Cerita Silat: Belakang Layar Kitab Tujuh 1 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 07 Desember 2014
Sejak ribuan lebah itu berhasil diusir oleh Pita Loka secara ajaib. Penduduk Kumayan merasa berhutang budi padanya. Tiap hari ada saja di antara penduduk yang tiba ke rumah Pita Loka membawa beras, telur, padi, tebu, kelapa, minyak tanah, bahkan uang sebagai ucapan terimakasih Ki Putih Kelabu melihat perubahan gelagat Pita Loka sehabis kehadiran tamu-tamu itu. Lalu dia menegur puterinya: “Pita Loka, sikapmu berubah jadi besar kepala kepada mereka. Bukankah sikap itu tidak baik?”
“Memang itu saya sengaja, ayah”, sahut Pita Loka.
“Disengaja? Ah itu lebih jelek lagi” ujar Ki Putih Kelabu.
“Tapi akan lebih jelek lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak mempunyai apa-apa. Kecuali menjadi insan biasa”. Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, sehabis diselidikinya segala tingkah laris Pita Loka, puterinya tidak mengatakan sikap yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur lantaran dianggap berhasil dalam ngelmu, kemudian berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat menciptakan penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seperti suatu kejadian “biasa” saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini yaitu acara Pita Loka mengurus ratifikasi sekolahnya.
Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke Sekolah Menengan Atas yang dibangun didesa itu.
“Kau mau bersekolah lagi, nak?” tanya sang ayah.
“Lho, apa itu tak wajar?” tanya Pita Loka pada sang penanya.
“Kau akan menjadi dongeng dari lisan ke lisan bila bersekolah lagi”, ujar sang ayah, “Padahal di desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani”.
Percakapan itu terhenti, lantaran ada tamu.
“Itu Ki Lading Ganda bertamu lagi, ayah”, ujar Pita Loka, “Jika dia akan bertemu denganku, katakan saya sibukbelajar untuk ujian”.
“Baik”. kata ayah. yang lantas menuju beranda menyambut kedatangan Ki Lading Ganda.
Setelah dipersilahkan duduk. Ki Lading Ganda bertanya: “Mana Ki Pita Loka?”
“Ki Pita Loka? Anda menyebutnya dengan Ki dihadapan namanya?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Memang kini, mau tak mau, kita musti mengakui dia sebagai seorang Guru. Makara pantas dia disebut Ki Pita Loka. Karena dia puteri anda, maka anda menganggap Ki Pita Loka sebagai insan biasa-biasa saja. Padahal dia salah satu orang sakti di Kumayan ini. menggenapi yang enam. Aku merasa, lantaran yang enam telah berkurang satu, maka dia setidaknya menggantikan kedudukan Ki Karat untuk menjadi Ketua kita. Jabatan ini kuanggap wajar, dan saya telah merembugkannya dengan tiga harimau Kumayan lainnya”.
Ki Putih Kelabu bekerjsama tak sanggup mengelak kenyataan yang dikemukakan oleh Ki Lading Ganda ini.
Dia tercenung beberapa saat, kamudian berkata: “Dia sulit untuk diajak berunding!”
“Memang begitulah budpekerti dari tiap Guru Besar. Puterimu itu Guru Besar, bukan sekedar anak perawan biasa”, kata Ki Lading Ganda.
“Tapi bagaimana akalku?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Panggil dia! Katakan Ki Lading Ganda ingin bicara sebentar dengan Guru Besar Pita Loka yang dia hormati!”
Ki Putih Kelabu kemudian masuk ke kamar Pita Loka. Memang Pita Loka sedang menghadapi beberapa buku.
Pita Loka bertanya: “Sudah pulangkah Ki Lading Ganda ayah?”
“Belum. Dia mohon menghadap kau!”
“MENGHADAP? Apa saya ini orang berkedudukan tinggi hingga seorang Ki Lading Ganda mau menghadap saya? Ah, katakan saya sibuk, ayah?” Ujar Pita Loka dan mulai menekuni buku Fisika.
“Aku telah gagal membujuknya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tapi ini penting. Katakan pada Guru Besar itu, bahwa desa Kumayan sedang terancam. Katakan pada beliau,aku butuh seorang penafsir mimpi. Dan itu tidak lain kecuali Ki Pita Loka”, kata Ki Lading Ganda serius.
Setelah memberitahukan pada Pita Loka. barulahah Pita Loka keluar dari kamarnya, kemudian mendapatkan tamunya.
Sang Tamu, salah seorang dari Enam Harimau Kumayan, menghatur sembah pada Pita Loka. Lalu dia menceritakan mimpinya itu.
“Seorang perempuan berpedang emas, menyatakan diri sebagai Ki Ratu Turki, memaklumkan akan menyeranglima harimau Kumayan serta keturunannya. Saya hanya ingin tahu takwil dari mimpi ini”, kata Ki Lading Ganda.
“Sebenarnya yang jago mimpi itu Guru Gumara”, kata Ki Pita Loka. Ki Lading Ganda maklum, bahwa ucapan Ki Pita Loka itu yaitu pengertian lain yang halus, bahwa dia menolak seruan itu. Tapi dia dilarang berkecil hati, selagi hatinya masih menganggap Ki Pita Loka sebagai “Guru Besar”. Dengan kecewa, dia menyatakan pamit. Namun sempat bertanya: “Di mana Guru Gumara kini ini?”
“Seingat saya terakhir kali dia berada di Bukit Lebah. Setelah itu saya tidak tahu dia pergi ke mana”.
“Desa kita semakin aneh. Tiga hari yang kemudian ada seorang lelaki compang-camping. Duduk di gardu. Aku menyapanya. Dia diam. Gerak-geriknya mengatakan dirinya seorang yang berilmu”.
Ki Pita Loka tertarik, kemudian bertanya: “Bapak tidak menanyakan namanya?”
“Ada”.
“Siapa namanya?”
“Disebutnya Dasa Laksana. Melihat nama begini, saya makin yakin dia orang berilmu, setidaknya sedang ngelmu. Atau menyamar”.
“Dia menanyakan sesuatu?” tanya Pita Loka.
“Justru pertanyaannya inilah yang kuanggap ada kaitannya dengan mimpiku itu”, kata Ki Lading Ganda, yang kali ini dipersilahkan duduk kembali oleh Pita Loka.
“Apa yang dia tanyakan?” tanya Pita Loka.
“Alamat pemilik Kitab Tujuh”, jawab Ki Lading Ganda.
“Itu saya gres dengar”, kata Pita Loka.
“Tapi apa jawab Bapak?”
“Saya tak menjawabnya. Itulah sebabnya saya ke sini. Kau yang telah berhadapan dengan Ki Tunggal, Ki Rotan maupun Ki Ibrahim Arkam, setidaknya pernah mendengar nama Kitab Tujuh itu. Dan pengembara tak dikenal itu minta dengan sopan kepadaku. semoga diizinkan mendapatkan sebatang tebu merah di kebun Katib Endah.
Kuizinkan saja. Lalu dia numpang tidur di gardu itu.Tapi keesokan harinya dia menghilang.
Lalu saya bermimpi bertemu dengan Ki Ratu Turki yang berpedang, yang mengumumkan akan menyerang Kumayan dan menghabiskanlima Harimau Kumayan serta keturunannya!”
Wajah Ki Lading Ganda berkeringat mengambarkan dia tak berdusta.
“Semoga saja dalam waktu tak lama, Guru Gumara sudah berada di Kumayan”, kata Pita Loka.
“Aku mengusulkan, antara kau dan dia dijalin satu perkawinan yang syah. Supaya desa kita menjadi besar lengan berkuasa lantaran dipagari oleh 7 harimau”, kata Ki Lading Ganda dengan nada memohon. Pita Loka hanya tersenyum simpul. Lalu Ki Lading Ganda melanjutkan: “Perkawinan itu akan direstui seluruh guru di Kumayan, dan, kukira Ayahmu yang terhormat ini. Bukan begitu Ki Putih Kelabu?” dan ditatapnya Ki Putih Kelabu, yang melirik pada Pita Loka.
“Jika memang itu jodoh. tak ada persoalan”. kata Ki Pita Loka jujur.
“Aku berani menyatakannya, lantaran sebelum Ki Gumara meninggalkan Kumayan, dia berpamitan kepada Lima Harimau di sini, terakhir padaku. Dia menyebutkan, dia minta restu lantaran akan menjemput Pita Loka dan adiknya, Harwati.
Kami menafsirkan, bahwa islilah menjemput kau itu berarti akan melamarmu dan memperisteri anda. Dan Harwati kuanggap sebagai pengiring calon pengantin.
Bukankah akan menjadi hebat, keturunan Ki Karat menjalin korelasi darah dengan keturunan Ki Putih Kelabu?”
“Baiklah itu kita bicarakan di kemudian hari. Sekarang ini saya akan siap ujian masuk ke SMA. Lebih tiga tahun saya tak menyentuh buku pelajaran sekolah. Hal ini sama pentingnya dengan maklumat penyerbuan Ki Ratu Turki dalam mimpi tuan itu, Tuan Guru Lading Ganda”.
“Jadi saya pulang hampa, tanpa membawa takwil mimpi itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Sudah saya anjurkan tuan bersabar hingga kembalinya Guru Gumara”, kata Pita Loka.
“Jika dia tidak kembali?” tanya Ki Lading Ganda.
“Kita berpegang pada pepatah nenek moyang saja: “Musuh pantang dicari, tapi kalau tiba pantang dielakkan”. Bukan begitu, ayah?”
Pita Loka menoleh pada ayahnya, yang kemudian mengangguk-angguk ta”zim... “Jadi wajar, Ki Putih Kelabu, kalau saya menyebut puteri tuan ini sebagai Guru Besar.
Guru besar hanya mengurus soal-soal yang besar. Tapi maaf, Ki Pita Loka . . . saya pun tidak sanggup memperoleh pengetahuan mengenai Kitab Tujuh?”
“Kitab Tujuh?” Pita Loka kembali bertanya, “Saya malah gres mendengarnya sekali ini, dari anda! Tidak anda tanyakan wacana Kitab Tujuh itu kepada orang pengembara itu?”
“Rasanya, tidak perlu. Kalau dia mencari kitab itu ke Kumayan sini, itu berarti kitab itu ada di sini”, kata Ki Lading Ganda.
Bersambung...
“Memang itu saya sengaja, ayah”, sahut Pita Loka.
“Disengaja? Ah itu lebih jelek lagi” ujar Ki Putih Kelabu.
“Tapi akan lebih jelek lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak mempunyai apa-apa. Kecuali menjadi insan biasa”. Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, sehabis diselidikinya segala tingkah laris Pita Loka, puterinya tidak mengatakan sikap yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur lantaran dianggap berhasil dalam ngelmu, kemudian berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat menciptakan penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seperti suatu kejadian “biasa” saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini yaitu acara Pita Loka mengurus ratifikasi sekolahnya.
Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke Sekolah Menengan Atas yang dibangun didesa itu.
“Kau mau bersekolah lagi, nak?” tanya sang ayah.
“Lho, apa itu tak wajar?” tanya Pita Loka pada sang penanya.
“Kau akan menjadi dongeng dari lisan ke lisan bila bersekolah lagi”, ujar sang ayah, “Padahal di desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani”.
Percakapan itu terhenti, lantaran ada tamu.
“Itu Ki Lading Ganda bertamu lagi, ayah”, ujar Pita Loka, “Jika dia akan bertemu denganku, katakan saya sibukbelajar untuk ujian”.
“Baik”. kata ayah. yang lantas menuju beranda menyambut kedatangan Ki Lading Ganda.
Setelah dipersilahkan duduk. Ki Lading Ganda bertanya: “Mana Ki Pita Loka?”
“Ki Pita Loka? Anda menyebutnya dengan Ki dihadapan namanya?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Memang kini, mau tak mau, kita musti mengakui dia sebagai seorang Guru. Makara pantas dia disebut Ki Pita Loka. Karena dia puteri anda, maka anda menganggap Ki Pita Loka sebagai insan biasa-biasa saja. Padahal dia salah satu orang sakti di Kumayan ini. menggenapi yang enam. Aku merasa, lantaran yang enam telah berkurang satu, maka dia setidaknya menggantikan kedudukan Ki Karat untuk menjadi Ketua kita. Jabatan ini kuanggap wajar, dan saya telah merembugkannya dengan tiga harimau Kumayan lainnya”.
Ki Putih Kelabu bekerjsama tak sanggup mengelak kenyataan yang dikemukakan oleh Ki Lading Ganda ini.
Dia tercenung beberapa saat, kamudian berkata: “Dia sulit untuk diajak berunding!”
“Memang begitulah budpekerti dari tiap Guru Besar. Puterimu itu Guru Besar, bukan sekedar anak perawan biasa”, kata Ki Lading Ganda.
“Tapi bagaimana akalku?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Panggil dia! Katakan Ki Lading Ganda ingin bicara sebentar dengan Guru Besar Pita Loka yang dia hormati!”
Ki Putih Kelabu kemudian masuk ke kamar Pita Loka. Memang Pita Loka sedang menghadapi beberapa buku.
Pita Loka bertanya: “Sudah pulangkah Ki Lading Ganda ayah?”
“Belum. Dia mohon menghadap kau!”
“MENGHADAP? Apa saya ini orang berkedudukan tinggi hingga seorang Ki Lading Ganda mau menghadap saya? Ah, katakan saya sibuk, ayah?” Ujar Pita Loka dan mulai menekuni buku Fisika.
“Aku telah gagal membujuknya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tapi ini penting. Katakan pada Guru Besar itu, bahwa desa Kumayan sedang terancam. Katakan pada beliau,aku butuh seorang penafsir mimpi. Dan itu tidak lain kecuali Ki Pita Loka”, kata Ki Lading Ganda serius.
Setelah memberitahukan pada Pita Loka. barulahah Pita Loka keluar dari kamarnya, kemudian mendapatkan tamunya.
Sang Tamu, salah seorang dari Enam Harimau Kumayan, menghatur sembah pada Pita Loka. Lalu dia menceritakan mimpinya itu.
“Seorang perempuan berpedang emas, menyatakan diri sebagai Ki Ratu Turki, memaklumkan akan menyeranglima harimau Kumayan serta keturunannya. Saya hanya ingin tahu takwil dari mimpi ini”, kata Ki Lading Ganda.
“Sebenarnya yang jago mimpi itu Guru Gumara”, kata Ki Pita Loka. Ki Lading Ganda maklum, bahwa ucapan Ki Pita Loka itu yaitu pengertian lain yang halus, bahwa dia menolak seruan itu. Tapi dia dilarang berkecil hati, selagi hatinya masih menganggap Ki Pita Loka sebagai “Guru Besar”. Dengan kecewa, dia menyatakan pamit. Namun sempat bertanya: “Di mana Guru Gumara kini ini?”
“Seingat saya terakhir kali dia berada di Bukit Lebah. Setelah itu saya tidak tahu dia pergi ke mana”.
“Desa kita semakin aneh. Tiga hari yang kemudian ada seorang lelaki compang-camping. Duduk di gardu. Aku menyapanya. Dia diam. Gerak-geriknya mengatakan dirinya seorang yang berilmu”.
Ki Pita Loka tertarik, kemudian bertanya: “Bapak tidak menanyakan namanya?”
“Ada”.
“Siapa namanya?”
“Disebutnya Dasa Laksana. Melihat nama begini, saya makin yakin dia orang berilmu, setidaknya sedang ngelmu. Atau menyamar”.
“Dia menanyakan sesuatu?” tanya Pita Loka.
“Justru pertanyaannya inilah yang kuanggap ada kaitannya dengan mimpiku itu”, kata Ki Lading Ganda, yang kali ini dipersilahkan duduk kembali oleh Pita Loka.
“Apa yang dia tanyakan?” tanya Pita Loka.
“Alamat pemilik Kitab Tujuh”, jawab Ki Lading Ganda.
“Itu saya gres dengar”, kata Pita Loka.
“Tapi apa jawab Bapak?”
“Saya tak menjawabnya. Itulah sebabnya saya ke sini. Kau yang telah berhadapan dengan Ki Tunggal, Ki Rotan maupun Ki Ibrahim Arkam, setidaknya pernah mendengar nama Kitab Tujuh itu. Dan pengembara tak dikenal itu minta dengan sopan kepadaku. semoga diizinkan mendapatkan sebatang tebu merah di kebun Katib Endah.
Kuizinkan saja. Lalu dia numpang tidur di gardu itu.Tapi keesokan harinya dia menghilang.
Lalu saya bermimpi bertemu dengan Ki Ratu Turki yang berpedang, yang mengumumkan akan menyerang Kumayan dan menghabiskanlima Harimau Kumayan serta keturunannya!”
Wajah Ki Lading Ganda berkeringat mengambarkan dia tak berdusta.
“Semoga saja dalam waktu tak lama, Guru Gumara sudah berada di Kumayan”, kata Pita Loka.
“Aku mengusulkan, antara kau dan dia dijalin satu perkawinan yang syah. Supaya desa kita menjadi besar lengan berkuasa lantaran dipagari oleh 7 harimau”, kata Ki Lading Ganda dengan nada memohon. Pita Loka hanya tersenyum simpul. Lalu Ki Lading Ganda melanjutkan: “Perkawinan itu akan direstui seluruh guru di Kumayan, dan, kukira Ayahmu yang terhormat ini. Bukan begitu Ki Putih Kelabu?” dan ditatapnya Ki Putih Kelabu, yang melirik pada Pita Loka.
“Jika memang itu jodoh. tak ada persoalan”. kata Ki Pita Loka jujur.
“Aku berani menyatakannya, lantaran sebelum Ki Gumara meninggalkan Kumayan, dia berpamitan kepada Lima Harimau di sini, terakhir padaku. Dia menyebutkan, dia minta restu lantaran akan menjemput Pita Loka dan adiknya, Harwati.
Kami menafsirkan, bahwa islilah menjemput kau itu berarti akan melamarmu dan memperisteri anda. Dan Harwati kuanggap sebagai pengiring calon pengantin.
Bukankah akan menjadi hebat, keturunan Ki Karat menjalin korelasi darah dengan keturunan Ki Putih Kelabu?”
“Baiklah itu kita bicarakan di kemudian hari. Sekarang ini saya akan siap ujian masuk ke SMA. Lebih tiga tahun saya tak menyentuh buku pelajaran sekolah. Hal ini sama pentingnya dengan maklumat penyerbuan Ki Ratu Turki dalam mimpi tuan itu, Tuan Guru Lading Ganda”.
“Jadi saya pulang hampa, tanpa membawa takwil mimpi itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Sudah saya anjurkan tuan bersabar hingga kembalinya Guru Gumara”, kata Pita Loka.
“Jika dia tidak kembali?” tanya Ki Lading Ganda.
“Kita berpegang pada pepatah nenek moyang saja: “Musuh pantang dicari, tapi kalau tiba pantang dielakkan”. Bukan begitu, ayah?”
Pita Loka menoleh pada ayahnya, yang kemudian mengangguk-angguk ta”zim... “Jadi wajar, Ki Putih Kelabu, kalau saya menyebut puteri tuan ini sebagai Guru Besar.
Guru besar hanya mengurus soal-soal yang besar. Tapi maaf, Ki Pita Loka . . . saya pun tidak sanggup memperoleh pengetahuan mengenai Kitab Tujuh?”
“Kitab Tujuh?” Pita Loka kembali bertanya, “Saya malah gres mendengarnya sekali ini, dari anda! Tidak anda tanyakan wacana Kitab Tujuh itu kepada orang pengembara itu?”
“Rasanya, tidak perlu. Kalau dia mencari kitab itu ke Kumayan sini, itu berarti kitab itu ada di sini”, kata Ki Lading Ganda.
Bersambung...