Nabi Pun Tersenyum - Cerpen Islami

NABI PUN TERSENYUM
Karya Akhmad Gufrn Wahid

Seumpama segerombolan semut, motor-motor itu berderet sangat rapi menjulur kebelakang sampai hampir menyentuh gapura lima undak di selatan sana. Seperti dengusan lebah, manusia-manusia itu berdialog kesana-kemari tak tentu arah, dari bersahabat terdengar mendengus, dari jauh pun terdengar sama. Serupa TPU Keramat Jati pada malam Juma’t Kliwon, itulah isi kantong celanaku ketika ini: Sepi, Kosong dan Angker.

Dari matahari belum menjamah tanah tadi sampai ketika ini ketika panasnya menguapkan keringat, ketika sinarnya membiaskan bayangan tubuhku berada sempurna di injakan kaki, ketika Adzan Dzuhur menggema dengan gagahnya, aku, belum selembarpun menggenggam rupiah.
Zaman ini, rupanya para lelaki telah berada di area lebih banyak didominasi yang enggan menggunakan kerikil akik. Hanya sanggup dihitung dengan satu tangan saja. Sisanya, saya haqqul yaqin, niscaya anti pakai. Padahal, aturan menggunakan kerikil mulia ini hampir sama dengan aturan memelihara jenggot. Itu salah satu sunnah Rosul Muhammad S.A.W.

Nabi Pun Tersenyum
Hanya Pak Sudarmo—penjual tembakau—saja di sampingku yang rela melihat-lihat—sambil memegang—aneka kerikil akik yang kubeberkan didepanku. Itupun hanya bertanya-tanya saja, tak lebih.
“Ini, kamu jual berapa ?” Tanyanya sambil meniup-niup ujung kerikil akik yang ada di jari telunjuknya.
“Itu orisinil dari Mesir, kang. Harganya Sepuluh ribu rupiah. Untuk kakang, kujual delapan ribu saja lah.” Mantabku.

Ia mengembalikan kerikil akik Mirah delima itu tanpa basa-basi. Ia ambil lagi yang lain. Lebih mewah. Batu Akik Kalimaya. Warna biru laut.
“Nah, ini niscaya dari India, ya ‘kan ? kamu jual berapa ini ?”
“Itu dari Bangladesh, kang. Ha, khusus untuk kakang, kujual lima belas ribu. Hitung-hitung penglaris, Kang. Sudah setengah hari penuh saya tak terima uang, Kang. Apalah yang sanggup saya katakan nanti kepada istriku dirumah dengan tangan hampa ? dia niscaya kecewa, saya yakin dia niscaya kecewa, kang” Jelasku panjang lebar.
“Hahaha, ....”

Kenapa ia tertawa ? ada yang lucukah ?
“Heh, Lid. Nasibmu itu sama denganku sekarang. Lah, dengan apa saya beli kerikil akikmu ini ? akupun belum terima uang juga hari ini. Mungkin orang-orang sudah tak mau lagi merokok. Hahaha.” Ia terkekeh. Aku kesal. Sangat kesal.

Sorepun menjelang, kantong celanaku tetap tak ubahnya TPU Keramat Jati Malam 1 Suro Jumat Kliwon. Terbersit sebuah kalimat yang mengantarku pulang: Apa yang harus saya katakan pada istriku ? dan, akan makan apa besok dia dan anak semata wayangku ?
Rusmi—istriku—telah dari ba’da Ashar tadi menunggu kehadiranku di teras depan rumah. Luar biasa wanita itu, dia harta berharga paling berharga yang kumiliki. Ia tersenyum ketika saya menyembul di pekarangan rumah. Ya Allah, sebentar lagi senyum itu akan cepat-cepat menjelma mimik muka yang tak pernah kusuka darinya: Sedih. Aku tak tega melihatnya.
Ia mencium tanganku. Aku masih belum sanggup menguasai diri. “Nasinya sudah kusiapkan di meja dapur. Aku dan Ndok sudah makan tadi. Itu sisanya. Nanti malam sudah ndak ada lagi, Bang.” Suaranya lembut, tapi semakin meretakkan jiwaku. Aku semakin memejamkan mata dalam-dalam. Kuhembuskan napas perlahan-lahan melalui hidungku.

Ndok Maisyaroh telah terlelap ketika Rusmi duduk disampingku. Telah menjadi kebiasaan sehabis Maghrib bagi kami berdua. Tapi malam ini berbeda. Aku semakin melemah. Tulang-tulangku serasa jatuh dan berantakan dilantai.
“Alhamdulillah, bang.” Ucapnya.
“Kenapa, dik ?.” Suaraku bergetar. Seperti berada di kutub utara.
“Tadi siang bu Sunni bayar hutang jahitan ahad lalu. Lumayan untuk belanja besok.”

Masya Allah, apa saya tak salah dengar ?
“Dua puluh dua ribu delapan ratus ....” sambungnya.
“Alhamdulillah, dik. Aku minta Maaf, tadi pembeli ndak ada sama sekali. Kantongku kosong. Untuk sementara saya tak membelanjakanmu besok.” Aku gemetar.
“Sudah, ndak apa-apa, Allah masih nunda ngasih rejekinya paling. bang”

Dengarlah bunyi itu. Tiba-tiba segumpal hujan turun membasahi getar-getir gelisahku. Pelangi nan anggun melingkari rongga-rongga hati dan jantungku. Semilir angin menghembuskan iramanya yang mengalun rendah. Suara itu, bunyi emas itu akan ku panggil kelak di padang mahsyar. Aku akan memanggilnya. Sungguh, saya akan memanggil nama wanita disampingku ini.
“Harga beras naik, jadi besok hanya beli 2 kilo saja, bang. Sisanya tempe dan cabe.”
“Apa ndak sebaiknya beli telur ayam saja, dik. Bolehlah sekali-kali kita makan telur.”
“Kasihan Ndok Syaroh, bang. Sisa beli tempe dan cabai rencanaku ku belikan mainan boneka yang harganya empat ribu lima ratus itu, bang. Ndok ndak punya mainan sama sekali.”
“Apa ndak sebaiknya ndok dibelikan kudapan saja, dik!”
“Bolehlah sekali-kali kita belikan mainan itu, bang. Sekali saja.”

Ia melihatku tengah bermuka cemberut. Dua kali saranku tak ia hiraukan. Lalu ia menatapku dan tersenyum. Apapun sedihku, bila telah melihatnya tersenyum, semua akan reda. Reda tanpa alasan yang ku tak tahu sebabnya.
“Apa ndak sebaiknya kita sholat Isya’ dulu, bang!!.” Aku gemetar lagi. Jika seseorang dari negara antah berantah nun jauh disana bertanya Siapa lelaki yang paling beruntung didunia ini ? akan ku jawab pertanyaan itu dengan lembut dan pasti: Aku.

Malam berikutnya berbeda. TPU Keramat Jati itu telah tak kosong lagi. Meski hanya Sepuluh Ribu Rupiah. Tapi cukuplah untuk mendamaikan hati istriku.
“Ba’da Isya’ nanti ada permintaan ke rumahnya abah Zamin. Bang. Muludtan.”

Subhanallah!!. Aku terperanjat. Ada apa denganku ? apa yang telah kuperbuat sehingga dengan teganya hampir melupakan bahwa malam ini 12 Robiul Awal ? Subhanallah!!. Kejamnya kehidupan dunia telah merebutku dari tak mengingat Lelaki Luar Biasa itu. Aku merasa telah melaksanakan dosa besar. Melebihi dosa berzina dengan iblis.
“Dik, apa tahun ini kamu ingin bermulud ?”
“Bermulud hukumnya sunnah, bang. Orang tak punya ibarat kita tak wajib hukumnya. Nabi tak akan murka meski kita tak bermulud. Yang paling penting rasa cinta kita pada ia tak berkurang secuilpun, bang.”

Benar juga apa yang telah dikatakan istriku. Tapi, apa hanya sebatas ini saja pembuktian cintaku pada Nabi ? sebandingkah dengan cinta ia yang dalam sakaratul mautnya saja masih mengingat saya dan saudara-saudaraku didunia ini ?. saya kalut dalam dilema. Tapi kepercayaan itu meletup-letup. Aku memandangi istriku.
“Tahun ini kita bermulud, dik. Serahkan semuanya pada Allah. Aku yakin. Dan kamu harus yakin!.” Rusmi tersenyum. Ia menyentuh dada kiriku. Aku mencium keningnya.
Bungkusan majemuk makanan kutenteng pulang. Ndok Syaroh senangnya bukan kepalang. Ia tertawa riang. Aku bahagia melihatnya. Telah usang saya tak menjumpainya tertawa ibarat itu. Semoga ia masih betah bersama kedua orang tuanya yang mati-matian berjalan di kerasnya batu-batu tajam kehidupan ini.
Seperti Inilah berkah yang orang muslim rasakan ketika bulan Maulud tiba. Yang miskin menjadi kaya, dan yang kaya menjadi semakin sejahtera. Pasti, saya yakin seyakin-yakinnya, di nirwana sana Nabi Muhammad S.A.W tersenyum ketika melihat umatnya didunia—seperti ketika ini—bersedia membuatkan dengan sesama atas kecintaan dan rindunya kepada Beliau.
Allohumma Sholli Ala Muhammad !!

Seminggu sudah muludtan digelar disana sini. Uangku sejauh ini masih belum mencukupi untuk bermulud. Aku kehabisan akal. Tapi, Rusmi istriku tersayang rupanya belum habis akalnya.
“Sudahlah, bang. Cukuplah kita beli minyak goreng dan cabai saja. Sisa ikan ayam kemarin masih banyak didapur, kita masih sanggup menggorengnya. Nasi, Ayam Goreng dan Sambal sudah lebih dari cukup untuk mengundang Baginda Nabi kerumah kita ini.”
Aku tersenyum. “Tak salah Allah menganugerahkan engkau, duhai istriku yang genius dan cantik.” Ia tersenyum padaku. Dengan hatinya yang berbunga-bunga.

Kamipun menggelar Muludtan untuk pertama kalinya sehabis 8 tahun kami menikah. Syair-syair Mahallul Qiyam Syariful Anam dilantunkan dengan penuh getir rindu bertemu junjungan Baginda Nabi. Hati ini pecah seketika ketika air mata mengalir dalam pelukan-pelukan lembut kasih sayangnya. Tubuh gagah ini bagai kurus tak bertulang kala batin terenyuh mengikuti rima-rima sedu sedan nan damai. Daun-daun gugur satu persatu oleh hembusan angin kencang yang mengantarnya ke ruang bercahaya penuh rahmat dalam jiwa ini. Pohon-pohon bersholawat, tak ada hal yang merintangnya untuk tak mengagung-agungkan kekasih Allah itu. Bulanpun tak enggan bertasbih memuja memuji santun pinutun akhlaq budi pekertinya yang mempesona. Lelaki itu telah membawa segalanya dimuka bumi ini. Benar-benar Segalanya.
Aku menangis sesenggukan. Istrikupun jua.

Pagi harinya, kami berdua menentukan berpuasa. Ada hal yang begitu indah diuraikan mengapa kami berpuasa. Selepas Sholat Dhuha saya memeluk istriku lembut. Ia menangis haru dalam dekapanku. Aku membisiki indera pendengaran kirinya dengan lembut dan penuh kasih cinta.
“Tunggu saya pulang, dik. Aku akan cari pengganjal perut kita waktu Buka Puasa nanti. Kau harus yakin, Rusmi. Kau harus tunggu aku, istriku.”


Ya Nur Aini, Ya Jaddal Husaini. Terimalah persembahan keluarga kami. Semoga Engkau masih bersedia dan tak bosan menganggap kami sebagai umatmu, Walaupun kami telah terlumur dosa yang sebegitu beratnya. Ya Rosululloh. Jika Engkau berkenan. Panggil nama kami berdua nanti di Singgasanamu yang Agung.

( Di Kediamanku, 12 Robiul Awal 1433 H )

PROFIL PENULIS
Nama : Akhmad Gufron Wahid
Tempat dan Tanggal Lahir : Lumajang, 28 Desember 1993
Agama : Islam
Alamat : Desa Kalipenggung Kecamatan Randuagung Kabupaten Lumajang
Pendidikan : Sekolah Tinggi Agama Islam Syarifuddin Lumajang
Facebook : Akhmad Gufron Wahid XceQc
No. Urut : 485
Tanggal Kirim : 28/01/2013 20:30:16

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel