Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 2 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 07 Desember 2014
Sebelumnya...
Mendengar itu Pita Loka tersenyum. Bahkan memberi tanggapan yang secara disengaja mengecewakan: “Biarpun di sini, misalnya, saya tidak tertarik dengan masalah-masalah kesaktian lagi. Lebih seribu hari saya tekun dalam dunia begitu”.
Setelah perginya Ki Lading Ganda, terjadilah pertengkaran. Ki Putih Kelabu mengecam Pita Loka: “Kau merendah. Kadang, merendah yang berkelebihan sama saja denqan perilaku tinggi hati!”
“Itu perasaan ayah. Orang perasa selalu kurang suka berfikir”.
“Kau anggap saya goblok?” tanya sang ayah.
“Memang begitu. Otak ditaruh Tuhan letaknya dalam kepala. Kepala di atas. Dan hati, dalam dada. Letaknya dibawah kepala. Saya ingin penduduk Kumayan ini, termasuk ayah dan Ki Lading Ganda lebih mengutamakan otak dari hati. Biarpun hati berkata begini begitu, tapi yang tetapkan haruslah otak. Di cuilan yang tertinggi dari hidup manusia”, kata Pita Loka.
Tapi gadis ini menyesal melihat ayahnya sedih di sore hari itu. Dan untuk mengobati hati ayah yang luka, malamnya beliau suguhi makanan enak yang ia masak sendiri dengan tekun.
Ayahnya berlinang airmata dikala menikmati hidangan malam.
Tapi muncul lagi tamu.
Lagi–lagi, tamu itu Ki Lading Ganda. Perubahan tampak pada perilaku mendapatkan tamu yang diperlihatkan Pita Loka.
“Lelaki gila itu muncul lagi”, kata Ki Lading Ganda.
“Di mana dia?” tanya Pita Loka kaget.
“Di gardu itu”.
“Apa katanya?”
“Dia minta padaku, supaya beliau diperkenalkan pada Ki Pita Loka”, ujar sang guru.
“Ah, saya tak kenal dia”“. ujar Pita Loka berdusta.
“Anda tak kenal insan yang berjulukan Dasa Laksana?”
“Baiklah, tapi apa kepentingannya?” tanya Pita Loka.
“Dia akan memberikan suatu pesan. Dan itu harus tuan guru sendiri yang mendengarnya”. kata Ki Lading Ganda.
Mendengar ucapan itu, meremang bulu kuduk Pita Loka. Dia kemudian bertanya: “Di mana beliau sekarang?”
“Masih di gardu” kata Ki Lading Ganda.
“Baik. Saya akan kesana ”, kata Ki Pita Loka.
“Bersama saya?”
“Tentu. Bersama tuan guru”, kata Ki Lading Ganda.
Pita Loka kemudian berkata pada ayahnya : “Sebaiknya ayah tak ikut”.
Ki Putih Kelabu tentu merasa kecewa. Pita Loka berjalan dengan langkah tegap bersama Ki Lading Ganda.
Menjelang hingga ke gardu, beliau melihat begitu banyak bawah umur dan orang cukup umur yang berkumpul. Pita Loka memberi kode supaya mereka menepi. Dan mereka patuh.
Yang didapatinya yakni Dasa Laksana yang tubuhnya amat kotor dengan pakaian hitam compang-camping. Begitu Dasa Laksana melihat kehadiran Ki Pita Loka, beliau eksklusif menyeruduk ke kaki dan mencium jari-jari kakinya seraya berkata: “Ampuni saya, Guru. Saya ke sini sekedar lewat. Dan ingin memberitahukan, bahwa Ki Ratu Turki akan menyerang desa ini secara mengerikan!”
“Siapa dia?”
“Anda lebih tahu, Guru!”
“Jika anda bertemu dengan dia, pesankan padanya supaya beliau membatalkan maksudnya sebelum dirinya celaka”, wajah Pita Loka bermetamorfosis penuh wibawa sebab dipenuhi perasaan sabar yang berjuta.
“Dia akan merebut Kitab Tujuh itu”, kata Dasa Laksana lagi.
“KITAB TUJUH?” Pita Loka terheran.
“Hanya anda yang mengetahuinya. Tapi juga Ki Ratu Turki?”.
“Baik. Kalau demikian, kau akan meninggalkan Kumayan. Silahkan berangkat”.
“Tapi saya memohon sesuatu”, kata Dasa Laksana.
“Mohonlah pada Tuhan. Jangan pada saya. Saya insan biasa”, ujar Pita Loka.
Ucapannya ini disambut orang-orang dengan dengung bunyi kagum. Mereka kagum. orang yang mereka kenal sakti, hanya mengaku insan biasa. Namun telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa beliau begitu dihormati, bahkan oleh Ki Lading Ganda yang populer sombong itu, yang bertindak jadi pengawalnya malah.
Sementara itu, bagai seorang sinting yang jadi tontonan rakyat. Dasa Laksana mengunyah tebu dan pamitan lagi.
Secara menyembah di duli kaki Pita Loka. Dia kemudian berlalu diiringi bawah umur dan orang dewasa. Ternyata beliau belum meninggalkan Kumayan. Sebab beliau pergi ke Bukit Kumayan yang terdiri dari batu-batuan menyan yang memancarkan bau harum menusuk hidung. Batu-batuan menyan itu memancarkan sinar oleh kerlipan pecahan sudut-sudutnya. Beberapa orang mulai meninggalkan dia.
Tapi malam itu muncullah Ki Lading Ganda yang menggertaknya: “Hai, bukankah kau mesti pergi dari sini?”
MENDENGAR bentakan Ki Lading Ganda itu, mendadak Dasa Laksana bangun dengan berkelebat. Dia tampak siap tempur. Keadaannya yang tampak lemah bagai orang sinting, berubah gagah perkasa.
“Jangan gertak saya dengan bunyi bentakmu. Kalau memang saya bersalah, tampilkan golokmu yang populer dengan sebutan Lading Ganda itu!” tantang Dasa Laksana.
Tapi Ki Lading Ganda menjadi waspada. Dia tak segera naik pitam sebagaimana biasanya. Dia kemudian meyakini dirinya, bahwa antara pengembara tak dikenalnya ini, ada hubungan perguruan tinggi dengan Ki Pita Loka. Padahal beliau sudah menaruh hormat pada Ki Pita Loka.
“Saudara Dasa Laksana. Saya heran mengapa anda belum juga meninggalkan Kumayan?”
“Karena saya kecewa dengan Sang Guru. Desa ini akan hancur”, katanya.
“Berikan padaku keterangan kehebatan Ki Ratu Turki”.
“Dia mempunyai pedang. tapi lebih dari itu beliau dia dikawal oleh seorang lelaki dengan ilmu yang amat tinggi”.
“Tahu anda siapa lelaki itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Ki Gumara”.
“Ki Gumara? Kaprikornus beliau meninggalkan Kumayan ini untuk bersekutu dengan Ki Ratu Turki itu?”
“Ya. Dua orang inilah yang akan membantai guru saya yang terhormat, sehingga saya harus melaporkannya. Saya sendiri orang hina dina”, kata pengembara kotor menjijikkan itu.
“Apa tujuannya menghancurkan desa kami ini?”
“Dia hanya ingin mempunyai Kitab Tujuh, yang katanya disimpan oleh Ki Pita Loka.
Kalau kitab itu tidak diserahkan, dua-duanya akan melaksanakan pembantaian besar-besaran terhadap 5 harimau Kumayan tanpa ampunan”.
“Kalau begitu, anda utusan mereka!” tuduh Ki LadingGanda.
“Saya bukan utusan. Jika saya gagal mendapatkan Kitab Tujuh itu, saya akan dipenggal. Saya hanya orang hina yang terancam. Maka saya tidak berani kembali.
Tapi kalau dalam 7 hari saya tidak kembali, penyerbuan itu akan terjadi”.
Ki Lading Ganda lantas berubah sikap. Dia pun merasa ingin mempunyai Kitab Tujuh itu.
“Kalau begitu, kalau anda masih di Kumayan ini selama 7 hari berikut ini, anda akan jadi biangkeladi bagi kami. Secara baik-baik, mirip juga gurumu Ki Pita Loka menyarankan, sebaiknya engkau pergi tinggalkan Kumayan ini”.
“Tidak”, bantah pengembara kotor itu.
“Kalau begitu anda membangkang atas perintah salah satu penguasa desa ini. Kamu sudah kenal pada saya. Dan apa senjata saya. Hanya sebab kau bekas murid Ki Pita Loka sajalah maka saya tak sudi melaksanakan kekerasan”.
“Silahkan main keras pada saya”, tantang Dasa Laksana.
“Jangan kau panasi hatiku, wahai tamu tak dikenal. Kuulangi perintahku yang tulus, supaya anda meninggalkan Kumayan ini sebelum golokku saya cabut!”
“Silahkan cabut!” tantang Dasa Laksana.
Dalam sekelebatan. Ki Lading Ganda mencabut goloknya yang bermata dua. Dia permainkan senjata saktinya untuk menakut-nakuti lawannya. Kejadian ini disaksikan dari daerah gelap oleh Pita Loka.
Ketika pertempuran itu barusan saja akan segera dimulai. Ki Lading Ganda yang sudah melaksanakan loncatan pancingan, menghunjam langkah berbalik mendengar teriakan dari daerah kelam.
“Hentikan, Ki Lading!” seru Pita Loka.
Wibawa langkah-langkah kependekarannya segera tampil. Pita Loka menciptakan Dasa Laksana surut, begitu pun Ki Lading Ganda.
“Tuan Guru”, ungkapnya pada Ki Lading Ganda.
“Anda tak usah melayani seorang yang ilmunya rendah dan berjiwa laknat. Dia cukup diperlakukan menyerupai seekor lalat”.
“Guru Besar” Dasa Laksana segera menyungkur diri ke duli jari kaki Pita Loka dan dengan nada berhiba-hiba beliau berkata: “Ampuni segala kesalahan saya yang lalu, semasa mencar ilmu pada anda. Saya harap, kini ini janganlah saya diperlakukan sebagai pengkhianat. Saya ingin bermukim di Kumayan ini hanya untuk mencari keselamatan diri saya dari bahaya Ki Ratu Turki dan pengawalnya Ki Gumara”.
“Omong kosong. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup saya tak percaya lagi padamu, Dasa Laksana! Kamu yakni korban laknat binatang-binatang rimba yang pernah engkau bunuh. Percayalah, matimu nanti pun tidak lebih dari matinya seekor hewan yang pernah kau bunuh. Ayo angkat kaki dari desa kami yang telah kondusif tenteram ini!” hardik Pita Loka dengan nada bunyi gemuruh.
Bersambung...
Mendengar itu Pita Loka tersenyum. Bahkan memberi tanggapan yang secara disengaja mengecewakan: “Biarpun di sini, misalnya, saya tidak tertarik dengan masalah-masalah kesaktian lagi. Lebih seribu hari saya tekun dalam dunia begitu”.
Setelah perginya Ki Lading Ganda, terjadilah pertengkaran. Ki Putih Kelabu mengecam Pita Loka: “Kau merendah. Kadang, merendah yang berkelebihan sama saja denqan perilaku tinggi hati!”
“Itu perasaan ayah. Orang perasa selalu kurang suka berfikir”.
“Kau anggap saya goblok?” tanya sang ayah.
“Memang begitu. Otak ditaruh Tuhan letaknya dalam kepala. Kepala di atas. Dan hati, dalam dada. Letaknya dibawah kepala. Saya ingin penduduk Kumayan ini, termasuk ayah dan Ki Lading Ganda lebih mengutamakan otak dari hati. Biarpun hati berkata begini begitu, tapi yang tetapkan haruslah otak. Di cuilan yang tertinggi dari hidup manusia”, kata Pita Loka.
Tapi gadis ini menyesal melihat ayahnya sedih di sore hari itu. Dan untuk mengobati hati ayah yang luka, malamnya beliau suguhi makanan enak yang ia masak sendiri dengan tekun.
Ayahnya berlinang airmata dikala menikmati hidangan malam.
Tapi muncul lagi tamu.
Lagi–lagi, tamu itu Ki Lading Ganda. Perubahan tampak pada perilaku mendapatkan tamu yang diperlihatkan Pita Loka.
“Lelaki gila itu muncul lagi”, kata Ki Lading Ganda.
“Di mana dia?” tanya Pita Loka kaget.
“Di gardu itu”.
“Apa katanya?”
“Dia minta padaku, supaya beliau diperkenalkan pada Ki Pita Loka”, ujar sang guru.
“Ah, saya tak kenal dia”“. ujar Pita Loka berdusta.
“Anda tak kenal insan yang berjulukan Dasa Laksana?”
“Baiklah, tapi apa kepentingannya?” tanya Pita Loka.
“Dia akan memberikan suatu pesan. Dan itu harus tuan guru sendiri yang mendengarnya”. kata Ki Lading Ganda.
Mendengar ucapan itu, meremang bulu kuduk Pita Loka. Dia kemudian bertanya: “Di mana beliau sekarang?”
“Masih di gardu” kata Ki Lading Ganda.
“Baik. Saya akan kesana ”, kata Ki Pita Loka.
“Bersama saya?”
“Tentu. Bersama tuan guru”, kata Ki Lading Ganda.
Pita Loka kemudian berkata pada ayahnya : “Sebaiknya ayah tak ikut”.
Ki Putih Kelabu tentu merasa kecewa. Pita Loka berjalan dengan langkah tegap bersama Ki Lading Ganda.
Menjelang hingga ke gardu, beliau melihat begitu banyak bawah umur dan orang cukup umur yang berkumpul. Pita Loka memberi kode supaya mereka menepi. Dan mereka patuh.
Yang didapatinya yakni Dasa Laksana yang tubuhnya amat kotor dengan pakaian hitam compang-camping. Begitu Dasa Laksana melihat kehadiran Ki Pita Loka, beliau eksklusif menyeruduk ke kaki dan mencium jari-jari kakinya seraya berkata: “Ampuni saya, Guru. Saya ke sini sekedar lewat. Dan ingin memberitahukan, bahwa Ki Ratu Turki akan menyerang desa ini secara mengerikan!”
“Siapa dia?”
“Anda lebih tahu, Guru!”
“Jika anda bertemu dengan dia, pesankan padanya supaya beliau membatalkan maksudnya sebelum dirinya celaka”, wajah Pita Loka bermetamorfosis penuh wibawa sebab dipenuhi perasaan sabar yang berjuta.
“Dia akan merebut Kitab Tujuh itu”, kata Dasa Laksana lagi.
“KITAB TUJUH?” Pita Loka terheran.
“Hanya anda yang mengetahuinya. Tapi juga Ki Ratu Turki?”.
“Baik. Kalau demikian, kau akan meninggalkan Kumayan. Silahkan berangkat”.
“Tapi saya memohon sesuatu”, kata Dasa Laksana.
“Mohonlah pada Tuhan. Jangan pada saya. Saya insan biasa”, ujar Pita Loka.
Ucapannya ini disambut orang-orang dengan dengung bunyi kagum. Mereka kagum. orang yang mereka kenal sakti, hanya mengaku insan biasa. Namun telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa beliau begitu dihormati, bahkan oleh Ki Lading Ganda yang populer sombong itu, yang bertindak jadi pengawalnya malah.
Sementara itu, bagai seorang sinting yang jadi tontonan rakyat. Dasa Laksana mengunyah tebu dan pamitan lagi.
Secara menyembah di duli kaki Pita Loka. Dia kemudian berlalu diiringi bawah umur dan orang dewasa. Ternyata beliau belum meninggalkan Kumayan. Sebab beliau pergi ke Bukit Kumayan yang terdiri dari batu-batuan menyan yang memancarkan bau harum menusuk hidung. Batu-batuan menyan itu memancarkan sinar oleh kerlipan pecahan sudut-sudutnya. Beberapa orang mulai meninggalkan dia.
Tapi malam itu muncullah Ki Lading Ganda yang menggertaknya: “Hai, bukankah kau mesti pergi dari sini?”
MENDENGAR bentakan Ki Lading Ganda itu, mendadak Dasa Laksana bangun dengan berkelebat. Dia tampak siap tempur. Keadaannya yang tampak lemah bagai orang sinting, berubah gagah perkasa.
“Jangan gertak saya dengan bunyi bentakmu. Kalau memang saya bersalah, tampilkan golokmu yang populer dengan sebutan Lading Ganda itu!” tantang Dasa Laksana.
Tapi Ki Lading Ganda menjadi waspada. Dia tak segera naik pitam sebagaimana biasanya. Dia kemudian meyakini dirinya, bahwa antara pengembara tak dikenalnya ini, ada hubungan perguruan tinggi dengan Ki Pita Loka. Padahal beliau sudah menaruh hormat pada Ki Pita Loka.
“Saudara Dasa Laksana. Saya heran mengapa anda belum juga meninggalkan Kumayan?”
“Karena saya kecewa dengan Sang Guru. Desa ini akan hancur”, katanya.
“Berikan padaku keterangan kehebatan Ki Ratu Turki”.
“Dia mempunyai pedang. tapi lebih dari itu beliau dia dikawal oleh seorang lelaki dengan ilmu yang amat tinggi”.
“Tahu anda siapa lelaki itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Ki Gumara”.
“Ki Gumara? Kaprikornus beliau meninggalkan Kumayan ini untuk bersekutu dengan Ki Ratu Turki itu?”
“Ya. Dua orang inilah yang akan membantai guru saya yang terhormat, sehingga saya harus melaporkannya. Saya sendiri orang hina dina”, kata pengembara kotor menjijikkan itu.
“Apa tujuannya menghancurkan desa kami ini?”
“Dia hanya ingin mempunyai Kitab Tujuh, yang katanya disimpan oleh Ki Pita Loka.
Kalau kitab itu tidak diserahkan, dua-duanya akan melaksanakan pembantaian besar-besaran terhadap 5 harimau Kumayan tanpa ampunan”.
“Kalau begitu, anda utusan mereka!” tuduh Ki LadingGanda.
“Saya bukan utusan. Jika saya gagal mendapatkan Kitab Tujuh itu, saya akan dipenggal. Saya hanya orang hina yang terancam. Maka saya tidak berani kembali.
Tapi kalau dalam 7 hari saya tidak kembali, penyerbuan itu akan terjadi”.
Ki Lading Ganda lantas berubah sikap. Dia pun merasa ingin mempunyai Kitab Tujuh itu.
“Kalau begitu, kalau anda masih di Kumayan ini selama 7 hari berikut ini, anda akan jadi biangkeladi bagi kami. Secara baik-baik, mirip juga gurumu Ki Pita Loka menyarankan, sebaiknya engkau pergi tinggalkan Kumayan ini”.
“Tidak”, bantah pengembara kotor itu.
“Kalau begitu anda membangkang atas perintah salah satu penguasa desa ini. Kamu sudah kenal pada saya. Dan apa senjata saya. Hanya sebab kau bekas murid Ki Pita Loka sajalah maka saya tak sudi melaksanakan kekerasan”.
“Silahkan main keras pada saya”, tantang Dasa Laksana.
“Jangan kau panasi hatiku, wahai tamu tak dikenal. Kuulangi perintahku yang tulus, supaya anda meninggalkan Kumayan ini sebelum golokku saya cabut!”
“Silahkan cabut!” tantang Dasa Laksana.
Dalam sekelebatan. Ki Lading Ganda mencabut goloknya yang bermata dua. Dia permainkan senjata saktinya untuk menakut-nakuti lawannya. Kejadian ini disaksikan dari daerah gelap oleh Pita Loka.
Ketika pertempuran itu barusan saja akan segera dimulai. Ki Lading Ganda yang sudah melaksanakan loncatan pancingan, menghunjam langkah berbalik mendengar teriakan dari daerah kelam.
“Hentikan, Ki Lading!” seru Pita Loka.
Wibawa langkah-langkah kependekarannya segera tampil. Pita Loka menciptakan Dasa Laksana surut, begitu pun Ki Lading Ganda.
“Tuan Guru”, ungkapnya pada Ki Lading Ganda.
“Anda tak usah melayani seorang yang ilmunya rendah dan berjiwa laknat. Dia cukup diperlakukan menyerupai seekor lalat”.
“Guru Besar” Dasa Laksana segera menyungkur diri ke duli jari kaki Pita Loka dan dengan nada berhiba-hiba beliau berkata: “Ampuni segala kesalahan saya yang lalu, semasa mencar ilmu pada anda. Saya harap, kini ini janganlah saya diperlakukan sebagai pengkhianat. Saya ingin bermukim di Kumayan ini hanya untuk mencari keselamatan diri saya dari bahaya Ki Ratu Turki dan pengawalnya Ki Gumara”.
“Omong kosong. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup saya tak percaya lagi padamu, Dasa Laksana! Kamu yakni korban laknat binatang-binatang rimba yang pernah engkau bunuh. Percayalah, matimu nanti pun tidak lebih dari matinya seekor hewan yang pernah kau bunuh. Ayo angkat kaki dari desa kami yang telah kondusif tenteram ini!” hardik Pita Loka dengan nada bunyi gemuruh.
Bersambung...