Cerpen: Secangkir Teh Manis

 Aku tak menyadari jika perjalanan ini hanya tipuan Cerpen: Secangkir Teh Manis
Aku tak menyadari jika perjalanan ini hanya tipuan. Kenapa mesti dengan cara menyerupai ini ia memperlakukanku. Kenapa mesti melaksanakan ini? Apakah demi menghindar perjumpaan? Padahal nanti saya tak akan melaksanakan kejahatan apa-apa. Aku cuma ingin berjumpa. Kebaikan yang saya berikan padanya dengan tebaran keakraban tak ada artinya. Oh dunia, sungguh penuh dengan kebohongan-kebohongan. Kenapa saya mempercayai seratus persen perkataan temanku? Kenapa pula saya mempercayai supir angkot itu? Tapi saya harus bagaimana? Sudah menerima kebohongan, ditambah dengan kebohongan lain.
“Ah, sialan! Kenapa nyampe ke Sumber?”
Aku menelepon temanku. Ternyata tidak aktif. Mungkin sengaja. Aku mengelus dada. Nafasku terasa sesak akhir kejadian ini.
Apa ada yang salah bila saya mengunjungi rumahnya? Seharusnya bila ia tak mau kehadiranku di rumahnya, ia sanggup bicara padaku dengan sejujurnya. Bukan malah menyesatkannya. Tapi ini sudah terlambat. Aku sudah di luar daerahku.
Pemandangan terlihat ramai. alasannya yaitu ini jalan raya. Laju kendaraan silih berganti. Membuat kepala sedikit pusing. Aku melihat kantor polisi. Membuatku ada pikiran untuk melaporkan perkara penipuan ini. Tapi itu konyol. Aku ambil nafas. Aku lanjutkan perjalanan ke arah utara. Entah apa yang saya lakukan. Yang jelas, saya tak segera pulang kembali ke kawasan asalku. Aku tak mau menyia-nyiakan kepergianku.
Kaki terus melangkah. Jarak sudah terlampau. Melihat di ujung Utara terdapat pemandangan yang indah. Hijaunya lahan yang membuatku tergugah untuk mendekati. Terlihat, di sepanjang jalan tertanam tumbuhan padi yang hijau dan subur. Tak lupa, terdapat pohon jagung, singkong. Memang bulan ini yaitu ekspresi dominan penghujan. Banyak para petani yang memanfaatkan ekspresi dominan ini untuk bertanam padi dan yang lainnya.
Ada sosok gadis desa yang sedang berdiri. Mungkin anak petani. Tapi, ia bangun di sebelah barat samping jalan. Aku tak menyadari jika ada gadis anggun menggunakan kerudung. Aku hanya fokus melihat hijaunya tumbuhan padi.
Ia melihatku. Wajar. Karena saya orang pendatang. Wajahku masih asing. Bahkan para petani pun melihatku. Aku melihat kembali ke arah gadis itu. Ia tersenyum. Oh, sungguh suguhan yang jarang terjadi. Manis sekali gadis itu tersenyum. Aku balas pula dengan senyuman. Aku tertarik untuk mendekatinya.
“Hei, sendirian?” Dengan percaya dirinya, saya menyapa gadis yang kira- kira berumur dua puluhan.
Ia tetap tersenyum. Tapi bukan ke arahku. Aku merasa heran. Tadi ia tersenyum padaku. tapi kini ia tersenyum tapi bukan untukku. “Ah, saya sok ke-pede-an banget. Aku jadi malu.” Ia melihatku dan kembali tersenyum, melihat ke arah petani.
Hei, boleh kenalan gak?” Tanyaku
“Mau apa?” Ia tanya balik dengan pandangan curiga.
Ternyata ia tak menyerupai yang saya kira. Ia sulit bergaul dengan orang baru.
“Aku tersesat. Aku merasa ditipu kenalanku dari dunia maya.”
“Maksudmu?” ia tanya lagi. Padahal pertanyaan pertama dariku belum dijawab.
“Ee, saya punya sobat yang sudah dianggap akrab. Aku kenalan lewat Facebook. Aku berencana ketemuan dengan temanku itu. Ia cewe, tentunya. Tapi ia memperlihatkan Informasi palsu. Pas saya bertanya pada tukang ojek, ternyata ini kawasan Sumber. Bukan kawasan Babakan.
“Babakan bukan disini!” ia pribadi merespon. Mungkin semoga pembicaraan ini cepat kelar.
Aku ingin kehadiranku di sini tidak sia-sia.
“Kau mengganggu kebahagianku! Kau perlu tahu. Kau merusak suasana bahagiaku. Kenapa mesti membahas masalahmu!”
Aku makin tak mengerti. Apa yang ia pikirkan perihal diriku? Aku dianggap telah mengganggu suasana bahagianya. Aku tak mengerti. Sehebat apa tingkah burukku? Aku cuma ingin berkenalan. Aku ingin kehadiranku di kawasan ini tidak sia-sia.
“Kau kenapa? Aku cuma ingin mengkenalmu!”
“Terus sesudah kamu mengenalku, kamu mau apa?”
Aku menelan ludah. Aku tenangkan diri. Jangan hingga perilaku pemarahku muncul sama perempuan ini. Sepertinya ia memiliki dilema yang berat, atau punya kenangan yang pahit perihal lelaki. “Ah, tak tahu lah,” kataku menepis praduga.
“Maaf, saya mengganggu.” Dan saya melihat pemandangan ke arah para petani.
Aku berkata pada gadis yang terlihat kurus. Membahas perihal keindahan kehijauan. Mataku seakan menerima kecerahan pandangan di dikala melihat kehijauan. Mungkin ia tersenyum sendiri alasannya yaitu melihat suka-cita para para petani yang asik merawat tumbuhan hijau. Aku suka pemandangan ini. Tanah yang hijau bukan tanah yang silau.
“Sepertinya ini cara terbaik untuk menjalin pertemanan,” kayaku dalam hati.
“Maksud tanah yang silau?” tanya perempuan judes heran.
“Tanah yang silau yaitu dunia perkotaan. Di sana hanya ada gedung- gedung, jarang ada penghijauan. Aku beri nama denan tanah yang silau, sebagai simbol tanah yang banyak gedung pencakar langit.”
“Kau orang kota?”
“Kota besar. Aku dari Jakarta. Tadi malam saya berangkat. Dan hingga ke Cirebon pagi buta. Saat matahari terbit.”
“Kau tidak ada maksud jahat kan mendekatiku?” Curiganya mulai terlihat.
“Aku juga telah tertipu. Kau tau sendiri maksudku.”
Aku ingin berusaha mengenalinya lebih dalam lagi. Sepertinya ia punya masa silam yang suram. Ia mungkin perempuan penyendiri. Terlihat ia belum sanggup menyesuaikan diri dengan orang yang gres ia kenal.
“Maafkan saya telah mencoba mendekatimu.” Aku memulai pembicaraan dikala larut dalam suasana diam.
“Tidak apa-apa, seharusnya saya tidak menyerupai itu. Tapi kamu harus janji. Kau tidak ada maksud jahat padaku!”
“Rupanya kamu tak mengerti maksudku. Aku saja telah dijahatin orang. Memalsukan info untukku,” kataku sembari senyum menghiasi suasana yang masih keruh.
“Ya sudah, saya mengerti. Matahari telah cukup menyengat kulit. Lebih baik kita ngobrol di rumahku. Deket kok. Tuh, lihat?” Ia memperlihatkan rumahnya yang memang dekat. Langkah demi langkah, kami menuju arah Barat; menghampiri rumahnya yang terlihat sederhana, tapi cukup menyejukkan hati.
“Di luar saja ngobrolnya,” kataku.
Sudah masuk saja,” ia merelakan kehadiranku. Suasana keakraban mulai terlihat. Itu yang saya harapkan. Tak ada rumput, akar pun jadi.
Aku duduk dengan lega. Tak sia-sia hadirku di sini. Apalah arti sobat penipu. Kini telah menemukan perempuan yang baik hati.
Wanita yang kini mulai sanggup beradaptasi, membawakan minuman dan cemilan biskuit.
“Ah, saya jadi merepotkan.”
“Tidak apa-apa.”
“Aku heran sama... Boleh jujur?”
“Silahkan.”
“Kau pertama lihat begitu manis. Kau tersenyum padaku. Aku merasa, mm... saya terlalu percaya diri.”
“Hahaha...” ia tertawa riang. Aku cukup senang memandang senyumnya. Manis.
Terus, hingga saya mendekatimu. Ingin mengenalmu. Tapi, kamu nampak berubah. Kau nampak menakutkan untukku, hehe.. becanda.”
Lalu ia mulai membukakan belakang layar hidupnya. Aku ingin tau apa yang akan dibicarakan. Memang pembahasan ini merupakan tantangan sendiri. Sekaligus, sebagai terapi mental. Ia memperlihatkan pengalaman- pengalaman dirinya perihal orang asing. Memang, kejadian jelek itu bukan ia yang mengalami langsung. Tapi pada adiknya, Maya. Adinya satu-satunya. Adik yang sebagai temannya di sawah. Adik yang aktif menghibur keluarga sehingga suasana selalu meriah, bahagia! Tapi, kini ia telah tiada alasannya yaitu penipuan. Ada dugaan, adiknya telah dijual ke luar negeri. Ya, cuma dugaan. Yang jelas, ia telah tak ada.
Aku...aku tak terima!” Matanya berkaca-kaca.
“Aku turut prihatin. Tapi, kenapa keluargamu percaya sama insan penipu itu?”
“Kau jangan tanyakan begitu! Apa kamu tak pernah lihat?! Banyak perkara menyerupai ini! Apakah keluarga yang tertipu itu tahu jika akan terjadi menyerupai ini?!” katanya marah.
“Maafkan aku! Sekarang saya mengerti. Kenapa kamu begitu arogan melihat orang asing. Tapi, waktu itu, kenapa kamu tersenyum padaku?”
Ia kemudian tersenym. Aku mencicipi kesegaran hatinya. Betapa tidak. Ia menangis, tapi menyempatkan senyuman untukku dan melupakan kesedihannya.
“Kenapa?”
“Idih lebay! Siapa juga yang tersenyum padamu.”
“Ih, bohong. Pasti kamu tersenyum padaku!”
“Nyebelin! Gak! Gini ya, saya teringat kenangan-kenangan dulu sama adikku di sawah. Pokoknya mulai dari menanam, menyanyi, menari, makan bersama dikala usai menanam, semua kumpul dalam tanah kehidupan.”
“Tanah kehijauan,” tambahanku.
Aku membayangkan, betapa bahagianya keluarga sederhana ini. Dan membayangkan betapa teganya orang yang menghilangkan kebahagiaan dengan cara jahat! Penipu itu telah menghilangkan hadir dewi kebahagiaan di keluarga ini. Betapa sedih. Aku pun mencicipi hal yang sama bila itu terkadi pada keluargaku.
Aku melanjutkan kembali meminum teh yang sudah terasa hirau taacuh di lidah.
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel