Cinta Dalam Membisu - Cerpen Cinta Islami

CINTA DALAM DIAM
Karya Nesya Puspita Putri

Namaku Putri, saya biasa dipanggil Puput. Aku masuk salah satu universitas islam di Bandung. Walau basic ku dari SMA. Hehehe. Hari pertama masuk kuliah, di kelas ku melihat sosok laki-laki yg misterius. Dia tampan, sangat pendiam, putih, tinggi dan cukup menarik perhatianku juga rasa penasaranku. Hari demi hari ku lalui, rasa keingintahuanku tentangnya pun terjawab. Pria itu berjulukan Hilman, ia pandai dan aktif dikelas, saya kira ia orang yang pendiam, tapi ternyata tidak juga. Lama kelamaan lincahnya terlihat, ia bawel, gokil pula, dan yang paling saya terkaget itu ia seorang pemain biola. Hmmm... waw.

Dengan berjalannya waktu kitapun saling mengenal satu sama lain, yang awalnya saya dan Hilman sangat kaku sampe kemudian kami menjadi sobat dekat, bahkan lebih dekat dari sahabat. Aku selalu menceritakan semua tragedi yang menimpaku, dari kisah susah, senang, sedih, dan sebagainya begitu pula dengannya. Dia laki-laki yang sangat baik dan mengerti aku. Dia daerah curhat yang asik, daerah sharing pelajaran yang menyenangkan. Dan laki-laki yang penuh dengan kharisma, sehingga banyak wanita lain yang kagum padanya.
 Aku masuk salah satu universitas islam di Bandung Cinta Dalam Diam - Cerpen Cinta Islami
Cinta Dalam Diam
Aku ibarat buntut baginya, kemanapun ia pergi, saya selalu mengikutinya. Dari mulai ia futsal, main dengan sobat temanya dan mereka juga temanku, hingga satu organisasi pun bersama. Dia yang selalu ada dikala saya membutuhkan bantuan. Dari mulai meminta proteksi menuntaskan tugasku, mengantarku pulang, hingga menemaniku jalan jalan. Seakan akan ia itu ambulan yang pada dikala saya keluar dari pintu gawat darurat, ia selalu ada. Banyak orang yang menyangka kita pacaran. Oh... itu tidak mungkin. Hahahah


Sampai suatu hari, entah apa yang terjadi padaku? Ketika saya melihatnya bermain biola di taman kampus, hatiku berdegup kencang, tanganku berkeringat, lidahku kelu, bahkan kakiku hingga gemetar, tak bisa ku melangkahkan kaki untuk berpaling darinya. Ku tutup mataku semoga saya mendapat ketenangan. Tapi dikala ku terpejam.....
“Put, lagi apa berdiri disini?” serentak saya terkaget mendengar suaranya.
“Panas tau. Sini temenin saya latihan biola!” hilman mengagetkanku, kemudian kubuka mataku.

“eh... heheheh Hilman. Lagi diem aja, nyari tukang dagang nih laper.” Sanggahanku
“hahaha put... put... semenjak kapan ada tukang dagang keliling masuk kampus? Ngaco nih kamu, saking laparnya ya? Kamu mah lapar mulu deh perasaan. Yuk, saya traktir makan. Hari ini saya jadi pemadam kelaparan kamu. Hahaha” ledeknya padaku
“eh... iya. Lupa. Hehehe asik.... makan.....” jawabku

Aku berusaha bersikap ibarat biasa dihadapannya, entah hingga kapan saya harus berpura-pura dan berperang dengan hatiku sendiri. Oh... rasanya sangat tersiksa. Aku wanita yang memang agak sedikit tomboy, saya yang dingin akan keadaan sekitarku, saya yang kadang memalukan diriku sendiri dengan tidak sadar, dan saya yang selalu bersikap paling heboh dan gokil diantara sobat temanku termasuk juga hilman.Tapi sesaat kemudian, saya menjadi sosok yang pendiam, jaga image, salah tingkah, dan lain lain bila berhadapan dengannya. Oh.... itu sangat menyebalkan ketika secara tidak sadar saya menjadi orang lain yang amat sangat jauh berbeda dari kepribadianku bila ada ia dihadapanku. Somebody help me

Apa ini yang dinamakan cinta? Apa ini yang dinamakan kasih sayang? Apa ini....??? ssstttt.... sudah cukup hingga disitu pertanyaanku. Rasanya perutku lapar bila saya selalu berpikiran hal itu. Oh... tidak..... Aku mencoba berpositive thinking akan keadaanku ini. Ya, semoga semuanya berjalan ibarat biasanya. Hari demi hari ku lalui ibarat biasanya, kiprah kuliah yang menumpuk, pekerjaan rumah ibarat pembantu rumah tangga, menjadi pembisnis coklat online, dan tentunya have fun dengan sahabatku Hilman walau saya harus mencicipi perang batin bila harus berhadapan dengannya.


Suatu hari, dikala kami sedang kerja kelompok salah satu sobat perempuanku mendekati Hilman. Dia bertanya ini itu, ini itu, hingga bosan saya melihatnya bulak balik dihadapan Hilman. Geram rasanya melihat dia, ingin sekali saya menyingkirkannya. Rasa kesal melandaku dikala itu, ibarat masuk kedalam lubang yang berisi kantung pasir tinju yang siap ku hantam satu persatu. Aduh, perasaan ini timbul kembali. Aku benci.

Malam hari ku menulis puisi untuknya....

CINTA DALAM DIAM
Kumencintaimu dalam diam
Karena diamku tersimpan kekuatan harapan
Dan cintaku hingga dikala ini masih terjaga
Mungkin Allah akan menciptakan keinginan ini menjadi nyata
Ku ingin cintaku sanggup berkata
Dikehidupan yang nyata
Namun bila tak mempunyai kesempatan berkata
Biar semua in i tetap membisu bila kau bukan untukku
Aku yakin Allah akan menghapus cintaku
Dengan berjalannya waktu
Dan memberi rasa yang lebih indah untukku
Yang menjadi jalan takdirku
Biar cinta dalam diamku ini
Menjadi memori tersendiri
Dan relung hatiku menjadi daerah rahasia
Kau dan perasaan cintaku ini

Puisi ini mewakili semua perasaanku padanya. Aku hanya sanggup berkata melalui tinta, sanggup berbicara melalui irama, dan sanggup bercerita melalui karya. Satu satunya yang membuatku ibarat orang bisu yaitu perasaanku ini. Aku tidak ingin terobsesi memilikinya, sebab itu akan membuatnya pergi dariku. Cinta dalam membisu yang memang sempurna untukku. Dia tidak tahu akan perasaanku, sikapnya yang menunjukkanku bahwa ia hanya menganggapku sahabat.
Itu tidak duduk kasus untukku, sebab berada didekatnya sudah lebih dari cukup, melihat tawanya, mendengar suaranya, dan mencicipi kehadirannya sudah membuatku bahagia. Aku mencintainya dalam diam, sebab saya tak mau merusak semua ini.


Pada suatu hari di kampus, Hilman memintaku untuk menemaninya pergi ke suatu tempat. Ternyata ada sesuatu yang ingin ia beli, kita pergi ke pasar bunga dan membeli 1 rangkaian bunga mawar yang akan ia berikan untuk hari ulang tahu ibunya. Setelah ia mendapatkannya, ia petik satu bunga mawar merah untukku.
“ini buat kau put.” Sambil memperlihatkan bunga mawar merah itu
“lah? Buat aku? Untuk apa?” tanyaku terheran heran
“tanda terimakasih, sebab udah temenin kesini” jawab hilman
“oh... ya, makasih” ku tersipu malu

Sungguh hari yang amat sangat luar biasa untukku.hahahaha saya mendapat satu bungan mawar dari seorang Hilman? Rasanya ibarat melayang ke udara dersama awan awan putih selembut salju yang menjadi bantalanku, dan turun kembali ke bumi dengan pelang indah warna warni yang menjadi perosotanku. ihihihihi WAW... its amazing  ya walau ku tau itu tak ada arti apa apa untuknya. Tapi untukku? Itu sangat berarti. Kusimpan bunga mawar itu diatas meja belajarku, disamping fotoku dan Hilman. Rasanya itu sangat serasi. Meja belajarku yakni daerah gres yang menyenangka ke 2 sehabis daerah tempat menyenangkan yang ku lalaui dengan Hilman. Karena meja belajarku yakni saksi bisu dari semua pengukuhan atas perasaanku. Setiap hari kutuliskan diary atas namanya, tak pernah ku bosan menulis nama Hilman dalam diary ku walau berjuta kali banyaknya. Dan fotoku dengan Hilman yang bersender bunga mawar merah menjadi pemandangan yang menyejukkan hati. Hehehe 

Tutup pintu hatimu untukku
Jika semua yang ku lakukan
Karena ingin memilikimu
Buka pintu kebencianmu
Jika semua yang ku lakukan
Hanya ingin mempermainkanmu


Aku masih bingung, apa yang harus ku lakukan? Sungguh ini sangat menyiksa batinku. Ketika pada suatu sore, sehabis pulang kampu kami pulang bersama. Seperti biasa, jalur taman kota yang kami lewati. Karena suasana sore hari di taman kota sangat menyenangka. Ku berfikir disitu daerah yang sempurna untuk mengutarakan perasaanku. Walau ku cegah adanya pertanyaan padanya seperti: apa pendampat Hilman tentangku? Bagaimana perasaan Hilman ke aku? Apa Hilman mau menjalin kekerabatan denganku? Tidak ingin ku lontarkan pertanyaan itu. Kami tertawa sepanjang perjalanan, dan ia memang talenta menjadi pelawak. Hahaha. Saat kami sedang berjalan santai di taman, datang tiba.....
“aaaaa........” ku menjerit dikala hilman mendorongku ke pinggir jalan.
Ternyata sebuah motor hampir menabrakku, dan Hilman melindungiku. Tapi dikala ku lihat dia, ternyata motor itu menabrak Hilman. Betapa shocknya saya melihat ia tergeletak tak berdaya dijalan, dengan mata yang terpejam, dan tak sadarkan diri. Aku yang terjatuh dijalan kemudian bergegas lari menghampirinya, tak peduli betapa sakitnya kakiku terbentur batu. Dengan jalan yang terpincang pincang, ku kuatkan diri menghampiri Hilman.
“Hilman.... Hilman.....” teriakku padanya, sambil menolongnya.
Ingin ku berkata sesuatu, tapi lidahku terlalu kelu. Seakan hanya namanya yang sanggup ku panggil dengan terang dan lancarnya. Ya, hanya namanya saja.  air mataku meleleh membentuk anak sungai di pipiku. Ini yakni tragedi yang sangat membuatku terpukul.
“Ya Alloh, tolong aku. Jangan kau ambil ia pergi dari sisiku dan hingga kau ambil ia ke sisimu. Apa yang harus ku lakukan tanpanya? Aku akan merasa bersalah, dan penyesalan yang amat sangat mendalam sebab perasaanku tak sanggup berkata dikehidupan nyata.”

Serentak ku panggil ambulan untuk membawanya kerumah sakit. Dia yang jadi ambulanku dikala saya keluar dari pintu gawat darurat, kini saya yang memanggil ambulan untuknya? Sungguh menyedihkan. Aku melongo sepanjang perjalanan menuju kerumah sakit. Entah apa yang harus saya lakukan untuk membantunya bangkit kembali?apa canda tawa tadi yakni hal terakhir yang kulakukan dengan Hilman? Apa tadi yakni terakhir kalinya saya mendengar suaranya? Dan melihat nya? Aku mengingat semua kenangan bersama Hilman, kenangan elok yang tak akan bisa terlupakan.

Setiba dirumah sakit, kegelisahanku makin menjadi jadi. Setelah ku hubungi keluarganya. Aku menangis dalam dekapan ibunya, ya kami memang sudah dekat satu sama lain. Bahkan ibarat anak dan ibu sendiri. Di luar pintu GAWAT DARURAT ku menunggu dengan kegelisahan, tatapan yang penuh dengan sejuta keinginan pada satu orang yang keluar dari pintu itu. Semoga saya sanggup menjadi ambulan dikala Hilman keluar dari pintu gawat darurat, sebab biasanya ia yang melaksanakan itu. Tapi kali ini, saya yang harus menggantikan tugasnya. Saat ada seseorang keluar.....
“dokter, bagaimana keadaan temanku? Apa ia baik baik saja? Apa ia selamat? Apa ia sehat sehat saja?” tanyaku pada dokter itu
“Maaf, kami tidak sanggup menolongnya. Benturan dikepalanya sangat keras, tak ada darah yang keluar, tapi darah itu bergumpal banyak diotaknya.”

Serentak hal itu menciptakan harapanku menjadi hancur berkeping keping.
“Kami ingin melaksanakan pembedahan, tapi waktu yang tidak memungkinkan, ia menghembuskan nafas terakhir dan membaca dua kalimat sahadat dan memanggil nama “Put”. Siapa itu?” terang dokter padaku
“ Put? Namaku Putri dok” hingga tersedu sedu ku berkata.
“ sungguh ia laki-laki yang mengagumkan. Saat keadaannya sekarat, ia masih mengingat Alloh dan kamu”.
Lekas ku berlari menghampiri hilman yang sudah terbaring tak bernyawa. Air mataku semakin deras membasahi pipiku. Aku tak sanggup berkata apapun lagi. Langsung keluarganya membawa ia kerumah, dan mengurus jenazahnya. Sungguh, saya tak ingin melihatnya dalam posisi di balut kain putih dan wajah yang pucat. Aku penakut, dan tak ingin melihatnya. Tapi ku kuatkan diri untuk selalu mendampingi disisinya hingga tanah terakhir menutupi kuburnya.

Hanya do’a yang bisa kulantunkan
Keikhlasan yang selalu ku genggam
Kekuatan yang jadi tumpuan
Dan kenangan yang menjadi senyuman


Perubahan kepribadianku serentak berubah, saya menjadi sosok yang pendiam, cuek, dingin, dan menjauh dari apa yang ada hubungannya denganku dan Hilman. Rasanya itu sangat menyiksa. Dan penyesalan terbesarku yaitu sebab saya belum sempat mengutarakan persaanku hingga ia menutup mata. Teman temanku berkata padaku, bahwa Hilman sangat mencintaiku. Tapi ia tak mau mengatakannya sebab takut merusak persahabat kita, dan yang paling ia tidak mau yaitu menjalin kekerabatan terlarang yang sanggup merusak izzah dan iffahku. Hilman yang selalu hadir dalam mimpiku dan membuatku semakin bersedih.
Teman sobat yang silih berganti menghiburku bahkan tak sanggup membuatku tersenyum. Bunga mawar merah dan foto yang terletak dikamarku menjadi daerah pelamunanku mengingat kenangan elok bersamanya. Semakin lama, semakin layu. Tapi tak ku buang, bunga itu ku simpan baik baik.

Ku jalani hari dengan kesendirian
Tanpa seorang sahabat yang mengisi ruang dan waktu
Rasanya ku ternanam menahan luka yang dalam
Hampir saja ku mati rasa padamu
Dan hilangkan relung hatiku

“ketika kau menyayangi seseorang, katakan padanya. Tak usah takut akan apapun resikonya. Tapi ingat, janganlah kau memberinya pertanyaan apapun. Itu akan membuatmu gelisah. Cukup dengan kau jujur atas perasaanmu, itu sudah sangat mengurangi beban hatimu.”


Satu tahun kemudian, tetap tak ada perubahan padaku. Aku belum kembali ibarat dulu, tak ada saya yang ceria, tak ada saya yang bawel, tak ada saya yang gila. Seakan semuanya terkubur bersama kenangan elok disisinya. Pada pagi hari, 14 februari 2013 dikala pergi kuliah saya melihat sosok laki-laki yang sedang memegang biola. Aku terkaget dikala sosok Hilman yang ada dihadapanku. Tapi kulihat kembali dengan kesadaranku, ternyata bukan. Aku melewat dihadapannya dengan sedikit tersenyum, diapun membalas senyumanku. Pria itu membuatku penasaran. Pada sore hari dikala pulang kuliah, hal yang memalukan terjadi. Pada dikala itu saya sedang asik sms-an dengan temanku. Tiba datang dikala ku berjalan....
“ awas.....” teriak seorang laki-laki di hadapanku
Sejenak ku melongo dan melihat kedepan. Hampir saja saya terjatuh pada kubangan air. Hahaha  itu sangat memalukan. Saat kulihat laki-laki itu, ternyata ia laki-laki yang tadi pagi ku temui.
“hati hati ya jalannya” dengan lembut ia memperingatkanku

Rasanya sangat memalukan, tragedi yang tak kulupakan. Rasa penasaranku padawa makin menjadi. Aku cari tahu tentangnya. Dia berjulukan Adit, ia yakni abang tingkatku. Dan ternyata kami satu jurusan. Rasanya saya belum pernah melihatnya. Ya, bagaimana saya tahu, sehabis kuliah saja saya pulang kerumah sebab tidak ada daerah lagi yang kutuju. Dulu selagi Hilman ada, banyak daerah yang terjelajahi bersamanya. Seakan akan, semua daerah itu menjadi neraka untukku, dan saya tak ingin pergi kesana lagi.

Hari demi hari ku lalaui ibarat biasa, sedikit ada perubahan. Aku mulai tersenyum, sehabis tragedi memalukan itu. Teman sobat sekelasku senang akan adanya perubahanku. Aku selalu memata matai Adit, dikala ia di kampus, di kelas, bahkan dikala bermain biola. Rasanya sosok hilman masuk kedalam dirinya. Oh.... tidak mungkin, tak ada yang bisa menandingi Hilman dimataku. Tempat favorit Hilman main biola itu di taman kampus, suasana yang sejuk sangat mendukung. Tapi mengapa Adit juga sering berlatih disitu? Apa benar Adit yakni jelmaan dari Hilman? Oh.... sungguh mengherankan.

Makin kesini, saya makin mencari tahu tentangnya. Dari mulai daerah tinggalnya, jadwal kuilahnya, daerah favoritnya, hobinya, hingga masakan kesukaanya. Nah loh? Ko ibarat Hilman ya? Tidak mungki itu Hilman, tapi semuanya ada hubungannya dengan hilman. Ku yakinkan bahwa Hilman yakni Hilman, tak ada orang yang menyamainya. Dan Adit yakni Adit, orang yang kebetulan, ya ibarat itu adanya. Rasa kagumku pada Adit semakin besar, tapi bukan berarti ku melupakan Hilman. Tidak sama sekali. Karena ia abadi tersimpan disisi lain relung hatiku. Aku yang selalu menguntupi Adit kemana ia pergi. Kejadian yang sama dikala dulu bersama Hilman, tapi perbedaannya saya menguntip Adit membisu diam. Hehehe


Selalu saja begitu setiap hari. Ku luangkan waktu untuk mengikutinya pergi. Sampai ku berpikir saya akan memperlihatkan satu bunga mawar merah untuknya. Aku tak ingin perasaanku ini menyiksa diriku seorang diri. Mungkin bila ku utarakan padanya, ia bisa sedikit mengerti saya dan mengurang bebanku. Dan karenanya kuputuskan untuk mengutaraknnya, saya mebawa satu tangkai bunga mawar yang menjadi kekutanku yang mengingatkanku pada Hilman. tapi dikala ku berjalan di depan rumahnya, saya melihatnya bersama wanita lain. Dia mengajak perempuam itu kerumahnya. Apa wanita itu.....? tak sanggu ku lanjutkan kalimatku. Bunga mawar yang ku genggam, serntak jatuh bersama semua anganku. Hancur lebur, membentuk butiran debu.
“apa ini takdirku? Apa Alloh memang menahan perasaanku hanya untuk Hilman. Dan sengaja membuatku hancur sebab Adit.” Ku duduk melongo memetik kelopak bunga mawar.

Memang benar, cintaku pada Hilman tak mempunyai kesempatan untuk berkata. Bukan berarti ia bukan untukku, tapi memang Alloh mencegahku untuk menyampaikan dikehidupan yang nyata. Dan mungkin memberi kesempatanku berkata di kehidupan yang abadi, selamanya. Bunuh diri? Hahaha bodoh. Itu yakni kata yang ku benci. Mungkin Alloh merencanakan sesuatau dengan Hilman. Dia yang tak ingin saya menjalin kekerabatan terlarang (pacaran) dengan lelaki lain, sebab ia mencintaiku. Dan hanya ingin bersamaku di ikatan yang halal bagiku.
Biarlah dikala ini ku berguru jauh darinya di dunia ini, ia mengajarkanku kesabaran dan keikhlasan. Mungkin ia sedang menguji cintaku, ia sengaja membiarkanku hidup semoga rasa rinduku semakin dalam untuknya. Dan suatu dikala nanti bila kita bertemu, rindu itu akan lenyap dan menjelma butiran cinta juga kehidupan yang baru.
“ Jangan takut, saya akan mencintaimu seribu tahun, dan akan mencintaimu seribu tahun lebih ”
THE END
PROFIL PENULIS
Nama : Nesya Puspita Putri
TTL : Bandung, 3 Juni 1994
Pekerjaan : Mahasiswi
Hobi: Menulis
Alamat: Jl. Buah Batu Gg. Babakan Wates 3 No.29 Bandung
No. Urut : 718

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel