Kau Bukan Hanya My Imagination - Cerpen Cinta Romantis

KAU BUKAN HANYA MY IMAGINATION
Karya Lintang Putri Negari

Tak pernah saya mencicipi kebahagiaan. Sangat sulit bagiku untuk mendapatkan teman. Aku tak tau mengapa, tapi yang terang ketika saya mendekat, maka mereka akan pergi menjauhiku. Apa ada yang salah denganku?

Namaku Eliana. Saat ini umurku gres menginjak 15 tahun. Hampir satu bulan berlalu semenjak pengumuman kelulusan diumumkan. Saat ini saya sedang mempersiapkan diri alasannya ialah besok ialah hari pertamaku di SMA. Tak banyak yang saya harapkan. Aku hanya berharap biar ketika di Sekolah Menengan Atas nanti saya sanggup mendapatkan teman. Walau hanya satu, tapi saya niscaya akan merasa sangat senang sekali.

Kau Bukan Hanya My Imagination
Disini ialah satu-satunya daerah bagiku. Kamar yang selalu membuatku nyaman dan senang walau sedang merasa duka dan kesepian. Setiap hari yang selalu kulakukan di kamar ini ialah melukis. Ya, melukis ialah hobiku semenjak kecil. Karena ketika melukis, saya merasa berada di dunia yang berbeda. Dunia yang tak pernah di datangi orang lain. Dunia yang setiap ketika sanggup kudatangi dan sanggup menerimaku. Sebuah dunia gres yang kuciptakan dengan imajinasiku.

Hari yang cerah. Cahaya mentari yang menyilaukan menembus jendela kamarku. Aku rasa ini ialah waktu yang sempurna untuk melukis.

Kini kanvas telah ada dihadapanku. Perlahan-lahan saya mulai melukis sebuah bayangan yang ada dalam pikiranku. Goresan dari cat air mulai membentuk sesosok laki-laki yang belum pernah kukenal.

Tak butuh waktu usang bagiku untuk menuntaskan lukisan ini. Sekarang yang terlukis di kanvas ialah wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum. Panjang rambutnya hanya sebahu dengan warna hitam yang terlihat cocok dengan warna kulitnya yang putih.
“Andaikan lukisan ini nyata, mungkin saya akan menjadikanmu teman.” Pikirku.

Aku terus memandangi lukisan itu. Jika ia terlahir sebagai manusia, mungkin ia akan menjadi laki-laki yang sangat ganteng dan mungkin akan membuatku jatuh cinta padanya.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk memberinya nama. Beberapa ketika saya terus berpikir dan menatap lukisan itu.
“Ya, saya tahu!” seruku sesudah menemukan nama yang kurasa cocok untuk lukisan itu. “Bagaimana kalau Dave? Soalnya semenjak dulu saya selalu ingin mempunyai seorang abang laki-laki berjulukan Dave.” Sambungku sembari menuliskan nama ‘Dave’ di kanvas itu.

Hari semakin malam. Tak terasa jam telah menyampaikan pukul 09.37 malam. Aku mulai mengantuk. Mataku terasa berat. Sebelum tidur saya sempat menggantung lukisan Dave di dinding biar saya sanggup melihatnya sebelum tidur. Setelah itu, saya mulai memejamkan mata di daerah tidurku. Kuharap besok saya tak akan terlambat alasannya ialah besok ialah hari pertamaku di SMA.

Aku berdiri disebuah jalan. Setelah siap dengan seragam yang kugunakan, saya melangkahkan kaki menuju gedung SMA.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sontak saya terkejut dan pribadi menoleh ke belakang. Namun ketika saya melihat orang yang menepuk bahuku tadi, saya merasa lebih terkejut lagi. Taukah kau siapa yang kulihat? Dia Dave laki-laki yang ada dalam lukisanku.
“Kau niscaya mengenalku, kan?” tanyanya sambil tersenyum. “Ya, saya Dave. Kau memang seniman yang berbakat.” Katanya sambil mengedipkan satu matanya.

Aku masih terdiam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Apa ini hanya ilusi? Mungkinkah ini kenyataan? Tapi bagaimana sanggup beliau menjadi nyata?
“Kenapa? Kau tak suka saya ada disini?” pertanyaan Dave membuyakan lamunanku.
“B-bukan… t-tapi kau kan…”
“Ya, kau benar, saya hanya sebuah lukisan. Tapi bukankah kau sendiri yang meminta biar saya menjadi konkret dan menjadi temanmu?”
“Aku?” otakku terus berpikir dan berusaha mencerna apa yang dikatakan Dave. Apa impian menyerupai ini sanggup terwujud? Atau ini ialah sihir? Apa mungkin saya bermimpi? Tapi rasanya ini bukan mimpi.
“Hey, nggak usah kebanyakan mikir, deh!” kata Dave. Tiba-tiba ia menggenggam tanganku. “Ayo masuk! Nanti kita terlambat lagi.” Ia menarik tanganku dan berlari memasuki sekolah.

Sampai detik ini saya masih terus berpikir. Bagaimana sanggup Dave ada didunia ini? Berulang kali saya menganggap ini mimpi. Tapi saya merasa ini terlalu konkret untuk menjadi mimpi. Tapi disamping rasa resah itu, ada perasaan senang terselip di hatiku, alasannya ialah gres kali ini saya melihat lukisanku sanggup hidup dan berbicara denganku. Ya, Tuhan, bolehkah saya berharap kalau ini nyata?

Setiap hari kami selalu bersama. Saat sekolah maupun pulang sekolah. Ya, mau bagaimana lagi? Dave itu kan asalnya dari lukisan yang kubuat, jadi setiap pulang sekolah, kami akan pulang bersama ke rumahku alasannya ialah rumah Dave ialah lukisan yang kini ada didalam kamarku.

Meski ia hanya lukisan, tapi saya selalu merasa kalau Dave mempunyai hati. Setiap ada yang meminta bantuan, maka ia akan membantu orang itu. Seperti saya yang sering mengeluh padanya. Mungkin kalau orang lain mendengar keluhanku setiap hari, maka orang itu niscaya akan merasa bosan dan pergi. Tapi tidak dengan Dave. Dengan antusias ia mendengarkan keluhanku dan ketika saya selesai, maka ia akan memberiku solusi dan semangat untuk menghadapi problem yang sedang kuhadapi. Hal itu membuat Dave bertahap masuk ke celah-celah hatiku hingga membuatku jatuh cinta padanya.

Ingin sekali saya mengutarakan perasaanku padanya, tapi saya selalu mengurungkan niat itu. Bukan alasannya ialah saya membencinya. Tapi bayangkan saja. Dia hanya sebuah lukisan sementara saya ialah manusia. Makara bagaimana sanggup saya mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya?

Bel istirahat berbunyi. Dengan perut lapar saya berjalan menuju kantin. Apalagi pelajaran tadi terasa sangat menyulitkan bagiku hingga membuat perutku semakin lapar.

Oh, menyebalkan sekali. Saat sampai, suasana kantin sangat ramai. Kulihat ke sekelilingku, tak tersisa satu pun meja untuk makan. Dengan rasa kecewa saya beranjak kembali menuju kelas.

Berbeda dengan suasana di kantin. Saat ini kelas nampak sepi. Yang ada hanya ada beberapa murid perempuan yang sedang mengobrol sementara di dingklik paling belakang, kulihat Dave sedang asyik mengotak-atik bukunya. Sepertinya ia sedang menggambar sesuatu.
“Woi!” seruku ketika menghampirinya.
“Apa?” hanya kata itu yang beliau ucapkan.
“Cuek banget.” Kataku sesudah duduk disampingnya. “Ng… gambar apa, tuh?” tanyaku penasaran.

Dave mengangkat bukunya dan memperlihatkannya padaku. “Ini?” tanya Dave.

Rasanya saya ingin tertawa melihat gambarnya. Tak sanggup kukatakan dengan sebuah kata-kata, tapi yang terang gambarnya itu terlihat lucu bagiku. “Lukisan itu nggak sanggup melukis, ya?” ejekku.
“Kenapa? Kau mau menghina?” Dave balik bertanya. Ia menatap gambarnya sendiri. Kulihat ia tersenyum tipis. Sepertinya gambar itu juga terlihat lucu baginya. “Iya juga, ya. Gambarku memang aneh.” Katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hey, bolehkah saya bertanya?” tanyaku sedikit ragu.

Dave berhenti tertawa. Kini ia menatapku. “Tentu.” Jawabnya singkat.
“Kenapa kau sanggup ada disini? Bukankah kau hanya sebuah lukisan? Apa kini saya sedang bermimpi?” tanyaku.
“Mimpi? Apa kau berpikir begitu?” Dave balik bertanya.
“Ya, begitulah.”
“Kalau begitu kau benar. Ini semua hanyalah mimpi. Ini ialah dunia yang kau ciptakan dengan imajinasimu. Aku juga bab dari imajinasimu.” Jawab Dave. Aku tertegun mendengar jawabannya itu.
“Itu artinya kau tidak nyata?”
“Ya. Saat kau terbangun dari tidurmu, maka saya akan menghilang. Tapi hal itu akan lebih cepat terjadi kalau kau menyampaikan suka padaku dari hatimu yang paling dalam.”

Rasa kecewa menghampiriku. Ternyata semua ini hanya mimpi. Dia bukanlah kenyataan. Dia bilang kalau saya menyampaikan suka maka ia akan menghilang lebih cepat sebelum berakhir waktuku untuk tidur. Tapi bagaimana dengan perasaanku?
“Tenang saja! Kau tak perlu memasang tampang duka menyerupai itu.” Ujar Dave dengan wajah hening sambil tersenyum.
“Kenapa? Kenapa kau masih sanggup tersenyum?” tanyaku sambil meneteskan air mata.
“Apa maksudmu?” tanya Dave bingung.
“Kenapa kau masih sanggup tersenyum ketika menyampaikan hal itu? apa kau senang kalau harus berpisah?” tanyaku. Aku menatap wajahnya yang terlihat bingung.
“Eliana…”
“Tapi saya tidak senang. Aku tak mau berpisah denganmu. Aku tak mau berpisah dengan orang yang kusuka. Aku menyukaimu apa kau tak tau itu? Apa kau tak menyadarinya selama ini?” tanpa berpikir panjang saya menyampaikan hal itu. Meski merasa menyesal, tapi semua sudah terjadi. Tak ada lagi yang sanggup kulakukan.
“K-kau…”
“Maaf.” Lirihku.

Tiba-tiba Dave tersenyum. Ia menarik tanganku kemudian memelukku. Tak sanggup kurasakan suhu tubuhnya. Entah itu cuek atau hangat saya tetap tak sanggup merasakannya alasannya ialah ia hanya sebuah lukisan.
“Akhirnya kau mengatakannya juga.” Ujar Dave.
“Apa maksudmu?” tanyaku.

Dave melepaskanku. Kedua tangannya menghapus air mata di pipiku. “Sejak kita bertemu, saya tau kalau pada akibatnya kau akan menyampaikan suka padaku. Meski awalnya saya mencoba untuk tak menghiraukannya, tapi entah kenapa saya juga menyukaimu.” Jawabnnya sambil tersenyum.
“Kenapa kau tak memberi tauku semenjak awal? Jika saya tau, saya niscaya tak akan menyampaikan suka padamu.”
“Mau bagaimana lagi? Kau juga telah membuatku jatuh cinta padamu.”. “Didunia ini, saya tercipta sebagai lukisan yang seharusnya tak mempunyai hati dan perasaan. Tapi alasannya ialah kau telah menciptakanku dengan hati dan perasaanmu, maka kau sanggup membuat hati dalam diriku hingga saya sanggup mencicipi cinta.”

Air mataku kembali menetes. Tak sanggup kubayangkan apakah saya sanggup membiarkan Dave pergi begitu saja. Pasti rasanya sakit. Apalagi Dave ialah cinta pertamaku. Tapi saya tak sanggup memilikinya dalam nyata. Aku hanya sanggup memilikinya dalam imajinasi alasannya ialah beliau hanyalah imajinasiku.
“Sepertinya saya harus pergi sekarang. Selamat tinggal Eliana.” Ucap Dave.

Sebelum pergi Dave sempat memberiku sebuah hadiah, yaitu sebuah cium manis di keningku. Harusnya saya merasa senang, tapi kenapa saya malah merasa sakit? Apa alasannya ialah Dave akan pergi?
“Kuharap kita sanggup bertemu lagi.” Kata Dave.

Perlaan-lahan semuanya menghilang. Bukan hanya Dave, tapi semua murid dan gedung sekolah juga ikut sirna. Kini yang kulihat hanyalah kegelapan yang pekat mengelilingiku tanpa sedikit pun cahaya yang menerangi pandanganku.

Aku terbangun dan kembali ke kamarku yang terang. Benda pertama yang kulihat ialah lukisan Dave yang terpajang di dinding. Tanpa sadar tiba-tiba saya menangis. Masih menempel dalam benakku mimpi indah itu. Bisakah mimpi itu terulang kembali? Masih bisakah saya bertemu dengannya? Aku harap semua itu sanggup terjadi.

Suara jam weker mendengung di telingaku. Tanpa sadar saya tertidur di lantai ketika menangis tadi. Kulihat jam telah menyampaikan pukul 05.45. Meski masih ingin berada di bersahabat lukisan Dave, tapi lebih menentukan untuk berkemas-kemas pergi ke sekolah alasannya ialah saya sadar kalau kini saya tak lagi berada di dunia mimpi atau imajinasi tapi kini saya telah berada di dunia nyata. Tempat yang sanggup dikunjungi Dave alasannya ialah ia hanyalah imajinasiku.

Sekolah ini terlihat luas. Pasti ada banyak murid yang bersekolah disini. Kuharap saya akan mendapat sahabat gres disini.

Aku dan beberapa murid kelas 1 berjalan mengikuti 2 orang abang kelas yang merupakan osis di sekolah ini. Kami membentuk barisan dan berjalan menuju kelas gres kami. Dan ketika berhenti kami hingga disini. Dan inilah kelas yang akan kami tempati.
“Tunggu!” seru seorang osis. “Karena kalian masih dalam masa ospek, jadi biar kami yang mengatur daerah duduk kalian. Kalo nggak terima, berarti harus siap terima hukuman.” Sambungnya.

Kulihat beberapa siswa merasa kesal. Aku rasa mereka ingin duduk bersama temannya masing-masing. Hanya saja mereka tak berani protes alasannya ialah takut akan mendapatkan hukuman. Akulah satu-satunya orang yang mendapatkan peraturan itu dengan senang hati alasannya ialah kalau pun peraturan itu tidak ada, saya juga akan duduk dengan orang yang tak kukenal. Makara apa bedanya?

Kedua osis itu mulai beraksi. Mereka menempatkan satu-persatu murid ke dingklik yang mereka pilih sesuka hati mereka. Tidak hanya itu, tapi mereka juga mengatur siapa orang yang akan duduk dengan kami.
“Kamu!” panggil seorang osis. Ia menunjuk kearahku. “Duduk disana!” katanya sambil menunjuk dingklik urutan ketiga kalau dihitung dari depan.

Aku berjalan menuju dingklik itu. Syukurlah, kukira tadi saya akan mendapatkan dingklik rusak menyerupai teman-teman yang lain, tapi ternyata saya mendapat dingklik yang masih terlihat cantik dan terawat.
“Hey, kau yang berdiri di depan pintu!” panggilan terahir itu ditujukan pada seorang pria. Kebetulan beliau ialah orang terakhir yang belum mendapat bangku.

Aku memperhatikan laki-laki itu. Rasanya beliau sangat menyerupai dengan orang yang kukenal. Apa kami pernah bertemu?
“Duduk di dingklik yang masih kosong itu!”

Setelah mendengar perintah itu, laki-laki tadi berjalan menuju dingklik yang dimaksud osis itu.

Saat ia berjalan, saya terus memandanginya alasannya ialah saya yakin saya pernah bertemu dengannya. Hanya saja saya tak ingat dimana.
Tiba-tiba ia berhenti di bersahabat bangkuku. “Disini?” tanyanya sambil menunjuk kursi disebelahku yang kebetulan masih kosong. OSIS itu menganggukkan kepalanya. Tanpa membuang waktu ia meletakkan tasnya dan duduk di kursinya.
“Dave?” kataku sesudah mengenali wajahnya.
“Dave?” laki-laki itu nampak bingung. “Dari mana kau tau namaku? Apa kita pernah bertemu?” tanyanya.
“Tidak mungkin. Apa saya bermimpi lagi?”

Kucoba memukul tanganku sendiri dan ternyata rasanya sakit. Apa artinya ini bukan mimpi? Apa ini kenyataan? Ya, ini memang kenyataan. Ternyata Dave bukan hanya imajinasiku.
“Hey, dimana kita pernah bertemu?” tanyanya lagi.
“Kurasa dalam imajinasiku.” Jawabku sambil tersenyum.
“Imajinasi? Maksudmu?”
“Lupakan saja!” kataku mencoba menghentikan pembicaraan ini.
“Ayolah, beritau aku!” katanya penasaran. Ia terus bertanya sambil memukul-mukul tanganku.
“Kalian berdua!” seru seorang OSIS sambil menunjuk kami. “Pagi-pagi udah pacaran. Maju kalian!” saya tertegun mendengar ucapannya.

Huh, menyebalkan. Harusnya tadi saya tak memulai pembicaraan itu. Tapi terlanjur, kini niscaya saya kena hukuman.
“Hey, ayo maju. Nanti hukumannya sanggup dua kali lipat lebih berat, loh.” Bisik Dave sambil mengedipkan satu matanya, sama menyerupai Dave dalam mimpiku.

Aku menghela nafas. Benar juga apa katanya. Kalau nggak berdiri bisa-bisa kedua OSIS itu menambahkan humuman yang lebih berat lagi. Dengan berat hati saya melangkahkan kaki ke depan kelas. Aku hanya sanggup menatap ke depan kelas alasannya ialah merasa malu. Bagaimana tidak? Sekarang seisi kelas mentertawakan kami.

Taukah kalian eksekusi apa yang diberikan OSIS itu? kalau hanya disuruh membersihkan toilet saya masih sanggup terima. Tapi ini? Kedua OSIS itu menyuruh Dave untuk menyatakan cinta padaku didepan seluruh penghuni kelas. Oh, Tuhan, betapa malunya saya hari ini.
“Hukuman yang menyenangkan, kan?” bisik Dave sesudah melakukan hukumannya. Tak hanya itu, tapi ia juga masih sanggup tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Dasar bodoh!” balasku jengkel.

Hari ini memang menyebalkan. Meski begitu saya yakin ini akan menjadi awal yang baik. Apalagi sesudah bertemu Dave dalam dunia nyata. Itu artinya beliau bukan hanya imajinasiku. Dan yang saya sadari adalah, imajinasi tak hanya berada dalam pikiranmu, tapi mungkin ia juga sanggup muncul dalam kehidupanmu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel