Wiro Sableng: Episode Pahlawan Terkutuk Pemetik Bunga 9

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 9
Sebelumnya...
Dua puluh tahun yang silam. Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana- mana. Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari kerikil yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berakal sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan alasannya yaitu di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah bahwasanya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu yaitu sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang Biarawati berjulukan Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda beliau merupakan seorang gadis elok yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak aristokrat kaya raya sedangkan Wilarani sendiri yaitu anak petani miskin. Keputus-asaan alasannya yaitu patah hati itu membawa jawaban yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan kesengsaraan bathin tak sanggup lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar daerah kediamannya dan dari jauh-jauh tiba melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta mumi itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputus-asaan alasannya yaitu patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang ketika itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan- olok-olokan bahwa beliau kini sudah menjadi “perawan tua”, balasannya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman daerah kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun beliau malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang camping dan badan kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang hingga ketika itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan badan Wllarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak usang kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu! Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibimya dengan ujung pengecap dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kamu seorang perempuan jelita! Ahh... kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling elok disini!”
Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.
“He... he... kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! pria berpengaruh yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha... ha... ha...!”
Kemudian peluk dan ciumanpun tiba bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi daerah tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi daerah tidur dan tertawa cengar cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar saya bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan saya dad sini!”
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia berdiri dari daerah tidur.
“Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa saya yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang menempel ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula bunyi jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi dengan bunyi beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana beliau berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok badan menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek bau tanah berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis bau tanah dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” hardik si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
“Iblis bau tanah dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kamu punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tengan kanannya! Kepala rampok terkejut sekatil Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu yaitu satu senjata ampuh yang dapaot melepaskan angin pukulan laksana angin ribut hebatnya!
Sambil membentak kasar pria itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagl, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi yaitu jurus “Ekor Naga Menabas Gunung!” Selama ini tak satupun insan yang selamat dad serangaonya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan gampang dan sambil tertawa meleng- king-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar jeritan pria itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali kemudian menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kamu lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar bunyi puluhan kaki tiba berlari mendekati kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kamu siapakah? A... aaaku....”
“Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar badan Wilarani, memondangnya dibahu kiri kemudian lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu beliau hingga di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan banyak sekali senjata di tangan!
“Ini beliau kunyuk bau tanah berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing bau tanah ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan bunyi tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan- kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing- masing ke arah si nenek yang hingga ketika itu masih memondong badan Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri ketika itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah bunyi pekik kematian belasan rampokl Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya insan tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya! Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah bangku goyang, duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani berdiri dari pembaringan di mana beliau ditidurkan. Sewaktu beliau meneliti dirinya ternyata beliau telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di bangku itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek...”
“Akh... kamu sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan bau tanah ini tahu dirinya. Sedangkan beliau sendiri gres kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila saya mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada pecahan atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di bangku goyang, kemudian berdiri dan melangkah kehadapan si nenek. Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski saya tidak kenal kamu tapi kamu telah selamatkan saya dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya...”
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak memperlihatkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani berdasarkan dan duduk di tepi daerah tidur. Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. “Nenek, apakah saya yang rendah ini boleh tahu siapa kamu adanya dan di mana saya berada ketika ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya gres menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang saya sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang asing misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang- orang juga sering bertanya menyerupai kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan saya selalu bilang pada mereka saya sendiri tidak tahul Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu saya jawab saya yaitu seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal
“Ha...,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa abadi muda! tapi saya yang sudah bau tanah semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan alasannya yaitu khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat asing musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek setelah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kamu berada ketika ini pun, kamu tak perlu tahu! Yang penting yang musti kamu ketahui ialah bahwa kamu harus membisu di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu...?!” tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seolah-olah pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu kamu sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, dilarang keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kamu melanggar pantangan itu, eksekusi yang berat akan jatuh atas dirimu dan kamu akan disekap selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin. jikalau si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa beliau telah ditolong dari tangen perampok-peramok itu? Tapi kini setelah ditolong kenapa pula beliau musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jikalau melanggar pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi belakang layar juga menggidikkan Wilarani! Kalau beliau mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian beliau sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila beliau membantah, beliau akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada ketika beliau dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kamu juga musti tahu banyak hal perihal dunia luar, perihal dunia persilatan! Apa yang kamu ketahui perihal dunia luar, perihal dunia persilatan?!”
“Banyak nenek....”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh persiiatan kalangan hitam serta putih meskipun beliau bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi kamu tidak sanggup menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang hingga ketika ini masth belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang kini ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidak adilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan harapan yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan hingga kepada pembunuhan.
Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum aristokrat atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melaksanakan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu yaitu laki-laki! Kaum pria telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah ntembuat keonaran di mana-mana. Membuat ribusan insan rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum pria telah tidak berhasil membuat apapun di dunia ini demi keselamabn hidup bersama. Ketidak adilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibentuk kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka saya yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk berdiri menggantikan kedudukan kaum pria yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak kaadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa membuat satu dunia yang kondusif tenteram dan damai!”
Lama si nenek terdiam, usang pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah harapan luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan bangku yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki- laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang pria yang bisa main silat dan mempunyai iimu kesaktian?! Apa cuma orang pria yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang Iaki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan niscaya tidak ada di dunia ini. Bukan begitu...?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak sanggup pula menahan rasa gelinya kemudian tertawa cekikikan.
“Memang... memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita- cita itu tidak mudah, memakan waktu usang dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat perempuan golongan putih yang masih hidup ketika ini. Mereka niscaya mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang membisu di puncak Gunung Gede. Dulu beliau menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati mitra dan ditakuti lawan! Kabarnya kini beliau sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jikalau saya menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, niscaya beliau mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan beliau dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh perempuan macam Sinto Gendeng itu, kuliner saya tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani merenung usang sekali.
Hidupnya di dunia luar sana semenjak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini beliau hanya sebatang kara. Orang bau tanah sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan keiahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula semenjak kekasihnya lari kawin itu keputus-asaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki! Baginya pria tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan verbal dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, aristokrat kaya raya!
Diingatnya pula derma serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa usang maka balasannya Wilarani membuka verbal bersuara.
“Baiklah nenek tua, saya akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas bangku goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kamu akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kamu ku angkat menjadi muridku! Ku akan bimbing kamu selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kamu kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, saya haturkan terima kasih alasannya yaitu menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil saya jadi muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di bangku goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orarg tua.
“Biarawati Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati gres yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas elok dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas beliau menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di pecahan dapur menyediakan kuliner untuk kawanmu yang gres ini!”
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura beliau segera pula meninggalkan kamar itu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel