Wiro Sableng: Episode Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga 8

 Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga  Wiro Sableng: Episode Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga 8
Sebelumnya...
Pemuda berambut gondrong membentak gusar. “Manusia tolol! Geblek sedeng! Orang tiba baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!” Makian ini tentu saja menciptakan Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap. Bagi mereka tidak bisa tidak cowok asing itulah yang telah membunuh dan merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh belas senjata berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia tolol! Apakah kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan saya kasih keterangan?!”
“Anjing kurap, mampuslah!” damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari dua jurus yang berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia tak tahu diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si cowok membentak laksana geledek, keluarkan satu siulan gila yang menusuk dan menyakitkan liang telinga. Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling bentrokan satu sama lain dan menyebabkan bunyi nyaring, bunga-bunga api bergemerlapan!
Mendengar bunyi ributnya bentakan-bentakan, mendengar bunyi berkecamuknya senjata di halaman rumah, Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, beliau hentikan tangisnya dan dengan senggak- sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan suaminya dan lima belas orang pembantu Kadipaten tengah mengeroyok seorang cowok berambut gondrong tak dikenal yang hahya bertangan kosong dan terpaksa berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan- serangan yang sangat ganas itu!
Belum habis herannya Karsih Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah sembab alasannya menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah. Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh amis busuk yang tak sanggup dipastikan dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan bawah umur buahnya mana mau ambil perduli peringatan si rambut gondrong malah beliau memerintahkan biar menggempur cowok rambut gondrong itu lebih hebat lagi!
“Dasar bodoh, dasar geblek buta mata!” maki si pemuda. Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar epilog peti. “Ayo manusia- insan keblinger, majulah!” Dan ketika Sentot Saatra bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si cowok lemparkan epilog peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat melompat ke samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat mengelak terjerongkang di tanah sewaktu dada mereka dilabrak epilog peti.
Dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa si cowok rambut gondrong berkata mengejek.
“Masih buta mata gelap pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra bergemeletakan. Mulutnya mengeluarkan bunyi menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak keras, “Bentuk barisan roda maut!” Maka kedua belas orang anak buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali Bupati itu berteriak memberi arahan maka kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat dalam bulat yang makin usang makin menciut sedang senjata masing-masing membabat dari dua beias jurus, diseling dengan tikaman atau bacokan dan diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra.
Pakaian putih dan rambut gondrong si cowok berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu dan pasir beterbangan ke udara sedang barisan roda ajal semakin menciut juga!
“Orang tolol memang susah dikasih pelajaran jikalau tidak digebuk!” “Berbacotlah sepuasmu insan laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot Sastra.
Baru saja ia habis berkata begitu si cowok bersiut nyaring. Tubuhnya berkelebat dua kali. Suara menyerupai orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot Sastra merasa bahwa cuma dirinya saja sekarang yang sendirian mencak-mencak mengirimkan serangan maka pria ini segera melompat ke luar dari kalangan pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya bangun laksana patung tak bergerak- gerak alasannya masing-masing mereka sudah kena ditotok oleh cowok yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra bahwa cowok itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja beliau ingin mencelakai diri dan orang- orangnya pastilah tidak sukar bagi cowok itu untuk melaksanakannya!
Namun gelap mata alasannya menyangka keras bahwa cowok itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta menamatkan pembantu- pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan Kaliprogo wetan, ditambah lagi ketika itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari menghambur den menubruk peti di mana mayit Galuh Warsih terbujur dan berteriak- teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk sanggup membunuh menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat cowok itu bangun tolak pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi sekarang beliau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh cowok rambut gondrong dari atas ke bawah!
Namun agaknya, walau bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau bagaimanapun lihai dan sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja beliau tak sanggup menghajar si pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati Sentot Sastra!” seru si pemuda. “Apakah kamu masih gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?!”
“Iblis neraka tutup mulut! Sebelum kutebas kamu punya batang leher, sebelum kucungkil kamu punya jantung dan hati, pertempuran ini hingga kiamatpun tak akan kuhentikan!”
“Hebat sekali nyalimu!” memuji si cowok sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum sinis! “Tapi saya dan kamu tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”
“Tidak ada permusuhan bapak moyang setanmu!” hardik Sentot Sastra penuh beringas!
“Anakku kamu rusak kehormatannya, kamu bunuh!”
“Tobat... tobat!” Si cowok pukul-pukul keningnya dengan telapak tangan kiri.
“Justru saya tiba ke sini untuk mengantar mayit anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah saya yang dituduh jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah membual atau jual mulut!”
“Siapa membual, siapa jual mulut?!”
“Sesudah melaksanakan perbuatan terkutuk, kamu akal-akalan berbuat baik dan basuh tangan huh?!”
“Buset!” Si cowok garuk-garuk kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal ketiban pulung begini, tidak nanti saya mau susah-susah bawa mayit kamu punya anak ke mari, Bupati!”
“Sudah! tak perlu banyak rewel! Pokoknya kamu harus serahkan batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan serentak dengan itu kembali beliau menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap membabat putus tubuh si cowok menjadi tiga kutungan maka si cowok geser kakinya satu langkah. Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan, memukul tubuh kedua pedang Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari tangannya!
Sebaliknya si cowok tertawa gelak-gelak.
“Kalau masih punya niat main amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam muka Sentot Sastra mendengar ajukan yang sekaligus merupakan tantangan itu. Karena aib beliau tidak ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan terus ke ujung- ujung jari!
“Heemm... pukulan apakah yang kamu hendak lancarkan?” mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam hatinya.
“Meski kesaktianmu setinggi langit, jangan harap kamu sanggup mendapatkan pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata Bupati Kaliurang itu pula. Dengan menyebutkan nama ilmu pukulan yang diyakininya selama tujuh tahun itu beliau berharap si cowok akan kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si cowok tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu!
“Setahuku genta yaitu semacam klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu pukulanmu? Tentunya kamu belajar pada seekor sapi? Ha... ha... ha...!”
Kekalapan Sentot Sastra bukan alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si cowok beliau kirimkan dua tendangan sekaligus! Si cowok merunduk dan pada waktu itulah gerakan lihai yang mengan- dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan!
Si cowok yang mencicipi angin pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan kepala dan secepat kilat putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan cowok lawannya laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya sehingga tak sedikitpun beliau bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari tangan itu dirasakannya aliran gila yang sejuk masbodoh menjalar ke lengannya, terus ke pundak dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang aben dan menggelorai darahnya sekarang menggendur. Pikiran jemih sekarang muncul dibenaknya. Tubuhnya lemah lunglai, keringat masbodoh memercik dikeningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh duduk menjelepok di tanah sewaktu cowok itu lepaskan cekalan pada kedua lengannya!
“Orang muda, siapakah kamu sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya sekarang tidak keras dan tidak bernada murka lagi menyerupai tadi-tadi.
Si cowok tertawa.
“Aku tiba ke sini bukan untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong mengantarkan mayit anakmu.”
Sentot Sastra memutar kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu, sedang dua belas pembantu-pembantunya hingga itu ketika masih bangun mematung dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan kepala pada si pemuda. Lama beliau menatap paras cowok itu. Dan pada paras yang masih muda belia itu sekarang sanggup dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan kejujuran.
“Orang muda, kamu betul-betul tidak melaksanakan perbuatan terkutuk terhadap anakku?”
Si cowok gelengkan kepata.
“Lantas siapa yang melakukannya?”
Si cowok angkat bahu. “Akupun tengah mencarinya! Dunia persilatan sekarang dihebohkan oleh munculnya seorang pahlawan terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya saya tidak tahu tapi beliau digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar Pemetik Bunga!” mengulang Sentot Sastra. “Yaaa... saya pernah dengar wacana insan bandit itui Tapi dulu beliau cuma malang melintang di barat, sekarang tahu-tahu muncul di sekitar sini...!”
“Kunyuk lapar wanita begitu, di mana ada wanita anggun pasli di situ beliau muncul unjuk tampang bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra bangun kembali. Kedua tangannya mengepal.
“Aku akan cari bedebah itu hingga sanggup dan habiskan nyawanya!”
Pemuda rambut gondrong naikkan kedua alis matanya.
“Jangankan kau, gurunya sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya!”
“Lantas apakah saya akan berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini rupa?!” tanya Sentot Sastra hampir berteriak.
“Aku hargai keberanianmu, Bupati,” memuji si pemuda. “Tapi keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar kekuatan nihil, yaitu keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”
“Kematian bukan apa-apa bagiku! Semua insan nantinya akan mati juga...”
“Terserah padamu, Bupati. Aku cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya.” Sentot Sastra termangu-mangu beberapa lamanya.
Tiba-tiba beliau berseru sewaktu dilihatnya cowok di hadapannya putar tubuh hendak berlalu.
“Orang muda, tunggu! kamu mau ke mana?”
“Aku masih ada urusan lain. Sampai jumpa Bupati.”
“Kau masih belum terangkan namamu.”
Pemuda itu tertawa lagi. Begitu murah tertawa baginya. “Aku sudah bilang namaku tidak penting.”
“Penting atau tidak penting itu bukan urusan. Tapi padaku kamu tetap harus kasih tahu. Dan pembantu-pembantuku ini kamu harus lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit saja tengkuknya satu-satu, niscaya totokannya lepas,” memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah, jikalau kamu ingin tau lihat saja penggalan kepala dari peti kayu itu. Di situ tertulis namaku!” kata si cowok pula. Cepat- cepat Sentot Sastra melangkah ke penggalan kepala peti di dalam mana mayit anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana bukan goresan pena atau aksara yang membentuk nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu tertera tiga buah angka yaitu 212.
“Dua satu dua!” seru Sentot Sastra kaget. “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya ttertambah-tambah. Pemuda tadi sudah tak ada lagi di daerah itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan kepalanya tiada henti.
Tidak sangka beliau akan berhadapan dengan pahlawan bersifat kocak yang kadangkala menyerupai orang sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong manusia-manusia yang tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!
“Pantas, pantas... kiranya dia. Pantas mana saya sanggup menghadapinya!” kata Sentot Sastra pula dan beliau melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel