Nayala Dan Tari - Cerpen Sedih

NAYALA DAN TARI
Karya Supra D’Ocean

Nayala tersenyum riang. Berjalan pelan melenggak-lenggok menyerupai biasa. Rasa puas terpancar dari matanya yang hitam kebiruan, sungguh indah. Dia sesekali melirik Lovita dan ibunya yang semenjak tadi menatapnya, semenjak dari belokan di kanan rumah mereka. Nayala tak perlu cemas dengan tatapan ibu dan anak itu, mereka selalu senang melihatnya pulang apa lagi dengan binar keceriaan menyelimutinya.

Tubuh Nayala kecil, putih, mulus dan halus. Dia juga gesit dan lincah. Kadang dikala beliau malas berjalan memutar melewati gerbang rumah, beliau meloncat pagar saja dan segera masuk lewat jendela samping. Nayala yang selalu dicintai dan disayang oleh seluruh keluarga Lovita.
***
Nayala dan Tari
Tangis Tari begitu keras. Tangis kecewa dan lapar. Tangis gadis tiga setengah tahun yang menciptakan para tetangga iba, jengkel atau mungkin tak peduli lagi. Tapi tangis itulah yang selalu menciptakan neneknya bertahan untuk hidup lebih lama, demi cucunya. Neneknya yang sudah renta berusaha menenangkan cucunya. Mbah Sani hanya bisa menghibur semampunya. Dia tak besar lengan berkuasa lagi untuk menggendong Tari. Tubuh 70 tahunnya yang rapuh tak akan bisa menopang Tari yang menangis terguncang-guncang. Mbah Sani hanya bisa memangku Tari di dipan kecil reyot di beranda rumahnya yang miring. Begitulah keadaannya. Miskin. Tak ada yang gampang dalam kehidupan insan beda generasi ini. Si mbah yang uzur dan cucunya yang masih balita di rumah bambu penuh lubang yang hampir roboh.

“Nduk, maafkan simbah. Simbah tadi tertidur, lupa tidak menindih tompo nasi sama ulekan batu. Ikan asin Nduk Tari yang simbah goreng hilang.” Tak ada bedanya, tangis Tari tidak juga mereda. Mana mungkin anak sekecil beliau bisa mengerti alasan neneknya. Dia hanya tahu rasa lapar dan kesal hatinya alasannya yakni lauk satu-satunya telah hilang. “Nduk, simbah dulu suka makan nasi sama garam lo. Ini nasinya simbah kasih jelantah ikan asin tadi ya. Haak Nduk, coba di maem ya.” Tari membuka mulutnya, bukan untuk makan tapi alasannya yakni jerit tangisnya. Mbah Sani tidak peduli, beliau masukkan sejumput nasi yang telah beliau campur dengan jelantah bekas beliau goreng ikan asin. Tari menutup mulutnya, mencicipi nasi dan rasa gurih menyerupai ikan di lisan membuatnya sedikit tenang. Si mbah menarik ujung jarik tapihnya, beliau usap air mata cucunya dengan sayang. “Gak popo ya Nduk, nanti si mbah belikan lagi ikannya.” Si mbah terang hanya berbohong biar Tari mau makan. Mana mungkin beliau mau membeli ikan asin, beliau mau berhutang lagi sambil bilang nunggu kiriman uang ibunya Tari dari kota untuk membayar.
***

Nayala pulang dengan senyum sumringah. Berjalan pelan melenggak lenggok menyerupai biasa. Senyumnya tak memudar hingga beliau masuk ke rumah dan meletakkan sayap goreng di piringnya. Dia makan dengan lahap. Lovita tiba menghampirinya, menatapnya dengan heran. Lalu beliau mengelus manja kepala Nayala dengan sayang. “Makan yang banyak ya Dedekku. Ini saya kasih susu.” Lovita berjalan ke ruang tamu sehabis menuangkan susu ke gelas kecil Nayala. Tak ada yang lebih indah dari pada melihat Nayala yang lucu makan dengan lahap, kecuali mungkin bila kekasihnya akan tiba menyerupai sore ini.
***

Dipan dari bambu yang bergerak dengan bunyi keriyat keriyut setiap kali diduduki yakni satu-satunya perabot yang ada di bab luar rumah mbah Sani. Dia gres saja pulang dari sawah. Bukan alasannya yakni gres saja mengolah tanah tapi untuk mencari kayu bakar. Kayu apa yang bisa dicari di sawah? Hanya pohon cabai yang telah dicabut dan dibiarkan kering oleh pemiliknya yang dibawa si nenek ini. Dia gendong dengan kain di punggunnya yang bungkuk sambil menggandeng tangan kiri Tari. Gadis kecil ini sedang senang. Di tangan kanannya ada tulang daun Lamtoro yang ujungnya diikat menjadi satu sehingga berkumpul di tengah. Si mbah bilang ke cucunya itu yakni wayang-wayangan.

Tari sedang minum air putih dan gula dari botol. Sambil tidur di atas ranjang tanpa kasur, hanya beralas tikar pandan dan beberapa potong selimut renta yang kumal. Di tangan kanannya tetap tergenggam wayang-wayangan dari tulang daun Lamtoro tadi. Dia senang. Air gula dan rasa capek yang Tari rasakan mungkin yang membuatnya lebih hening hingga beliau menutup matanya. Tari bermimpi bermain wayang-wayangan dengan neneknya di atas ranjang itu. Tari yang senang dan si mbahnya yang berurai air mata.

Mbah sani merebahkan tubuhnya di atas dipan di serambi. Di bawah kakinya ada tumpukan pohon cabai kering. Rasa lelah dan lapar mungkin yang menciptakan matanya terpejam. Dia bermimpi menggoreng ikan asin dengan kayu pohon cabai yang gres beliau sanggup di tungku kecilnya. Cucunya sedang menunggu dibelakangnya dengan nasi putih di piring, sendok di tangan kirinya dan wayang Lamtoro di tangan kanannya. Si mbah yang tersenyum dan cucunya yang gembira menunggu ikan asinnya digoreng. Di mimpinya.
***

Nayala pulang dengan senyum bangga. Dia berjalan tergesa-gesa tidak menyerupai biasanya. Dia melompat ke atas pagar kerikil bata dan berjalan di atasnya. Sekali lompat beliau sudah ada di depan pintu rumah. Dimulutnya ada anak ayam kecil berwarna putih dengan bulu hitam halus dibagian sayapnya yang mungil. Lovita dan ibunya melihat kedatangan Nayala. Mulut mereka terbuka sedikit. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Bukan anak ayamnya tapi leher Nayala yang merah dan bulunya yang tercerabut paksa. Lovita berteriak geram. “Siapa yang melakukannya Dedekku? Kejam sekali.” “Atau kau gres saja main cinta dengan pejantan ya?” Ibu lovita ikut bertanya. Nayala tidak peduli. Ayam kecilnya yang bernafas kembang kempis lebih menarik dari pada ibu dan anak yang sedang mencemaskan keadaannya. Lalu Lovita memegang kucingnya, menarik ke pangkuannya dan menyingkirkan ayam sekarat itu. “Kamu ini. Dari mana lagi kau sanggup anak ayam ini Nayala? Kamu ini niscaya bikin malu bagi keluarga lagi.” Nayala mengeong manja sedikit sebal.
***

Suara tangis Tari tak terbendung oleh pelukan para tetangganya. Suara tangis anak tiga setengah tahun yang merindukan bunyi neneknya. Suara tangis gadis kecil yang menginginkan neneknya mengajaknya makan di dipan reyot depan rumahnya. Tapi nenek hanya membisu di atas ranjang tanpa kasur. Matanya terpejam, alisnya robek.

Mbah sani sedang letih menyapu lantai tanah dapurnya ketika Tari bernyanyi Garuda Pancasila, memamerkan hafalan lagunya kepada sang nenek. Lagu Garuda Pancasila yang biasa beliau dengar ketika mau tidur. Si mbah ikut bernyanyi pelan, memberi kesempatan cucunya memperdengarkan kebolehannya. Lalu bunyi ribut di samping pintu belakang itu menciptakan semuanya terhenti. Si mbah terkejut, tersadar dari rasa lemas yang menggelayuti tubuhnya. Ada kardus bekas air mineral yang beliau taruh di sana sebagai sangkar ayam sementara untuk bawah umur si Blorok, ayam betinanya. Mbah sani melihat seekor kucing gemuk berwarna putih sedang mengacak-acak anak ayam itu. Dua ekor digigit mati, dua ekor lari ke bawah rak piring dan seekor lagi kembang kempis di lisan si kucing. “Kucing kurang ajar. Hayo pergi… pergi… jangan makan ayame Nduk Tari!” Si mbah ini mengacungkan sapunya. Tergopoh kakinya melangkah di dalam balutan tapih kainnya, Mbah Sani mengusir kucing itu. Sayang kakinya tak selincah kucing putih itu, beliau terjerat kain dan jatuh. Sayang tangannya tak segesit kucing itu, tak bisa menopang badan tuanya yang limbung. Dia tersungkur dan pelipisnya menghantam gagang sapu yang tadi beliau pegang. Lalu Tari menangis meminta si mbahnya bangun.

Si mbah masih terpejam tapi bibirnya tampak berkomat-kamit. Jemari tanganya yang keriput membelai dahi cucunya. Mereka berdua bernyanyi dalam hening malam. Mereka berdua sudah hafal rasanya lapar menyerupai mereka hafal lagu ini. “Pancasila dasar Negara. Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku ayo maju maju ayo maju maju…ayo maju maju”

PROFIL PENULIS
Suprayitno
FB: supra arch d'ocean
Blog: hatiyangmembaca.blogspot.com
Belajar menulis dan membagi dongeng yang selama ini berkecamuk di pikiranku. semoga kalian menyukainya. 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel