Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 3 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas perilaku tegas Ki Pita Loka Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 3 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas perilaku tegas Ki Pita Loka. Terutama tuduhan blak-blakan pada diri pengembara ajaib yang hampir saja dihajarnya. Dan beliau lebih takjub lagi ketika melihat pengembara sinting itu segera enyah meninggalkan Bukit Kumayan.
Ki Lading Ganda melangkah sopan menghampiri Ki Pita Loka. Lalu bertanya tampaknya seorang murid bertanya pada sang guru: “Ki Guru, apa artinya ini semua?”
“Mestinya tuan sudah maklum. Ingat kembali yang tadi diucapkan Dasa Laksana? Saya mendengarkannya di balik semak, semenjak tuan guru muncul menemuinya kemudian mendengarkan apa ocehannya. Semuanya itu tidak usah dipercayai. Dia hanya tiba untuk mengacau perasaan kita semua”.
“Tapi Ki Guru Pita Loka”, ujar Ki Lading Ganda mendekat lagi, “Saya rasa ada benarnya bila beliau katakan, bahwa Ki Gumara melibatkan diri dengan Ki Ratu Turki”.
Ki Pita Loka melongo sesaat. Kemudian beliau berkata: “Anda seorang tua. Anda tak usah risau dan kuatir apa yang diperbuat anak-anakmuda. Seorang satria dihormati dan pantas dikuatirkan apabila ilmunya tinggi, dan sementara itu usianya dan pengalamannya besar”.
“Maksud tuan guru muda . . . saya tak usah merisaukan gosip mengenai Ki Gumara?”
“Pendeknya, beliau bukan menyerupai yang anda duga, Guru Tua”, ujar Pita Loka kemudian memberi tanda pamit dengan kedua telapak tangan bersungkem ke arah Ki Lading Ganda.
Ki Lading Ganda pulang dengan pikiran kacau.
Tetapi, Pita Loka pun mulai jadi bimbang. Ayahnya mengetuk pintu kamarnya.
Setelah masuk, beliau bertanya: “Di mana-mana warung yang saya kunjungi, malam ini ada kesan penduduk semakin resah. Apa yang diucapkan pengembara fakir itu, kelihatannya mempengaruhi rakyat. Apa pendapatmu?”
“Saya tak punya pendapat”, kata Ki Pita Loka.
“Itu tak baik. Kau lebih mengetahui dari kami. Tapi kamu berlagak tenang.
Ceritakanlah pada ayahmu, apa bergotong-royong yang akan terjadi? Kenapa Kitab Tujuh itu dicari-cari dan bakal menjadikan bencana?”
Ki Putih Kelabu menjadi geram alasannya ialah Pita Loka hanya membungkam. Malah beliau lebih jengkel ketika Pita Loka berkata: “Saya malam ini belajar. Karena besok akan ujian ekstension “
“Baiklah. Itulah perbedaan ilmuwan dengan pendekar. Ilmuwan sibuk meramu jamu, kendati dunia sekeliling kebakaran beliau akan terus meramu jamu. Tapi seorang satria akan melempar gelas jamu bila teriadi kehebohan”, kata Ki Putih Kelabu dengan nada mendongkol.
Sebenarnya orangtua itu sedang memancing perilaku Pita Loka. Dia menganggap, Pita Loka berubah perilaku untuk menjadi pelajar sekolah Sekolah Menengan Atas hanyalah untuk menutupi ilmu yang telah beliau petik selama 1000 hari dari Bukit Lebah.
Yang beliau inginkan dari Pita Loka ialah reaksi. Tapi Pita Loka kelihatan tidak perduli.
Dia juga tidak perduli ketika bergerombol belum dewasa muda yang ikut ujian ekstension Sekolah Menengan Atas menanyakan isyu terancamnya desa Kumayan.
“Itu pekerjaan para pendekar. Kita bukan pendekar. Kita calon pelajar. Pelajar SMA.
Buat apa kita sibuk - sibuk. Kita tunggu saja bel ujian berbunyi, kemudian siapkan diri untuk menjawab soal-soal”. kata Pita Loka.
Ketika bel ujian berbunyi, Pita Loka memasuki lokal untuk ujian. Seluruh calon murid Sekolah Menengan Atas yang mendaftar ada 14 orang, termasuk Pita Loka. Ujian ini diberikan kesempatan oleh Kakanwil untuk mengurangi banyaknya belum dewasa muda liar yang suka bergerombol. Tapi Pita Loka tidak sedikit pun menunjukkan gejala berpura-pura.
Dia tak mengatakan tanda kependekaran sedikit pun kecuali ketika beliau mengusir lebah-lebah dulu dan apa yang beliau perbuat semalam, sewaktu mengusir Dasa Laksana.
Tetapi menjelang bel ujian hari itu berbunyi, seorang penduduk minta ijin pada pengawas ujian untuk menemui Pita Loka.
Pita Loka menuntaskan dua soal lagi, gres kemudian menemui Pak Tenong itu. Dia bertanya: “Adaapa menemui saya, Pak?”
“Anakku Daim diculik! Apakah sanggup membantu?” tanya Pak Tenong.
“Jangan minta proteksi saya. Saya hanya insan biasa,Pak. Mintalah proteksi Ki Lading Ganda”.
“Dia menyuruh saya ke sini, Ki Pita Loka. Dia katakan, inilah awal dari serangan kasatmata yang akan dibuktikan Ki Ratu Turki. Anak Rekasa juga diculik.Ada tujuh anak sampaumur di sini kena culik.”
“Tapi sayalima hari ini menghadapi ujian, Pak. Tak mungkin saya sanggup membantu.
Maafkan saya”, kata Ki Pita Loka. Orang yang tertimpa peristiwa alam itu menangis meratap, berlutut di hadapan Pita Loka. Tapi Pita Loka hanya berkata: “Jangan jadikan saya ini dewa. Sungguh mati, saya tak punya daya kekuatan apa-apa”.
Tapi, hati Pita Loka betul-betul tergugah sehabis pada malam harinya muncul Paman Kurukjahi. Dia membawa sepotong tangan buntung dan berkata: “Wahai satria muda, apa perasaanmu satelah melihat sepotong tangan ini?”. Tampak darah membersit di wajah Pita Loka, seakan – akan beliau tak sanggup menahan amarahnya.
Tangan itu begitu beliau kenal, tangan saudara sepupunya yang paling akil bermain gitar dan kecapi.
“Karena cincin yang kukenal masih ada di jari tangan ini, saya tahu ini tangan sepupuku Agung Kifli. Di mana tangan ini paman temukan?” tanya Pita Loka dengan mata tak berkejap.
Kurujakhi bertanya pula; “Apa perlu kusebutkan tempatnya? Mana yang penting, tangan anakku atau orang yang memotongnya?”
“Kalau begitu saya ditantang”, kata Pita Loka.
“Bukankah semenjak beberapa hari ini kamu ditantang? Rakyat sudah cemas semenjak tersebarnya berita, bahwa bumi Kumayan akan dihancurkan oleh Ki Ratu Turki. Dan saya dengar beliau pun bekerja sama dengan anak Ki Karat dari istrinya yang lain, seorang guru yang pernah dihormati !.
Di mana anda berdiri dalam bahaya ini?”
“Saya berdiri di bumi kelahiranku, Paman!”
“Nah, bangkitlah! Ajaklah semua harimau-harimau Kumayan ini, termasuk ayahmu, untuk menyerang musuh terlebih dahulu sebelum kita ditakut-takutinya dengan penculikan dan potong tangan! “
Pita Loka diam.
“Jadi paman menganggap Pedang Turki yang memotong tangan sepupuku?” tanya Pita Loka dengan tatapan mata menantang.
“Ya! Bahkan saya tahu di mana bajingan – bajingan itu bermukim!”
“Paman salah”, kata Pita Loka. “Saya berani menjamin, pedang Turki tidak melaksanakan pemotongan sekasar ini. Tangan ini ditebas oleh golok yang kasar, ini perbuatan tubruk domba, supaya kita menerima kesan bahwa Ki Ralu Turki maupun Guru Gumara ialah pendekar-pendekar kejam. Tidak. Aku tidak percaya bahwa penculikan maupun kekejaman begini dilakukan oleh satria kelas satu. Ini kerja satria kelas kambing!”
Dan tanpa diduga sedikit pun Pita Loka seakan–akan bermetamorfosis menjadi seorang cekatan dengan dua langkah lompatan eksklusif melocat ke halaman.
Pita Loka tidak bersenjata. Dengan tangan kosong seakan - akan beliau menjadi angin limbubu yang kecepatan larinya sudah tak sanggup dilihat oleh mata lagi. Dan orang tak sempat mengetahui, bahwa beliau sudah berlompatan dari dahan ke dahan begitu lincahnya melebihi lincahnya seekor simpai hutan.
Dan ketika beliau tiba di perbatasan desa Kumayan, menghadap ke Bukit Anggun beliau terhenti sejenak.
Dia melihat di situ asap api. Pertanda di situ ada sebuah perkampungan. Dia tiba-tiba yakin, bahwa beliau harus kesana! Dia yakin, orang yang beliau cari niscaya ada di desa Anggun. Desa ini daerah pelarian penjahat kotor, bajingan tengik, dan para satria yang gagal mengguru alasannya ialah ingin cepat pandai.
Dia tak ingin muncul di desa Anggun ketika hari sudah terang. Dia ingin menyergap musuh yang dicurigainya justru menjelang datangnya pagi hari.
Desa Anggun sekelilingnya dipagari oleh potongan bambu, dan dibentuk pula selokan-selokan penjebak. Begitu beliau memasuki pintu gerbang desa, Pita Loka menyepak pagar itu dengan obrak-abrik bagai orang kesetanan. Beberapa pohon beliau terjang sampai roboh. Dan anj ing penjaga yang menyeruduk padanya beliau terjang dengan tendangan yang mengerikan, anj ing itu bagai terlempar terbang ke bubungan rumah. Dan seluruh desa terbangun.
“Aku. Pita Loka dari desa Kumayan, menuntut nyawa satu orang biadab yang sedang saya cari!” teriak Pita Loka dengan berkacak pinggang. Kebenciannya sudah seleher, tinggal muntah saja lagi .
Di sini tak ada kepala desa. Yang ada orang pemberani yang paling banyak membunuh dan paling jahat dan beliau diberi gelar Tua Anggun. Nah, Pita Loka dengan perilaku agak sabar melihat munculnya Tua Anggun.
“Siapa yang tuan cari?” tanya Tua Anggun.
“Kuharap, sebelum matahari terbit, serahkan nyawa dan tubuh Dasa Laksana. Hidup atau mati, serahkan 17 sampaumur yang beliau culik dan potong tangannya, termasuk sepupu saya Agung Kifli!”
Suara teriak Ki Pita Loka cukup menggentarkan perasaan Raja Penjahat itu. Dia berkata: “Aku kenal nama tuan guru dari si anyir yang berlindung di sini itu. Kami menamakan beliau itu Si Busuk. Diakah yang tuan muda inginkan?”
“Ya. Dia Hidup atau mati!” hardik Pita Loka.
Dan dalam sekelebatan Tua Anggun sudah menyeret Dasa Laksana, ketika beliau terkulai sehabis semalam suntuk berbuat homoseksual dengan perjaka yang beliau culik.Ada tiga yang di potong tangannya alasannya ialah menolak sanggama itu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel