Mahabarata Episode 16: Terbunuhnya Bakasura
Sabtu, 27 September 2014
Sebelumnya...
Dengan menyamar sebagai brahmana, Pandawa tinggal di Ekacakra. Mereka menyambung hidup dengan meminta-minta di jalan-jalan yang telah ditetapkan untuk para brahmana. Setelah seharian meminta-minta, mereka pulang sambil membawa masakan santunan untuk ibu mereka. Jika mereka terlambat pulang, Dewi Kunti menja- di cemas, takut kalau-kalau malapetaka menimpa mereka. Semua masakan yang diperoleh dari hasil meminta- minta oleh Dewi Kunti dibagi dua, satu belahan untuk Bhima dan satu belahan lainnya dibagi berlima di antara keempat Pandawa lainnya dan sang ibu. Bhima, putra Dewa Bayu atau Dewa Angin, mempunyai nafsu makan yang sangat besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi, gagah dan perkasa. Itu sebabnya kecuali disebut Bhima- sena, ia juga dijuluki Wrikodara, artinya “perut serigala”. Maksudnya, berapa pun banyaknya masakan yang dima- kannya, perutnya selalu merasa lapar. Karena masakan yang mereka peroleh tak pernah cukup, tubuh Bhima menjadi kurus. Melihat itu, ibu dan saudara-saudaranya menjadi cemas.
Suatu hari Bhima berkenalan dengan seorang pembuat kendi. Bhima menyukai orang itu dan suka menolongnya menggali dan mengangkut tanah liat. Sebagai ungkapan terima kasih, tukang kendi itu memberinya sebuah periuk besar untuk meminta-minta. Gara-gara periuk itu, Bhima menjadi sasaran ejekan dan cemoohan orang-orang.
Pada suatu hari, ketika saudara-saudaranya pergi me- minta-minta, Bhimasena tinggal di rumah bersama ibunya. Tiba-tiba mereka mendengar tangis pilu dari kamar pemilik rumah. Sesuatu yang menyedihkan telah menimpa keluar- ga itu, pikir Dewi Kunti. Ia kemudian memberanikan diri menye- linap masuk, ingin mengetahui apa yang terjadi dan jikalau perlu memperlihatkan pertolongan. Di dalam ia melihat brah- mana pemilik rumah itu sedang berbicara dengan istrinya
Brahmana itu berkata kepada istrinya, “Wahai perem- puan malang dan dungu, sudah berulang kali kukatakan bahwa kita harus pergi dari kota ini selama-lamanya. Tetapi engkau tidak setuju. Engkau selalu berkata bahwa engkau lahir dan dibesarkan di sini. Di sini pula orang- tuamu hidup dan mati, dan di sini pula engkau ingin tinggal. Aku tak sanggup berpisah darimu, wahai istriku, teman hidupku dan ibu anak-anakku tercinta. Kau sega- lanya bagiku Aku tak mungkin membiarkan engkau pergi menjemput maut, sementara saya hidup sendirian di sini.
“Wahai, istriku, lihatlah anak perempuan kita. Pada waktunya ia akan kita serahkan kepada lelaki yang pantas menerimanya. Jangan jadikan ia sebagai korban, lantaran ia yakni santunan Hyang Widhi untuk melan- jutkan keturunan kita. Kita juga tak mungkin mengor- bankan anak pria kita. Bagaimana kita bisa hidup sehabis mengorbankan belum dewasa kita? Siapa yang kelak akan melaksanakan upacara maut bagi kita dan melan- jutkan keturunan kita?
“Engkau tidak mau mendengarkan kata-kataku, dan inilah buah perbuatanmu yang mengerikan. Kalau saya serahkan hidupku, belum dewasa kita niscaya akan segera mau lantaran tak punya gantungan hidup. Apa yang bisa kita perbuat? Satu-satunya jalan terbaik yakni kita mati bersama.” Demikianlah kata brahmana itu sambil mena- ngis.
Istrinya menjawab, “Aku telah melaksanakan kewajibanku sebagai istrimu dan ibu anak-anakmu Aku tidak bisa melindungi mereka, tetapi engkau bisa. Ibarat sisa masakan yang dibuang dan disambar burung gagak rakus, demikian pula nasib seorang janda; dengan gampang ia menjadi mangsa lelaki hidung belang. Ibarat sepotong tulang yang diperebutkan anjing, demikian pula nasib seorang janda, ia akan menjadi permainan lelaki-lelaki jahat, diseret-seret dari satu tangan ke tangan yang lain. Aku tak sanggup melindungi mereka tanpa ayah mereka. Mereka akan mati kelaparan ibarat ikan di kolam kering. Sebaiknya, kita serahkan saja belum dewasa kita kepada raksasa itu.
“Bagi perempuan yang suaminya masih hidup, mati lebih dulu akan membuahkan keagungan. Begitu tertulis di dalam kitab-kitab suci. Ucapkan selamat jalan kepadaku. Jagalah belum dewasa kita. Aku senang hidup bersamamu dan mengabdikan diriku kepadamu dengan setia. Aku yakin, saya niscaya akan diterima di surga. Bagi seorang perempuan yang telah menjadi istri yang baik, maut bukan sesuatu yang mengerikan. Kalau saya mati, carilah istri lagi. Teguhkan hatiku dengan senyum ikhlasmu. Restui saya dan kirim saya kepada raksasa itu.”
Mendengar kata-kata itu, sang brahmana memeluk istrinya dengan penuh kasih. Ia terharu melihat kebera- nian istrinya. Ia menangis tersedu-sedu ibarat anak kecil dan dengan susah payah berkata, “Wahai istriku tercinta dan teragung, saya tak sanggup hidup tanpa engkau. Tugas pertama seorang pria yang telah beristri yakni melindungi istrinya. Aku akan dianggap lelaki durhaka yang paling hina kalau menyerahkan engkau menjadi mangsa raksasa itu.”
Mendengar percakapan orangtuanya, sambil tersedu- sedu si anak perempuan berkata perlahan, “Wahai, Ibu dan Ayah, dengarkan kata-kataku walau saya ini hanya anak kecil. Lakukanlah apa yang seharusnya dilakukan. Hanya saya yang pantas diberikan kepada raksasa itu. Dengan mengorbankan satu jiwa, jiwaku, Ayah dan Ibu bisa menolong yang lain. Jadikan saya bahtera untuk membawa Ayah dan Ibu menyeberangi sungai malapetaka ini. Kalau Ayah dan Ibu meninggal, kami berdua akan cepat mati lantaran hidup sebatang kara di dunia. Jika lantaran pengorbanan jiwaku keluargaku sanggup diselamat- kan, saya niscaya bahagia. Ayah dan Ibu, kini juga, berikan saya kepada raksasa itu.”
Mendengar kata-kata itu, brahmana dan istrinya memeluk putri mereka sambil menangis. Anak laki-lakinya yang masih bocah berkata kepada orangtuanya dengan pengecap petah, “Ayah jangan nangis. Ibu jangan nangis. Kakak jangan nangis.” Sambil berkata demikian ia berdiri kemudian mengambil sepotong kayu api kecil. Kayu itu diacung- acungkannya sambil berteriak-teriak dengan bunyi bocahnya, “Akan kubunuh raksasa itu dengan tongkat ini.”
Kata-kata dan tingkah lakunya menciptakan ayah, ibu dan kakaknya tersenyum sedih. Mata mereka berkaca-kaca.
Dewi Kunti, yang rahasia menyimak percakapan itu, beropini bahwa kinilah ketika yang sempurna untuk menyela pembicaraan mereka. Ia mengetuk pintu, kemudian masuk dan bertanya mengapa mereka bersedih dan apakah ia boleh melaksanakan sesuatu untuk menolong mereka.
Brahmana itu berkata, “Wahai, Ibu, kami tertimpa malapetaka besar. Tak mungkin Ibu sanggup membantu kami. Di luar kota ini ada sebuah gua. Di gua itu tinggal raksasa buas berjulukan Bakasura. Sudah tiga belas tahun ia menguasai kota dan kerajaan ini dan memperlakukan penduduk dengan kejam. Raja kami melarikan diri ke Wetrakiya, lantaran tak sanggup membela dan melindungi kami.
“Setiap kali merasa lapar, raksasa itu keluar dari gua kemudian memangsa orang, tak peduli pria atau perempuan, orang remaja atau anak-anak. Penduduk Ekacakra kemudian mengajukan seruan kepada raksasa itu, untuk menghindari pembunuhan yang kejam. Kata mereka, ‘Janganlah engkau membunuh kami dengan sewenang-wenang. Seminggu sekali kami akan serahkan masakan dan minuman cukup untukmu. Makanan dan minuman itu akan kami kirim dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kerbau dan seorang manusia. Engkau boleh menyantap makanan, kerbau, dan orang itu, tapi kamu tak boleh lagi membunuh dengan sewenang-wenang.’
“Raksasa itu setuju. Sejak itu, si raksasa menguasai kota ini. Ia mengenyahkan semua musuh dari luar dan membunuh binatang-binatang liar yang mengancam penduduk.
“Tidak seorang pun sanggup membebaskan kota dan kerajaan kami dari malapetaka besar ini. Dengan gampang raksasa itu bisa membunuh siapa saja yang mencoba melawannya.
“Wahai, Ibu, raja kami saja tak sanggup melindungi kami. Rakyat yang rajanya lemah lebih baik tidak kawin dan tidak punya anak. Kehidupan yang baik dengan kebudayaan yang luhur hanya mungkin terjadi dalam kerajaan yang diperintah oleh raja yang perkasa dan ber- tabiat kuat. Istri, kekayaan, dan harta benda apa pun tidak akan kondusif jikalau tak ada pemerintah besar lengan berkuasa yang melindunginya. Sekarang tiba giliran kami untuk mengi- rimkan salah seorang dari kami untuk dijadikan mangsa raksasa itu.
“Kami tidak bisa membeli atau membayar pengganti diri kami. Jika salah satu dari kami mati secara menge- naskan, kami tak bisa hidup dengan hati didera rasa bersalah. Karena itu, kami putuskan untuk menyerahkan seluruh keluarga kami, serentak. Biarlah raksasa itu kenyang dan puas atas pengorbanan kami.
“Maaf, Ibu, kami telah menciptakan orang lain murung dengan dongeng ini. Tetapi, lantaran Ibu ingin tahu, maka kami ceritakan pada Ibu apa adanya. Hanya Hyang Widhi yang sanggup menolong kami. Tetapi untuk itu pun kami sudah tak punya harapan.”
Dewi Kunti kemudian memanggil Bhimasena. Ia menceritakan apa yang telah didengarnya. Setelah berunding dengan Bhima, Dewi Kunti menemui brahmana itu lagi. Katanya, “Wahai Brahmana budiman, janganlah putus asa. Dewata Maha Agung dan Maha Besar. Aku punya lima anak laki- laki. Salah satu anakku akan membawakan masakan untuk raksasa itu.”
Brahmana itu terkejut dan terlompat kegirangan, tetapi segera duduk lagi sambil menahan diri. Ia menggeleng- gelengkan kepala dan berkata bahwa hal itu dilarang terjadi. Tidak seharusnya seorang abnormal mengorbankan diri dan menggantikannya menjadi mangsa raksasa itu.
Dewi Kunti melanjutkan, “Wahai, Brahmana, janganlah engkau khawatir. Anakku ini insan sakti. Ia mempunyai kekuatan melebihi insan yang diperolehnya dengan mengucapkan mantra-mantra. Yakinlah, ia niscaya bisa membunuh raksasa itu. Tetapi engkau harus meraha- siakan hal ini. Ingat, jikalau kamu membocorkan rahasia ini, kekuatan anakku tidak akan muncul.”
Sesungguhnya Dewi Kunti takut kalau-kalau hal itu hingga terdengar dan tersebar hingga keluar wilayah kerajaan itu. Siapa tahu, info itu tersebar hingga ke pendengaran kaki tangan Duryodhana, yang kemudian menghubung- kan info wacana lima brahmana abnormal dan seorang perempuan renta yang tiba ke Ekacakra dengan Pandawa.
Bhima senang dan tak sabar ingin segera melaksanakan perintah ibunya. Ketika saudara-saudaranya pulang dari meminta-minta, mereka heran melihat wajah Bhima berseri-seri. Tidak ibarat biasa. Yudhistira menemui ibunya, menanyakan apa yang menciptakan Bhima tampak bangga dan bersemangat.
