Mahabarata Episode 28: Pertemuan Dua Kesatria Perkasa

 Ketidakhadiran Arjuna di samping mereka Mahabarata Episode 28: Pertemuan Dua Kesatria Perkasa
Sebelumnya...
Ketidakhadiran Arjuna di samping mereka, menyebab- kan Draupadi, Bhima dan Sahadewa sering mengeluh. Draupadi merasa bahwa hutan Kamyaka tidak menarik lagi tanpa kehadiran Arjuna, Bhima merasa tidak hening dan Sahadewa mengusulkan supaya mereka pindah ke hutan lain lantaran di hutan itu terlalu banyak kenangan akan Arjuna yang ketika itu pergi jauh.
Yudhistira berkata kepada Dhaumnya, pendita dan penasihatnya, “Aku utus Arjuna mendaki Gunung Hima- laya, mencari senjata pamungkas yang sakti untuk menak- lukkan Bhisma, Drona, Kripa dan Aswatthama. Kita tahu, para mahaguru itu niscaya memihak putra-putra Dritarastra. Karna tahu diam-diam semua senjata sakti dan keinginannya yang terutama ialah bertanding melawan Arjuna dan mengalahkannya. Karena itu, saya utus Arjuna menghadap Batara Indra untuk memohon senjata pamungkas darinya. Kita tahu, kesatria-kesatria Kaurawa tidak bisa ditunduk- kan dengan senjata biasa.
“Arjuna telah usang pergi dan sekarang hutan ini terasa men- jemukan. Kami ingin pergi ke hutan lain untuk menenang- kan pikiran dan meredakan kegelisahan kami lantaran Arju- na tak kunjung pulang. Apakah Pendita sanggup menyaran- kan, ke mana sebaiknya kita pergi?”
Resi Dhaumnya memberi citra perihal hutan- hutan dan tempat-tempat suci lainnya. Setelah mempersi- apkan diri, Pandawa pergi ke hutan lain untuk melewatkan hari-hari yang harus mereka jalani selama masa penga- singan. Mereka mengembara, keluar-masuk hutan, menje- lajahi padang-padang rumput, dan hasilnya hingga ke kaki Gunung Himalaya yang tertutup hutan lebat dengan jurang-jurang dalam dan lembah-lembah sempit.
Pada suatu hari, Draupadi terlalu letih sesudah berjalan berhari-hari. Ia tak sanggup melangkahkan kaki lagi. Yu- dhistira yang melihatnya menyuruh Bhima, Sahadewa dan Gatotkaca, putra Bhima, untuk menemani Draupadi beristirahat di Ganggadwara. Dia sendiri akan meneruskan perjalanan bersama Resi Lomasa dan Nakula. Bhima tidak oke dengan permintaan itu lantaran ia sangat merindukan Arjuna. Kecuali itu, tidak sanggup membiarkan Yudhistira pergi hanya bertiga, menembus hutan lebat yang dihuni raksasa, hewan buas dan makhluk-makhluk jahat lainnya. Meskipun perjalanan mereka akan semakin berat, Bhima berkata bahwa ia dan Gatotkaca masih sanggup memikul Draupadi, Nakula dan Sahadewa. Akhirnya dipu- tuskan untuk menjelajahi hutan itu bersama-sama, apa pun yang terjadi.
Demikianlah Pandawa meneruskan perjalanan menem- bus hutan hingga tiba di Kulinda, di wilayah Kerajaan Subahu, di kaki Gunung Himalaya. Pandawa disambut dengan penuh penghormatan oleh Raja Subahu dan ber- istirahat beberapa hari di negeri itu. Kemudian mereka meneruskan perjalanan masuk ke hutan Narayansrama. Di dalam hutan itu mereka berhenti untuk beristirahat bebe- rapa hari.
Pada suatu hari, angin bertiup kencang dari timur laut, membawa bunga-bunga, daun-daunan dan ranting-ranting kering. Tiba-tiba sekuntum kembang yang terbawa angin jatuh di pangkuan Draupadi. Bunga itu menebarkan keha- ruman yang lembut menawan hati. Draupadi memanggil Bhima dan berkata, “Kemarilah, mendekatlah padaku dan lihatlah! Alangkah harumnya bunga ini! Alangkah indah- nya! Kelak kalau kita kembali ke Kamyaka, akan kutanam bunga ini di sana. Maukah engkau mencarikan pohon-nya?”
Bhima menyanggupi kemudian pergi mencari pohon yang kembangnya menciptakan Draupadi terpesona. Ia berjalan ke arah datangnya angin. Setelah berjalan cukup jauh, ia hingga di kaki sebuah bukit. Di hadapannya ia melihat semak-semak dan pepohonan rebah. Bhima mendekat dan melihat seekor simpanse besar berbulu indah bercahaya sedang berbaring tak bergerak. Demikian besarnya simpanse itu hingga Bhima tak bisa melangkah maju.
Ia mencoba mengusir hewan itu dengan berteriak- teriak, tetapi simpanse itu tetap saja berbaring. Sambil mem- buka sebelah mata, simpanse itu berkata, “Aku sedang sakit, lantaran itu saya berbaring di sini. Mengapa engkau memba- ngunkan aku? Engkau insan bijaksana, saya hanya binatang. Sebagai insan yang bakir budi, seharusnya engkau berbelaskasihan pada binatang, makhluk yang lebih rendah derajatnya daripadamu. Jangan-jangan kamu tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Siapakah engkau dan hendak ke manakah engkau? Kau tak bisa meneruskan perjalanan lewat bukit ini, lantaran ini jalan khusus untuk para dewata. Tak ada insan di sini. Kalau engkau memang pintar dan bakir budi, kamu niscaya menentukan kembali.”
Bhima merasa diremehkan. Ia murka dan berteriak, “Siapa gotong royong engkau, hai kera?! Mengapa omong besar menyerupai itu? Aku ini kesatria keturunan bangsa Kuru dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, saya ini putra Dewa Angin. Enyahlah kamu dari sini; kalau tidak, engkau akan kubinasakan.”
Mendengar bentakan Bhima, simpanse itu tersenyum dan berkata, “Memang benar katamu, saya hanya seekor kera. Tetapi, percayalah, kamu akan menemui kehancuran jikalau tetap memaksa lewat.”
Bhima menjawab, “Aku tak sudi mendengarkan kata- katamu. Apa pedulimu? Aku siap mati melawanmu. Bangun dan minggirlah. Jika kamu bersikeras, saya akan memaksamu.”
Kera itu berkata lagi, “Aku tak punya kekuatan lagi untuk bangun. Aku sudah tua. Kalau kamu memang mau lewat, langkahi saja aku.”
Bhima menjawab, “Tidak ada jalan yang lebih gampang dari itu. Tetapi kitab-kitab suci melarang orang berbuat demikian. Kalau tidak, niscaya saya sudah loncati engkau dan bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, menyerupai Hanuman melompati lautan.”
Kera itu tampak kaget, kemudian bertanya, “Wahai kesatria budiman, siapakah Hanuman yang bisa melompati lautan? Ceritakan padaku!’
“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Hanu- man ialah kakakku yang berhasil melompati lautan dan menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi Sita, istri Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan maupun keperwiraan. Ah, mengapa saya jadi usang berbin- cang denganmu? Sekarang, bergeserlah jangan menghala- ngiku. Jangan menciptakan saya murka dan terpaksa berkela- hi denganmu,” kata Bhima.
“Sabarlah, hai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit. Tak ada salahnya bersikap lembut meskipun engkau besar lengan berkuasa dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan yang tua. Aku sungguh tak bisa bangun alasannya badanku telah bau tanah dan rapuh. Kalau engkau tidak mau meloncati aku, tolong singkirkan ekorku ke samping dan carilah jalan untuk lewat,” kata simpanse itu dengan tenang.
Bangga akan kekuatannya sendiri, Bhima bermaksud menarik ekor simpanse itu keras-keras dan menyingkirkannya. Tetapi, sungguh ia tak mengira. Walaupun telah mengerah- kan seluruh tenaganya, hingga otot-ototnya terasa ngilu, sedikit pun ia tak bisa menggeser ekor simpanse itu. Bhima menjadi sadar. Ia merasa malu. Sambil menundukkan kepala ia memberi hormat dan bertanya, “Siapakah engkau? Apakah engkau ini siddha, dewa, atau raksasa?”
Kera itu menjawab, “Wahai Pandawa perkasa, ketahui- lah saya ini saudaramu, Hanuman, anak Batara Bayu, sang Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, engkau niscaya telah meneruskan perjalanan dan hingga ke dunia mistik yang dihuni raksasa dan yaksha. Engkau niscaya menemui mala- musibah di sana. Karena itulah saya menghalangimu. Tak ada insan yang bisa selamat melewati batas ini. Seka- rang, pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai yang membelah lembah itu tumbuh pohon Saugandhika yang kaucari.”
Mendengar itu, Bhima sangat bahagia. Jantungnya berdegup kencang, sekujur tubuhnya terasa hangat. Hanuman berdiri kemudian menarik napas panjang. Tiba-tiba, badannya membesar bagaikan gunung, seolah-olah memenuhi hutan itu. Bhima silau memandang Hanuman yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya gemilang.
Hanuman berkata, “Bhima, di hadapan musuh badanku bisa bertambah besar lagi.”
Kemudian ia mengembuskan napas dan berdiri di depan Bhima. Badannya kembali mengecil, kembali ke ukuran biasa. Hanuman kemudian memeluk Bhimasena. Ketika berpelukan, dua bersaudara itu masing-masing merasa mendapat kekuatan berlipat ganda.
Hanuman berkata, “Wahai kesatria, kembalilah kepada keluargamu. Pikirkan saya jikalau kamu memerlukan pertolo- nganku. Aku sangat senang bisa bertemu denganmu, Saudaraku. Aku merasa menyerupai bertemu Sri Rama yang suci raganya.”
Bhima menjawab, “Berbahagialah Pandawa alasannya saya telah mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu. Berkat efek kekuatanmu, saya yakin kami niscaya bisa mengalahkan musuh-musuh kami.”
“Kelak dalam pertempuran besar, jikalau kamu meraung menyerupai singa jantan, suaraku akan berpadu dengan suara- mu, menggelegar di angkasa dan mengakibatkan musuh- musuhmu gemetar ketakutan. Aku akan hadir di bersahabat bendera kereta Arjuna. Engkau niscaya menang!” kata Hanuman seraya mengatakan jalan ke daerah tumbuh- nya pohon kembang Saugandhika.
Setelah berpamitan, Bhima melanjutkan perjalanan mencari pohon Saugandhika yang diinginkan Draupadi.
Sementara Bhima pergi mencari pohon kembang yang diinginkan Draupadi, Pandawa dikunjungi Resi Markan- deya. Resi itu bertemu dan bercakap-cakap dengan Yudhistira. Hal yang mereka bicarakan ialah wanita.
“Adakah yang lebih mengagumkan daripada kesabaran dan kesucian hati wanita? Ia yang melahirkan anak, sete- lah sembilan bulan menunggu dengan penuh kasih sayang dan kecemasan. Sebagai ibu, ia mengasuh dan membesar- kan anaknya dengan cinta yang melebihi cintanya pada hidupnya sendiri? Ia serahkan anaknya kepada dunia dengan penuh penderitaan dan kecemasan. Ia selalu me- mikirkan dan berusaha menjaga kesehatan serta kebaha- giaan anaknya. Dengan jiwa besar dan penuh pengampu- nan perempuan tetap menyayangi suaminya, meskipun suaminya jahat, menyia-nyiakannya, memarahinya dan menyiksa- nya. Alangkah anehnya dunia ini!”
Demikianlah percakapan itu dimulai. Kemudian Resi Markandeya bercerita.
“Ada seorang brahmana berjulukan Kausika. Ia sangat taat pada sumpahnya sebagai brahmacharin. Setiap hari ia tekun bekerja, belajar, dan menyiapkan upacara persem- bahyangan.
“Pada suatu hari, ketika ia sedang membaca Weda di bawah sebatang pohon, seekor burung hinggap di dahan pohon itu. Burung itu membuang kotoran, jatuh tepat di kepala Kausika. Brahmana itu murka lantaran kepalanya kena kotoran burung. Dengan kekuatan sorot matanya yang merah didorong amarah, ia memandang burung itu hingga burung itu jatuh dan mati. Kausika menyesal. Hatinya sedih lantaran terlanjur membunuh burung yang tidak berdosa itu dengan melampiaskan pikiran jahat dan kemarahannya.
“Sesuai tradisi, sebagai brahmacharin, Kausika harus hidup dari meminta-minta. Pada suatu hari ia pergi meminta-minta ke sebuah rumah. Dia duduk di ambang pintu rumah itu, menunggu diberi sedekah. Lelaki kepala keluarga itu sedang bepergian dan istrinya sedang sibuk membersihkan perabot dan alat-alat dapur. Ia meminta sang brahmana menunggu sebentar. Ketika itu tahu-tahu suaminya datang. Karena lelah dan lapar, ia pribadi minta makan kepada istrinya. Sudah sewajarnya, perem- puan itu melayani suaminya yang gres pulang. Karena kesibukannya, ia menyerupai lupa pada sang brahmana. Tetapi rupanya tidak demikian. Setelah suaminya selesai makan, ia menemui Kausika yang sudah usang menunggu. Ia meminta maaf lantaran kesibukannya tadi dan sekarang siap melayani brahmana itu.
“Kausika murka lantaran dibiarkan menunggu lama. Ia berkata, ‘Ibu, engkau telah membiarkan saya menunggu terlalu lama. Sikapmu itu tidak adil.’
“Sekali lagi perempuan itu minta maaf, tetapi rupanya Kausika belum puas marah-marah. Katanya menyindir, ‘Benar, kiprah seorang istri ialah melayani suaminya. Tetapi, tidak berarti ia boleh menyia-nyiakan seorang brah- mana. Dasar perempuan sombong!’
“‘Jangan marah-marah, wahai Bapa Brahmana. Aku sudah meminta Bapa menunggu lantaran saya sedang me- nyelesaikan kiprah utamaku, yaitu mengurus rumahku dan melayani suamiku. Aku bukan burung yang sanggup dibunuh dengan sorot mata penuh amarah. Kemarahan seorang brahmana tidak akan mengakibatkan apa-apa bagi perempuan yang mengabdi dan melayani suaminya dengan baik,’ kata perempuan itu.
“Kausika terdiam. Ia berkata dalam hati, ‘Bagaimana mungkin perempuan ini bisa tahu perihal burung yang tak sengaja kubunuh itu?’
“Perempuan itu meneruskan kata-katanya, ‘Wahai Brahmana terhormat, engkau tidak memahami diam-diam kewajiban. Engkau juga tidak sadar bahwa amarah ialah musuh terbesar yang bersarang di dalam diri manusia. Maafkan keterlambatanku dalam memberimu sedekah. Sekarang pergilah ke Mithila untuk mendapat petunjuk perihal hidup baik dari Dharmawyadha yang tinggal di sana.’
“Kausika pergi ke Mithila dan berusaha mencari orang yang berjulukan Dharmawyadha. Ia menerka orang yang dicarinya itu tinggal di pondok yang sunyi, bebas dari kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Ia berjalan menyusuri jalanan yang ramai, sambil bertanya kepada orang-orang apakah mereka tahu daerah tinggal orang yang sedang dicarinya. Atas petunjuk orang-orang itu, hasilnya Kausika hingga ke sebuah kedai yang men- jual daging. Ia melihat penjual daging itu sibuk melayani pelanggannya. Setelah pertanyaannya dijawab, Kausika kaget sekali. Ia tidak menerka bahwa orang yang sedang dicarinya ternyata seorang jagal dan penjual daging. Ia murka dan muak melihat keadaan di warung itu.
“Melihat Kausika datang, penjual daging itu berdiri dan memberi hormat sambil berkata, “Wahai Brahmana yang kuhormati, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat sajakah? Apakah engkau disuruh istri yang bijak itu tiba ke tempatku?’
“Kausika termangu lantaran heran. Dharmawyadha melan- jutkan, ‘Aku tahu ada seorang brahmana yang akan tiba menemuiku. Datanglah ke rumahku untuk ber- istirahat, alasannya perjalananmu masih jauh.’
“Kausika sadar sesudah melihat ketekunan Dharmawya- dha mengerjakan tugasnya sehari-hari; dari melayani para pembeli daging di kedainya hingga melayani orangtua dan anggota keluarganya di rumah. Semua itu ia lakukan dengan baik, hingga ia mencicipi hidup yang hening dan senang di tengah keluarga dan lingkungannya.”
Setelah mengakhiri ceritanya, Resi Markandeya berkata, “Inti kisah ini ialah bahwa insan sanggup mencapai kesempurnaan jikalau ia selalu tekun dan nrimo mengerjakan setiap kiprah yang dipikulkan kepadanya. Itulah inti sujud kita kepada Yang Maha Kuasa. Pekerjaan seseorang mungkin telah digariskan semenjak ia dilahirkan, atau mung- kin dipengaruhi oleh lingkungannya, atau mungkin lantaran pilihannya sendiri. Apa pun pekerjaan seseorang, yang penting ia menjalankannya dengan semangat ketaatan dan kejujuran. Inilah dharma yang sesungguhnya. Tanpa disa- darinya, Kausika telah mencar ilmu tetang hidup sederhana, jujur, setia, tekun dan taat pada dedikasi dari Dharma- wyadha, si penjual daging.”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel