Mahabarata Episode 15: Pandawa Selamat Dari Maut

 Setelah mohon diri kepada Bhisma dan para tetua Mahabarata Episode 15: Pandawa Selamat Dari Maut
Sebelumnya...
Setelah mohon diri kepada Bhisma dan para tetua, Pan- dawa berangkat ke Waranawata. Rakyat mengelu-elu- kan dan mengiringkan mereka hingga ke batas kerajaan. Tidak sedikit yang enggan kembali lantaran ingin mengikuti Pandawa hingga Waranawata.
Widura membisikkan pesan dalam bahasa diam-diam yang hanya sanggup dimengerti oleh Yudhistira. Katanya, “Hanya orang yang bisa menghindari ancaman yang sanggup melindungi diri dari musuh-musuh yang licik. Banyak senjata yang lebih tajam dari keris, tetapi orang yang bijaksana sanggup terhindar dari kehancuran lantaran tahu cara menangkis segala macam serangan. Api raksasa yang memusnahkan hutan belantara tidak sanggup memperabukan tikus yang bersembunyi di dalam lubang atau seekor landak yang menggali liang di dalam tanah. Orang yang cerdik dan bijaksana bisa membaca peruntungannya dengan melihat bintang-bintang di langit.”
Yudhistira mengerti. Pesan Widura itu berarti: ia harus mencari jalan untuk melarikan diri semoga terhindar dari ren- cana jahat Duryodhana. Yudhistira mengisyaratkan bahwa ia memahami apa yang dikatakan Widura.
Setelah itu, Pandawa berangkat meninggalkan Hastina- pura. Perjalanan mereka dimulai dalam suasana penuh kegembiraan. Matahari bersinar cerah, bunga-bunga ber- mekaran, burung-burung berkicau dan angin pagi berhem- bus segar. Tetapi, semakin jauh mereka berjalan, cuaca berubah. Langit mendung, matahari tertutup gumpalan awan gelap.
Yudhistira berkata kepada ibunya bahwa sesungguhnya ia sedih dan cemas menghadapi perjalanan itu.
Setelah berjalan beberapa hari, mereka tiba di Warana- wata. Rakyat mengelu-elukan kedatangan Pandawa. Kau- rawa, yang telah lebih dahulu ada di Waranawata, menyambut sepupu mereka dengan hangat dan penuh hormat. Kemudian Purochana mempersilakan Pandawa beristirahat di istana yang telah disediakan untuk mereka. Istana peristirahatan itu diberi nama Siwam, artinya ‘kesejahteraan’. Sungguh licik, lantaran gotong royong istana itu dibangun sebagai perangkap maut.
Yudhistira bersama ibu dan adik-adiknya yang letih sehabis melaksanakan perjalanan jauh, segera masuk ke ista- na itu. Tetapi, ingat akan pesan Widura, sebelum beristi- rahat Yudhistira mengusut setiap sudut istana dengan cermat dan teliti. Segera saja ia tahu bahwa istana itu dan semua perabotannya terbuat dari bahan-bahan yang gampang terbakar.
Yudhistira memanggil Bhima dan berkata, “Sekalipun kita sudah tahu bahwa istana ini yaitu perangkap maut, kita harus akal-akalan tidak tahu. Jika Purochana hingga curiga dan mengira kita sudah tahu rencana liciknya, akan sulit bagi kita untuk menyelamatkan diri. Kita harus sanggup meloloskan diri pada ketika yang tepat.”
Selama perayaan dan pelaksanaan upacara penyemba- han Batara Shiwa yang berlangsung beberapa hari, Panda- wa tinggal di istana peristirahatan itu. Mereka melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan wajar, bahkan dengan bangga dan penuh semangat. Sementara itu, Widura mengirim orang yang jago menggali terowongan. Orang itu mene- mui Pandawa secara diam-diam dan berkata, “Saya tiba ke sini membawa pesan diam-diam dari Widura. Dia ingin mem- bantu kalian. Saya akan memberikan pesannya hanya kepada Yudhistira.” Kemudian beliau membisikkan rencana Widura kepada Yudhistira.
Ahli penggali terowongan itu bekerja siang malam secara diam-diam tanpa diketahui Purochana yang tinggal di pondok di samping pintu gerbang istana. Ia menciptakan terowongan dari bawah ruang tidur istana kayu itu, lewat di bawah pagar, di bawah parit yang mengelilingi istana, terus menjauh hingga ke tengah hutan belantara.
Setiap malam Pandawa bergantian berjaga, tetapi di siang hari mereka mengikuti semua program dengan bangga dan penuh semangat. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Keti- ka dilangsungkan program berburu ke hutan, mereka semua ikut. Sambil berburu, gotong royong mereka mencermati keadaan hutan semoga bila tiba waktunya meloloskan diri, mereka tidak akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, Purochana dengan sabar menunggu ketika yang sempurna untuk melaksanakan rencana jahat tuannya. Dia menunggu Pandawa lengah lantaran terbuai oleh kese- nangan dan hiburan yang meriah. Dia harus melaksa- nakan tugasnya sedemikian, hingga orang akan mengira itu sebuah kecelakaan, bukan kesengajaan.
Pada suatu senja, sehabis melihat Pandawa masuk ke istana dalam keadaan letih, Purochana memutuskan bah- wa waktunya sudah tiba. Diam-diam beliau menyuruh kaki tangannya untuk melaksanakan rencana tuannya sehabis lewat tengah malam. Tetapi, Yudhistira yang gotong royong selalu waspada, mengetahui perilaku Purochana yang mencu- rigakan. Segera ia mengumpulkan adik-adiknya dan me- ngatakan bahwa malam nanti mereka harus meloloskan diri.
Selewat senja, Dewi Kunti mengadakan pesta meriah di istana kayu itu. Seluruh penjaga dan pelayan diundang dan dijamu dengan masakan lezat, minuman arak dan tuak. Mereka menikmati semua itu sepuas-puasnya dan tak sedikit yang mabuk hingga tak sadarkan diri.
Demikianlah, sehabis para penjaga dan pelayan istana terlena lantaran kekenyangan dan mabuk, sempurna tengah malam Bhima memperabukan istana itu. Ketika itu Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya sudah meloloskan diri lewat terowongan rahasia. Mereka merunduk-runduk dan mera- yap menyusuri terowongan yang gelap, sementara di atas mereka api menyala berkobar-kobar. Dalam sekejap mata, istana dan isinya yang terbuat dari materi yang gampang terbakar itu habis dilalap api.
Ledakan-ledakan menggelegar. Penduduk Waranawata terbangun, berteriak-teriak kaget dan berlarian tak tentu arah. Ada yang hendak mencari selamat, ada yang hendak menolong memadamkan api. Semua cemas dan ngeri memikirkan nasib Pandawa. Mereka yakin, Pandawa tak sempat menyelamatkan diri dan mati terbakar.
Kalang kabut mereka berusaha memadamkan api, tetapi sia-sia. Dengan sedih dan kesal mereka berteriak, “Ya, Hyang Widhi, ini niscaya perbuatan Duryodhana. Pasti beliau yang memerintahkan pembunuhan atas Pandawa yang tidak berdosa.”
Api mengamuk dahsyat. Dalam sekejap istana habis menjadi abu, begitu pula pondok yang ditempati Puro- chana. Orang iktikad Duryodhana itu juga ikut terba- kar. Ia dan para pengawalnya sedang tidur pulas ketika kebakaran itu terjadi. Mereka tak sempat menyelamatkan diri. Purochana gagal melaksanakan tugasnya. Dia bahkan menemui ajalnya dalam kobaran api.
Rakyat Waranawata segera mengirimkan kabar ke Hastinapura: “Istana peristirahatan Pandawa musnah terbakar. Semua yang ada di dalamnya tewas. Tak seorang pun selamat.”
Mendengar gosip itu, hati Dritarastra gundah. Perasa- annya campur aduk. Ibarat kolam yang dalam, hirau taacuh dasarnya tapi hangat permukaannya; hirau taacuh lantaran sedih, hangat lantaran gembira. Dritarastra sedih lantaran kematian para kemenakannya, tetapi juga lega dan bangga lantaran rencana putranya berhasil. Dia memanggil putra-putranya dan menyuruh mereka mengenakan pakaian berkabung untuk menghormati Pandawa yang telah meninggal.
Sesuai sopan santun dan pedoman agama, bersama-sama mereka pergi ke tepi sungai untuk melaksanakan persembahyangan bagi arwah Pandawa. Tak ada mayat untuk dikuburkan atau diperabukan. Kaurawa mengikuti upacara dengan wajah sedih. Mereka tampak sangat sedih dan kehilangan lantaran tewasnya para sepupu mereka.
Hanya sedikit yang melihat bahwa Widura tidak tampak sedih. Meskipun begitu, kecil kemungkinannya ia dicurigai lantaran ia populer sebagai orang yang selalu mengutama- kan ketenangan dan menghindari emosi yang meluap-luap. Ia tampak tenang lantaran yakin bahwa Pandawa berhasil meloloskan diri. Widura justru mengkhawatirkan Pandawa yang sekarang terpaksa mengembara di hutan.
Ketika melihat Bhisma bersedih, Widura menghiburnya dengan membisikkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Sementara itu, di hutan belantara Bhima melihat ibu dan saudara-saudaranya kehabisan tenaga sehabis bebe- rapa hari merangkak menyusuri terowongan dan berjalan menembus hutan lebat, tanpa beristirahat dan tanpa masakan cukup. Kemudian Bhima menggendong ibunya di punggungnya, merangkul Nakula dan Sahadewa di dadanya, dan menuntun Yudhistira serta Arjuna di kanan- kirinya. Membawa beban seberat itu, Bhima melangkah menembus hutan.
Sampai di tepi Sungai Gangga, mereka menemukan seorang tukang bahtera bersama sampannya. Sebenarnya, secara diam-diam Widura telah menyuruh tukang bahtera itu menunggu di tepian sungai untuk menyeberangkan Pandawa.
Pandawa menunggu hari gelap sebelum menyeberang. Mereka bersembunyi di tepi hutan. Setelah malam benar- benar gelap, mereka naik sampan itu ke seberang sungai. Sampai di seberang, Pandawa segera masuk lagi ke dalam hutan dan terus berjalan sepanjang malam. Dengan lang- kah terseok-seok dan perut kelaparan, mereka menembus hutan yang gelap dan sunyi. Tak ada bunyi apa pun kecuali suara-suara hewan malam.
Lewat tengah malam, mereka tak bisa lagi melang- kah lantaran kelelahan, lapar dan dahaga luar biasa. Dewi Kunti berkata, “Aku tak sanggup lagi. Aku tidak peduli. Biarlah belum dewasa Dritarastra tiba menyergap kita. Aku ingin beristirahat sejenak.” Setelah berkata begitu, Dewi Kunti merebahkan diri di tanah dan jatuh tertidur.
Dalam kegelapan Bhima berusaha mencari air. Setelah cukup usang mencari-cari, jadinya ia hingga ke tepi sebuah telaga kecil. Ia menunduk, mencedok air dengan tangannya, kemudian membasuh wajahnya. Alangkah segarnya. Setelah itu ia mencari daun-daun yang lebar untuk mem- buat wadah air. Dengan itu ia mengambil air telaga segar itu untuk ibu dan saudara-saudaranya yang kehausan.
Sementara ibu dan saudara-saudaranya tidur, Bhima tetap duduk berjaga-jaga. Pikirannya melayang-layang menembus lebatnya pepohonan dan hatinya berbisik, “Alangkah tenteram dan damainya kehidupan pohon- pohon dan binatang-binatang di hutan ini. Mereka niscaya sudah usang sekali hidup di hutan ini, dan masih akan terus hidup di sini berlaksa-laksa tahun lagi. Lain dengan manusia! Ada insan yang tak mau hidup tenang berdampingan. Ada insan yang ingin melenyapkan insan lain. Apa sebabnya Paman Dritarastra dan Duryodhana tega berbuat begini terhadap kami?”
Bhima tidak bisa mengerti mengapa ada orang yang begitu membenci Pandawa dan ingin memusnahkan mereka. Sedih hatinya memikirkan semua itu.
Demikianlah Pandawa mengembara di hutan belantara, penuh derita dan harus menghadapi bermacam marabaha- ya. Mereka bergantian menggendong ibu mereka semoga perjalanan bisa lebih cepat. Bhima selalu berusaha menca- rikan buah-buahan dan daun-daunan yang bisa dimakan untuk saudara-saudaranya.
Berhari-hari mereka mengembara hingga jadinya bertemu dengan Bagawan Wyasa. Mereka memberi salam hormat kepada Mahaguru itu. Sang Resi memberi hikmah dan dorongan yang membesarkan hati mereka. Katanya, “Tak ada orang bijak yang besar lengan berkuasa untuk selalu berbuat kebajikan seumur hidupnya. Tak ada orang durhaka yang selamanya hidup berkubang dosa. Hidup ini mirip jaring labah-labah. Di dunia ini, tak ada orang yang sama sekali tak pernah berbuat kebajikan; tak ada pula yang sama sekali tak pernah berbuat kejahatan. Setiap orang harus memikul akhir perbuatannya sendiri. Janganlah engkau memberi jalan untuk kedukaan.”
Atas hikmah dan petuah Bagawan Wyasa, Pandawa mengenakan pakaian brahmana. Kemudian mereka melan- jutkan perjalanan menuju kota Ekacakra. Sampai di sana, mereka tinggal menumpang di rumah seorang brahmana
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel