Hujan Di Baturaden - Cerpen Romantis

HUJAN DI BATURADEN
Karya Astrie Damayanti

Rintik kecil membekukan jalan dimana saya melangkah. Keheningan meringkuk rapuh melepas angin malam. Aku berlindung di bawah payung merah muda, memasukkan tangan kiriku ke saku jaket tebalku. Senyap begitu membelakangiku. Dingin baturaden menusuk tulangku. Harusnya saya menikmati selimut tebalku dikasur atau menikmati secangkir kopi susu yang sudah saya siapkan tadi. Namun, keluh perutku yang berteriak makan! makan! menginginkan sesuatu yang sanggup mengganjal perut, mendorongku keluar tuk pergi ke warung. Aku mengeluarkan handphone dari saku kiriku mengecek ada sms masuk atau tidak. Yang kulihat hanyalah wallpaper handphone dan waktu yang memperlihatkan pukul 19.45 WIB. Sepi malam ini sungguh merangkulku yang berjalan sendiri.

Warung makan tak jauh dari kontrakanku serasa jalan panjang lurus yang memakan waktu banyak tuk hingga di sana. Aku hanya melihat hitam aspal dan menghitung setiap tapak kaki yang saya langkahkan. Warung terlihat sepi hanya ada dua pembeli terlihat memesan makanan. Padahal biasanya penuh berjejal pembeli hingga – hingga saya tak bisa melihat mana ibu penjualnya. Aku meletakkan payung merah muda di teras warung. Dari balik beling kawasan menyajikan makanan, piring – piring yang berjejer berisi kuliner hanya tersisa sedikit. Tak ada yang perutku inginkan. Mungkin lumpia hangat pas untuk malam ini. Aku segera memesan lumpia. Namun itu juga mengerutkan perutku, lumpia habis semenjak tadi sore. Ku lihat ayam berbumbu belum mencicip minyak goreng melambaikan tangannya padaku, seolah memanggilku, memintaku untuk memesannya. Akupun mengabulkan permintaanya. Lelah berjalan membuatku duduk di dingklik yang berjajar rapih sambil menikmati program televisi. Menunggu ibu menggorengkan ayam untukku.

Hujan di Baturaden

Tetes hujan yang jatuh menimpa genting membunyikan bunyi gaduh menyerupai mainan anak kecil yang mengerincing riang. Seseorang diluar sana meletakkan payung merah hatinya didekat payungku. Mencoba menata dengan benar. Arah mataku tertuju olehnya yang telah menarik perhatianku. Senyumku berkembang. Entah apa yang menarik bibirku melukiskan lengkung ceria. Pipiku hangat memerah. Seorang laki-laki yang tak gila dalam pandanganku. Mas Maulana dengan blezzer coklat muda bercelana pendek menarik perhatianku sekejap. Aku terpesona olehnya. Begitu keren dengan wajah bagus kulit putihya. Sedikit kumis yang ia biarkan tumbuh, sungguh malam ini ia begitu tampan. Ia mengarah padaku. Mata kami saling bertemu dalam sekejap waktu. Aku menundukkan wajahku. Terdiam dan menahan senyum untuknya.

Aku mendengar langkahnya yang mengarah padaku. Syaraf – syaraf dalam tubuhku menegang seolah tak bisa berkutik. Ku pegang kedua tanganku, rasa hangat mengalir. Ingin saya melihatnya sekali lagi namun jantungku begitu berdegup berpacu cepat dan membuatku aib untuk mengangkat daguku. Aku melihat ia melintas di depanku. Menarik dingklik dan duduk di sebelahku. Aku semakin tak bisa menahan diriku yang salah tingkah dibuatnya.
“Ibu, pesen lumpianya ada?” tanya mas Maulana pada ibu warung yang sedang sibuk membungkus hidangan makananku.
“Habis mas Maulana, tadi sore banyak yang beli si mas,..mas Maulana sama mbaknya kurang gasik kesini.” Kata ibu warung yang memadukan dua bahasa Jawa dan Indonesia. Aku yang mendengar diriku dibawa – bawa hanya bisa tersipu malu.
“Mmm… ya sudah Bu, saya pesen ayamnya saja.”
“Nggih mas Maulana, sekedap nggih?”

Aku melihat mas Maulana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku menarik nafas panjang. Dia begitu terlihat bagus untuk seorang lelaki.
“Oh iya An, kwitansi sama uang kembalian konsumsi yang pengajian kemaren udah ada di aku.” Kata mas Maulana yang mengajakku bicara. Aku tersontak kaget. Ia mengajakku bicara dan ini yakni hal yang memang saya inginkan dalam hidupku. Pengajian akbar kemarin mendekatkan saya dengan mas Maulana dalam satu kerjasama mengurusi konsumsi.
“Iya mas, makasih ya.” Aku tersipu aib sambil menarik lengan jaketku tuk menutupi jemariku yang terlihat nervous oleh perkataannya. Aku melamun menutup rapat kedua belah bibirku. Hanya bisa tersenyum-senyum kecil. Melirik lekuk wajah mas Maulana. Aku harap ia tetap memandang layar televisi.
“Niki mbak, ayam gorengnya.”
“Nggih ibu, terimakasih.”
“Mas Maulana saya pulang duluan ya mas?” ucapku sedikit senyum. Mas Maulana hanya menganggukan kepalanya tanpa senyum sedikitpun. Aku bermuram hati. Dia begitu hirau taacuh kepadaku. Padahal kami sering bertemu dan saling terlibat dalam aktivitas dalam organisasi yang sama. Namun tetap saja ia begitu kaku terhadapku. Dan lewat organisasi inilah awal dalam kisah merah jambuku berlabuh. Mengenalnya perlahan dengan membisu – membisu mencari isu tentangnya, membisu – membisu mencari perhatian dengannya, dan kini saya membisu – membisu menyukainya. Dia tetap tak melihatku. Aku menundukkan kepalaku, mengharap berjuta rasa menghiburku.

Aku mengambil payung merah mudaku sambil melihat mas Maulana duduk memainkan jemari tangannya di atas meja. Terdengar ketukan – ketukan irama yang membosankan untukku. Aku memperlihatkan senyum seolah berharap mas Maulana membalas senyumku. Melangkahkan kaki beranjak pergi. Kembali menerobos angin malam yang perlahan membungkamku untuk membisu tak berkutik. Lima langkah enam langkah tujuh langkah saya selalu menghitungnya. Mencoba mengalihkan perhatianku supaya nama Maulana tak muncul di benakku. Semakin ku coba memfokuskan diri semakin namanya melekat. Dag dig dug, degub jantungku malah semakin tak berirama. Aku mengulangi menghitung langkahku.
“Satu langkah, dua langkah, tiga lllaan…” Aku melamun menghentikan langkahku. Ada bunyi langkah selain langkahku yang ikut dengan irama langkahku. Aku melihat sekelilingku yang sepi, namun saya tak berani tuk menoleh ke belakang. Payung yang tadinya ku pegang tegak, kini gagang payung kusandarkan di pundak kanan.
“Sudah berapa langkah, kok berhenti?” Suara basse yang terdengar terang di pendengaran sebelah kanan memaksa badanku tuk melihatnya. Mataku terbelalak kaget dan jeritanku secara impulsif keluar begitu saja keluar dari mulutku. Payung dan makananku yang berbungkus tas plastik hitam kulempar tak berarah. Aku ingin berlari secepat kilat, namun tak kulakukan karna yang kulihat dia, mas Maulana. Tubuhku gemetar. Aku melihat mas Maulan memayungiku yang ketakutan. Ia tertawa kecil. Raut mukaku yang pucat pasi berubah merona karenanya.
“Tarik nafas dulu…” Kata mas Maulana padaku. Aku menarik nafas untuk meredam kekagetanku tadi. Tak jauh dariku bangkit mas Maulana mengambil payung dan makananku yang saya lempar tadi.
“Ambil, nanti kau tambah basah.” Mas Maulana mengembalikan payung dan makananku.
“Terima kasih mas, saya bener – bener takut ni... Masih gemetaran mas.” Aku mengambil payungku lewat tangan mas Maulana. Sulit dipercaya olehku.
“Ha..ha.. ia maaf. Mau pulang kan, yuk bareng!” Mas Maulana masih menahan tawanya. Dan kami melangkah bersama. Aku masih bertanya – tanya apa yang terjadi barusan dan sekarang, ini benar diluar nalarku. Aku begitu bahagia, ingin meledek rasanya menyerupai bom yang siap pakai. Bom yang berisi sejuta rasa cinta yang menyerbakan amis bunga. Tersenyum lepas menikmati rasa yang mengalir dalam tubuhku. Aku menarik nafas. Menenangkan perasaanku yang semakin membludak campur aduk tak karuan. Memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Kosan mas Maulana dimana?”
“Perempatan itu, ntar belok kiri yang deket sama warnet.”
“Owh.. kok sendirian mas?”
“Kamu juga sendirian?”
“He..he.. ia yah.. tapi kini enggak kan ada mas Maulana.”
“Bisa saja.” Mas Maulana tersenyum kecil. Kami kembali melamun sejenak.
“Andin?” kata mas Maulana menyebut namaku.
“Ia mas.” Jawabku penuh tanya, ingin tahu kata – kata yang akan terucap lagi dari bibirnya.
“Kita kenalan lagi yuk?”
“Hah, lagi! Kan kita udah kenal.”
“Ia yah.. tapi mas ingin kenal Andin jauh lebih dekat.”

Aku terhenyak lebih kaget daripada tadi. Menghentikan langkahku. Mas Maulanapun demikian. Kami berdua bangkit saling berhadapan.Kedua bola mata kami saling bertemu. Mas Maulana tersenyum bagus sekali. Dan ini kali pertama saya melihat senyuman mas Maulana persis dihadapanku dan itu untukku. Aku menguatkan tanganku pada pegangan payung. Detak jantungku seirama dengan butir air hujan yang semakin lebat menhujam payungku. Mewakili emosiku yang tak bisa menahan gejolak rasa. Mematung tak bisa berbuat apa – apa. Ya Allah bantulah saya dalam urusan cinta kali ini. Mekarkanlah bunga cinta di dalam dadanya. Aku ingin di situlah kawasan yang selama ini saya cari.

Mas Maulana menatap lekat. Aku melihat keteduhan sorot mata bersinar rembulan. Semakin melayang saja hasrat dalam tubuhku. Aku tak bisa menjawab iya pada mas Maulana. Raut wajahku mungkin sudah mewakili jawabanku ketika ini. Merah merona merata ke seluruh permukaan wajahku. Tak kusadari saya menganggukkan kepalaku sambil tersipu malu. Dan akupun tersenyum membalas senyuman mas Maulana. Lama – usang saya tertawa kecil. Mas Maulana mengikuti tawaku juga. Mungkin tawa dagelan cinta yang aib – aib memberikan pesan hati.

Aku begitu senang malam ini. Di bawah rintik hujan berlindung payung yang hampir sama warnanya. Merah hati dan merah jambu. Menyatukan saya dan mas Maulana mendekat riang mengutarakan rasa yang terselip dalam hati. Hujan di baturaden yang hirau taacuh kini serasa hangat dengan kebersamaanku berjalan menapaki setiap ruas jalan berdua bersama mas Maulana. Semakin cair kebekuan darinya. Tertawa dan bercanda begitu menyenangkan.

PROFIL PENULIS
Nama : Astrie Damayanti
Tempat, tanggal lahir : Sembuai, 11 Oktober 1991
Status : Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Semarang
Prodi DIII Kebidanan Purwokerto
Alamat Rumah : Klapagading Kulon RT 01 RW 05
Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas 53176 Jawa Tengah
Alamat Fb : nandhenaviri@yahoo.co.id
Blog :nandheastri-fine.blogspot.com 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel