Cerita Silat: Belakang Layar Kitab Tujuh 4 - Seri Tujuh Insan Harimau

 begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 4 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
DENGAN sangat penasaran, begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka, maka Ki Pita Loka ngamuk dengan tiada belas kasihan. Ketika kepala Dasa menelangsa menghatur sembah. Jari-jari tangan yang menghatur sembah itu disikatnya dengan sabetan sepakan dahsyat.... Dasa Laksana menjerit kesakitan. Dan beliau merangkak lagi, menghatur sembah lagi. Ki Pita Loka menyabet lagi dengan sepakan hingga Dasa Laksana melintir, berguling-guling dengan menjerit.
Tapi Dasa Laksana nelangsa lagi dengan merangkak. Kali inilah Ki Pita Loka tidak bisa menahan amarahnya. Diangkatnya badan Dasa Laksana yang sedang merangkak itu, kemudian beliau lemparkan kepagar-pagar bambu yang jadi pembatas desa Anggun itu. Pagar itu ambruk, dan badan Dasa Laksana terlempar.
Seluruh penduduk yang terdiri dari keluarga bajingan - bajingan perampok penyamun pun pada berkeluaran.
Tapi Dasa Laksana bagai orang mabuk terhuyung menghampiri Ki Pita Loka lagi. Dia merangkak dan menghatur sembahnya lagi. Matanya melihat pada penduduk,biang kejahatan itu dengan mohon dikasihani. Tapi Ki Pita Loka, tanpa kasihan menyergapnya dengan kedua tangan, mengangkatnya, kemudian melemparnya bagai melempar karung basah. Tubuh Dasa menghajar penduduk dan mereka berteriak secara serentak:”Bunuh hero sinting itu!”
Saudara sepupu Ki Pita Loka yang bertangan buntung - Agung Kifli - kemudian menyergap Pita Loka: “Ayoh lari, sanak!”
“Tidak!”, ujar Ki Pita Loka dengan menebah dada dan berseru kepada penduduk Anggun: “Ayoh siapa yang siap mau membunuh hero sinting, mari serahkan nyawa kalian!”
Dalam keadaan mereka ragu, dengan satu putaran gasing gila. Ki Pita Loka menyeruduk dengan melaksanakan tendangan putaran bertubi-tubi ke arah muka, tanpa pilih bulu, sehingga mereka ambruk satu demi satu.
Sungguh suatu perkelahian tunggal yang teramat seru, satu hero lawan 40 orang keluarga penjahat. Diantara mereka ada yang pingsan. Bahkan ada yang pribadi mati konyol apabila sabetan tendangan lingkar itu sempurna mengenai jantung...
“Kalian sudah puas dengan kejahatan. Kaprikornus harus dijahati juga,” ujar Ki Pita Loka seraya menyeret ajun Agung Kifli dan berkata lagi: “Ayoh saudara sepupuku kita kembali ke Desa Kumayan. Bawa semua temanmu yang kena culik!”
Tapi secara naluriah, saat pergulatan sengit Pita Loka menghancurkan penduduk jahat ini, ketujuh belas bawah umur sampaumur yang telah diculik Dasa Laksana itu telah menyisih ke balik pagar. Sehingga dengan amat gampang mereka digiring ke luar desa Anggun, desa Perampokan itu, mengikuti langkah Ki Pita Loka.
Biarpun dirasakan oleh Ki Pita Loka langkahnya biasa, namun bagi ke 17 bawah umur sampaumur yangmalang itu dirasakannya langkah itu amat gesit sekali. Tapi mereka tiada mengeluh dan cengeng. Mereka malah mengira, bahwa Dasa Laksana kelak akan menguntit mereka dan belakang. Semalam suntuk rombongan itu berlalu meninggalkan desa celaka itu. Semua mereka sudah buntung tangan kanannya, digolok oleh Dasa Laksana. Semua mereka justru dikorbankan untuk mempertakuti hati penduduk Desa Kumayan. Dengan dongengnya di gardu peronda di desa Kumayan tempo hari, Dasa Laksana akan menunjukkan kesan, bahwa ke17 anak sampaumur yang ia culik dan potong tangannya ialah korban dan pemilik Pedang Ratu Turki.
Lalu, cahaya matahari muncul dari Bukit Kerambil. Bukit ini bukit potongan barat dari deretan bukit-bukit barisan. Diantara bawah umur sampaumur itu kelihatan ada yang tak berpengaruh lagi berjalan lantaran tanpa henti berjalan terus semenjak diselamatkan Ki Pita Loka.Ada tiga orang yang jatuh pingsan.
Ki Pita Loka memperhatikan, siapa yang paling sigap membantu yang pingsan-pingsan itu. Dan beliau bahagia lantaran diantara yang membantu itu ada saudara sepupunya, Agung Kifli.
Ada sepuluh orang semuanya yang pingsan. Dan penolongnya tetap saja, yaitu Agung Kifli dan lima lainnya.
Enam orang itu, berdasarkan ruguhan batin Ki Pita Loka, ialah sampaumur - sampaumur yang berhati suci.
Dia biarkan saja enam anak baik itu berusaha menyadarkan sepuluh anak yang pingsan itu.
Diantara yang barusan sadar, cengeng meronta dan berkata: “Kembalikan kami ke Kumayan.”
“Kembalikan”, kami ke rumah,” kata yang lain. Seluruhnya sudah sepuluh orang.”
“Siapa diantara kalian yang ingin kembali?”
Satu dua tiga hingga sepuluh. Tapi ada seorang, yang sepertinya bimbang. Dialah yang dipanggil oleh Ki Pita Loka sewaktu matahari telah terbit benderang. Anak itu berusia sekitar 16 tahun. Tegap tapi sikapnya ragu.
Tapi beliau punya kelebihan dari sepuluh yang lainnya.
Lalu, tampil pula anak yang ke 12. Dia tampil dan memperkenalkan dirinya: “Kakak barangkali tak kenal saya. Saya Rauf, sobat Jadim.”
“Jadi kau yang berjulukan Jadim?” tanya Ki Pita Loka kepada yang peragu.
“Ya. Kak,”
“Jadim dan Rauf akan memimpin rombongan 10 orang ini ke Kumayan.”
“Kami tidak tahu jalan, kak,” kata Rauf.
“Jangan kuatir. Saya akan menolong kalian,” ujar Ki Pita Loka seraya meraih kepala Jadim dan Rauf. Pita Loka meniup ubun kepala bawah umur yang berdua itu sehabis memohon dari Tuhan.
“Perhatikan telunjuk tanganku,” kata Pita Loka. Dua anak itu memperhatikan telunjuk Pita Loka. Juga 10 anak lainnya. Dan saat itu Pita Loka berkata: “Tembus hutan ini, tanpa merubah arah jalan terus turun naik bukit dan lembah. Supaya jangan lelah, sembari bernyanyi.”
Anak-anak itu tampak dibangkitkan rasa keberaniannya. Mereka mulai bernyanyi lagu Pramuka, dipimpin oleh Jadim dan Rauf. Makin usang lambaian tangan mereka disertai nyanyian mereka semakin bertambah jauh Setelah mereka menghilang, enam sampaumur yang tak ikut pulang ke Kumayan serentak menghadapkan mukanya pada Ki Pita Loka. Tentu yang terlebih dahulu bertanya ialah saudara sepupu Pita Loka.
Agung Kifii bertanya: “Bisakah kami ini kau isi dengan ilmu?”
“Ilmu apa?” tanya Ki Pita Loka.
“Ilmu yang berisi keberanian kami untuk membalaskan dendam pada Dasa Laksana setan gila itu!”
Ki Pita Loka tertawa: “Permintaanmu terlalu rendah.”
“Lihatlah tangan kiriku ini, tidak ada gunanya lagi dan tidak bisa digunakan untuk menekan senar gitar maupun kecapi!” kata Agung Kifli.
“Maka tadi saya pilih yang kembali, dan yang akan ikut dengan saya. Firasatmu betul bahwa kalian akan kuajak ngelmu. Manusia semua sama, alasannya Tuhan adil. Tapi yang cerdik lebih tinggi dari yang malas.” kata Pita Loka.
“Saya minta dijelaskan kenapa ilmu yang diminta Agung Kifli tadi bernilai rendah.” ujar si kurus kecil yang berjulukan Caruk Putih.
“Kerendahan satu ilmu bisa dilihat dari tujuannya,” kata Ki Pita Loka.
“Bukankah tujuan membalaskan dendam itu juga baik?”tanya Caruk dengan nada penasaran.
Balas dendam selalu bernilai rendah. Tapi kalau kalian ngelmu untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan yang benar, itulah ilmu yang tinggi. Untuk itu kalian merupakan orang-orang pilihanku.”
“Termasuk saya?” tanya seorang sampaumur berjulukan Aria.
“Termasuk kamu. Aria, juga Sura, juga Abang Ijo dan Talago Biru. Pendeknya kalian harus mengucapkan ikrar padaku.” kata Pita Loka.
Lalu mereka pun mengangkat ikrar. Mereka ikuti apa yang diucapkan Ki Pita Loka, tanpa nada sumbang. Ikrar itu bergema dengan nada yang hampir-hampir tunggal, membangkitkan kesatuan semangat dan kesatuan tujuan.
Kesatuan yang manunggal antara Guru dan murid dalam kata dan perbuatan memanglah persyaratan ilmu persilatan.
Dan Ki Pita Loka mendapat cara membimbing ilmu pada muridnya ini lantaran ia seorang yang jiwanya ikhlas, disamping oleh otak yang cerdas. Otak yang cerdas tapi jiwa kotor tak memungkinkan seorang hero naik derajat menjadi Guru Besar.
Ukuran kebesaran ialah energi.
Maka Pita Loka memulainya pun dengan dosis energi. sedikit bicara, tapi tiap patah kata ada ikatan. Dan hanya orang yang bisa duduk bersila dengan baik, seluruh energi terkendali.
Ki pita Loka duduk bersila. Enam muridnya pun duduk bersila. Ki Pita Loka memberi perintah dengan nada dalam: “Hening.......”
Keadaan pun hening, seakan tiap napas yang ditarik dan dihembus kedengaran begitu nyata. Karena napas ialah sumber energi dalam diri manusia, itulah pula yang mesti diatur.
“Tarik napas ke puser perutmu,” perintah Sang Guru.
“Angkat perlahan ke atas menuju kepala, dan salurkan menuju ubun-ubunmu, dan buanglah kesana”, perintah Sang Guru lagi.
“Ambil lagi napas, tarik ke puser, angkat ke atas, dan buang!”
“Ambil lagi. Tarik ke bawah. Angkat ke atas. Dan buang lagi.”
Pelajaran awal itu, yang hanya bermain napas dengan kedudukan bersila tanpa gerak yang dilakukan seluruhnya detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, membuat keasyikan pada Sang Guru dan Para Murid.
Dapat dibayangkan sehabis enam jam bermain napas saja, keringat mereka mengocor menyerupai kuli mengangkut satu balok pohon yang besar.
KEASYIKAN tidak pernah merangsang lapar. Yang dibuang oleh energi ialah keringat. Dan keringat itu ialah sampah. Inilah awal pencucian diri, alasannya Ki Pita Loka ingin membuat enam anak buntung ini menjadi enam hero sejati. Pendekar sejati bisa saja menghadapi empat puluh musuh. Dan beliau seorang diri dengan kekuatan energi sanggup saja menumpas 40 lawan tanpa mengeluarkan keringat setetespun.
Itulah yang sedang diisinya kepada enam sampaumur buntung itu. Kelak mereka tidak harus merasa kurang lantaran kebuntungannya. Sebab setiap yang kurang niscaya ada kelebihan di bidang lain.
Dan telah dua kali matahari terbit dan dua kali pula matahari terbenam. Tahukah enam sampaumur buntung itu bahwa waktu telah berjalan dua hari?
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel