Mahabarata Episode 30: Dongeng Di Telaga Abnormal Ketika Pengasingan
Rabu, 05 November 2014
Tahun pengasingan yang kedua belas sudah hampir ber- akhir. Pandawa berunding, mencari cara untuk mele- watkan tahun ketiga belas tanpa dikenali siapa pun. Ketika itu, datanglah seorang brahmana meminta pemberian mere- ka untuk menangkap seekor menjangan yang melarikan pedupaannya. Demikianlah kisahnya.
Seekor menjangan tiba mendekati pedupaan milik sang brahmana. Mungkin alasannya ialah gatal atau mungkin kare- na kedinginan, ia menggosok-gosokkan badannya pada pedupaan itu. Brahmana yang melihat itu, segera mengha- launya. Menjangan itu terlonjak kaget, kemudian berlari menja- uh. Pedupaan itu tersangkut pada tanduknya dan terbawa lari.
“Wahai Pandawa, menjangan itu membawa lari pedupa- anku. Tolonglah aku, saya tidak bisa mengejar menja- ngan itu,” kata brahmana itu kepada Yudhistira.
Pandawa kemudian memburu menjangan itu beramai- ramai dan mengepungnya dari banyak sekali arah. Tetapi, rupa- nya itu bukan sembarang menjangan. Ia terus berlari men- jauh dan selalu berhasil lolos dari kepungan. Tanpa sadar Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan men- jangan itu seakan hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah menghentikan pengejaran dan beristirahat di bawah sebatang pohon beringin hutan yang rindang.
Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya kekuatan kita sekarang. Menolong seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana dengan kesu- litan yang lebih besar?”
“Engkau benar. Ketika Draupadi dipermalukan di depan orang banyak seharusnya kita bunuh saja manusia-manu- sia kurang bimbing itu! Tetapi... kita tidak berbuat apa-apa. Dan kini inilah akibatnya,” kata Bhima sambil me- mandang Arjuna.
Dengan perilaku membenarkan, Arjuna berkata, “Ya benar, saya juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang!”
Yudhistira mencicipi kesedihan hati saudara-saudara- nya. Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk melengahkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, “Adikku, panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali.”
Nakula naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat seke- lilingnya, ia berteriak, “Di kejauhan kulihat ada air terge- nang dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga!”
Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi mengambil air. Nakula pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebe- lum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tiba- tiba terdengar suara, “Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madri! Jawablah dulu pertanyaanku! Jika kamu bisa menjawab, barulah kamu boleh minum.” Nakula terkejut mendengar bunyi itu, tetapi alasannya ialah sangat haus, ia tidak mempedulikan bunyi itu. Ia pribadi mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri.
Setelah usang menunggu dan Nakula tak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sahadewa mencarinya. Setelah men- cari-cari beberapa lama, Sahadewa terkejut melihat Nakula terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi alasannya ialah merasa haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba bunyi tadi terdengar lagi, “Wahai Sahadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, gres engkau boleh menghilangkan dahagamu.” Sahadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadar- kan diri.
Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sahadewa. “Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air,” katanya kepada Arjuna.
Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut, mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia murka dan ingin meng- hancurkan yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi, alasannya ialah haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba bunyi itu terdengar lagi, “Jawab dulu pertanyaanku sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini milikku. Kalau engkau tidak menurutiku, nasibmu akan sama dengan nasib saudara-saudaramu.”
Arjuna sangat murka mendengar bunyi itu dan ber- teriak, “Hai, siapa engkau?! Tunjukkan dirimu! Jangan pengecut! Kubunuh kau!”
Sambil berkata demikian, Arjuna membidikkan panah- nya ke arah datangnya bunyi itu. Suara itu tertawa meng- ejek, “Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab perta- nyaanku dulu, gres kamu boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum air tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati!”
Arjuna senang bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi, ia tak kuasa menahan rasa hausnya. Apa hendak dikata, sesudah minum seteguk ia pribadi rebah tak sadarkan diri.
Setelah usang menunggu dan Arjuna tak juga kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, “Bhimasena saudaraku, Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin terjadi. Bintang-bintang kita hari ini memang tampak buruk. Carilah mereka. Dan bawakan air untukku. Aku
haus sekali.”
Begitu menerima perintah Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. “Ini niscaya perbuatan para jin dan raksasa jahat,” pikirnya. “Akan kumusnahkan mereka! Tapi saya sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu.” Lalu ia turun ke tepi telaga.
Suara mistik itu terdengar lagi, “Hati-hatilah, hai Bhima- sena. Engkau boleh minum, sesudah menjawab pertanya- anku. Kamu akan mati kalau tidak mau mendengarkan kata-kataku.”
Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani benar memerintah aku!” Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara- saudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri.
Yudhistira menunggu dan menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, “Apakah mereka terkena kutuk-pastu? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali? Apakah mereka mati alasannya ialah kehausan?” Kemudian Yudhistira bangun dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak menjangan dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia mene- ngadah melihat burung-burung bangau beterbangan, per- tanda ada bentang air di bersahabat situ.
Setelah berjalan beberapa lama, ia hingga ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan ... di pinggir telaga ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu per satu, dirabanya kaki, tangan, dahi, dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, “Apakah ini berarti simpulan dari sumpah yang harus kita jalani? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan.”
Menatap wajah Nakula dan Sahadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini ter- bujur cuek tak bergerak, hati Yudhistira sedih. “Harus- kah hatiku terbuat dari baja biar saya tidak menangisi kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada gunanya sesudah keempat saudaraku mati? Untuk apa saya hidup? Aku yakin, ini bukan insiden biasa,” gumam Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan bisa membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat.
“Tak ada luka di tubuh mereka. Wajah mereka tidak menyerupai wajah orang yang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, menyerupai sedang tidur dalam damai.” Hatinya terus bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas-bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini niscaya insiden gaib! Mungkinkah ini tipu tipu muslihat Duryodhana? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini?”
Dengan banyak sekali pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba bunyi mistik itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati alasannya ialah tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, sesudah itu gres puaskan haus- mu. Telaga ini milikku.”
Yudhistira yakin, bunyi itulah yang menjadikan sau- dara-saudaranya mati. Pikirnya, ini niscaya bunyi yaksa. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemu- dian Yudhistira berkata kepada bunyi yang tidak berwujud itu.
Yudhistira : “Silakan ejekan pertanyaanmu.”
Suara mistik : “Apa yang menjadikan matahari bersinar setiap hari?”
Yudhistira : “Kekuatan Brahman.”
Suara mistik : “Apa yang sanggup menolong insan dari
semua marabahaya?”
Yudhistira : “Keberanian ialah pembebas insan dari marabahaya.”
Suara mistik : “Mempelajari ilmu apakah yang bisa menciptakan insan jadi bijaksana?”
Yudhistira :”Orang tidak menjadi bijaksana hanya alasannya ialah mempelajari kitab-kitab suci. Orang menjadi bijaksana alasannya ialah bergaul dan berkumpul dengan para cendekiawan besar.”
Suara mistik : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi insan daripada bumi ini?”
Yudhistira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghi- dupi daripada bumi ini.”
Suara mistik : “Apa yang lebih tinggi dari langit?” Yudhistira : “Bapa.”
Suara mistik : “Apa yang lebih kencang dari angin?” Yudhistira : “Pikiran.”
Suara mistik : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di ekspresi dominan panas?”
Yudhistira : “Hati yang menderita murung nestapa.”
Suara mistik : “Apa yang menjadi sobat seorang pengem- bara?”
Yudhistira : “Kemauan belajar.”
Suara mistik : “Siapakah sobat seorang lelaki yang tinggal di rumah?”
Yudhistira : “Istri.”
Suara mistik : “Siapakah yang menemani insan dalam kematian?”
Yudhistira : “Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan sesudah kema- tian.”
Suara mistik : “Perahu apakah yang terbesar?”
Yudhistira : “Bumi dan segala isinya ialah bahtera terbesar di jagad ini.”
Suara mistik : “Apakah kebahagiaan itu?”
Yudhistira : “Kebahagiaan ialah buah dari tingkah laris dan perbuatan baik.”
Suara mistik : “Apakah itu, kalau orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya?”
Yudhistira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keang- kuhan orang akan dicintai sesamanya.”
Suara mistik : “Kehilangan apakah yang menjadikan orang senang dan tidak sedih?”
Yudhistira : “Amarah. Kehilangan amarah menciptakan kita tidak lagi diburu oleh kesedihan.”
Suara mistik : “Apakah itu, kalau orang membuangnya jauh- jauh, ia menjadi kaya?”
Yudhistira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya.”
Suara mistik : “Apakah yang menciptakan orang benar-benar menjadi brahmana? Apakah kelahiran, kela- kuan baik atau pendidikan sempurna? Jawab dengan tegas!”
Yudhistira : “Kelahiran dan pendidikan tidak menciptakan orang menjadi brahmana; hanya kelakuan baik yang membuatnya demikian. Betapapun pandainya seseorang, ia tidak akan menjadi brahmana kalau ia menjadi budak kebiasaan jeleknya. Betapapun dalamnya penguasaan- nya akan kitab-kitab suci, tapi kalau kelakuan- nya buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih rendah.”
Suara mistik : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”
Yudhistira : “Setiap orang bisa melihat orang lain pergi menghadap Batara Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih usang lagi. Itulah keajaiban terbesar.”
Demikianlah yaksa itu menanyakan banyak sekali problem dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanya- an terakhir yang diajukan yaksa itu pribadi berkaitan
dengan saudara-saudaranya.
Suara mistik : “Wahai Raja, seandainya salah satu saudara- mu boleh tinggal denganmu sekarang, siapa- kah yang engkau pilih? Dia akan hidup kem- bali.”
Yudhistira : (Berpikir sesaat, kemudian menjawab.) “Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya higienis bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati.”
Suara mistik : (Belum puas akan tanggapan Yudhistira, yaksa itu bertanya lagi.) “Kenapa engkau menentukan Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya enam belas ribu kali kekuatan gajah? Lagi pula, kudengar engkau sangat mencintai Bhima. Atau, mengapa bukan Arjuna yang mahir memakai segala macam senjata, terampil olah bela diri dan terperinci sanggup melindungimu? Jelaskan, mengapa engkau menentukan Nakula!”
Yudhistira : “Wahai Yaksa, dharma adalah satu-satunya pelindung manusia, bukan Bhima bukan Arjuna. Apabila dharma tidak diindahkan, insan akan menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi Madri ialah istri ayahku dan mereka ialah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Kaprikornus Dewi Kunti tidak kehilangan ketu- runan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi Madri, hidup bersamaku.”
Yaksa itu puas sekali mendengar tanggapan Yudhistira yang menandakan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Akhir- nya, yaksa itu menghidupkan kembali semua saudara Yudhistira.
Ternyata, menjangan dan yaksa itu ialah penjelmaan Batara Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekua- tan batin dan dharma Yudhistira.
Batara Yama berdiri di depan Yudhistira kemudian memeluk- nya sambil berkata, “Beberapa hari lagi masa pengasingan- mu di hutan rimba akan selesai. Di tahun ketiga belas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itu pun akan sanggup kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuh pun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian niscaya lulus dalam ujian yang berat ini. Dharma akan selalu menyertaimu, Yudhistira.” Setelah berkata demikian, Bata- ra Yama menghilang.
Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti, pengalaman Bhima bertemu de- ngan Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman Yudhis- tira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan batin serta kemuliaan rohani Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma.