Lelaki Ke Tiga Belas - Cerpen Islam
Senin, 19 Mei 2014
LELAKI KE TIGA BELAS
Karya Mujtahid
Aura melati yang kuncupnya mulai mekar. Titik embun yang hinggap diantara kelopaknya memancarkan kesegaran kepada setiap jiwa yang mengerti akan sebuah keindahan, memahami akan sebuah anugerah. Jiwa-jiwa yang kerontang akan sebuah makna yaitu “kesucian”. Makna yang setiap orang bebas mendefinisikan.
Aura melati yang kuncupnya mulai mekar. Titik embun yang hinggap diantara kelopaknya memancarkan kesegaran kepada setiap jiwa yang mengerti akan sebuah keindahan, memahami akan sebuah anugerah. Jiwa-jiwa yang kerontang akan sebuah makna yaitu “kesucian”. Makna yang setiap orang bebas mendefinisikan.
Dalam derai air mata seorang dara yang selalu memanjakan dirinya dengan lantunan lembut ayat-ayat-Nya. Tujuh belas rekaat dalam lima waktu yang menjadi udara untuk mengisi rongga paru-parunya. Kebiasaan yang dianutnya secara turun temurun dari keluarganya, yaitu puasa senin dan kamis. Bahkan bibir yang tidak pernah ia lipstiki dengan membicarakan kejelekan orang lain, berdusta apalagi memfitnah. Tangan lembutnyapun ia tak rela disentuh oleh seorang makhluk yang berjulukan pria yang bukan muhrimnya. Aura nirwana itu benar-benar terpancar dari dirinya.
Lelaki Ke Tiga Belas |
Wanita yang berjulukan lengkap Siti Nurfadillah. Anak seorang kyai kampung ini biasanya oleh teman-temannya dipanggil dengan sebutan “Inoe”. Usianya yang memasuki angka dua puluh dua tahun ini sudah menamatkan lima kitab fikih dan dua kitab alat ini masih dianggap biasa saja dan tidak dianggap hebat, apalagi fenomenal diantara teman-temannya. Padahal mereka menamatkan satu kitabpun belum sama sekali. Mereka akan menganggap wah!, ketika seseorang menamatkan dan menguasai buku pemikiran dan produk barat, walaupun hanya satu atau dua saja. Sadar ataupun tidak pemikiran kita sudah tercemar pemikiran yang mengarahkan kepada kekufuran yang menganggap semuanya hanya menurut logika dan keduniaan saja.
Belenggu malam ini begitu menyesakkan dada inoe, ketika seorang perjaka lulusan strata satu sastra Indonesia. Dia seorang tahfid alqur’an dan menyeleaikan pendidikan selama sebelas tahun di pesantren. Muhammad Yazid tiba dengan sebuah akidah kalau Inoe bakal mendapatkan lamarannya. Dia ialah lelaki ketiga belas yang juga tak jauh beda dengan lelaki sebelumnya, yang harus rela pulang dengan mengelus dada tanpa membawa hati Inoe. Lelaki berkulit putih, otak prima, berwajah tampan, santun dalam bersikap, dan seorang wiraswastawan yang sanggup bangun diatas kaki sendiri yang bahwasanya ialah keinginan setiap wanita. Termasuk juga Inoe.
Setelah kepulangan Yazid, Rona muka yang bercahaya. Yang selalu dibasahi oleh air wudlu. Bukan hanya balutan bedak saja. Tiba-tiba menjadi mendung. Hujan air matanya mengucur begitu deras. Diatas bantal dan kasur yang selalu menghiasi malam sepinya dalam kepedihan, ia curahkan luka-luka yang semakin dalam.
Lantunan keindahan yang Inoe rindukan untuk mengucap sebuah kata lembut. Menerima seorang pemimpin menjadi kemudi hidupnya, mengharungi perahu rumahtangga dalam ridho-Nya harus pupus oleh kisah masa lalu. Sebuah pesta ala barat ketika mengucap selamat jalan kepada dingklik SMA. Tempat yang meninggalkan banyak sesalan, ketika masa itu telah pergi. Pesta yang memanjakan mereka dengan nada-nada syetan. Budaya yang memupus kebiasaan yang dianut orang bau tanah kita, ketika dulu diacara perpisahan diisi dengan pengajian, namun itu semua sudah langka dan bahkan punah seiring maraknya budaya yang di tebarkan kaum zionis yang mengatasnamakan modern. Kaum anti islam ingin meracuni jiwa mereka biar meninggalkan anutan islam secara perlahan tanpa mereka sadari. Budaya yang harus dilaksanakan, bahkan mengalahkan aturan fardlunya shalat lima waktu dan rukun islam yang lain.
Mimpi buruk itu hadir ketika Inoe terpilih sebagai seksi program di perpisahan ala barat. Dengan desain panggung yang serba wah, dihiasi banyak sekali jenis bunga dan alat musik yang lengkap Tulisan yang dibentuk beraneka warna dan rupa. Pestapun siap untuk dimulai. Hingga acarnya yang belum tersusun rapi.
Ruang komputer malam itu menjadi saksi hancurnya sesuatu yang katanya disebut harga diri oleh seorang wanita. Setelah meneggak air mineral yang diberikan sobat perempuan sekelasnya, tiba-tiba matanya terasa berat, komputer, meja dan kursi yang ada diruang itu tiba-tiba menari-nari. Sesaat itupula badan itu rebah diatas sofa. Wanita sholihah ini harus merelakan kesuciannya direnggut oleh iblis yang tiba dan pergi tanpa bayangan.
Luka malam itu lima tahun telah berlalu, namun bekasnya takkan hilang seumur hidup. Itulah yang menjadi alasan, mengapa ketiga belas lelaki yang melamarnya harus mendapatkan penolakannya. Cemooh yang menganggap dirinya terlalu menentukan menjadi buah bibir di masyarakat sekitar. Bahkan orang tuanya dibentuk gundah oleh perilaku Inoe yang beralasan belum siap.
Salahkah jikalau Inoe tidak ingin memberitahukan malu itu ke orang tuannya. Dengan satu alasan, beliau tidak ingin airmata ayah bundanya jatuh. Biarlah luka itu tertutup rapat. Bukankah seorang lelaki yang meminangnya selalu menganggap dirinya tepat laksana dewi surga. Tangan lembutnyapun tak rela disentuh lelaki manapun yang bukan muhrimnya. Ternyata perempuan yang dianggap mulia itu telah ternoda.
Kegetiran hidup yang dialaminya, tidak pernah membuatnya berhenti memuji Tuhannya, apalagi mengeluh. Bahkan rasa syukur terucap terang dari setiap do’a. “ Allah masih menyayangiku, alasannya ialah saya tidak diberi cobaan yang lebih berat. Bayangkan jikalau hamil. Kemana malu itu hendak disimpan ? “.
Dalam pasrahku saya berjanji. Aku tidak akan menikah seumur hidupku. Biarlah malu itu terkubur dalam bersama jasadku di liang lahat. Tempat yang sangat kurindukan
PROFIL PENULIS
Nama Mujtahid Arizta Mozta, pendidika bahasa dan sastra Universitas Galuh angkatan 2009,