Dan Tuhanku Lebih Tahu Aku!! - Cerpen

DAN TUHANKU LEBIH TAU AKU!
Karya Rita A.

Ujian Nasional selesai Durrah jalani. Sebagai siswi kelas XII di Madrasah ternama di kawasan tempat tinggalnya, MAN 1 Praya, ada semangat optimis akan lulus di hatinya. Ia mulai berani menatap matahari kembali dengan sunggingan senyum kepuasan. Ia merasa belajarnya tidak sia-sia alasannya yaitu soal-soal ujian nasional sanggup diselesaikannya tanpa harus menggadaikan keimanan ibarat dominan teman-temannya. Sekarang tugasnya hanya menunggu pengumuman kelulusan keluar.

Durrah Althafunnisa, puteri semata wayang dari pasutri Ahmad Hijazi dan Lailatul Munawaroh ini memang dikenal sebagai siswi referensi dengan segudang prestasi. Bagi banyak orang ia mendekati level sempurna. Kecantikannya yang natural tanpa polesan kerap mendatangkan kebanggaan tak diundang. Ia bisa menumbuhkan tiga kecerdasan sekaligus dalam dirinya, yang tak banyak orang bisa menumbuhkannya. Kecerdasan intelektualnya yang tak diragukan lagi, kecerdasan emosionalnya yang selalu bisa meneduhkan perasaan orang-orang sekitarnya, juga kecerdasan spiritual yang mulai terbentuk semenjak kecil alasannya yaitu dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis.
Dan Tuhanku Lebih Tahu Aku
Matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Mega merah mulai menghiasi langit mengundang alunan azan maghrib disetiap penjuru Kota Praya yang damai. Segera Durrah meraih mukena selepas berwudlu’ untuk menyerahkan diri kepada Sang Pemilik diri. Khusyuk ia melapazkan kalam Illahi yang terdengar hanya olehnya secara lahiriah di setiap rakaat shalatnya. Makna tiap bacaan shalat yang ia fahami semenjak mengenyam pendidikan di madrasahnya mengundang isak keharuan yang seketika itu mulai mengalir butiran-butiran bening membasahi sebagian mukena hijaunya. Suasana menghening. Ia mencicipi kedamaian dalam pelukan Illahi. Seusai salam, ia tak ingin menghentikan kedamaian dalam diri. Ia meraih bungkulan kitab suci Al Qur’an pemberian sahabatnya di hari milad ke-17nya.

Bacaannya terhenti ketika ia hingga kepada ayat yang seolah diturunkan khusus untuknya, “Azzanii laa yangkihu illa zaaniyah”. Ia merasa tersindir. “Apa ayat ini Engkau turunkan untukku Robby? Apakah ini sindiranMu?” bisiknya dalam hati. Ia mulai mengingat bagaimana kabar hatinya belakangan ini. Menyadari itu yaitu kesalahan yang tak ia sadari sebelumnya. Ia membiarkan hatinya terjebak dalam zina alasannya yaitu mengangankan orang yang tidak halal untuknya. Ia mulai merasa berdosa. Rasa takut menghampirinya. Takut yang menikahinya nanti yaitu seorang pezina, meski hanya pezina hati. Ia beranggapan antara zina yang satu dengan zina yang lain tetap bisa mengundang kemarahan Sang Pencipta. “Astagfirullahaladziim”, ia tundukkan kepala dan beristighfar, berharap kekeliruannya itu segera sanggup ia benahi.
****

Matahari mulai memancarkan sinarnya. Kicauan burung-burung seolah berlomba-lomba menyambut hari yang penuh berkah. Kokokkan ayam tak ingin kalah, bersahut-sahutan terdengar di beberapa tempat. “Hari yang cerah, ini anugerah”, kalimat yang tak pernah alpa untuk diucapkan Durrah di setiap paginya. Hari ini ia memutuskan untuk ke Madrasah. Meski tidak ada acara niscaya yang akan dilakukannya disana. Ia merasa sangat rindu dengan suasana Madrasah. Rindu guru-gurunya, rindu teman-temannya, rindu adik-adik angkatannya juga yang biasa memanggilnya Kk Dee ibarat orang tuanya.

Madrasah tetap ibarat biasa. Tampak asri dengan hiasan pohon kelapa di sekeliling bangunan. Dengan bismillah ia melangkahkan kakinya menyisiri lingkungan madrasah. Ada perasaan khawatir dalam hatinya. Khawatir kalau-kalau ia nantinya bertemu dengan ikhwan yang menciptakan dirinya merasa sangat berdosa alasannya yaitu tak bisa menjaga hatinya.
“Kk Dee…”. Panggilan Alna, adik kelasnya yang satu organisasi dengannya membuyarkan kekhawatirannya.
“Kk, kangen deh sama Kk”
“Iya dinda, Kk juga kangen sama semuanya”
“Kk, ada lomba Karya Tulis Ilmiah, kami harus ikut kata Pembina. Tapi ini kali pertama kami ikut lomba tanpa kakak-kakak. Kaprikornus mikir gak usah ikut saja.”
“Loh, kok gitu? Pokoknya harus ikut. Harus! Jangan kecewakan Pembina, ya! Masa kami dijadikan alasan ketidakinginan kalian untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas gemilang kalian.”
“Bukan gitu kakak, kami kan selalu minta proteksi Kk Dee tiap ada lomba dulu-dulu. Kalau tidak ada Kk, kami minta proteksi siapa lagi? Nanti ndak selese-selese lagi karyanya”
“Kan pembina ada. Tenang saja, kk juga masih di sini kan. Dan ingat! Kk masih resmi siswi sini.”
Bel berbunyi tanda waktu istirahat pertama berakhir. Lingkungan madrasah di luar kelas mulai lengang. Siswa dan guru melakukan kiprah masing-masing. Belajar dan mengajar. Rutinitas yang ia pernah jalani pula selama hampir tiga tahun.

Perpustakaan tampak merekahkan senyum simbolisnya. Ia merasa terpanggil untuk memasukinya. Belum sempat ia menuntaskan salamnya, terlihat Zaki, siswa kelas Bahasa yang menciptakan hatinya tak bisa ia manage. Perasaannya mulai berkecamuk. Ingin rasanya ia tinggalkan tempat itu segera, namun keengganannya untuk menciptakan pria yang di matanya berwibawa itu berpikiran macam-macam tentangnya, menahannya untuk melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang tiba-tiba berubah sembab itu.
“Sendirian ukh?”
“Nggih,” balasan singkat menurutnya terbaik untuk bisa menjaga kesan tenang bagi dirinya.
“Anti niat baca buku yang mana? Kalau tidak ada, ini tiang sudah baca. Sepertinya cocok untuk dibaca para akhwat. Anti mau baca?”.
“Boleh”.

Durrah tak ingin berlama-lama di perpustakaan. Magnet-magnet perangkap setan sudah sanggup ia rasakan di dalam sana. Ia beranjak keluar perpustakaan dengan menenteng buku pinjaman yang membuatnya penasaran, “cocok dibaca para akhwat? Seperti apa ya isinya?”. Durrah bertanya-tanya dalam hati. Langkah kakinya dipercepat. Musholla tampak sepi. Ia memutuskan untuk melihat-lihat isi buku itu disana, “judulnya lucu, 24 Jam Amalan Agar Suami Makin Sayang”. Ada sedikit rasa aib dihatinya untuk membaca buku ditangannya itu. Ia merasa belum pantas untuk membaca buku semacam itu. Ia takut terkesan sudah siap menikah dengan membaca buku itu kalau dilihat orang. Tapi rasa ingin tau yang menancap di hati menggerakkan jari-jemarinya untuk membuka halaman demi halaman buku itu. Hatinya terperanjat membaca hadits shahih riwayat Muslim di salah satu halamannya, “wanita itu kalau dipandang dari depan akan meniupkan nafsu setan (merangsang birahi) dan dipandang dari belakang pun (meniupkan nafsu) setan”. Ia merenung. Apakah ia sudah bisa menjaga dirinya? Atau ialah yang dijadikan alat oleh setan? Untuk merusak lawan jenisnya dengan nafsu yang terhias pada dirinya? Istighfar ia lisankan berulang-ulang. Di halaman berikutnya ia menemukan hadits yang senada dengan yang sebelumnya “wanita itu aurat, bila ia keluar rumah maka setan akan menghiasinya, (untuk menampak-nampakkan kemolekannya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah)”. Ia coba menerawang dirinya. 
Menerawang keseringannya keluar rumah tanpa didampingi mahram. Lantas ia memvonis dirinya alat setan. Kembali istighfar terdengar dari lisannya. Keinginannya untuk melanjutkan kuliyah selepas menamatkan Aliyah kembali ia pertimbangkan. Ia akan selalu berada diluar rumah. “Ah, Rasulallah juga menyampaikan uthlubul ‘ilma falau bissiin. Selama itu keluar rumah untuk alasan yang dibenarkan agama, insyaAllah Allah ridho”. Ia memantapkan hatinya. Ia tutup buku itu, ia memutuskan untuk melanjutkan membacanya di rumah saja alasannya yaitu musholla madrasah sudah mulai dipadati para siswa dan beberapa guru untuk melakukan shalat zuhur berjama’ah. Usai shalat ia memutuskan untuk meninggalkan madrasah.
****

Fajar mulai menyingsingkan diri. Sebagai puteri semata wayang, Durrah tidak pernah mencicipi kekurangan kasih sayang orang tua.
“Jadi daftar kuliyah kemana Dee?”
“UIN Malang Mak, ambil Kimia. Menurut Bapak dan Mamak gimana?”
“Kalau bapak setuju-setuju saja, tapi ada sedikit rasa khawatir. Kamu perempuan. Keluarga disini semua.”
“InsyaAllah proteksi Allah akan tetap bersama tiang. Jadi, tiang harap jangan khawatir nggih…”.
“Dee, ada yang bapak ingin sampaikan”
“Napi nike pak?”
“Bapak tidak berani mengambil keputusan tanpa persetujuan darimu”
“Maksud bapak?”
“Sekitar dua ahad lalu, waktu Dee masih menjalankan Ujian, sahabat bapak, Ust. Hasan, melamarmu untuk puteranya. Puteranya itu tidak mengenalmu, tapi sehabis Ust. Hasan menceritakan tentangmu padanya, beliau mengiyakan. Karena yakin pilihan bapaknya tidak sembarangan. Bapak tidak memberikan ini padamu alasannya yaitu waktu itu bapak tidak ingin mengganggu ujianmu. Bapak memberikan ini kini alasannya yaitu berdasarkan bapak kau sudah tidak aktif lagi di madrasah. Apa tanggapanmu?”

Durrah tersentak mendengar penuturan pria yang ia panggil bapak itu. Lidahnya terasa berat untuk mengucapkan sepatah katapun. Aliran darahnya terasa semakin cepat memaksa keringatnya keluar melalui lubang pori-pori kulitnya. Ia mencoba menerka-nerka kalimat yang harus ia keluarkan. Ia merasa menjadi ibarat batita yang gres berguru bicara. “Dee…”
“Bapak tidak memaksamu untuk mendapatkan atau menolak lamaran itu nak. Tapi, bapak perlu mengingatkan, ketika seorang perempuan dilamar pria sholih, dan si perempuan siap menikah, maka sebaiknya diterima. Sekarang bapak Tanya, Dee siap berumah tangga?”
“Dee…”
“Kalau Dee belum siap tidak apa-apa, nanti bapak sampaikan ke Ust. Hasan.”
“Terserah bapak saja, Dee insyaAllah ridho”
“Terserah bapak? Pikirkan baik-baik Dee. Ini bukan hal yang ringan. Ini ihwal hidupmu.”
“Dee ingin kuliyah juga pak. Tapi kalau ada pria sholih yang tiba melamar, ibarat yang bapak katakan tadi, alangkah baiknya kalau diterima. Jadi, Dee serahkan ke bapak saja. Apapun yang berdasarkan bapak baik, insyaAllah baik untuk Dee”
“Bapak dan Mamak sudah istiharahkan ini. Dan kami merasa, petunjuk Allah mengarahkan untuk Dee mendapatkan lamaran ini saja.”
“Nggih kalau itu yang lebih baik”
“Bapak akan segera mengabari Ust. Hasan. Setelah pengumuman kelulusanmu diterima, insyaAllah kesepakatan nikahmu segera dilangsungkan”.
“Nggih”, lirih ia mengucapkan kata terakhir sebelum ia berlalu menuju kamarnya. Ia masih tidak menyangka akan segera menikah. Di usianya yang masih sangat belia, 18 tahun. Namun ia teringat hadits Rasulallah ihwal seorang istri yang dipersilakan masuk nirwana dari pintu manapun yang ia kehendaki “Jika seorang perempuan mengerjakan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluan (kehormatannya) dan taat kepada seuaminya, ia berhak untuk masuk nirwana dari pintu manapun yang ia kehendaki”. Ia memantapkan diri untuk yakin dengan keputusannya.
****

Pengumuman kelulusan dibagikan. Durrah Althafunnisa, nama pertama yang disebut ketika pengumuman lulusan terbaik dibacakan. Ia lulus sebagai lulusan terbaik. Ia meninggalkan madrasah aliyahnya dengan meninggalkan nama yang harum berparfumkan prestasi membanggakan. Yang sekaligus sebagai final status lajang dalam rentetan kisah hidupnya.

Praya, 28 Februari 2013
Glosarium:
Tiang : Saya
Nggih : Ya
Mamak : Ibu
Napi nike : Apa itu
PROFIL PENULIS
Nama : Rita A.
Pekerjaan : Pelajar MAN 1 Praya
fb : Rita Ryani

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel