Ia memasuki ruangan sambil membawa kertas hasil ulangan bahasa Inggris ahad lalu. Ia menyuruh Ivan membagikannya.
“Anak – anak, itu ialah hasil ulangan kalian. Ibu lihat masih ada beberapa anak yang mendapat nilai kurang, nah untuk itu, kalian harus rajin – rajin berguru ya sekarang. Besok ialah ulangan terakhir, ibu mau kalian semua berguru lebih ulet lagi.” kata ibu Lita.

Beberapa dari temanku ada yang nampak kecewa, mungkin nilainya turun. Perasaan cemas dan takut menghampiriku. Aku takut kalau nilaiku juga demikian. Ivan menghampiriku sambil memberiku 2 lembar kertas. 1 atas namaku dan satu lagi atas nama Seno. Ia hanya cengar – cengir.
“Nanti tolong berikan itu kepada Seno, ya Din..” ia cepat – cepat kembali ke bangkunya semoga saya tidak mengembalikan kertas itu. Dasar Ivan.

Tok! Tok! Tok!
“Maaf bu, saya terlambat.” Seisi kelas tiba-tiba senyap. Semua temanku memandangi Seno.
“Ada apa Sen? Kamu terlihat ngos-ngosan” tanya Bu Lita.
“Tadi motor saya mogok bu, kemudian tiba-tiba saya dikejar anjing.”
“Ya sudah, silahkan duduk.”
“Terima kasih bu.”
Aku membiarkannya duduk dulu. Setelah ia sedikit tenang, kuberikan hasil ulangannya.
“Sen, ini hasil ulanganmu.” Ia menerimanya sambil tersenyum kepadaku.
“Makasi ya Din.”
Teman – temanku yang lain senyum – senyum memandangku. Aku tau mereka sedang memikirkan hal yang tidak – tidak antara saya dan Seno. Tapi, ya sudahlah.
Aku lega sehabis melihat hasilnya. Nilai tepat itu kudapat dari kerja kerasku selama satu hari penuh. Seno juga mendapatkan nilai sama denganku. Ia memang arif dalam bahasa Inggris, semua mata pelajaran ia kuasai dengan baik, tak heran banyak yang sering bertanya padanya ketika ulangan. Kadang – kadang ia pelit, kadang – kadang juga tidak. Tak hanya pintar, baik, dan ramah, Seno juga mempunyai wajah yang tampan, hampir semua gadis – gadis di kelas kami menyukainya. Ia mempunyai 2 sahabat yang selalu ikut kemanapun ia pergi. Ivan dan Yuni. Mereka berdua ialah sahabat Seno semenjak kecil. Kaprikornus mereka sangat tahu bagaimana Seno. Termasuk gosip kalau Seno menaruh hati padaku semenjak kami berada dalam satu kelompok belajar.

Saat itu giliran berguru kelompok di rumah Seno. Ivan dan Yuni yang sangat jahil itu sengaja tiba agak terlambat. Seno dan saya menunggu mereka di teras belakang. Seno yang memulai pembicaraan. Ia menanyakan tipe pemuda yang yang saya suka. Gila.
“Aneh sih kedengarannya, tapi kau harus menjawabnya. Ini penting.”
“Aku belum berminat pacaran..”
“Tapi nanti kau kan niscaya pacaran”
“Ia… tapi kau ini kenapa menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.
“Bisakah kau suka padaku?” sungguh pertanyaan di luar dugaanku. Bagaimana sanggup Seno menyukaiku. Ia benar-benar aneh.
“Kalau sanggup kenapa? Kalau tidak kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya. Kalau itu sanggup kulakukan, akan kulakukan demi kau..”
“Berhentilah bercanda Seno…” semenjak ketika itu Seno bukannya menjauhiku malah semakin mendekatiku. Bahkan sudah berani terang-terangan. Ampun. Setiap hari teman-temanku selalu menggodaku. Tak terkecuali Ivan dan Yuni. Mereka semua begitu kompak mengagung-agungkan Seno di depanku. Aku disekak mat. Entah bagaimana Seno meracuni pikiran teman-temanku. Isu kalau ia menyukaiku semakin hari semakin nyata.

Besok ialah ulangan bahasa Inggris. Ini ialah ulangan terakhir sebelum ulangan umum. Ibu Lita menyuruh kami untuk berguru lebih ulet lagi. Sore harinya Seno tiba ke rumahku. Saat itu ibu sedang merapikan kebun di teras depan.
“Din, ada temanmu datang..” ibu memanggilku.
“Mengapa Taro tidak menggong-gong?” pikirku. Saat saya keluar, kulihat Seno sedang bermain-main dengan Taro.
“Nah, itu majikanmu datang, ayo cepat cari dia..” kata Seno sambil mengelus-elus bahu Taro. Tapi anehnya Taro tidak mendekatiku, malah semakin lengket dengan Seno.
“Din, ajak temanmu ke dalam..” pinta ibu.
“Ya udah, masuk ajan Sen..”
“Dengan bahagia hati cantik..”
“Namaku Dinda.”
“Iya dehh.. ngomong-ngomong ibumu baik juga ya, ramah lagi.. tapi kau kok ga kayak ibumu?”
“Aku ramah kok, kau sih belum kenal aku..”
“Naah.. maka dari itu kita perlu PDKT..” ya ampun, saya terjebak.
“Hmm.. diem itu artinya mau..” sambungnya.
“Eh.. kata siapa?! Aku ga mau, titik..!”
“Aku tau dalam hatimu, kau mau, cuma kau aib ngakunya.. hayoo” desak Seno.

Aku semakin terpojok. Aku ingin mengeluarkan unek-unekku di hadapannya. Tanpa sengaja saya keceplosan.
“Kalo iya kenapa?!” uups keceplosan!
“Akhirnya ngaku juga.. seneng lho saya dengernya..”
“Trus maumu apa?”
“Aku cuma pingin kau juga suka sama kau, gitu lho Din..”
“Aku kan udah mau PDKT ma kamu. Apa itu belum cukup?”
“Cukup, tapi…”
“Okelah.. saya kasi kau syarat aja..”
“Aku akan berusaha memenuhinya.”
“Oke. Kamu harus jemput adikku, Sita, lusa. Bagaimana?”
“Cuma gitu aja? Okelah..”
“Ya, kalau kau berhasil, saya akan mempertimbangkannya dan sebaliknya.”
“Ngobrolin apa sih? Seru sekali kelihatannya.” Ibu tiba sambil membawa minuman dan camilan. Tak terasa dari tadi saya dan Seno memperbincangkan gosip itu. Akhirnya saya membuka hatiku untuk dia. Lega sekali. Tapi apa beliau sanggup memenuhi syaratku, Sita bukan orang yang gampang didekati. Aku jadi cemas.
“Kenapa Din, kok bengong? Mikirin saya ya?”
“Iya nih, membayangkan besok..” saya mulai jujur.
“Aduh.. saya jadi GR deh…”
“Dasar..! ini udah malem Sen.. berani pulang sendiri?” ledekku.
“Ya udah saya pulang aja ya, inget berguru buat besok.” Katanya sambil tersenyum.
“Iya.. iya..”
“Aku pamit pulang sama ibumu, titip salam ya..”
“Oke.. saya anter hingga depan aja..”

Ke esokkan harinya, menyerupai biasa saya berangkat dengan Sita. Di perjalanan saya menuruhnya untuk menungguku pulang sekolah besok.
“Jangan pergi kemana-mana atau pulang dengan orang lain selain abang ya..” pintaku.
“Kenapa abang membicarakannya sekarang?”
“Untuk mengantisipasi kalau besok abang lupa..”
“Oke dehh..” Sita yang anaknya polos, tentu saja menuruti kata-kataku. Sampai di depan ruang kelasku, kami berpisah. Aku bergegas masuk kelas. Kulihat Seno, Ivan, dan Yuni sedang berbincang-bincang. Dan membisu ketika saya sudah akrab dengan mereka. Lagi-lagi saya harus digoda.
“Hmm.. ada yang lagi PDKT nih critanya..” kata Ivan. Teman-temanku yang lain terang melirik ke arahku dan Seno.
“Kalau iya, kenapa?! Bukankah itu yang kalian mau?” saya mulai marah.
“Aduh kayaknya ada yang lagi murka nih..” kata Yuni.
“Eh.. udah dong ngeledeknya..” pinta Seno. Seketika teman-temanku yang lain kembali ke daerah duduknya masing-masing.

Bel pun berbunyi. Ibu Lita pun masuk ke dalam kelas dan segera membagikan soal-soal ulangan.
“Ibu minta kalian jujur. Waktu kalian 45 menit.”
“Baik bu…” kata kami serempak.
Kami mulai mengerjakan soal demi soal. Tak ada yang berani menyontek. Terbukti alasannya ialah Seno duduk manis di bangkunya. Biasanya kepalanya sibuk bergerak alasannya ialah banyak yang bertanya kepadanya. Dan tak terasa 45 menit telah usai. Ivan bangkit dari bangkunya untuk mengambil lembar jawaban.
“Ibu bahagia tidak ada dari kalian yang menyontek. Semoga nilai ulangan kalian cukup memuaskan. Besok ibu bagikan hasilnya.” Kata Ibu Lita.

Bel istirahat pun berbunyi. Semuanya berhamburan keluar. Tapi saya tetap di dalam. Cemas menanti hasil ulangan tadi.
“Bagus tidak ya?” pikirku. Aku tetapkan untuk menemui Sita semoga cemasku hilang. Ketika hampir hingga di depan ruang kelasnya, saya dikejutkan oleh Dicky. Mantan pacarku waktu kelas 2 dulu.
“Hai Din.. tumben ketemu kau lagi..” sapanya. Ia masih ramah menyerupai dulu.
“Hai Dic.. apa kabar? Kok tidak pernah main-main ke rumahku lagi?”
“Baik-baik aja, kamu? Aku sudah mulai sibuk Din bantu kakakku di bengkel.”
“Baik juga.. Oh iya ya.. kini bengkelmu sering ramai.”
“Iya Din.. Oh ya, kau mau kemana? Tumben lewat sini.”
“Kebetulan lewat aja kok.” Bel masuk pun kembali berbunyi.
“Padahal saya masih ingin ngobrol lebih usang lagi denganmu.”
“Makannya main dong ke rumahku. Ya udah saya masuk kelas dulu ya, bye Dicky.”

Kelasku sudah ramai, maklum jam pelajaran terakhir. Ketika akan menuju bangku, Yuni mencegatku. Wajahnya serius sekali.
“Kamu masih bekerjasama sama Dicky?”
“Masih, beliau kan temanku.” Lalu saya meninggalkannya.
Aku bertemu lagi dengan Dicky ketika pulang sekolah. Ia menawariku pulang berdua. Aku mengiyakannya alasannya ialah Sita sudah pulang duluan.
“Makasi ya. Tidak mampir dulu Dic? Sekalian makan siang.”
“Ga usah Din, saya pulang dulu ya.”
“Oke..hati-hati ya.”

Sore harinya, saya duduk di teras depan sambil bermain-main dengan Taro. Tiba-tiba muncul Dicky. Taro menghampirinya dan sama menyerupai ketika bersama Seno. Ia bermanja-manja dengan Dicky. Anjing yang aneh.
“Aku kebetulan lewat, jadi sekalian mampir.”
“Oh, saya kira kau sengaja datang.” kataku sambil tertawa kecil.
“Ibumu dimana? Ini ada titipan dari ibukku.”
“Kelihatannya enak. Boleh saya coba?”
“Ehh.. itu buat arisan.”
“Oh begitu..”
“Aku ga usang ya Din, cuma nganter kudapan manis aja..”
“Ya udah deh..” padahal saya ingin cerita-cerita sama dia. Aku membawa kudapan manis itu ke dalam. Kuletakkan di atas meja kemudian naik ke atas.
Malam harinya, Dicky menelponku. Kami bercerita banyak hal. Sampai lupa kalau sudah hampir jam 9. Dicky mengakhiri ceritanya dan menyuruhku untuk segera tidur.
“Tumben kau perhatian sama aku, Dic. Met malem juga ya. Sampai ketemu di sekolah, bye.”

Tutt..tutt..tutt.
Paginya saya bangkit kesiangan. Ibu bilang Sita sudah berangkat duluan.
“Hari ini saya berangkat sekolah sendiri.” Gumamku. Tapi tidak. Lagi-lagi saya bertemu dengan Dicky.
“Ayo Din, brangkat sama aku, nanti kau terlambat.” Aku naik ke motornya. 15 menit kemudian kami sampai. Untung tidak terlambat.
“Makasi ya Dic.”
“Sama-sama. Kamu masuk aja duluan, saya mau parkir motor dulu.”

Aku segera masuk kelas. Tapi saya tidak melihat Seno. Ivan dan Yuni juga tidak menyapaku. Kelas tidak ramai menyerupai biasanya. Bel masuk pun berbunyi. Mulai terdengar bunyi sepatu Bu Lita. Tidak ada bunyi lain hingga Bu Lita masuk kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Bu Lita.
“Selamat pagi bu.” Kemudian ibu Lita mengabsen kami. Hanya Seno yang tidak hadir.
“Ada apa dengan Seno?” tanya ibu Lita.
“Sakit bu, tadi ibunya tiba ke sini” jawab Ivan.
“Oh, begitu.”

Ada apa denganku? Kenapa saya duka mendengarnya? Tiba – tiba bel berbunyi disertai pengumuman dari kepala sekolah. Guru – guru akan menghadiri rapat. Murid – murid dipulangkan lebih awal. Di tengah kerumunan murid – murid, saya lihat Ivan berjalan ke arahku. Semakin dekat. Ia menarik tasku dari belakang.
“Din, mau ikut saya ke rumah Seno?” bisiknya. Merinding. Aku diam. Kalau kujawab, niscaya ia akan meledekku. Tanpa pikir panjang, Ivan menarik tanganku. Sampai di daerah parkir, ia berhenti.
“Ada apa Van?” tanyaku.
“Adikmu pulang sama siapa?” ia balik bertanya.
“Ah.. iya.. niscaya ia sedang menungguku..” segera saya menuju gerbang sekolah. Tapi di sana sudah sepi. Kutanyai beberapa sobat Sita. Kata mereka Sita dijemput abang lelakinya. “Seno” ucapku dalam hati.

Sampai di rumah, kulihat Sita menungguku sambil menonton tv di ruang tamu. Di meja terdapat banyak camilan.
“Kak, maaf tadi aku…”
“Dengan siapa kau pulang?” saya memotong pembicaraannya. Ia hanya menunduk. Tak bicara sepatah katapun. Air matanya pun mulai menetes. Aku meninggalkannya sendiri. Aku masuk ke dalam kamar dan duduk akrab jendela. Senang sekali hatiku.
Tok! tok! tok!
“Kak, ini aku…”
“Masuk saja, pintunya tidak dikunci.”

Wajahnya masih sedih, matanya sembab. Ia memandangku heran alasannya ialah saya menertawainya.
“Aku senang..” kataku sambil memeluknya erat.
“Kakak tak marah?” tanyanya.
“Untuk apa? Justru saya bahagia kau sanggup akrab dengannya. Dia sudah memenuhi syaratku…”
“Syarat? Maksud kakak?”
Tak kujawab pertanyaannya itu. Aku rasa ia niscaya mengerti. Syarat itu ternyata sanggup Seno penuhi. Aku kagum padanya.
“Satu hal yang harus selalu kau ingat, kau ialah adik yang sangat saya sayangi” itulah tanggapan dari pertanyaan Sita. Aku ingin Seno mengasihi Sita menyerupai aku.

Sore harinya Seno menemuiku. Wajahnya bersinar. Begitu juga denganku.
“Kau hebat!” pujiku. “Bagaimana kau melakukannya?”
“Awalnya Sita tidak mau ikut denganku. Tapi semua berubah sehabis saya bicara sedikit dengannya.”
“Bicara apa?” tanyaku penasaran.
“Hmm.. kemarin kakakmu memberiku bunga mawar.. itu saja. Lalu bagaimana jawabanmu?”
“Tentu saja, dengan bahagia hati.” Jawabku sembari tersenyum. Kenangan manis di senja hari.

Beberapa bulan kemudian...
“Sen, kau sibuk sore ini? Ada yang ingin saya bicarakan.” Kataku ketika berdua dengan Seno di sebuah coffiee shop sepulang sekolah. Ia menghembuskan nafas panjang. “Ada apa..?” tanyaku. Ditarik lagi dan dihembuskan lagi nafasnya.
“Kamu mau kita break atau putus?”
Aku terkejut, tak percaya, tak menyangka ia akan menyampaikan hal itu. Dengan gampang ia sanggup membaca pikiranku. “Aku...” tak sanggup berkata apa-apa lagi. Diam.
“Aku masih mencoba selama ini.” Ia menatapku, memegang tanganku. “Maaf, bukan maksudku menjadikanmu pelarian atau pelampiasanku.” Aku masih diam. Semua telah terkuak sekarang.
“Tapi yang saya rasakan, menyerupai kau telah menginginkanku semenjak awal, semenjak kau masih bersama dia.” Giliran Seno yang membisu sekarang. “Mungkin ada beberapa serpihan yang saling kita salah artikan.”

Ya. Saat ia bilang masih mencoba, tanpa disadari saya pun juga belajar, hingga ketika ini, ketika semua telah terkuak. Saat saya tau cintanya sepenuhnya bukan untukku, dan ia gagal untuk pelajaran ini.
“Aku tidak tau harus berbuat apa sekarang. Yang saya tau, semua yang kulakukan hanya semakin membuatmu terluka.”
“Lebih baik kita akhiri semuanya baik-baik, sekarang.”
“Aku akan pikirkan lagi, boleh saya minta waktu?”
“Kamu mau mengulur waktu?”
“Tolong, beri saya waktu hingga lusa, dan saya janji, semuanya akan baik-baik saja.”
“Kamu berani jamin?”
“Ya!” jawabnya mantap. Ya, Seno, saya percaya, kau tak akan mengecewakanku lagi, dalam hatiku.
“See you the day after tommorow.” Kini saya yakin melangkahkan kaki. Dan saya tak sabar menunggu datangnya lusa.
“Aku pulang...”
“Cie yang habis ngedate sama pacar.”
“Hih. Apaan sih anak kecil ni?!”
“Sudah-sudah. Dinda sini duduk, ada yang mau kita bicarain sama kamu.”
“Cie yang bakal married..”
“Anak kecil diem aja deh!”

Mama membuka pembicaraan dengan diawali pertanyaan serius, kapan kalian menikah? Hmm.. eksklusif menikah atau tunangan dulu? Mama, andai mama tau.
“Lho, ditanya kok malah diem?”
“Kita belum mikirin soal married, Ma, kita masih nyaman pacaran.”
“Ya... mama, papa, serahin ke kalian aja..”
“Iya, Ma, makasi pengertiannya..”
Dan sehabis pertanyaan itu telontar dari bibir mama, ketakutan menghampiriku lagi. Aku ingin datangnya lusa sanggup diundur! Too late, it’s impossible. Ukh!
“Dek, kita tidur aja yuk..?”
“Tumben kak, ada story terbaru?”
“Ya.. nih. Buruan ke atas!”

Adik dan abang jalan barengan ke lantai 2. Aku sudah agak jarang memperhatikan little devil itu, semenjak kenal Seno. Ironisnya, sekarang, ketika kekerabatan kami diambang jurang, saya merasa semakin akrab dengan Sita, ini bukan dengan sengaja.
“Kak, kak Seno telpon tuh..” Sita melihat handphoneku berdering. Ia mengambilnya, tapi dengan cepat bunyi ringtonenya berhenti. “Yah.. kok dimatiin? Niat gak sih?”
“Kenapa dik?”
“Kak Seno tadi telepon, belum diangkat eh.. dimatiin!”
“Ooh, gpp.. ntar abang message dia, ok! Yuk tidur, udah malem..”
“Hmm.. ok..”
Aku masih berharap, lusa datangnya nanti, bukan lusa! Ooh, God.. apa yang harus saya lakukan. Seno.. apa sih yang kau pikirin sekarang? Apa kau berharap yang sama menyerupai aku? Aku harap, ya!
Dinda, thank you so much, you have made my life more colorful. I’m sorry, I can’t give you anything... Happy Birthday, I love you..

Birthday card ini bikin saya inget sama kenangan kita. Lusa mungkin akan ada kenangan baru. Dan bila waktunya nanti, saya lebih menentukan tetap di sini.
“Tolong ya, Mbak, benda ini hingga tepat waktu..” kuserahkan sekotak rainbow cake kesukaan Seno lengkap dengan Aniversary cardnya.
“Wah, Mbak, ucapannya puitis sekali, sangat menyentuh. Semoga langgeng hingga kakek-nenek ya, Mbak..” pegawai antar di toko kudapan manis itu sehabis bicara kemudian tersenyum. “Kalau saya sudah hingga di tujuan, pokok e niscaya saya PING!! Mbak!” sambil tertawa.
“Yoo wis, Mas, makasih ya.” Singkat. Beberapa ketika saja pegawai itu sudah lenyap dari pandanganku. Rumah Seno memang tak jauh dari toko kudapan manis ini. Dan saya harus bergegas pulang. Dan, ada sms masuk, dari pegawai antar itu.

Sip, Mbak. Barangnya sudah sampai, tak ada lecet sedikitpun. Sekarang sudah berpindah tangan. Si doi telah menerimanya. Tugas saya selesai, terima kasih.
“Seno, I always love you,” sebagai sahabat selamanya.
“Baiklah, saya pamit kerja lagi, Mas, jangan lupa dibuka kartunya, so sweet isinya banget.”
“Oke, makasi ya..”
Terima kasih, Seno.. telah mewarnai hari-hariku. Warna cerah, gelap, kau padu-padankan sedemikian rupa.. hingga tak pernah kurasa kontras dalam hidupku. Happy Aniversary, sayang.. Nothing lasts forever, but our love does. One more, I love you..
“Love you too, sayang. Makasi, kau beri saya hadiah yang kau tau, selalu saya minta padaNya.”
Meski kita bukan lagi sepasang kekasih, kita tetap sepasang makhluk Tuhan yang masih menjalin suatu hubungan, persahabatan. Dan terciptalah kenangan itu pada akhirnya..Pagi yang cerah. Sinar mentari yang berkilauan, hangat. Seperti biasa setiap akan berangkat sekolah, saya selalu memanggil adik sepupuku, Sita, yang rumahnya hanya bersebelahan denganku. Kami selalu berangkat bersama. Jam dinding sudah menujukkan pukul 7 pagi, tapi Sita tak kunjung menampakkan diri. Aku pun bergegas menjemputnya. Aku tak mau terlambat olehnya. Tapi begitu saya keluar, seketika ia muncul dari tembok di akrab pohon cemara. Di sana ada jalan rahasia. Sambil cengar – cengir ia menghampiriku. Tapi aneh, salah satu tangannya ada di belakang badannya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku memandangnya penuh penasaran. Perlahan – lahan ia memperlihatkannya kepadaku. Setangkai bunga mawar merah muda yang mekar sempurna. Daun – daun memenuhi tiap lekukan tangkainya. Ada satu daun yang telah dimakan ulat. Bunga itu indah.
“Kak Dinda suka bunga, tidak?” tanya Sita padaku.
“Sejujurnya tidak, tapi kalau seandainya bunga itu untuk aku, saya sanggup berubah pikiran..”
“Awalnya memang untuk kakak, tapi…”
“Tapi apa?” tanyaku.
“Bunga ini untuk kakak, tapi nanti berikan kepada orang yang abang sayang, niscaya ia suka..” katanya sambil tersenyum. Di perjalanan kami hanya membicarakan bunga itu.

Gerbang sekolah mulai tampak. Sudah banyak murid yang masuk ke sana. Ada juga yang masih di belakang kami. Sita menghentikan langkahnya.
“Kak Dinda dilarang lupa ya.” Ia mengingatkanku sambil meletakkan bunga itu di tanganku.
“Aku tak tau siapa yang kusayang..”
“Bunga itu tau kak,” kami berpisah di depan ruang kelasku.
“Bocah itu romantis, hmm..” saya masuk ke dalam. Kelas sudah ramai. Aku berjalan menuju daerah dudukku. Ketika melewati kursi Seno, langkahku terhenti. Kulihat bangkunya kosong. Apa beliau belum datang? Tapi biasanya beliau lebih dulu dariku.
“Hayoo… ngapain termangu di sini?” Ivan menepuk pundakku dari belakang. Bikin terkejut saja. Aku kira itu Seno.
“Ahh.. ga ngapa – ngapain kok Van.”
“Koq wajahmu lesu gitu? Ada persoalan ya? Cerita dong.” pinta Ivan.
“Aku…”
“Dinda lagi galau soalnya Seno ga masuk.” sela Yuni. Nampaknya dari tadi ia mengawasi gerak – gerikku. Gawat.
“Eh.. enggak kok, jangan ngawur Yun..” saya berusaha tertawa untuk menahan grogi. Takutnya nanti mereka curiga.
“Ya Tuhan, tolong aku..” pintaku dalam hati.
“Cie.. cie.. ga usah bohong Din. Kita tahu kok kalau Seno suka sama kau dan kau juga punya perasaan yang sama. Ga usah aib – aib gitu..” mereka berdua menertawaiku. Hampir membuatku salah tingkah. Tapi saya harus tetap tenang. Hingga bel tanda masuk berbunyi. Kelas kembali tenang. Terdengar bunyi sepatu ibu Lita, yang semakin keras, semakin dekat. Ia memasuki ruangan sambil membawa kertas hasil ulangan bahasa Inggris ahad lalu. Ia menyuruh Ivan membagikannya.
“Anak – anak, itu ialah hasil ulangan kalian. Ibu lihat masih ada beberapa anak yang mendapat nilai kurang, nah untuk itu, kalian harus rajin – rajin berguru ya sekarang. Besok ialah ulangan terakhir, ibu mau kalian semua berguru lebih ulet lagi.” kata ibu Lita.

Beberapa dari temanku ada yang nampak kecewa, mungkin nilainya turun. Perasaan cemas dan takut menghampiriku. Aku takut kalau nilaiku juga demikian. Ivan menghampiriku sambil memberiku 2 lembar kertas. 1 atas namaku dan satu lagi atas nama Seno. Ia hanya cengar – cengir.
“Nanti tolong berikan itu kepada Seno, ya Din..” ia cepat – cepat kembali ke bangkunya semoga saya tidak mengembalikan kertas itu. Dasar Ivan.

Tok! Tok! Tok!
“Maaf bu, saya terlambat.” Seisi kelas tiba-tiba senyap. Semua temanku memandangi Seno.
“Ada apa Sen? Kamu terlihat ngos-ngosan” tanya Bu Lita.
“Tadi motor saya mogok bu, kemudian tiba-tiba saya dikejar anjing.”
“Ya sudah, silahkan duduk.”
“Terima kasih bu.”
Aku membiarkannya duduk dulu. Setelah ia sedikit tenang, kuberikan hasil ulangannya.
“Sen, ini hasil ulanganmu.” Ia menerimanya sambil tersenyum kepadaku.
“Makasi ya Din.”
Teman – temanku yang lain senyum – senyum memandangku. Aku tau mereka sedang memikirkan hal yang tidak – tidak antara saya dan Seno. Tapi, ya sudahlah.
Aku lega sehabis melihat hasilnya. Nilai tepat itu kudapat dari kerja kerasku selama satu hari penuh. Seno juga mendapatkan nilai sama denganku. Ia memang arif dalam bahasa Inggris, semua mata pelajaran ia kuasai dengan baik, tak heran banyak yang sering bertanya padanya ketika ulangan. Kadang – kadang ia pelit, kadang – kadang juga tidak. Tak hanya pintar, baik, dan ramah, Seno juga mempunyai wajah yang tampan, hampir semua gadis – gadis di kelas kami menyukainya. Ia mempunyai 2 sahabat yang selalu ikut kemanapun ia pergi. Ivan dan Yuni. Mereka berdua ialah sahabat Seno semenjak kecil. Kaprikornus mereka sangat tahu bagaimana Seno. Termasuk gosip kalau Seno menaruh hati padaku semenjak kami berada dalam satu kelompok belajar.

Saat itu giliran berguru kelompok di rumah Seno. Ivan dan Yuni yang sangat jahil itu sengaja tiba agak terlambat. Seno dan saya menunggu mereka di teras belakang. Seno yang memulai pembicaraan. Ia menanyakan tipe pemuda yang yang saya suka. Gila.
“Aneh sih kedengarannya, tapi kau harus menjawabnya. Ini penting.”
“Aku belum berminat pacaran..”
“Tapi nanti kau kan niscaya pacaran”
“Ia… tapi kau ini kenapa menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.
“Bisakah kau suka padaku?” sungguh pertanyaan di luar dugaanku. Bagaimana sanggup Seno menyukaiku. Ia benar-benar aneh.
“Kalau sanggup kenapa? Kalau tidak kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya. Kalau itu sanggup kulakukan, akan kulakukan demi kau..”
“Berhentilah bercanda Seno…” semenjak ketika itu Seno bukannya menjauhiku malah semakin mendekatiku. Bahkan sudah berani terang-terangan. Ampun. Setiap hari teman-temanku selalu menggodaku. Tak terkecuali Ivan dan Yuni. Mereka semua begitu kompak mengagung-agungkan Seno di depanku. Aku disekak mat. Entah bagaimana Seno meracuni pikiran teman-temanku. Isu kalau ia menyukaiku semakin hari semakin nyata.

Besok ialah ulangan bahasa Inggris. Ini ialah ulangan terakhir sebelum ulangan umum. Ibu Lita menyuruh kami untuk berguru lebih ulet lagi. Sore harinya Seno tiba ke rumahku. Saat itu ibu sedang merapikan kebun di teras depan.
“Din, ada temanmu datang..” ibu memanggilku.
“Mengapa Taro tidak menggong-gong?” pikirku. Saat saya keluar, kulihat Seno sedang bermain-main dengan Taro.
“Nah, itu majikanmu datang, ayo cepat cari dia..” kata Seno sambil mengelus-elus bahu Taro. Tapi anehnya Taro tidak mendekatiku, malah semakin lengket dengan Seno.
“Din, ajak temanmu ke dalam..” pinta ibu.
“Ya udah, masuk ajan Sen..”
“Dengan bahagia hati cantik..”
“Namaku Dinda.”
“Iya dehh.. ngomong-ngomong ibumu baik juga ya, ramah lagi.. tapi kau kok ga kayak ibumu?”
“Aku ramah kok, kau sih belum kenal aku..”
“Naah.. maka dari itu kita perlu PDKT..” ya ampun, saya terjebak.
“Hmm.. diem itu artinya mau..” sambungnya.
“Eh.. kata siapa?! Aku ga mau, titik..!”
“Aku tau dalam hatimu, kau mau, cuma kau aib ngakunya.. hayoo” desak Seno.

Aku semakin terpojok. Aku ingin mengeluarkan unek-unekku di hadapannya. Tanpa sengaja saya keceplosan.
“Kalo iya kenapa?!” uups keceplosan!
“Akhirnya ngaku juga.. seneng lho saya dengernya..”
“Trus maumu apa?”
“Aku cuma pingin kau juga suka sama kau, gitu lho Din..”
“Aku kan udah mau PDKT ma kamu. Apa itu belum cukup?”
“Cukup, tapi…”
“Okelah.. saya kasi kau syarat aja..”
“Aku akan berusaha memenuhinya.”
“Oke. Kamu harus jemput adikku, Sita, lusa. Bagaimana?”
“Cuma gitu aja? Okelah..”
“Ya, kalau kau berhasil, saya akan mempertimbangkannya dan sebaliknya.”
“Ngobrolin apa sih? Seru sekali kelihatannya.” Ibu tiba sambil membawa minuman dan camilan. Tak terasa dari tadi saya dan Seno memperbincangkan gosip itu. Akhirnya saya membuka hatiku untuk dia. Lega sekali. Tapi apa beliau sanggup memenuhi syaratku, Sita bukan orang yang gampang didekati. Aku jadi cemas.
“Kenapa Din, kok bengong? Mikirin saya ya?”
“Iya nih, membayangkan besok..” saya mulai jujur.
“Aduh.. saya jadi GR deh…”
“Dasar..! ini udah malem Sen.. berani pulang sendiri?” ledekku.
“Ya udah saya pulang aja ya, inget berguru buat besok.” Katanya sambil tersenyum.
“Iya.. iya..”
“Aku pamit pulang sama ibumu, titip salam ya..”
“Oke.. saya anter hingga depan aja..”

Ke esokkan harinya, menyerupai biasa saya berangkat dengan Sita. Di perjalanan saya menuruhnya untuk menungguku pulang sekolah besok.
“Jangan pergi kemana-mana atau pulang dengan orang lain selain abang ya..” pintaku.
“Kenapa abang membicarakannya sekarang?”
“Untuk mengantisipasi kalau besok abang lupa..”
“Oke dehh..” Sita yang anaknya polos, tentu saja menuruti kata-kataku. Sampai di depan ruang kelasku, kami berpisah. Aku bergegas masuk kelas. Kulihat Seno, Ivan, dan Yuni sedang berbincang-bincang. Dan membisu ketika saya sudah akrab dengan mereka. Lagi-lagi saya harus digoda.
“Hmm.. ada yang lagi PDKT nih critanya..” kata Ivan. Teman-temanku yang lain terang melirik ke arahku dan Seno.
“Kalau iya, kenapa?! Bukankah itu yang kalian mau?” saya mulai marah.
“Aduh kayaknya ada yang lagi murka nih..” kata Yuni.
“Eh.. udah dong ngeledeknya..” pinta Seno. Seketika teman-temanku yang lain kembali ke daerah duduknya masing-masing.

Bel pun berbunyi. Ibu Lita pun masuk ke dalam kelas dan segera membagikan soal-soal ulangan.
“Ibu minta kalian jujur. Waktu kalian 45 menit.”
“Baik bu…” kata kami serempak.
Kami mulai mengerjakan soal demi soal. Tak ada yang berani menyontek. Terbukti alasannya ialah Seno duduk manis di bangkunya. Biasanya kepalanya sibuk bergerak alasannya ialah banyak yang bertanya kepadanya. Dan tak terasa 45 menit telah usai. Ivan bangkit dari bangkunya untuk mengambil lembar jawaban.
“Ibu bahagia tidak ada dari kalian yang menyontek. Semoga nilai ulangan kalian cukup memuaskan. Besok ibu bagikan hasilnya.” Kata Ibu Lita.

Bel istirahat pun berbunyi. Semuanya berhamburan keluar. Tapi saya tetap di dalam. Cemas menanti hasil ulangan tadi.
“Bagus tidak ya?” pikirku. Aku tetapkan untuk menemui Sita semoga cemasku hilang. Ketika hampir hingga di depan ruang kelasnya, saya dikejutkan oleh Dicky. Mantan pacarku waktu kelas 2 dulu.
“Hai Din.. tumben ketemu kau lagi..” sapanya. Ia masih ramah menyerupai dulu.
“Hai Dic.. apa kabar? Kok tidak pernah main-main ke rumahku lagi?”
“Baik-baik aja, kamu? Aku sudah mulai sibuk Din bantu kakakku di bengkel.”
“Baik juga.. Oh iya ya.. kini bengkelmu sering ramai.”
“Iya Din.. Oh ya, kau mau kemana? Tumben lewat sini.”
“Kebetulan lewat aja kok.” Bel masuk pun kembali berbunyi.
“Padahal saya masih ingin ngobrol lebih usang lagi denganmu.”
“Makannya main dong ke rumahku. Ya udah saya masuk kelas dulu ya, bye Dicky.”

Kelasku sudah ramai, maklum jam pelajaran terakhir. Ketika akan menuju bangku, Yuni mencegatku. Wajahnya serius sekali.
“Kamu masih bekerjasama sama Dicky?”
“Masih, beliau kan temanku.” Lalu saya meninggalkannya.
Aku bertemu lagi dengan Dicky ketika pulang sekolah. Ia menawariku pulang berdua. Aku mengiyakannya alasannya ialah Sita sudah pulang duluan.
“Makasi ya. Tidak mampir dulu Dic? Sekalian makan siang.”
“Ga usah Din, saya pulang dulu ya.”
“Oke..hati-hati ya.”

Sore harinya, saya duduk di teras depan sambil bermain-main dengan Taro. Tiba-tiba muncul Dicky. Taro menghampirinya dan sama menyerupai ketika bersama Seno. Ia bermanja-manja dengan Dicky. Anjing yang aneh.
“Aku kebetulan lewat, jadi sekalian mampir.”
“Oh, saya kira kau sengaja datang.” kataku sambil tertawa kecil.
“Ibumu dimana? Ini ada titipan dari ibukku.”
“Kelihatannya enak. Boleh saya coba?”
“Ehh.. itu buat arisan.”
“Oh begitu..”
“Aku ga usang ya Din, cuma nganter kudapan manis aja..”
“Ya udah deh..” padahal saya ingin cerita-cerita sama dia. Aku membawa kudapan manis itu ke dalam. Kuletakkan di atas meja kemudian naik ke atas.
Malam harinya, Dicky menelponku. Kami bercerita banyak hal. Sampai lupa kalau sudah hampir jam 9. Dicky mengakhiri ceritanya dan menyuruhku untuk segera tidur.
“Tumben kau perhatian sama aku, Dic. Met malem juga ya. Sampai ketemu di sekolah, bye.”

Tutt..tutt..tutt.
Paginya saya bangkit kesiangan. Ibu bilang Sita sudah berangkat duluan.
“Hari ini saya berangkat sekolah sendiri.” Gumamku. Tapi tidak. Lagi-lagi saya bertemu dengan Dicky.
“Ayo Din, brangkat sama aku, nanti kau terlambat.” Aku naik ke motornya. 15 menit kemudian kami sampai. Untung tidak terlambat.
“Makasi ya Dic.”
“Sama-sama. Kamu masuk aja duluan, saya mau parkir motor dulu.”

Aku segera masuk kelas. Tapi saya tidak melihat Seno. Ivan dan Yuni juga tidak menyapaku. Kelas tidak ramai menyerupai biasanya. Bel masuk pun berbunyi. Mulai terdengar bunyi sepatu Bu Lita. Tidak ada bunyi lain hingga Bu Lita masuk kelas.
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Bu Lita.
“Selamat pagi bu.” Kemudian ibu Lita mengabsen kami. Hanya Seno yang tidak hadir.
“Ada apa dengan Seno?” tanya ibu Lita.
“Sakit bu, tadi ibunya tiba ke sini” jawab Ivan.
“Oh, begitu.”

Ada apa denganku? Kenapa saya duka mendengarnya? Tiba – tiba bel berbunyi disertai pengumuman dari kepala sekolah. Guru – guru akan menghadiri rapat. Murid – murid dipulangkan lebih awal. Di tengah kerumunan murid – murid, saya lihat Ivan berjalan ke arahku. Semakin dekat. Ia menarik tasku dari belakang.
“Din, mau ikut saya ke rumah Seno?” bisiknya. Merinding. Aku diam. Kalau kujawab, niscaya ia akan meledekku. Tanpa pikir panjang, Ivan menarik tanganku. Sampai di daerah parkir, ia berhenti.
“Ada apa Van?” tanyaku.
“Adikmu pulang sama siapa?” ia balik bertanya.
“Ah.. iya.. niscaya ia sedang menungguku..” segera saya menuju gerbang sekolah. Tapi di sana sudah sepi. Kutanyai beberapa sobat Sita. Kata mereka Sita dijemput abang lelakinya. “Seno” ucapku dalam hati.

Sampai di rumah, kulihat Sita menungguku sambil menonton tv di ruang tamu. Di meja terdapat banyak camilan.
“Kak, maaf tadi aku…”
“Dengan siapa kau pulang?” saya memotong pembicaraannya. Ia hanya menunduk. Tak bicara sepatah katapun. Air matanya pun mulai menetes. Aku meninggalkannya sendiri. Aku masuk ke dalam kamar dan duduk akrab jendela. Senang sekali hatiku.
Tok! tok! tok!
“Kak, ini aku…”
“Masuk saja, pintunya tidak dikunci.”

Wajahnya masih sedih, matanya sembab. Ia memandangku heran alasannya ialah saya menertawainya.
“Aku senang..” kataku sambil memeluknya erat.
“Kakak tak marah?” tanyanya.
“Untuk apa? Justru saya bahagia kau sanggup akrab dengannya. Dia sudah memenuhi syaratku…”
“Syarat? Maksud kakak?”
Tak kujawab pertanyaannya itu. Aku rasa ia niscaya mengerti. Syarat itu ternyata sanggup Seno penuhi. Aku kagum padanya.
“Satu hal yang harus selalu kau ingat, kau ialah adik yang sangat saya sayangi” itulah tanggapan dari pertanyaan Sita. Aku ingin Seno mengasihi Sita menyerupai aku.

Sore harinya Seno menemuiku. Wajahnya bersinar. Begitu juga denganku.
“Kau hebat!” pujiku. “Bagaimana kau melakukannya?”
“Awalnya Sita tidak mau ikut denganku. Tapi semua berubah sehabis saya bicara sedikit dengannya.”
“Bicara apa?” tanyaku penasaran.
“Hmm.. kemarin kakakmu memberiku bunga mawar.. itu saja. Lalu bagaimana jawabanmu?”
“Tentu saja, dengan bahagia hati.” Jawabku sembari tersenyum. Kenangan manis di senja hari.

Beberapa bulan kemudian...
“Sen, kau sibuk sore ini? Ada yang ingin saya bicarakan.” Kataku ketika berdua dengan Seno di sebuah coffiee shop sepulang sekolah. Ia menghembuskan nafas panjang. “Ada apa..?” tanyaku. Ditarik lagi dan dihembuskan lagi nafasnya.
“Kamu mau kita break atau putus?”
Aku terkejut, tak percaya, tak menyangka ia akan menyampaikan hal itu. Dengan gampang ia sanggup membaca pikiranku. “Aku...” tak sanggup berkata apa-apa lagi. Diam.
“Aku masih mencoba selama ini.” Ia menatapku, memegang tanganku. “Maaf, bukan maksudku menjadikanmu pelarian atau pelampiasanku.” Aku masih diam. Semua telah terkuak sekarang.
“Tapi yang saya rasakan, menyerupai kau telah menginginkanku semenjak awal, semenjak kau masih bersama dia.” Giliran Seno yang membisu sekarang. “Mungkin ada beberapa serpihan yang saling kita salah artikan.”

Ya. Saat ia bilang masih mencoba, tanpa disadari saya pun juga belajar, hingga ketika ini, ketika semua telah terkuak. Saat saya tau cintanya sepenuhnya bukan untukku, dan ia gagal untuk pelajaran ini.
“Aku tidak tau harus berbuat apa sekarang. Yang saya tau, semua yang kulakukan hanya semakin membuatmu terluka.”
“Lebih baik kita akhiri semuanya baik-baik, sekarang.”
“Aku akan pikirkan lagi, boleh saya minta waktu?”
“Kamu mau mengulur waktu?”
“Tolong, beri saya waktu hingga lusa, dan saya janji, semuanya akan baik-baik saja.”
“Kamu berani jamin?”
“Ya!” jawabnya mantap. Ya, Seno, saya percaya, kau tak akan mengecewakanku lagi, dalam hatiku.
“See you the day after tommorow.” Kini saya yakin melangkahkan kaki. Dan saya tak sabar menunggu datangnya lusa.
“Aku pulang...”
“Cie yang habis ngedate sama pacar.”
“Hih. Apaan sih anak kecil ni?!”
“Sudah-sudah. Dinda sini duduk, ada yang mau kita bicarain sama kamu.”
“Cie yang bakal married..”
“Anak kecil diem aja deh!”

Mama membuka pembicaraan dengan diawali pertanyaan serius, kapan kalian menikah? Hmm.. eksklusif menikah atau tunangan dulu? Mama, andai mama tau.
“Lho, ditanya kok malah diem?”
“Kita belum mikirin soal married, Ma, kita masih nyaman pacaran.”
“Ya... mama, papa, serahin ke kalian aja..”
“Iya, Ma, makasi pengertiannya..”
Dan sehabis pertanyaan itu telontar dari bibir mama, ketakutan menghampiriku lagi. Aku ingin datangnya lusa sanggup diundur! Too late, it’s impossible. Ukh!
“Dek, kita tidur aja yuk..?”
“Tumben kak, ada story terbaru?”
“Ya.. nih. Buruan ke atas!”

Adik dan abang jalan barengan ke lantai 2. Aku sudah agak jarang memperhatikan little devil itu, semenjak kenal Seno. Ironisnya, sekarang, ketika kekerabatan kami diambang jurang, saya merasa semakin akrab dengan Sita, ini bukan dengan sengaja.
“Kak, kak Seno telpon tuh..” Sita melihat handphoneku berdering. Ia mengambilnya, tapi dengan cepat bunyi ringtonenya berhenti. “Yah.. kok dimatiin? Niat gak sih?”
“Kenapa dik?”
“Kak Seno tadi telepon, belum diangkat eh.. dimatiin!”
“Ooh, gpp.. ntar abang message dia, ok! Yuk tidur, udah malem..”
“Hmm.. ok..”
Aku masih berharap, lusa datangnya nanti, bukan lusa! Ooh, God.. apa yang harus saya lakukan. Seno.. apa sih yang kau pikirin sekarang? Apa kau berharap yang sama menyerupai aku? Aku harap, ya!
Dinda, thank you so much, you have made my life more colorful. I’m sorry, I can’t give you anything... Happy Birthday, I love you..

Birthday card ini bikin saya inget sama kenangan kita. Lusa mungkin akan ada kenangan baru. Dan bila waktunya nanti, saya lebih menentukan tetap di sini.
“Tolong ya, Mbak, benda ini hingga tepat waktu..” kuserahkan sekotak rainbow cake kesukaan Seno lengkap dengan Aniversary cardnya.
“Wah, Mbak, ucapannya puitis sekali, sangat menyentuh. Semoga langgeng hingga kakek-nenek ya, Mbak..” pegawai antar di toko kudapan manis itu sehabis bicara kemudian tersenyum. “Kalau saya sudah hingga di tujuan, pokok e niscaya saya PING!! Mbak!” sambil tertawa.
“Yoo wis, Mas, makasih ya.” Singkat. Beberapa ketika saja pegawai itu sudah lenyap dari pandanganku. Rumah Seno memang tak jauh dari toko kudapan manis ini. Dan saya harus bergegas pulang. Dan, ada sms masuk, dari pegawai antar itu.

Sip, Mbak. Barangnya sudah sampai, tak ada lecet sedikitpun. Sekarang sudah berpindah tangan. Si doi telah menerimanya. Tugas saya selesai, terima kasih.
“Seno, I always love you,” sebagai sahabat selamanya.
“Baiklah, saya pamit kerja lagi, Mas, jangan lupa dibuka kartunya, so sweet isinya banget.”
“Oke, makasi ya..”
Terima kasih, Seno.. telah mewarnai hari-hariku. Warna cerah, gelap, kau padu-padankan sedemikian rupa.. hingga tak pernah kurasa kontras dalam hidupku. Happy Aniversary, sayang.. Nothing lasts forever, but our love does. One more, I love you..
“Love you too, sayang. Makasi, kau beri saya hadiah yang kau tau, selalu saya minta padaNya.”
Meski kita bukan lagi sepasang kekasih, kita tetap sepasang makhluk Tuhan yang masih menjalin suatu hubungan, persahabatan. Dan terciptalah kenangan itu pada akhirnya..

PROFIL PENULIS
Hi, panggil aja Tuna. Senang berekspresi di atas kertas dan buku gambar.. :)
Add me on facebook : Triyana Aidayanthi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel