Jembatan Layang Para Lentere - Cerpen Motivasi
Senin, 03 November 2014
JEMBATAN LAYANG PARA LENTERE
Karya Sarah Safira
Hari masih pagi, kumandang adzan telah bergema beberapa jam yang lalu. Suara orang yang berlalu lalang seakan menepis kenyataan bahwa kota ini ialah kota mati. Begitu ungkapannya.
“hei bagaimana ini ?” teriak seseorang dari dalam rumahnya
“sudah, sudah brapa kali saya mengatakannya ?” teriak orang yang berbeda dari sisi yang berbeda
Bersahut-sahut membalas angin yang begitu dingin. Bertumpang tindih dalam gubuk reyot yang sudah tak bernyawa. Menyapa dalam kepedihan yang terpendam, berharap esok sanggup mencicipi kesenangan yang tak bisa di beli.
“ndi, mau mangkal di mana kita hari ini ?” tanya ijal yang sedang sibuk membereskan barang dagangannya.
“tak tahu lah jal” jawab andi lesu sambil kembali membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Banyak hal yang sedang berputar di kepalanya, keluarga, sahabat, impiannya. Akan di bawa kemana semua itu ?
“aku dengar di timur ada tempat yang mau di bangun, mungkin kalau kesana dagangan kita banyak yang laku” sambung ijal bersemangat.
“hei bagaimana ini ?” teriak seseorang dari dalam rumahnya
“sudah, sudah brapa kali saya mengatakannya ?” teriak orang yang berbeda dari sisi yang berbeda
Bersahut-sahut membalas angin yang begitu dingin. Bertumpang tindih dalam gubuk reyot yang sudah tak bernyawa. Menyapa dalam kepedihan yang terpendam, berharap esok sanggup mencicipi kesenangan yang tak bisa di beli.
“ndi, mau mangkal di mana kita hari ini ?” tanya ijal yang sedang sibuk membereskan barang dagangannya.
“tak tahu lah jal” jawab andi lesu sambil kembali membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Banyak hal yang sedang berputar di kepalanya, keluarga, sahabat, impiannya. Akan di bawa kemana semua itu ?
“aku dengar di timur ada tempat yang mau di bangun, mungkin kalau kesana dagangan kita banyak yang laku” sambung ijal bersemangat.
Jembatan Layang Para Lentere |
Dengan malas karenanya andi berdiri dan ikut membereskan barang dagangan yang akan dibawanya ke tempat yang gres saja di katakan ijal, ke timur.
Di perjalanan andi tak banyak bicara, tak mirip biasanya kali ini ia membiarkan ijal berbicara, mencibir, bahkan berteriak sepuas-puasnya. Tak ada yang harus di pendam, memang sudah begini adanya, kenyataan menunjukkan banyak kepahitan bagi mereka. Takdir sedang menunjukkan mereka kecupan kepedihan dan kesengsaraan.
Menjadi penjual asongan di jalanan dengan penghasilan yang tak seberapa, tinggal di tempat yang sudah di anggap mirip kota mati, meninggalkan masa kanak-kanak yag tampak begitu indah bagi mereka. Semuanya mirip bayangan yang hanya akan terus berputar di kepalanya.
“andai saja kita terlahir di keluarga kaya kita tak harus mirip ini, saya bisa membeli banyak mainan robot-robotan yang mirip terpajang di toko-toko besar itu dan kau niscaya bisa bersekolah di gedung yang besar dan bertingkat itu. Dan tentu saja kita bisa meraih semua harapan kita” Ungkap ijal dengan mata yag menyala-nyala.
Andi hanya tersenyum dalam membisu mendengar kata sahabat seperjuangannya itu.. membayangkan kalau memang begitu adanya. Tapi sekali lagi, itu hanya khayalan mereka yang tak sanggup mereka beli.
“sudah lah jal, jangan ngawur.. kita ini penjual asongan nggak mungkin bisa yang begituan” katanya singkat sambil tertawa kecil.
“lahh, bukannya itu kata-katamu ndi ? kan kau sendiri yang bilang kita bisa meraih semua itu asalkan kita mau berusaha, iya kan ?”
“haha iyaa, itu benar. Tapi kan kalau takdirnya tidak mendukung yaa sama saja” terang andi santai. Walau begitu, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia memang mempercayai kata-kata itu. Tapi ia menepis semua itu dari fikirannya. Impiannya yang tersembunyi dalam sebungkus kekhawatiran.
Tak terasa pembicaraan ringan yang menyita fikiran itu menciptakan mereka tak sadar kalau mereka telah hingga di tempat yang di katakan ijal tadi.
“ya sudah, kita sudah sampai, saya akan berjualan di sekitar pertokoan itu” terang ijal sambil menunjuk ke arah pertokoan yang berjejer rapi ke dalam blok-blok yang memanjang ke dalam.
“aku akan berjualan di sini saja” jawab andi singkat
Akhirnya mereka berpisah dan memutuskan untuk bertemu di bawah lampu merah dikala matahari hendak terbenam.
Andi berjalan menyusuri trotoar sambil meneriakkan dagangannya.
“minuman pak, buk ?” teriak andi
“korannya juga pak? Buk?” teriaknya lagi.
Tak ada yang menyahut hanya kebisingan yang terus terdengar di telinganya. Tak merasa di abaikan, ia kembali menjajakan dagangannya, meneriakkannya ke setiap orang-orang yang sedang menunggu bus mereka, kepada orang yang sedang berlalu-lalang bahkan ke setiap orang yang berhenti menunggu lampu merah.
Matanya menyapu kesetiap orang yang mungkin-mungkin mengharapkannya. Tanpa sengaja ia menangkap bayangan sesosok gadis yang sedang di marahi oleh seorang pria yang bertampang seram.
“sudah berapa kali di bilangin kenapa masi ngga ngerti ha ?” tanya pria itu marah-marah.
Gadis itu hanya menunduk takut sambil menangis.
“sudah, tak usah nangis, kau fikir dengan menangis bisa makan ha ? sudah kembali bekerja sana, awas kalau kau salah lagi !” hardik pria itu lagi kemudian pergi meninggalkan gadis tersebut.
“dik, minumannya berapa satu ?” tanya seseorang membuyarkan pandangan andi
“hah? Owh tiga ribu rupiah saja mas” jawab andi setengah terkejut
“ini, kembaliannya buat kau saja” ujar pria tersebut kemudian buru-buru pergi
“makasi mas” katanya kemudian kembali melihat ke arah gadis tadi, namun ia tak menemukan bayangannya. Gadis itu tak lagi berada di sana.
Tiba-tiba banyak bawah umur yang sedari tadi sedang asik menjajakan dagangannya berlari ke arahnya dengan muka panik.
“ada polisi, ada polisi !!!!” teriak seseorang di antara mereka. Tanpa berfikir panjang andi pun ikut berlari bersama mereka. Tampak di belakangnya beberapa anak yang tertangkap, dalam hati ia berharap semoga saja ijal daaan gadis kecil itu tak tertangkap. Ia merasa ada sesuatu dari gadis kecil itu yang membuatnya penasaran. Dan ia harus mencari tau apa itu.
“berhenti kalian, berhenti !!” teriak salah satu polisi di belakang mereka.
Tanpa memperdulikan teriakan polisi itu Andi dan anak lainnya pun terus berlari menghindar dari kejaran mereka. Sambil berlari andi melihat ke sekelilingnya berharap dua orang itu tak ikut terjaring bersama bawah umur yang sudah tertangkap. “semoga saja” ungkapnya dalam hati.
Setelah jauh berlari, dan merasa kondusif andi karenanya memutuskan untuk beristirahat sebentar. Mengatur nafasnya yang masi terengah-engah dan duduk sebentar di pinggir jalan yang sepi.
“hmm untung kita ngga ketangkap sama kaya yang lainnya” ujar seseorang yang kemudian duduk di dekatnya. Andi menoleh, gadis itu.
“seharusnya kau ngelurusin kakimu semoga ngga nyeri” ungkapnya lagi.
“aku tau, kalau kakiku ngga di lurusin nanti lama-lama bisa kena penyakit parises” andi menyahut sambil tersenyum. Lalu meluruskan kakinya yang terasa sedikit nyeri.
Gadis itu membalas senyumnya.
“kamu pinter, sayang kau harus terjebak di sini” ungkap gadis itu sambil menatap lurus ke depan.. andi penasaran, apa yang selalu di lihat gadis itu dengan matanya. Ia juga ingin tau dengan ap yang di katakan gadis itu “sayang kau terjebak di sini”....
“kamu bisa pinter kalau kau sering membaca”
“iyaa, saya sering melihatmu membaca koran-koran lusuh itu waktu kau istirahat di akrab halte bus, sayang saya ngga bisa nyapa kau waktu itu.” Kata gadis itu datar masi dengan senyuman, namun pandangannya tak lagi ke depan iya menatap lurus ke arah koran yang di selipkan andi di antara dagangannya.
“bahkan kau membawa koran itu kemana-mana” sambungnya sembari tersenyum.
Andi terkejut mengetahui gadis itu memperhatikan bawaannya. Ia bahkan sudah lupa dengan koran yang ia selipkan kemarin di antara dagangannya karna tak sempat ia baca. Itu kebiasaanya, membiarkan kakinya beristirahat sembari membaca beberapa patah kata yang mungkin bisa menambah ilmunya. Dan kalau ia tidak sempat membacanya ia akan menyelipkan koran tersebut di antara dagangannya. Dan membacanya keesokan harinya. Ia tak menyangka ada orang yang memperhatikan apa yang di lakukannya setiap hari.
“aku liat kau mehartiin saya tadi” sela gadis itu.
“owh, tadi siang. Aku memang liat kau di marahin sama pria itu, memangnya ia siapa ? ayah kau ya ?” tanya andi merasa aib karna tertangkap tangan melihat sesuatu yang tak seharusnya menarik perhatiannya.
“bukan, ia bukan ayahku. Aku bekerja untuknya, setiap hari saya harus menunjukkan hasil kerja ku kepadanya” terang gadis itu.
“dia bukan orang jahat, hanya perilakunya saja yang jahat. Suka membentak. Tapi ia sudah cukup baik karna membesarkanku selama ini” jelasnya lagi sambil tersenyum.
“jadi kenapa kau nangis ?” tanya andi penasaran
“aku ngga nangis, saya cuma ngga mau buat ia kasian karna melihat wajahku, ia sering menangis karna ngga bisa menunjukkan apa yang saya inginkan” ujar gadis itu kemudian tersenyum ke arah andi.
“kamu punya nasib yang baik” sambungnya
“kenapa kau berkata mirip itu ?” tanya andi penasaran
“kamu masi punya tempat tinggal, kau masi punya keluarga, sahabat, bahkan kau masi bisa bermimpi” ia tersenyum
“memang kau ngga punya ? kau juga bisa bermimpi” ujar andi hati-hati
“aku ngga punya siapa-siapa, orangtuaku meninggal dikala saya kecil karna itu saya tinggal bersama lelaki itu. Aku hanya bisa memimpikan hal yang kecil, ngga kaya kamu. Umurku cuma tinggal sebentar.”
Andi hanya melongo mendengarnya.
“kamu percaya mimpi kan ? mimpi itu sesuatu yang sederhana tapi kuat, ia hanya merupakan hal yang tidak mempunyai kegunaan kalau kita hanya berani memimpikannya saja dan tidak berani untuk mewujudkannya. Dan ia akan menjadi hal yang paling mempunyai kegunaan kalau kita berani memimpikannya dan mewujudkannya.. hhmm itu kata-kata yang jago bukan ?” ujar gadis itu girang sembari tersenyum
Andi tak menyangka gadis itu bisa mengeluarkan kata-kata mirip itu, kata-kata yang tak berani ia dengar bahkan ia katakan.
“kamu ngga usah khawatir perihal takdir, takdir itu menunjukkan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan, takdir punya jalan sendiri. Walau kadang kita merasa itu terlalu kejam dan menyakitkan, tapi itu semua hanya untuk menciptakan kita semakin berpengaruh dan tegar dengan apa yang akan kita hadapi nanti” kali ini gadis itu tidak tersenyum, lisan mukanya datar dengan pandangan yang membeku.
“kamu dengar dari mana semua itu ?” tanya andi tak menyangka, namun gadis itu hanya tersenyum.
“aku dengar seseorang menyampaikan itu semua dikala ia tertidur.. saya harus pergi, ini hampir gelap. kau harus ingat, mimpimu, mimpiku, mimpi kita semua ini menyerupai lentera bagi dunia, dan keyakinan menjembatani kita mencapai semua itu” gadis itu menyadarkan andi yang masih tak menyangka dengan apa yang di dengarnya. Ia tersenyum kemudian pergi, berjalan perlahan ke arah pertokoan yang padat.
Setelah lama, andi masih terpaku. Ia masih tak menyangka dengan apa yang di dengarnya. Gadis itu menyampaikan sesuatu perihal keberanian untuk bermimpi yang selalu ia takuti. Entah mengapa ia merasa benar dengan apa yang di katakan gadis tersebut. “takdir menunjukkan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan”.
Ia merasa bersalah karna membiarkan mimpinya terbungkus dalam kekhawatiran, dan membiarkan keyakinannya tertimbun dalam berjuta alasan yang ia takutkan.
“ndi” panggil ijal yang mengagetkan andi
“iyaa” ujar andi asal, fikirannya masih melayang dengan kata-kata dari gadis itu. “Aku hanya bisa memimpikan hal yang kecil, ngga kaya kamu”
“kemana aja? Aku cariin, eh malah enak-enakan duduk di sini. Pulang yuk” ujar ijal dengan bunyi lelah.
“kamu percaya mimpi jal ?” tanya andi tak menghiraukan seruan ijal
“hhmm percaya sih percaya, tapi yahh kalau mimpi mending ngga usah tinggi-tinggi ntar kalau jatuh sakit ndi” ijal menjawab asal.
“mulai kini kita harus mulai percaya sama mimpi jal, walaupun kalau jatuh niscaya sakit” entah apa yang membuatnya berkata mirip itu, kata-kata yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang diyakininya tadi pagi. Entah gadis itu yang telah mengubah apa yang diyakininya, tentu saja, niscaya gadis itu..
Gadis itu yang telah menjembataninya, menyampaikan sesuatu yang membuatnya memili keyakinan gres perihal mimpi. Tentang bagaimana ia harus tidak merasa khawatir lagi. Dalam hati, dengan senyum, di kediamannya, bertemankan sinar seluet indah dari matahari senja ia mengucapkan terimakasi kepada gadis kecil itu.
PROFIL PENULIS
Nama : Sarah Safira
TTL : Blang Pulo, 11 Desember 1997
Alamat : Aceh
Sekolah : SMAN 1 Bireuen
Alamat facebook : https://www.facebook.com/safira.sarah.5