Yudhistira yang dijuluki Dharmaputra alias putra Bata- ra Dharma berkata, “Bagaimana ini? Janganlah gegabah dan tergesa-gesa. Apakah kekuatan Bhima benar-benar sanggup diandalkan? Apakah kita akan membiarkan ia ber- tarung melawan raksasa itu, sementara kita tidur-tiduran dan melupakan ancaman dan kesusahan? Bukankah kita berharap sanggup merebut kembali Kerajaan Hastina dengan kekuatan dan keberanian Bhima? Bukankah lantaran keku- atan Bhima kita sanggup lolos dari istana yang terbakar itu? Mengapa kini Ibu merelakan nyawanya demi kesela- matan orang lain? Jika Bhima mati, siapa yang akan melindungi kita? Aku khawatir, jangan-jangan rasa iba menciptakan Ibu tak bisa berpikir jernih.”
Dewi Kunti menjawab, “Cukup usang kita hidup kondusif di rumah brahmana ini. Kewajiban kita membalas kebajikan- nya dengan perbuatan baik. Ibu tahu benar keperkasaan Bhima dan Ibu sama sekali tidak cemas. Ingatlah, dalam perjalanan dari Waranawata di tengah hutan, sambil menggendong dan menggandeng kita, adikmu bisa membunuh raksasa Hidimbi. Jangan engkau cemas, anakku. Kita wajib berbuat kebajikan bagi keluarga brah- mana ini. Adikmu niscaya bisa membunuh raksasa itu.”
Penduduk mengumpulkan masakan dan minuman yang kemudian dimuat ke dalam kereta yang ditarik dua ekor kerbau. Setelah semuanya siap, Bhima mengendarai kereta itu ke gua sang raksasa. Penduduk mengiringkannya hingga batas kota.
Sampai di ekspresi gua, Bhima menghentikan keretanya. Dia melihat sekelilingnya. Di depan ekspresi gua berserakan tulang belulang, tengkorak manusia, dan sisa-sisa maka- nan yang sudah membusuk. Bermacam-macam serangga mengerumuni sisa-sisa makanan, sementara burung- burung bangkai memperebutkan sisa-sisa mayit yang sudah busuk.
Cepat-cepat Bhima membuka bungkusan masakan yang diperuntukkan bagi raksasa itu sambil menggerutu, “Aku habiskan saja masakan ini. Jangan hingga berce- ceran tak berguna. Kalau saya kalah dan mati, saya sudah kenyang makan. Kalau ia kalah dan mati, masakan ini niscaya kotor kena darahnya dan tak bisa dimakan lagi.”
Mengendus amis masakan di luar gua, raksasa itu keluar. Melihat Bhima sedang menghabiskan makanan, ia sangat berang kemudian mengamuk. Bhima akal-akalan tidak melihatnya. Dia terus makan dengan lahap.
Dengan tubuh amat besar, kumis-jenggot-rambut merah awut-awutan, ekspresi lebar menganga mengeluarkan amis busuk, dan taring tajam menonjol keluar, raksasa itu mendekati Bhima yang sedang makan sambil membela- kangi gua. Bhima menoleh, tersenyum, kemudian meneruskan makan. Berkali-kali raksasa itu meninju punggung Bhima, tetapi putra Pandu itu terus makan tanpa menghirau- kannya. Kemudian raksasa itu mencabuti pohon-pohon besar dan melemparkan ke arah Bhima, tetapi semua sanggup ditangkis Bhima dengan mudah.
Setelah masakan itu habis, Bhima berdiri dan menye- ka mulutnya. Dengan perut kenyang, ia siap bertarung melawan raksasa itu. Maka terjadilah pertarungan sengit antara dua makhluk perkasa. Bhima ibarat bermain-main menghadapi raksasa itu. Ia meninju, membanting dan melemparkan raksasa itu jauh-jauh, kemudian menyeret- nya mendekat. Berkali-kali begitu, hingga raksasa itu babak belur dan tak bisa berdiri lagi. Akhirnya, Bhima mengerahkan kesaktiannya kemudian membanting raksasa itu keras-keras ke tanah. Tubuh raksasa itu hancur, tulang- nya remuk.
Raksasa itu meraung kesakitan, memuntahkan darah, kemudian mati. Bhima menyeret mayatnya hingga ke pintu gerbang kota. Ia kembali ke rumah brahmana tempatnya menumpang, membersihkan diri, kemudian memberi tahu ibunya.
Bersambung...