Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 7 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 11 Desember 2014
Caruk Putih menyela mendadak: “Tuan Guru, kenapa kepadaku tidak tuan utus bidadari mirip Agung Kifli?”
“Semua akan mendapat giliran. Malam pertama Agung Kifli, Malam kedua, Abang ljo, Malam berikutnya Sura, selanjutnya Aria, dan kemudian Talago, dan terakhir engkau, Caruk!”
“Hah. Cantikkah dia, Guru?” tanya Caruk.
“Tanyakan pada Agung Kifli. Tapi berdasarkan laporan bidadari ungu itu pada saya.
Agung Kifli tidak sudi melihat wajahnya. Setelah ia pergi, barulah Agung melihat tapi sudah terlambat, lantaran ia sudah ditelan kegelapan. Tiap kalian akan mendapat satu warna. Dan tiap warna yaitu kekuatan kalian.
Cepat Caruk Putih bertanya: “Apakah warna untuk saya?”
“Sesuai dengan namamu. Yang akan mendatangi kau yaitu bidadari putih. Dan engkaulah satu-satunya diantara kalian yang berenam ini yang paling banyak akan mengalami cobaan. Tapi jangan takut. Ujian yang tersulit menunjukan bagi murid yang terbaik. Bukan begitu saudara sepupuku?”
Agung Kifli mengangguk dan berkata: “Saya masih heran bagaimana bidadari saya itu begitu cepat ke Kumayan menjemput gitar dan kecapiku.”
“Dia mempunyai kesigapan pesuruh Ratu Bilkis di dalam Kitab Suci. Waktu dan jarak serta cuaca, tidak mempengaruhinya. Tetapi kita semua harus eling dan waspada.
Sebab dalam jarak tujuh bukit di selatan kita ini, ada calon Guru Besar yang juga berminat atas Kitab Tujuh yang justru sedang kita cari kini!”
DAN mirip yang dikatakan oleh Ki Pita Loka, memanglah betul semuanya. Apa yang sedang diperbuat tujuh orang itu, di Lembah Tujuh Bidadari itu, diketahui oleh seorang calon Guru Besar. Cuma saja Ki Pita Loka tidak menyebutkan siapa calon Guru Besar itu. Dia tidak lain yaitu Ki Harwati yang kini sudah melengkapi namanya dengan Ki Harwati Piransa yang sudah menjinakkan ular Piransa, ular belang kuning sebesar telunjuk jari tapi berkepala dua. Ular Piransa ini sudah langka di dunia, semenjak taufan Nuh terjadi ribuan era yang silam.
Ki Harwati berkata kepada Gumara: “Dungu! Kita harus meninggalkan Guha Piransa ini, Dungu!”
Dengan dungu Gumara tercengang: “Bukankah kita sudah hidup yummy di sini? Aku enggan pergi dari sini.” Dengan punggung pedang Turki, disabetnya punggung Gumara. Gumara tertawa menyeringai. Dan berkata; Lagi! Lagi! Enak sekali!”
“Jangan tunggu hingga saya marah, Dungu! Apa kau mau kutebas dengan mata pedangku ini?” mata Ki Harwati Piransa jadi liar. Dan ular piransa yang melilit di kepalanya pun ikut mendelikkan mata pada Gumara, yang tingkah lakunya sudah begitu berubah mirip anak kecil.
“Berhentilah makan buah delima itu, Dungu!” hardik Ki Harwati Piransa.
“Ini enak. Enak. Enaak!” dan Gumara yang dungu itupun menari-nari.
Ki Harwati sudah tidak sabaran lagi. Dia kemudian menghardik seraya menjewer indera pendengaran Gumara: “Kau akan ikut aku, atau saya tinggalkan sendirian di sini?”
“Hemmm ..... Aku yummy di sini. Di sini banyak buah delima!” seru Gumara dengan berjingkrak. Kelakuannya memang sudah mirip anak kecil berusia 3 tahun. Dan hal ini sudah amat menyebalkan Ki Harwati Piransa. Saking sebalnya. ditendangnya pantat Gumara yang sedang berjoget itu. Gumara berteriak kesakitan, tapi kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Waktu tinggal sedikit lagi, Dungu!” hardik Harwati, “Jika Kitab Tujuh itu sudah jatuh ke tangan sainganku, percuma saya bertapa 100 hari di Guha Piransa ini!”
Gumara yang ketawa konyol, mendadak berubah tenang. Bahkan wajahnya datar bagai mayit tak bernyawa.
Dia bangkit tegak. Dia tak mendengar suatu apa pun. Tak nampak wajahnya berubah dikala ia kena hardik Ki Harwati Piransa. Bahkan ia diam dikala diajak bicara.
“Kamu bisu, Dungu!” hardik Ki Harwati dongkol.
“U-u .... U .... u!” bunyi Gumara benar-benar mirip orang bisu. Kalau tadi ia tampak begitu dungu, kini ia mirip benar-benar bisu.
“Dungu! Bicaralah? Ketawalah!” teriak: Ki Harwati Piransa
“U-a-U-a-u”“
Ki Harwati menyarungkan pedang Turkinya. Dan ia kemudian berpegang pada ujung pundak Gumara, mengguncang badan Gumara dan berteriak panik: “Dia mendadak bisu”
“U-u!”
“Kau bisu!”
“U-a-uuu”
Ki Harwati hampir akan menangis menyaksikan keadaan tragis saudara tirinya.
“Aku tidak dapat benci lagi kepadamu, saudara tiriku,” ujar Ki Harwati seraya kebingungan. Tapi kemudian, dengan frustasi bercampur dongkol, diseretnya lengan Gumara.
Dan dikala menuruni tebing Bukit Piransa yang curam. Gumara dipegangi terus.
Kuatir kalau jatuh. Tapi Gumara dengan u-au bisunya, membandel. Dipegang begitu, malah ia menyentak. Akibatnya ia terpeleset. Dan bergulinganlah si bisu itu diantara batu-batuan yang menghambat akar tebing. Dan setiba di bawah tubuhnya diam tak bergerak.
Ki Harwati menjerit lantang. Gema jeritannya bergaung di dalam tebing itu.
Beberapa kerikil besar bergeser. Bahkan ada yang runtuh oleh getaran teriakan Ki Harwati Piransa itu, saking kerasnya.
Getaran itu pula yang menyentak kesadaran Gumara dan pingsannya. Dia berdiri.
Mencari darimana sumber teriakan menggetarkan tadi. Ketika ia melihat Harwati di atas itu, kini Gumara yang berteriak; “Kamukah di atas itu, adikku?!”
Ki Harwati piransa menjadi kaget, lantaran si dungu dan bisu itu tampaknya sudah normal kembali. Memang Gumara sudah menjadi normal kembali. Kelihatan tingkahnya yang cemas menyaksikan Harwati menuruni tebing dengan kecepatan seekor belalang betina. Dan dikala Ki Harwati Piransa tiba di bawah. dipeluknya Harwati dengan sisa kecemasan seraya bertanya: “Kenapa kau gegabah mirip belalang turun ke bawah?”.
Ki Harwati masih terpana menyaksikan keajaiban ini.
“Aku mohon ampun padamu, Ki Guru, abangku .... lantaran selama ini telah saya perlakukan kau sebagai budak, jadi kini saya gembira. Bahkan kuatir, bahwa kau gres melewati dua cobaan ujian ilmumu dengan dungu dan bisu. Kita kemana sekarang?” tanya Ki Harwati menguji.
“Kita harus segera ke Lembah Tujuh Bidadari”, ujar Gumara.
KEMUDIAN, dengan tenaga yang gres dan segar, Gumara membantu terus Ki Harwati Piransa menaiki pebukitan gres di sebalik pebukitan Bukit Piransa.
“Kebetulan hujan gerimis tiba”. kata Gumara setiba di atas.
“Kenapa?”
“Hujan gerimis dalam cuaca panas senja ini membuat lengkungan pelangi! Tidak kau lihat warna pelangi di depan kita ini?” tanya Gumara.
“Apa maksudnya?”
“Coba perhatikan! Berapa buah bukit warna pelangi yang melengkung itu jaraknya?” Tampak oleh Ki Harwati, lengkungan pelangi itu melangkahi tujuh buah bukit. Dan ia pun berkata: “Tujuh buah bukit!”
“Ke kawasan jatuhnya pelangi yang melengkung melangkahi bukit itulah kita harus pergi. Di kawasan jatuhnya pelangi itu, di situlah terletak Lembah Tujuh Bidadari. Berdasarkan mimpiku tadi, di situlah beradanya KitabTujuh”.
“Mimpi?”
“Aku barusan mimpi tadi di bawahsana itu!” kata Gumara.
Ki Harwati bertambah heran. Dia ingat, memang akang tirinya Gumara tadi jatuh dan pingan. Tapi dikala itu ia terjatuh kepeleset lantaran kedunguannya dan ia jadi bisu.
Apakah pingsan sejenak di bawah itu tadi mirip ia tidur bermimpi?
“Ceritakan mimpi itu”, kata Ki Harwati.
“Mimpiku benilai mimpi Nabi-nabi. Ibarat mimpi Nabi Sulaiman atau Nabi Jusuf”. kata Gumara.
“Kita berangkat saja kesana ”, kata Harwati, “Soal mimpi itu dapat kau ceritakan dalam perjalanan. Aku tidak sabaran lagi untuk mendapat Kitab Tujuh itu”.
“Berdasarkan mimpiku, ada yang mesti ditinggalkan”, kata Gumara.
“Ditinggalkan? Apa itu?”
“Dua barang yang diharamkan oleh Kitab Tujuh”, ujar Gumara.
“Katakan apa itu!” ujarKi Harwati tak sabaran.
Gumara tertegun sejenak, kemudian berkata: “Dua barang yang kau sayangi. Yaitu ular piransa yang melilit di kepalamu itu. Dan Pedang Turki itu!”
Mendengar itu, wajah Ki Harwati Piransa bermetamorfosis geram.
“Kau jangan mencoba memperbudakku! Kau masih berkedudukan sebagai budakku semenjak saya mendapat kesaktian Pedang Turki dan Ular Piransa ini!”
Dan ular kecil belang kuning berkepala dua yang melilit di kepala Ki Harwati itu bergerak-gerak menggeliat. Ki Harwati Piransa mencicipi hal itu. Dan ia menatap pada Gumara dengan tatapan angkuh, kemudian berkata: “Tidak kau lihat senjataku sedang murka di atas kepalaku?”
“Aku melihatnya”, kata Gumara.
Dalam sekelebatan, Ki Harwati mencabut pedang Turkinya. Pedang itu tambah gemerlapan, terutama matanya, dikala diacu-acukan oleh Ki Harwati ke hadapan Gumara. Gumara menyaksikan gertakan yang berbahaya itu.
“Itulah syarat dari mimpiku itu. Kita harus hadir di Lembah Tujuh Bidadari dalam keadaan tangan kosong. Tanpa senjata”, kata Gumara.
“Ucapanmu seolah-olah memperbudakku! Kau budakku! Kau harus tunduk dengan perintahku.Bukannya saya yang harus tunduk dengan perintahmu! Apalagi itu perintah berasal dari mimpi!”
Ular Piransa sebesar telunjuk dengan warna belang kuning itu semakin menggeliat di jidat Ki Harwati Piransa. Dan dikala ia akan sarungkan pedang Turkinya itu, ternyata bilah pedang itu tidak dapat masuk pada sarungnya.
“Ini satu pertanda, bahwa salah satu dari senjata-senjataku ini musti makan orang”, kata Ki Harwati Piransa dengan menatap buas kepada Gumara.
“Kalau begitu, dengan kata lain, saya harus jadi korban. Makara tumbal”, pancing Gumara menahan marah.
“Kecuali kalau kita berangkat ke Lembah Tujuh Bidadari tanpa syarat”, kata Ki Harwati dengan nada marah.
Betapa pun gondok dan terhina. Gumara masih dapat menguasai marah.
“Keinginanmu terlalu banyak, wahai calon Guru Besar!” kata Gumara dengan nada jantan. Kejantanan nada bunyi Gumara, ditafsirkan batin Harwati sebagai keangkuhan.
Dibentaknya kakak tirinya itu: “Kalau begitu, kau yang harus tinggal di sini! Aku sudah tahu di mana letak Lembah sakti itu. Kau tak usah mengawalku, sekalipun kedudukanmu masih budakku!”
Bersambung...