Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 5 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 07 Desember 2014
Sebelumnya...
TIDAK. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu. Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju? Nafas itu mengembara menuju daerah yang kosong. Dan kosong itu ialah membisu dan hening.
Maka jarak perginya pun tanpa dosis lagi. Hembusan nafas tadi singgah di daerah yang kosong.
Singgahnya nafas tujuh insan asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur ialah yang diam. Yang membisu pada detik itu ialah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut alasannya ialah terkena benturan.
Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya: “Kak Gumara, apa yang terjadi?”
“Adasesuatu yang sedang bergerak di luar kita,” ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja insan Gumara.
Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, kemudian serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin mencicipi benturan ke tubuhnya yang semakin mahir sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang.
Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya.
“Aku Ki Harwati!” teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, kemudian ke dada, kemudian melintasi leher dan karenanya ke kepala.
Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu membuat belitan.
Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati.
“Lihat, Kak Gumara? Ini hasil pertapaan saya!” serunya.
“Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang jagoan mengandung resiko.
Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya,” kata Gumara.
“Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang saya terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan saya kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku!” mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara.
Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati.
Ketika kecacatan itu ia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga ia berteriak: “Kau menggunakan ilmu Sesat! Kau sesat, kamu sesat, kamu sesattttttt”
Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu ia lemah, dan semakin lemah. Setelah itu Gumara tidak sanggup merenung, kendati sedetik. Juga ia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja.
“Tugasmu kini ialah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, saya Guru Besar semua gurul”
Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan.
“Kita hanrus menentukan waktu untuk berangkat,” kata Ki Harwati.
“Ya....!”
“Kita harus menyerang musuh!”
“Ya ......!”
“Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu!”
“Ya. Apa yang harus saya perbuat?” tanya Gumara dengan muka dungu.
“Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi!” kata Ki Harwati.
Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, kemudian tidur.
DAN tidurnya itu mirip mirip menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian badan Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: “Kamu dapatkan mimpi, hei dungu?!”
“Tidak.”
Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, menyerupai logam membentur kerikil padas sehingga tercipta bunyi nyaring.
“Dungu!” hardik Ki Harwati lagi.
“Aku lapar,”kata Gumara.
“Tidak ada masakan di sini”, jawab Ki Harwati.
“Beri saya makanan,” ujar Gumara dengan verbal kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas.
“Kau hanya menjadi bebanku,” ujar Harwati.
Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada ketika sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin hal ini kepingan dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar ia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu ia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan ia berseru: “Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima. Aku yang akan mendapatkan warisan ilmu Kitab Tujuh itu!”
Dia guncang badan Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok mirip tidurnya orang dongok.
“Bang sat! Bang sat!” maki Ki Harwati, “Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali!
Padahal saya sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh!”
Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan jikalau ia melihat Gumara, ia benci dan ditendangnya pantat abang tirinya itu. Kemudian ia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, ia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang ialah ular yang melingkari kepalanya.
Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal berjulukan Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu.
Yang ada cuma batu. Batu itu bersama-sama dulu sering diambil orang sebesar biji salak alasannya ialah keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke kerikil kawung itu, kemudian digeserkan logam baja, maka terciptaiah api.
Untuk apa Ki Pita Loka ke sini? Karena ia menerima pandangan gres untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu menyerupai roda. Ia kembali kepada sumbunya.
“Kita berhenti di sentra bukit ini,” kata Ki Pita Loka.
Enam cukup umur buntung kontan saja duduk bersila, membuat bulat dan sumbu bulat itu ialah duduknya sang Guru.
“Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu ialah zat yang mempunyai energi. Dalam diri kalian, dengan hukum pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, hingga badan merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila badan kalian terbakar.”
Enam cukup umur buntung dipimpin Guru, sedang melakukan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, membuat pergeseran logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu usang kelamaan bagai tujuh pengecap api.
“Dan api akan padam oleh air. Api hanya sanggup padam oleh air,” ujar Sang Guru.
Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal ialah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam cukup umur buntung.
“Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah ialah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seolah-olah kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal,” Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam “kematian”, entah untuk berapa lama.
Lama itu waktu. Waktu itu jadi tak penting.
MEREKA hingga ke sebuah Lembah yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi Pita Loka pernah mendengar wacana lembah ini ketika ia berusia Tujuh tahun dahulu, yang diceritakan oleh Ki Putih Kelabu,ayahnya. Menurut ayahnya. Lembah ini dulunya dikenal dengan sebutan Lembah Tujuh Bidadari.
Agung Kifli bertanya pada Pita Loka: “Ki Pita, apakah perjalanan kita bukan kesasar?”
“O, kita tidak kesasar. Justru saya ke sini sengaja mengajak enam orang diantara kalian yang kena culik, sedangkan yang 11 orang kusuruh pulang ke Kumayan.”
“Lalu untuk apa kita ke sini?” tanya Agung Kifli.
“Yang jelas bukan untuk berdarmawisata.”
“Saya dan teman-teman amat lelah,” ujar Agung Kifli.
“Itu masuk akal saja. Tujuh hari perjalanan tanpa istirahat bersama-sama saya sengaja untuk melatih kalian yang berenam. Kalian yang berenam ialah orang-orang pilihanku.
Kalianlah kelak yang akan dikenal dengan sebutan “Enam Pendekar Buntung”.
“Wah, kami akan dijadikan pendekar?” kata Agung Kifli tercengang.
“Ya. Setiap insiden pada diri seseorang ada hikmahnya. Anggaplah oleh kalian bahwa pesan yang tersirat dipotongnya tangan kalian oleh orang sinting Dasa Laksana itu justru untuk sesuatu yang berkhasiat di kemudian hari.”
“Tapi saya tidak bercita-cita jadi pendekar,”kata Agung Kifli.
“Memang itu betul. Namun saya tidak melarangmu bermain gitar. Sayang, gitar dan kecapimu Tidak ada di sini,” kata Ki Pita Loka.
“Tapi saya sanggup membuatnya! Dari buah labu yang dikeringkan,” kata Agung Kifli,
“Apakah orang yang berguru ilmu persilatan dihentikan main musik?”
“Tidak ada larangan kesenangan langsung buat suatu ilmu yang tinggi,” kata Ki Pita Loka.
Bersambung...
TIDAK. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu. Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju? Nafas itu mengembara menuju daerah yang kosong. Dan kosong itu ialah membisu dan hening.
Maka jarak perginya pun tanpa dosis lagi. Hembusan nafas tadi singgah di daerah yang kosong.
Singgahnya nafas tujuh insan asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur ialah yang diam. Yang membisu pada detik itu ialah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut alasannya ialah terkena benturan.
Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya: “Kak Gumara, apa yang terjadi?”
“Adasesuatu yang sedang bergerak di luar kita,” ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja insan Gumara.
Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, kemudian serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin mencicipi benturan ke tubuhnya yang semakin mahir sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang.
Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya.
“Aku Ki Harwati!” teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, kemudian ke dada, kemudian melintasi leher dan karenanya ke kepala.
Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu membuat belitan.
Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati.
“Lihat, Kak Gumara? Ini hasil pertapaan saya!” serunya.
“Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang jagoan mengandung resiko.
Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya,” kata Gumara.
“Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang saya terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan saya kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku!” mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara.
Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati.
Ketika kecacatan itu ia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga ia berteriak: “Kau menggunakan ilmu Sesat! Kau sesat, kamu sesat, kamu sesattttttt”
Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu ia lemah, dan semakin lemah. Setelah itu Gumara tidak sanggup merenung, kendati sedetik. Juga ia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja.
“Tugasmu kini ialah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, saya Guru Besar semua gurul”
Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan.
“Kita hanrus menentukan waktu untuk berangkat,” kata Ki Harwati.
“Ya....!”
“Kita harus menyerang musuh!”
“Ya ......!”
“Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu!”
“Ya. Apa yang harus saya perbuat?” tanya Gumara dengan muka dungu.
“Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi!” kata Ki Harwati.
Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, kemudian tidur.
DAN tidurnya itu mirip mirip menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian badan Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: “Kamu dapatkan mimpi, hei dungu?!”
“Tidak.”
Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, menyerupai logam membentur kerikil padas sehingga tercipta bunyi nyaring.
“Dungu!” hardik Ki Harwati lagi.
“Aku lapar,”kata Gumara.
“Tidak ada masakan di sini”, jawab Ki Harwati.
“Beri saya makanan,” ujar Gumara dengan verbal kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas.
“Kau hanya menjadi bebanku,” ujar Harwati.
Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada ketika sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin hal ini kepingan dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar ia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu ia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan ia berseru: “Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima. Aku yang akan mendapatkan warisan ilmu Kitab Tujuh itu!”
Dia guncang badan Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok mirip tidurnya orang dongok.
“Bang sat! Bang sat!” maki Ki Harwati, “Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali!
Padahal saya sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh!”
Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan jikalau ia melihat Gumara, ia benci dan ditendangnya pantat abang tirinya itu. Kemudian ia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, ia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang ialah ular yang melingkari kepalanya.
Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal berjulukan Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu.
Yang ada cuma batu. Batu itu bersama-sama dulu sering diambil orang sebesar biji salak alasannya ialah keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke kerikil kawung itu, kemudian digeserkan logam baja, maka terciptaiah api.
Untuk apa Ki Pita Loka ke sini? Karena ia menerima pandangan gres untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu menyerupai roda. Ia kembali kepada sumbunya.
“Kita berhenti di sentra bukit ini,” kata Ki Pita Loka.
Enam cukup umur buntung kontan saja duduk bersila, membuat bulat dan sumbu bulat itu ialah duduknya sang Guru.
“Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu ialah zat yang mempunyai energi. Dalam diri kalian, dengan hukum pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, hingga badan merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila badan kalian terbakar.”
Enam cukup umur buntung dipimpin Guru, sedang melakukan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, membuat pergeseran logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu usang kelamaan bagai tujuh pengecap api.
“Dan api akan padam oleh air. Api hanya sanggup padam oleh air,” ujar Sang Guru.
Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal ialah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam cukup umur buntung.
“Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah ialah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seolah-olah kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal,” Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam “kematian”, entah untuk berapa lama.
Lama itu waktu. Waktu itu jadi tak penting.
MEREKA hingga ke sebuah Lembah yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi Pita Loka pernah mendengar wacana lembah ini ketika ia berusia Tujuh tahun dahulu, yang diceritakan oleh Ki Putih Kelabu,ayahnya. Menurut ayahnya. Lembah ini dulunya dikenal dengan sebutan Lembah Tujuh Bidadari.
Agung Kifli bertanya pada Pita Loka: “Ki Pita, apakah perjalanan kita bukan kesasar?”
“O, kita tidak kesasar. Justru saya ke sini sengaja mengajak enam orang diantara kalian yang kena culik, sedangkan yang 11 orang kusuruh pulang ke Kumayan.”
“Lalu untuk apa kita ke sini?” tanya Agung Kifli.
“Yang jelas bukan untuk berdarmawisata.”
“Saya dan teman-teman amat lelah,” ujar Agung Kifli.
“Itu masuk akal saja. Tujuh hari perjalanan tanpa istirahat bersama-sama saya sengaja untuk melatih kalian yang berenam. Kalian yang berenam ialah orang-orang pilihanku.
Kalianlah kelak yang akan dikenal dengan sebutan “Enam Pendekar Buntung”.
“Wah, kami akan dijadikan pendekar?” kata Agung Kifli tercengang.
“Ya. Setiap insiden pada diri seseorang ada hikmahnya. Anggaplah oleh kalian bahwa pesan yang tersirat dipotongnya tangan kalian oleh orang sinting Dasa Laksana itu justru untuk sesuatu yang berkhasiat di kemudian hari.”
“Tapi saya tidak bercita-cita jadi pendekar,”kata Agung Kifli.
“Memang itu betul. Namun saya tidak melarangmu bermain gitar. Sayang, gitar dan kecapimu Tidak ada di sini,” kata Ki Pita Loka.
“Tapi saya sanggup membuatnya! Dari buah labu yang dikeringkan,” kata Agung Kifli,
“Apakah orang yang berguru ilmu persilatan dihentikan main musik?”
“Tidak ada larangan kesenangan langsung buat suatu ilmu yang tinggi,” kata Ki Pita Loka.
Bersambung...