Rarantika - Cerpen Islam
Kamis, 23 April 2015
RARANTIKA
Karya Irna Octarina
Waktu liburan yang panjang sudah menantiku, uas sudah berakhir beberapa ahad yang lalu. Kini saya tinggal menunggu hasil nilai yang tak kunjung keluar. Dua bulan, ya saya libur selama 2 bulan tapi itu tak dilema bagiku alasannya saya sudah menyiapkan ribuan aktivitas untuk saya lakukan selama liburan awal semester ini. Agenda pertamaku yaitu merapikan buku-buku di lemariku yang berantakan, entah sudah berapa usang saya tak merapikannya. Kukeluarkan semua buku dari lemari dan semua buku berhamburan di kamarku, hingga perhatianku tertuju pada buku biru bau tanah yang sudah usang tak kubuka. BTS Sekolah Menengah Pertama ku, sudah usang saya tak melihatnya. Aku buka halaman pertama yang berisi namaku “Raisya Miranti”. Kubuka halaman demi halaman, hingga membuatku mengingat lagi masa-masa itu. Masa yang kuhabiskan bersama Randu Mahardika.
***
“Ra nanti sesudah pulang sekolah berguru bareng yuk, saya masih gundah sama bahan yang tadi dijelasin bu Zaza”
“Ayo, menyerupai biasa ya ngerjainnya di bawah pohon sebelah rumahku”
Randu pun mengiyakan, kami sering mengerjakan pr bersama ataupun sekedar ngobrol di bawah pohon itu. Pohon Rarantika namanya, Randu yang memperlihatkan nama pada pohon itu. Kami berdua yaitu sepasang sahabat, kami sangat dekat. Awal kedekatan kami bermula ketika kami berada di dingklik kelas 3 SMP, saya duduk di depan Randu dan semenjak ketika itu kami sering mendiskusikan pelajaran hingga hasilnya saling curhat ketika salah satu dari kami ada yang memiliki masalah.
***
“Ra nanti sesudah pulang sekolah berguru bareng yuk, saya masih gundah sama bahan yang tadi dijelasin bu Zaza”
“Ayo, menyerupai biasa ya ngerjainnya di bawah pohon sebelah rumahku”
Randu pun mengiyakan, kami sering mengerjakan pr bersama ataupun sekedar ngobrol di bawah pohon itu. Pohon Rarantika namanya, Randu yang memperlihatkan nama pada pohon itu. Kami berdua yaitu sepasang sahabat, kami sangat dekat. Awal kedekatan kami bermula ketika kami berada di dingklik kelas 3 SMP, saya duduk di depan Randu dan semenjak ketika itu kami sering mendiskusikan pelajaran hingga hasilnya saling curhat ketika salah satu dari kami ada yang memiliki masalah.
Rarantika |
Hari-hari telah kami lalui bersama, berguru mati-matian demi mendapat nilai anggun untuk ujian nasional atau yang biasa disebut UAN hingga kami dihadapkan pada hal yang kurang mengenakkan. Aku tidak lagi satu sekolah dengan Randu, ia menentukan untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengan Atas Jaya Bangsa sedangkan saya melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah kejuruan Purna Kusuma. Meskipun begitu, kami tak pernah merasa terpisah alasannya jarak antara sekolahku dengan Randu tidak jauh, hanya sekitar 2 kilometer. Haha akrab sekali bukan..
Terkadang Randu menjemputku ke sekolah bila saya tak ada sobat pulang alasannya saya tak berani bila harus pulang dengan menaiki bis sendirian, bahkan Randu pernah menungguku hampir selama satu jam alasannya saya menunggu temanku dijemput oleh kakaknya. Tapi saya merasa kedeketanku dengan Randu, bukan lagi kedekatan sebagai sepasang sahabat. Ada perasaan lain yang bergejolak di dalam hatiku, entah perasaan apa itu. Dan ternyata Randu pun mencicipi apa yang saya rasakan. Hingga tepatnya pada tanggal 14 April 2011 ia mengungkapkan perasaannya padaku,
“Ra saya suka sama kamu, saya ngga tau kenapa rasa ini bisa ada. Tapi rasa itu muncul begitu aja”.
“Sebenernya saya juga sama kau Ran”, tiba-tiba saya sangat aib berada di hadapan Randi.
Semenjak itu ada yang berubah, Randu semakin perhatian kepadaku. Kami pun semakin sering smsan, tapi tak ada kata pacaran diantara kami. Aku pun tak tau mengapa.
“Raisya saya pengen kita punya panggilan yang beda”
“Maksudnya beda gimana Ran?”
“Gimana kalo ngomong saya kamunya pake bahasa Jerman aja, kan unik tuh”, ucapnya sambil mengedipkan matanya yang sebetulnya tidak kelilipan.
“Ngga mau ah saya ngga ngerti, saya lebih suka pake bahasa Korea” .
“Yah saya juga gamau, semoga adil mending digabung aja. Untuk yang saya pake bahasa Korea “na”, yang kau pake bahasa Jerman “du”.
Sejak ketika itu kami mulai terbiasa dengan panggilan “du” dan “na”. Ia pun mulai menceritakan kepadaku mengapa ia menamai pohon sebelah rumahku dengan nama Pohon Rarantika, ternyata itu yaitu abreviasi dari nama kami berdua, RAisya RANdu miranTI mahardiKA. Semenjak Randu mengungkapkan perasaannya padaku, ia menjadi lebih romantis. Tak jarang ia memperlihatkan setangkai mawar putih kesukaanku.
Terkadang Randu menjemputku ke sekolah bila saya tak ada sobat pulang alasannya saya tak berani bila harus pulang dengan menaiki bis sendirian, bahkan Randu pernah menungguku hampir selama satu jam alasannya saya menunggu temanku dijemput oleh kakaknya. Tapi saya merasa kedeketanku dengan Randu, bukan lagi kedekatan sebagai sepasang sahabat. Ada perasaan lain yang bergejolak di dalam hatiku, entah perasaan apa itu. Dan ternyata Randu pun mencicipi apa yang saya rasakan. Hingga tepatnya pada tanggal 14 April 2011 ia mengungkapkan perasaannya padaku,
“Ra saya suka sama kamu, saya ngga tau kenapa rasa ini bisa ada. Tapi rasa itu muncul begitu aja”.
“Sebenernya saya juga sama kau Ran”, tiba-tiba saya sangat aib berada di hadapan Randi.
Semenjak itu ada yang berubah, Randu semakin perhatian kepadaku. Kami pun semakin sering smsan, tapi tak ada kata pacaran diantara kami. Aku pun tak tau mengapa.
“Raisya saya pengen kita punya panggilan yang beda”
“Maksudnya beda gimana Ran?”
“Gimana kalo ngomong saya kamunya pake bahasa Jerman aja, kan unik tuh”, ucapnya sambil mengedipkan matanya yang sebetulnya tidak kelilipan.
“Ngga mau ah saya ngga ngerti, saya lebih suka pake bahasa Korea” .
“Yah saya juga gamau, semoga adil mending digabung aja. Untuk yang saya pake bahasa Korea “na”, yang kau pake bahasa Jerman “du”.
Sejak ketika itu kami mulai terbiasa dengan panggilan “du” dan “na”. Ia pun mulai menceritakan kepadaku mengapa ia menamai pohon sebelah rumahku dengan nama Pohon Rarantika, ternyata itu yaitu abreviasi dari nama kami berdua, RAisya RANdu miranTI mahardiKA. Semenjak Randu mengungkapkan perasaannya padaku, ia menjadi lebih romantis. Tak jarang ia memperlihatkan setangkai mawar putih kesukaanku.
Hingga pada suatu hari saya merasa bahwa apa yang selama ini saya lakukan bersama Randu yaitu sebuah kesalahan. Meski kami tak berpacaran, tapi usang kelamaan saya aib dengan kedekatan kami. Terlebih lagi saya mulai mengenakan jilbab yang agak lebar. Aku mulai menyadari hal ini semenjak dua tahun belakangan saya aktif dalam kegiatan mentoring di sekolahku. Kak Putri –kakak mentorku- ia sering memberi tahu wacana batasan-batasan dengan lawan jenis. Aku sangat kagum padanya, alasannya hingga pernikahannya ia jarang sekali berkirim pesan dengan lelaki yang bukan mahramnya kecuali bila itu sangat mendesak. Bahkan menurutku ia bisa menjaga dirinya dari berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis, baik dalam sms maupun percakapan. Karena ia lebih sering menunduk ketika berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya. Dan saya pun ingin menyerupai ka Putri.
Sejak ketika itu saya mulai menjauh dari Randu, bahkan bila ia mengirimiku pesan saya hanya membalas sekedarnya saja. Aku pun sudah tak lagi memakai panggilan na dan du, meski hingga kini Randu masih memakai panggilan itu. Awalnya semua ini terasa berat bagiku, alasannya tak gampang melupakan Randu. Ia sangat baik padaku, bahkan pada ketika kecelakaan yang menimpaku beberapa bulan lalu, Randulah yang menemaniku di rumah sakit dan mengantarkanku hingga ke rumah.
***
Lama kelamaan Randu pun semakin jauh dariku, kami mulai sibuk dengan dunia masing-masing. Aku mulai ikut tes kesana-kemari untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, perjuanganku tidak sia-sia. Aku diterima di salah satu sekolah tinggi tinggi negeri di Jakarta Aku pun tak tau dimana Randu kuliah sekarang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Randu mengirimiku sebuah pesan.
Randu : Raisya apa kabar?
Raisya : Alhamdulillah baik, kuliah dimana Ran?
Randu : Na kuliah di Untirta, jurusan teknik mesin. Kalo du?
Raisya : Aku kuliah di UIN Syahid, jurusan pendidikan bahasa inggris
Randu pun mulai bertanya padaku, apakah saya masih menyukainya. Karena semenjak beberapa waktu kemudian kedekatan kami sudah tidak lagi seintens dulu. Aku jawab semuanya, dan saya pun menceritakan keinginanku untuk menjadi menyerupai kak Putri –yang bisa menjaga hatinya hanya untuk suaminya-. Perlahan Randu mulai mengerti apa yang saya katakan, ia pun menyadari bila apa yang selama ini kita lakukan yaitu sebuah kesalahan, rasa cinta yang hadir di waktu yang belum tepat. Sejak ketika itu, kami mulai menjaga jarak tapi bukan berarti memutuskan jarak.
***
Tak terasa air mata jatuh secara perlahan di wajahku, saya teringat lagi dengan Randu. Pesan terakhirnya masih saya simpan dalam buku harianku.
“Satu hal yang perlu du tau, pada ketika na masih Sekolah Menengan Atas dulu. Na berguru mati-matian semoga bisa masuk di kelas ipa, itu demi du padahal sebelumnya na gak yakin bisa masuk ipa. Terus na berusaha semoga bisa masuk di Untirta demi du juga. Na akan berguru yang rajin semoga bisa jadi engineer yang sukses dan nati bisa ngelamar du. Jadilah perempuan istimewa di mata lelaki dan istri idaman, dan mudah-mudahan na yang mendapat istri idaman itu kelak. Aamiin. Dan na juga masih nyimpen kado ulang tahun buat du dari tahun 2011 dan kini ada 2 kado yang na simpen buat du”.
Biarlah semua kenangan manis itu tersimpan rapi di lemariku. Meskipun saya dan Randu terpisah oleh jarak tapi kenangan di bawah pohon Rarantika itu tak akan pernah terlupakan dan saya percaya bahwa jodoh itu tak akan pernah tertukar.
--------
No. Urut : 438
Tanggal Kirim : 18/01/2013 19:00:11