Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 6 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Sementara Ki Pita Loka melihat keadaan sekeliling dan menikmati senja yang indah itu Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 6 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Sementara Ki Pita Loka melihat keadaan sekeliling dan menikmati senja yang indah itu, dia melihat memang Agung Kifli dalam keadaan mengantuk. Dan tanpa minta ijin lebih dulu, si buntung bekas pemain gitar dan kecapi di Kumayan itu pun rebah di rumputan bawah pohon dina-dina. Sedangkanlima temannya yang buntung lainnya, sudah semenjak tiba menjatuhkan diri di rumputan, di bawah pohonan dina-dina yang daunnya lebat. Dia telah tertidur pulas. Tetapi lebih pulas lagi tidurlima anak sampaumur lainnya itu.
Sura, Abang, Aria, Talago dan Caruk yang bertubuh kecil itu sudah usang tidur ngorok.
Dan saat semua sampaumur yang bertangan buntung itu dilihat Ki Pita Loka sudah tidur pulas, barulah secara rahasia Ki Pita Loka meninggalkan mereka.
Hal ini lantaran suatu ilham.
Ketika itu Ki Pita Loka sedang menatap langit malam yang biru, dengan sebuah bintang Timur yang tak gemerlap.
Bintang itu bintang Venus dengan tenaga cahaya awet tanpa gigilan sinar menyerupai bintang lainnya. Lalu dari bintang Venus itu terbentuk semacam corong kerucut berbentuk kelembutan. Hal itu ditafsirkan oleh Ki Pita Loka sebagai petunjuk. Bahwa pada sudut kerucut itu terletak satu daerah yang istimewa di lembah ini.
Itu berarti pula, dalam dunia ilmu kedalaman, bahwa Ki Pita Loka menerima perintah untuk pergi ke daerah itu.
Maka dia pun melangkah kesana . Ya, ada bundaran cahaya dilihatnya pada rumputan yang membentang di hadapan.
Pada titik sinar yang terkuat, kesitulah Ki Pita Loka melangkah, kemudian dia duduk disana . Dia bersila disana bagaikan perilaku bersila semua Nabi dan semua Guru dan Kiyahi.
Dia mengatur pernafasan dengan sebaik-baik napas, perilaku semedi yang kosong namun agung.
Kemudian terdengarlah bisikan-bisikan yang indah sewaktu Ki Pita Loka memejamkan matanya.Bisikan-bisikan itu tiba dari tujuh penjuru. Lalu daerah kerucut bintang Timur itu pun berubah bertambah terang.
Tepat pada waktu itu, tenaga gelombang Ki Pita Loka mencoba menjangkau jiwa sepupunya Agung Kifli. Jiwa yang dengan hening sedang beristirahat tampaknya mendapatkan getaran gelombang sampai dia terbangun. Ketika Agung terbangun dari tidurnya, dia mendapatkan dirinya di bawah pohon dina-dina yang berdaun lebat Dilihatnyalima temannya tidur dengan lena. Dia jadi takut lantaran tidak melihat Ki Pita Loka.
Ketakutan itu menyiksa diri. Apalagi indera hidungnya serasa mencium basi bunga. Dan bunga yang berbagi basi di sekeliling yaitu seakan – akan bunga yang dipakai pemandi mayat. Dia merinding. Lalu dia duduk. Dia tak berani melihat ke sekitar. Tapi tiba-tiba menyerupai ada kekuatan yang mengangkat dagunya.
Sehingga dia melihat keseliling. Sewaktu dilihatnya ada satu sosok berubah hitam tampak samar mendekat, Agung Kifli saperti akan menjerit memanggil Ki Pita Loka untuk minta bantuan.
KETEGANGAN itu semakin menciptakan Agung Kifli menggigil. Sosok berjubah hitam itu semakin mendekat dan mendekat jua. Agung Kifli rasanya ingin berteriak.
Tapi lidahnya kelu. Dan dia agak geram juga alasannya Ki Pita Loka, yang diharapkannya akan memberi pertolongan, tidak tampak. Dalam jaraklima meter itu. Agung Kifli kemudian tak berani lagi melihat ke depan. Dongkolnya, dia lihatlima teman-temannya tidur begitu pulas. Dan, Agung pun memberanikan diri untuk bicara. kendati dengan memunggungi tamu tak dikenal itu.
“Aku ingin tahu, apakah anda manusia?”
“Bukan.......”
“Bah! Dan ..... siapa anda?” bunyi Agung menggigil.
“Aku bukan manusia!” sahut sosok yang rasanya (mungkin) makin mendekat.
“Jadi katakan siapa anda?!” bunyi Agung rasanya keras, padahal cuma sayup kedengaran.
“Aku makhuk halus,” kata bunyi dari belakang.
Agung Kifli kemudian memejamkan mata untuk menahan takut.
“Kenapa anda ke sini?” tanya Agung Kifli....
“Ingin berkenalan.”
“Tapi saya takut,” ujar Agung tambah gentar.
“Jangan takut. Aku bukan mahluk halus yang jahat,” bunyi itu kedengaran lagi, dari belakang punggungnya. Dan rasanya tambah dekat. Agung Kifli semakin memejamkan matanya. Keringat dinginnya semakin deras mengocor. Dan dia gemetar sekali saat berkata: “Aku bukannya tak sudi untuk berkenalan denganmu. Tapi saya takut. Aku tidak mengalami peristiwa menyerupai ini!”
“Baiklah. Kami tak pernah memaksa?” kata bunyi itu.
“Kami? Kaprikornus kau lebih dari satu,” seru Agung Kifli.
“Memang kami semuanya bertujuh.” Ujar bunyi itu. Agung Kifli kemudian ingat nama Lembah ini. Lembah Tujuh Bidadari. Tentu dia mahluk halus, salah satu dari bidadari itu. Rasanya dia ingin membalik badan semoga sanggup melihat salah seorang bidadari Lembah ini, yang ingin berkenalan dengan dia. Tapi rasa inginnya dikalahkan oleh rasa kecutnya.
Kini Agung Kifli menutup muka. Hening suasana, tak ada bunyi dan kata-kata lagi.
Mendadak, dalam keadaan senyap begitu, Agung Kifli mendengar bunyi langkah menjauh. Tentu sosok berjubah hitam tadi telah berlalu. Dia cepat memberanikan diri untuk menoleh. Sayang, sosok tadi sudah melenyap dalam kegelapan.
Tapi Agung amat kaget lantaran hanya dalam jarak satu meter dari daerah dia duduk ketakutan itu, didapatinya sebuah gitar dan kecapi. Dan lantaran dia merasa terheran-heran,diberanikannya memegang gitar dan kecapi kecil itu. Tentu sekarang dengan sebelah tangan saja. Karena tangannya sudah buntung satu, yang kiri. korban dari penipuan Dasa Laksana yang jahat itu.
Darimana gitar ini diambil sosok berjubah hitam tadi? tanya Agung Kifli dengan heran, dalam hati.
Ketika itulah dia mendengar salah seorang sampaumur yang ketiduran memanggil namanya: “Hai Agung, kau mengigau?”
“Kemari sini, Caruk Putih!” ujar Agung gelagapan saking herannya, “Kau lihat gitar ini mendadak ada di sini!”
“Padahal saat kita diculik, pakaian kita pun tak sempurna,” ujar Caruk Putih.
“Ini keajaiban dari ilmu Gaib”. kata Agung Kifli. Lalu terbangun pula Talago Biru.
“Talago, apa kau tidak melihat ini!” tanya Agung Kifli. Tapi Talago Biru tidak memberi reaksi. Dia sedang menatap ke satu titik di kejauhan. Namun dia sanggup juga melirik pada gitar dan kecapi yang diperagakan oleh Agung Kifli tadi. Aria dan Sura sama terbangun serentak.
Mereka malah kaget dan berseru : “Hai, siapa yang membawakan gitarmu?”
“Kurasa salah seorang dari tujuh bidadari di Lembah ini,” kata Agung Kifli.
“Keajaiban hanya diperbuat oleh pelaku-pelaku yang ghaib.”
“Kita benar-benar mendapatkan guru sejati,” kata Aria.
“Kita mengalami kebuntungan tangan. Tapi kita menemukan kehidupan yang baru,” ujar Abang Ijo.
Sebagai belum dewasa putus sekolah, enam sampaumur itu seakan - akan dilimpahi kurnia, berupa hadiah dari Tuhan sesudah disiksa oleh kebiadaban. Kini mereka merasa, bahwa kemalangan, peristiwa alam dan penderitaan, tidak selalu berakibat buruk.
“Hei, diam!” mendadak Agung Kifli terdongak menatap ke arah Timur. Jugalima sampaumur buntung lainnya secara serentak menolehkan pandangan ke jurusan yang ditatap Agung Kifli itu.
TIBA-TIBA Agung Kifli melihat sosok di arah kejauhan. Dia sikut pundak Abang ljo: "Hai, ada kau lihat sosok mendekati kita?”
“Mungkin bidadarimu tadi !” kata Abang ljo.
“Mainkan gitarmu!” ujar Sura Jingga.
“Taklukkan dia!” tambah Aria Kuning.
Agung Kifli kemudian menoleh pada Talago Biru. Talago Biru pendiam dingin, tidak sepotongpun melontarkan kegembiraan.
“Bicaralah Talago!” ujar Caruk Putih, yang terkecil diantaralima anak sampaumur yang buntung itu, bahkan yang terlincah.
Caruk Putih malahan berdiri dari duduk dan berkata: “Kalau kalian semuanya tidak berani, biar saya yang maju.”
Mendadak Talago Biru berkata: “Jangan, itu yang tiba bukan bidadari yang tadi menarik hati Agung Kifli.”
“Kau sanggup melihat siapa yang datang?” tanya Agung Kifli, yang serentak bertanya dengan si Caruk Putih.
“Ya. Aku sanggup melihat seseorang dalam gelap. Sejak dulu,” kata Talago Biru.
Agung Kifli heran, dan bertanya: “Kau berguru ilmu melihat kegelapan dimana, Talago?”
“Lihatlah alis mataku. Apakah saya punya alis mata?” tanya Talago Biru dengan nada dingin.
Agung Kifli, Abang Ijo, Sura Jingga dan Aria Kuning berebutan ingin melihat alis mata Talago Biru.
“Ajaib. Kau tidak punya alis mata!” mereka terheran semua.
“Aku menyerupai ayam jantan dan anjing malam. Tidak punya alis, jadi sanggup melihat sesuatu dalam gelap. Termasuk mahluk halus, jikalau ada,” kata Talago dengan nada tanpa menyombong.
“Yang tiba itu,” sambungnya, “Adalah Ki Pita Loka”.
“Ha?”
“Sejak saya dibangunkan, saya sudah melihat dia turun dari bukit itu, kemudian dia menuju ke sini.” kata Talago Biru.
Enam sampaumur itu bangga sekali. Mereka dengan nafas sesak menunggu kedatangan Ki Pita Loka yang sudah menghilang semenjak keenam mereka ketiduran. Dan saat Pita Loka mendekat, serentak mereka bertanya: “Dari mana Ki Guru?”
“Aku kembali dari bersemedi,” kata Ki Pita Loka.
“Saya menanti anda dengan cemas.”
“Tentu kau mengalami sesuatu.” kata Ki Pita Loka, menerka.
“Sepertinya Guru sudah mengetahui,” kata Agung Kifli.
“Memang akulah yang memerintahkan bidadari itu menemui kau, dan berkenalan dengan kau.”
“Juga anda yang menyuruhnya membawakan gitar dan kecapi ini?” tanya Agung Kifli seraya mengatakan gitar dan kecapi miliknya.
“Ya. Setelah dalam semedi saya ketahui, bahwa tujuh bidadari yang diceritakan oleh ayahku dulu ialah jin-jin pekerja, maka saya membaca ayat-ayat Sulaiman untuk menjinakkan mereka. Kalian mungkin sudah tahu dari pengajian di Kitab Suci, bahwa Nabi Sulaiman menimbulkan jin - jin itu sebagai pekerja. Merekalah yang mengangkat batu-batu pualam terindah dari Laut Tengah. Dan merekalah yang membuatkannya Istana dan Gudang Intan. Sementara ini, kalian belum akan saya warisi Ilmu Amsal Sulaiman untuk memerintah para jin yang tujuh di Lembah ini. Jika ilmu kalian sudah meningkat, tentu akan saya warisi amsal itu!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel