Mahabarata Episode 29: Duryodhana Yang Haus Kekuasaan

 Dritarastra sepertinya hidup tenang dan senang di istana Hastinapura Mahabarata Episode 29: Duryodhana yang Haus Kekuasaan
StarPlus.in
Sebelumnya...
Dritarastra sepertinya hidup tenang dan senang di istana Hastinapura. Tetapi, bahwasanya ia selalu memikirkan akhir dari kontradiksi antara anak-anaknya dan Pandawa. Apakah Yudhistira akan selalu sanggup mere- dakan amarah Bhima yang gampang menggelegak dengan alasan-alasan yang sanggup diterimanya? Dritarastra juga cemas memikirkan kebencian Pandawa yang dipendam bagai air dalam bendungan, sewaktu-waktu sanggup bobol dan mengamuk menyerupai air bah, menghanyutkan segala dan semua.
Kelak, kalau Pandawa kembali dari pengasingan, mereka niscaya telah semakin besar lengan berkuasa dan sakti. Mereka telah menem- puh majemuk cobaan hidup selama tiga belas tahun mengembara. Waktu yang cukup usang untuk mem- buat insan matang pengalaman. Sementara itu, Sakuni, Karna, Duhsasana dan Duryodhana hidup bergelimang kekuasaan dan menjadi lupa daratan.
Itulah yang selalu menciptakan hati Dritarastra risau. Pada suatu hari, Karna dan Sakuni berkata kepada Duryodhana, “Kerajaan yang tadinya ada di tangan Yudhistira sekarang menjadi milik kita. Kita tidak perlu lagi iri kepadanya.”
Duryodhana menjawab, “Oh Karna, itu betul. Tetapi alangkah nikmatnya kalau saya sanggup melihat penderitaan Pandawa dengan mata kepalaku sendiri. Kita hina mereka dengan memperlihatkan kesenangan dan kebahagiaan kita kepada mereka. Kita harus pergi ke hutan untuk melihat bagaimana kehidupan mereka di pembuangan.”
Sebelum menjalankan rencananya, Duryodhana sudah kesal lantaran yakin ayahnya niscaya takkan mengijinkannya. Ia berkata lagi, “Tapi Ayahanda niscaya tidak akan mengijin- kan. Ayahanda takut pada Pandawa, alasannya mereka dianugerahi kesaktian oleh para dewata selama dalam pertapaan dan penyucian diri. Ayahanda niscaya melarang kita pergi ke hutan untuk melihat dan mengolok-olok mereka. Ah, kesenangan ini kurang memuaskan kalau kita tak sanggup melihat penderitaan Draupadi, Bhima dan Arjuna. Bukankah hidup tanpa kepuasan berarti hidup dalam siksaan? Sakuni dan engkau, Karna, harus berusaha semoga Ayahanda mengijinkan kita pergi.”
Keesokan harinya Karna tiba menemui Duryodhana dengan wajah berseri-seri. Katanya, “Bagaimana pendapat- mu kalau kita minta ijin pergi ke Dwaitawana, ke ladang dan padang penggembalaan ternak kita? Baginda niscaya tidak keberatan. Dari sana, sambil berburu, kita sanggup meneruskan planning kita.”
Duryodhana dan Sakuni pribadi setuju. Mereka kemudian menyuruh penjaga Dwaitawana untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Dritarastra tidak menyetujui planning itu. Katanya, “Berburu memang baik untuk putra-putra raja. Aku pun berniat mengusut ternak kita di sana. Tetapi lantaran Pandawa sedang berada dalam hutan dekat situ, saya tidak mengijinkan kalian pergi ke sana. Jika kuijinkan kalian pergi, sementara Bhima dan Arjuna ada di dekat Dwai- tawana, itu sama artinya dengan membangunkan singa dari tidurnya.”
Duryodhana menjawab, “Kami tidak akan pergi dekat- dekat situ. Kami akan berhati-hati dan menghindari mereka.”
Dritarastra berkata lagi, “Betapapun hati-hatinya eng- kau, dekat-dekat saja sudah berbahaya. Siapa tahu, salah satu pengawalmu tersesat dan bertemu dengan Pandawa.
Itu sanggup menjadikan perselisihan. Akan kukirim orang lain untuk mengusut ternak kita. Kalian dihentikan pergi.”
Sakuni menyela, “Tuanku, kami tahu, Yudhistira itu bijaksana dan patuh akan dharma. Ia telah bersumpah di depan para tetua dan banyak orang. Pandawa niscaya patuh padanya. Putra-putra Kunti tidak akan memperlihatkan permusuhan kepada kita. Sebaliknya, jangan menghalangi impian Duryodhana untuk berburu sehabis mengusut ternak. Aku akan menemani dan menjaganya semoga ia tidak pergi ke dekat daerah Pandawa.”
Seperti biasa, lantaran didesak-desak Dritarastra menye- rah. Katanya, “Jika demikian, pergilah. Puaskan hatimu.”
Demikianlah Kaurawa pergi ke Dwaitawana diiringkan sepasukan pengawal. Duryodhana dan Karna sangat senang. Dengan pongah mereka berniat untuk menertawa- kan kesengsaraan Pandawa. Setelah mengusut ternak, antara lain, sapi, banteng, biri-biri, dan kambing, Duryo- dhana dan rombongannya mengadakan pesta. Mereka ber- senang-senang, menyanyi, menari, berteriak-teriak, dan bersorak-sorai. Setelah puas berpesta dan cukup ber- istirahat, mereka pergi berburu ke dekat hutan daerah Pandawa menjalani pengasingan. Duryodhana menyuruh para pengawal mencari daerah yang baik untuk berkemah.
Mereka menemukan sebuah daerah yang lapang di tepi telaga. Tetapi Chitrasena, raja raksasa yang perkasa, su- dah beberapa hari berkemah di situ bersama para penga- walnya. Balatentara Chitrasena menyuruh para pengawal Duryodhana mencari daerah lain. Para pengawal itu melapor kepada Duryodhana yang merasa ditantang. Ia memerintahkan balatentaranya mengusir Chitrasena dan memasang kemah Kaurawa di daerah itu. Balatentara Duryodhana kembali ke tepi telaga dan mencoba melak- sanakan perintah itu. Tetapi balatentara Chitrasena telah siap melawan. Para pengawal Duryodhana kalah dan terpaksa lari terbirit-birit.
Duryodhana sangat murka mendengar kekalahan pengawalnya. Ia memerintahkan balatentaranya menyerbu. Maka terjadilah pertempuran sengit antara pengawal Dur- yodhana dan pengawal Chitrasena. Raja raksasa itu tidak membiarkan pertempuran itu berlangsung lama, lantaran ia sangat mengenal dan menguasai wilayah itu. Segera ia memerintahkan balatentaranya memakai senjata- senjata sakti. Banyak pengawal Duryodhana yang tewas, sisanya lari meninggalkan kereta, kuda, dan senjata mere- ka.
Karena lebih besar lengan berkuasa dan berpengalaman, dalam waktu yang tidak usang pengawal Chitrasena berhasil memenang- kan pertempuran; sementara Duryodhana mendapati dirinya ditawan lawan dan ditinggalkan pengawalnya. Dengan tangan dan kaki terikat ia dimasukkan ke dalam kereta Chitrasena. Sangkakala, terompet dari kerang besar, ditiup mengalun keras menandai kemenangan pihak Chi- trasena.
Beberapa pengawal Duryodhana yang melarikan diri hingga ke daerah pengasingan Pandawa. Bhima senang mendengar Duryodhana kalah. Ia segera memberikan gosip itu kepada Yudhistira. Katanya, “Pasukan raksasa telah mengalahkan Duryodhana. Aku yakin, ia sengaja tiba ke sini untuk menghina dan mengejek kita. Aku pikir, ada baiknya kita erat dengan Chitrasena.”
Tetapi Yudhistira menjawab, “Saudaraku tercinta, ini bukan ketika yang sempurna bagi kita untuk bergembira. Kau- rawa yaitu kerabat kita, keturunan mereka yaitu ketu- runan kita juga. Sekarang mereka sedang menerima malu, dan itu berarti tamparan bagi kita juga. Kita dihentikan membiarkan penghinaan ini. Kita harus membantu sau- dara-saudara kita.”
Bhima tidak setuju. Ia berkata, “Mengapa kita mesti melindungi insan durhaka dan penuh dosa yang pernah mencoba memperabukan kita hidup-hidup di dalam istana kayu waktu itu? Mengapa kita harus kasihan kepada orang yang pernah mencoba membunuhku dengan racun dan meneng- gelamkan saya di sungai? Rasa persaudaraan menyerupai apa yang dimiliki insan durhaka yang telah menghina Draupadi, menyeret rambutnya dan berusaha menelanja- nginya di depan orang banyak?”
Sementara mereka berdebat, terdengarlah rintihan Dur- yodhana. Yudhistira kasihan dan menasihati Bhima semoga melupakan semua pengalaman jelek itu. Ia meminta Bhima menolong Kaurawa. Meskipun tak sanggup memahami keputusan Yudhistira, Bhima dan Arjuna patuh pada perintah kakaknya. Mereka mengumpulkan para pengawal Duryodhana yang melarikan diri ke daerah pengasingan mereka kemudian memimpin penyerbuan ke perkemahan bala- tentara raksasa itu.
Chitrasena mendengar hal itu, tetapi ia tidak ingin ber- tempur melawan Pandawa. Ia memperlihatkan perundingan. Setelah berunding jadinya ia mau membebaskan Duryo- dhana dan tawanan lainnya. Chitrasena berkata bahwa ia hanya ingin memberi pelajaran pada Duryodhana yang congkak.
Kaurawa kembali ke Hastinapura. Di tengah jalan, Karna menggabungkan diri. Duryodhana sangat aib dan terhina. Ia mencurahkan perasaannya kepada saudara- saudaranya. Baginya lebih baik mati di tangan Chitrasena daripada dipermalukan menyerupai itu. Ingin rasanya ia berpuasa seumur hidup, hingga mati. Katanya kepada Duhsasana, “Engkau kuangkat menjadi raja sebagai peng- gantiku. Pimpinlah kerajaan ini. Aku tidak sanggup hidup lebih usang dan menjadi tertawaan musuh-musuh kita.”
Duhsasana terharu mendengar kata-kata kakaknya. Karna menghibur, “Tidak pantas seorang kesatria keturu- nan Kuru berputus asa. Apa gunanya berputus asa lantaran perasaan sedih dan duka? Itu hanya akan menciptakan mu- suh-musuh kita semakin senang. Lihatlah Pandawa. Mereka tidak berpuasa hingga mati, meskipun menang- gung aib yang amat besar.”
Sakuni menambahkan, “Dengarkan kata-kata Karna. Mengapa engkau berpikir untuk bunuh diri padahal seluruh kerajaan, termasuk yang kita rampas dari tangan Pandawa, yaitu milikmu? Berpuasa dengan niat menyerupai itu sama sekali tidak ada gunanya. Kalau engkau memang menyesal, lebih baik kamu berdamai dengan Pandawa dan mengembalikan hak mereka atas kerajaan ini.”
Mendengar pesan yang tersirat Sakuni, bukannya berterima kasih, Duryodhana justru menjadi marah. Dengan berang ia ber- kata, “Daripada mengembalikan kerajaan kepada Pandawa, lebih baik saya mati. Itu jauh lebih jelek daripada keka- lahan dan penghinaan. Tidak, saya akan hancurkan Pan- dawa!”
“Kau sungguh jantan. Begitulah seharusnya perilaku seorang kesatria,” kata Karna menyetujui. Kemudian ia menambahkan, “Apa masuk logika menentukan mati dengan cara yang memalukan? Kau hanya sanggup berbuat sesuatu kalau kamu masih hidup.”
Dalam perjalanan pulang, Karna menambahkan, “Aku bersumpah kepadamu, di hadapan para dewata dan roh para suci, bila tahun ketiga belas yang telah disepakati itu habis, saya akan membunuh Arjuna dalam perang besar!” Karna mengolesi pedangnya dengan ludahnya, kemudian mengacungkan pedang itu sebagai tanda ia telah ber- sumpah.
Demikianlah, rasa benci semakin bertakhta di lubuk hati Kaurawa yang tak pernah merasa puas. Ibarat api dalam sekam, tak terlihat sebelumnya tahu-tahu sudah membesar, berkobar-kobar.
Ketika Duryodhana berniat melangsungkan upacara Rajasuya, para brahmana menasihatinya. Kata mereka, Duryodhana belum patut melakukan niatnya lantaran Dritarastra dan Yudhistira sebagai pewaris kerajaan Astina dan keturunan sah Kuru masih hidup. Saat itu, yang boleh dilaksanakannya yaitu upacara Waishnawa.
Dengan penuh kemegahan, Duryodhana melakukan upacara Waishnawa. Setelah upacara selesai, banyak yang membicarakan upacara itu, yaitu yang tidak lebih dari seperenambelasnya upacara Rajasuya yang diselenggara- kan Yudhistira dulu. Namun kawan-kawan Duryodhana menyampaikan bahwa upacara itu menyamai kebesaran upacara-upacara yang pernah dilaksanakan oleh Yayati, Mandhata, Bharata dan lainnya.
Ya, kawan-kawan Duryodhana yaitu para penjilat yang suka mencari muka, tukang puji dan tukang gunjing. Kesempatan menyerupai itu niscaya mereka gunakan untuk me- nyanjung, meninabobokan, bahkan menghasut Duryodha- na. Karna, misalnya, menyampaikan kepada para pendukung Duryodhana bahwa upacara Rajasuya yang akan diadakan Duryodhana ditunda lantaran Pandawa belum dimusnahkan dan ia belum membunuh Arjuna.
Seperti biasa, Karna berkata dengan congkak, “Sebelum saya sanggup membunuh Arjuna, saya bersumpah tidak akan makan daging dan minum minuman yang memabukkan; saya juga tidak akan menolak undangan kawanku, siapa pun dia. Inilah sumpahku.”
Demikian Karna bersumpah dalam pertemuan keluarga Kaurawa. Anak-anak Dritarasta merasa beruntung lantaran Karna memihak mereka.
Mata-mata Pandawa melapor perihal sumpah Karna ke- pada Pandawa. Yudhistira menanggapi itu sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh berbahaya, lantaran ia tahu Karna yaitu kesatria sakti yang hebat memakai segala macam senjata.
Pada suatu malam, Yudhistira bermimpi, semua bina- tang di hutan itu tiba kepadanya dan memohon semoga mereka dilindungi dan kalau mungkin Pandawa pindah dari hutan itu. Pagi harinya, ketika terjaga, Yudhistira merasa bahwa mimpinya itu yaitu firasat buruk, membuktikan akan adanya bahaya. Rasa kasihnya kepada binatang-binatang hutan mendorongnya mengambil keputusan untuk me- ninggalkan hutan itu.
Pada suatu hari, Resi Durwasa dan seribu pengikutnya menemui Duryodhana. Duryodhana sudah mengetahui sifat Resi Durwasa yang suka menguji dan mencari-cari kesalahan orang. Duryodhana mendapatkan rombongan tamu itu dengan sangat hati-hati. Ia sendiri yang melayani Resi Durwasa dengan ramah tamah. Puas atas sambutan Duryodhana, Resi Durwasa mengijinkan Duryodhana meminta satu anugerah. Duryodhana tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan pikiran semoga resi itu mencari-cari kesalahan Pandawa, ia berkata, “Bapa Resi yang kami hormati, kami merasa menerima restu luar biasa lantaran kedatangan Bapa ke sini. Sambutan dan jamuan yang kami hidangkan hanya sederhana. Saudara-saudara kami, Pandawa, sekarang sedang mengembara di hutan. Mohon Bapa Resi meluang- kan waktu untuk mengunjungi mereka dan menciptakan mereka senang lantaran merasa direstui.”
Kemudian Duryodhana mengusulkan hari untuk ber- kunjung ke hutan. Hari itu ditentukan sehabis memper- hitungkan kapan persediaan masakan Pandawa habis dan karenanya mereka niscaya tak sanggup menjamu Resi Durwasa dan seribu pengikutnya. Dalam keadaan demikian Pan- dawa akan menerima kutuk-pastu dari sang Resi.
Resi Durwasa menjawab, “Baiklah kalau itu perminta- anmu. Aku akan mengunjungi Pandawa di hutan pada hari yang telah engkau tentukan.”
Bukan main senangnya hati Duryodhana mendengar balasan sang Resi. Pandawa niscaya takkan sanggup meneri- ma tamu sebanyak itu dengan sambutan penuh kehorma- tan dan hidangan glamor melimpah. Dan kalau Resi Durwa- sa marah, ia niscaya melancarkan kutuk-pastu yang mengeri- kan terhadap Pandawa. Demikianlah yang dibayangkan oleh Duryodhana.
Seperti diperlukan oleh Duryodhana, Resi Durwasa ber- sama pengikutnya pergi ke daerah Yudhistira. Sampai di sana kira-kira pada ketika makan siang. Waktu itu Pandawa gres saja selesai makan. Mereka mengucapkan selamat tiba kepada rombongan Resi Durwasa dengan penghor- matan sepatutnya. Resi itu berkata, “Kami ingin member- sihkan tubuh dulu di sungai. Kami akan kembali ke sini kira-kira waktu masakan telah siap. Kami sudah lapar.” Setelah berkata demikian, Resi Durwasa pergi mandi ke sungai bersama pengikutnya.
Selama mengembara di pengasingan, secara teratur Yudhistira selalu bersamadi dan bertapa brata. Dalam samadinya, Batara Surya mengunjunginya dan menganu- gerahkan tempurung berisi materi masakan sambil bersab- da, “Bahan masakan dalam tempurung ini akan cukup untuk kebutuhan kalian sehari-hari dan akan memberi kekuatan kepada kalian selama dua belas tahun dalam pengasingan. Isi tempurung ini takkan habis sebelum semua orang dan Draupadi makan.”
Dalam tradisi, tamu harus dipersilakan makan lebih dulu, lebih-lebih kalau ia brahmana. Sesudah tamu, giliran tuan rumah dan yang terakhir yaitu istri atau ibu anak- anak. Tetapi, ketika Resi Durwasa tiba di daerah pengasi- ngan Pandawa, semua orang sudah selesai makan dan masakan sudah habis. Draupadi menjadi resah alasannya pengikut Resi Durwasa berjumlah seribu. Dalam keadaan demikian, Draupadi berharap Krishna tiba menolong- nya. Berkat kebesaran dharma, Krishna tiba-tiba muncul dan pribadi berkata, “Aku sangat lapar. Bawakan maka- nan untukku. Sedikit tidak apa, asal ada yang sanggup dima- kan. Setelah itu gres kita bicara.”
Draupadi kaget, tak tahu harus berbuat apa kecuali berterus-terang bahwa masakan telah habis sama sekali. Ia mengaku sangat mengharap kedatangan Krishna untuk menolongnya menjamu Resi Durwasa dan seribu pengikut- nya. Saat ini mereka sedang mandi-mandi di sungai.
Krishna tetap berkata bahwa ia lapar dan ingin makan sekadarnya. Untuk membuktikan bahwa memang sudah tidak ada makanan, Draupadi mengajak Krishna ke dapur untuk melihat sendiri. Krishna melihat ada kerak nasi dan sisa sayur lekat di dasar tempurung. Setelah Krishna makan kerak nasi dan sisa sayur itu, Draupadi berkata, “Aku malu, belum sempat membersihkan alat-alat dapur.”
Kemudian Krishna menyuruh Bhima menjemput Resi Durwasa dan menyampaikan bahwa masakan telah siap. Tetapi Bhima bingung, alasannya ia tahu tak ada lagi masakan untuk Resi Durwasa dan pengikutnya. Mungkin resi itu akan murka dan merasa dihina. Tetapi, Bhima selalu patuh kepada Krishna. Meskipun hatinya cemas, ia tetap pergi menjemput Resi Durwasa untuk memberikan pesan Krishna. Mendengar bahwa Krishna ada di situ, Resi Durwasa dan pengikutnya merasa bersyukur dan senang. Tiba-tiba saja rasa lapar mereka hilang. Selesai member- sihkan badan, mereka berduyun-duyun menemui Krishna dan bersujud menyembahnya.
Berkatalah Resi Durwasa, “Kami tiba kemari untuk meminta makan kepada Yudhistira. Tetapi Engkau, Yang Kami Muliakan, ada di sini dan itu menimbulkan kami tidak lapar lagi. Kami bahagia. Restui dan berkatilah kami, oh putra Basudewa!”
Mereka kemudian mohon diri untuk pulang. Resi Durwasa dan pengikutnya menganggap Krishna sebagai Sang Pem- bimbing Yang Maha Bijaksana. Mereka bersyukur sanggup bertemu denganNya dan lantaran itu tidak merasa lapar lagi. Itulah makna sabda Batara Surya kepada Dharmaputra, bahwa dalam keadaan apa pun dharma akan selalu bersa- ma Yudhistira, memberi petunjuk dan menguatkan iman- nya dalam menghadapi penderitaan dan kesengsaraan
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel