Mahabarata Episode 14: Istana Dari Papan Kayu
Sabtu, 27 September 2014
Sebelumnya...
Seiring dengan bertambahnya usia dan semakin dalam- nya ilmu olah senjata serta siasat perang yang dipela- jari oleh Kaurawa dan Pandawa, Duryodhana semakin iri melihat keperkasaan Bhima dan kesaktian Arjuna dalam segala hal. Duryodhana kemudian mengangkat Karna dan Sakuni sebagai penasihatnya dan menugaskan mereka untuk merencanakan siasat-siasat licik untuk mengalah-kan Pandawa.
Dritarastra, ayah Kaurawa, tolong-menolong bijaksana dan sangat menyayangi Pandawa, putra-putra adiknya. Sayang- nya, ia berwatak lemah. Dalam memilih segala sesu- atu, ia terlalu memihak putra-putranya sendiri. Semua cita-cita putra-putranya, terutama cita-cita Duryodha- na, selalu dikabulkannya. Tidak jarang, dengan sadar ia menuruti mereka meskipun tahu bahwa mereka salah.
Bagi Duryodhana, yang lebih menyakitkan hati yaitu kenyataan bahwa rakyat Hastina, terutama yang tinggal di ibukota Hastinapura, selalu memuji-muji Pandawa secara terang-terangan. Mereka senantiasa menyerukan bahwa Yudhistiralah yang paling sempurna dinobatkan sebagai raja, menggantikan Dritarastra. Rakyat bergerombol di jalan- jalan, memperdebatkan siapa yang paling pantas menjadi raja mereka. Sering terdengar percakapan menyerupai ini.
“Dritarastra tidak pantas menjadi raja lantaran ia buta. Ia tidak bisa memerintah kerajaan dengan baik lantaran kekurangannya itu. Bhisma juga mustahil menjadi raja, lantaran ia telah bersumpah akan mengabdikan selu- ruh hidupnya pada kebenaran, keadilan dan kesucian. Kecuali itu, ia memang tidak ingin menjadi raja dan sudah bersumpah takkan pernah menikah. Karena itu, Yudhis- tiralah yang paling pantas dinobatkan menjadi raja. Hanya dialah yang akan sanggup memerintah wangsa Kuru dan kerajaan ini dengan adil.”
Demikianlah rakyat berbicara di mana-mana. Mende- ngar semua itu, pendengaran Duryodhana terasa panas. Hatinya sakit didera rasa iri dan kebencian. Ia menghadap ayah- nya, mengadukan hal itu. Katanya, “Ayahanda, rakyat kerajaan ini telah menghina kita. Mereka sama sekali tidak punya rasa hormat kepada orang-orang yang patut dimu- liakan menyerupai Bhisma dan Ayahanda sendiri. Menurut mereka, kerajaan ini seharusnya diperintah oleh Yudhistira lantaran dialah yang paling pantas menjadi raja.
“Mereka berkata bahwa lantaran buta, tolong-menolong Aya- handa tidak pantas menjadi raja. Jika mereka bersikeras meminta penobatan Yudhistira, itu berarti kehancuran bagi kita. Ayahanda telah menyerah kepada Paman Pandu. Kalau tidak lantaran Paman Pandu mengundurkan diri, Aya- handa takkan pernah menjadi raja. Sekarang, kalau Yudhis- tira menuntut haknya untuk menggantikan ayahnya, ke manakah kita akan pergi? Tak ada lagi kesempatan bagi keturunan kita untuk menjadi raja, lantaran hanya keturu- nan Yudhistira atau Pandawa yang berhak menjadi raja. Keturunan kita akan menjadi orang-orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan keturunan Pandawa.”
Dritarastra merenung mendengar kata-kata anaknya. Beberapa usang kemudian beliau berkata, “Anakku, apa yang engkau katakan itu benar. Namun, Ayah percaya, Yudhis- tira niscaya takkan menyimpang dari jalan yang benar dan penuh kebajikan. Ia mengasihi kita semua. Ia mewarisi semua sifat mulia ayahnya. Rakyat mengagumi beliau dan mereka niscaya mendukung dia. Semua menteri dan senapati juga menyayangi Pandu dan mereka niscaya akan mengabdi padanya dengan sepenuh hati. Rakyat memang memuja Pandawa. Kita tak sanggup menentang mereka atau menung- gu kesempatan baik untuk mengalahkan Pandawa. Sean- dainya kita berbuat tidak adil dan tidak benar, rakyat akan berontak melawan kita. Mereka akan mengusir kita dan kita akan terjerumus dalam kubangan kutuk dan cemooh.”
Duryodhana menjawab, “Rasa cemas Ayahanda tidak beralasan. Dalam keadaan paling jelek pun Bhisma tetap tidak akan memihak, sedangkan Aswattama niscaya akan patuh padaku. Dan itu berarti bahwa ayahnya, Mahaguru Drona, dan Mahaguru Kripa ada di pihak kita. Widura tak mungkin menentang kita secara terang-terangan, kecuali kalau beliau punya alasan lain, lantaran ia tidak punya pengikut atau kekuatan apa pun. Kirimlah Pandawa ke Waranawata secepatnya.
“Ayahanda, sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh den- dam dan iri hati. Aku tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak lezat makan dan tak lezat tidur. Semua ini seolah-olah merobek-robek dada- ku. Hidupku terasa penuh siksa dan derita.
“Ayahanda, segera kirimlah Pandawa ke Waranawata. Setelah itu, kita akan menghimpun kekuatan kita.”
Setelah Duryodhana berkata demikian, para penasihat raja tiba dan bergantian memperlihatkan nasihat kepada Dritarastra. Mereka semua mendukung planning Duryodha- na. Kanika, asisten Sakuni dan pemimpin kelompok ini, mengusulkan kepada Dritarastra, “Paduka, hamba mo- hon Paduka berhati-hati dan waspada terhadap bawah umur Pandu, lantaran kebaikan dan efek mereka merupakan ancaman bagi kewibawaan Paduka. Ketahuilah, semakin akrab relasi keluarga, semakin akrab dan semakin mengerikan pula ancaman itu. Mereka sangat kuat.”
Dritarastra diam, mendengarkannya sungguh-sungguh. Kemudian Kanika melanjutkan, “Jangan Paduka gusar kepada hamba kalau hamba katakan bahwa seorang raja harus berkuasa dalam nama, di atas takhta dan tinda- kannya, lantaran tak seorang pun akan percaya pada keku- atan yang tidak pernah diperlihatkan. Hal-hal yang berkai- tan dengan tata kerajaan memang harus dirahasiakan. Tetapi, bukti aktual suatu planning bijak bagi rakyat yaitu pelaksanaannya. Bodoh sekali kalau memperlihatkan kemes- raan terhadap mereka.
“Demikianlah, keburukan harus dilenyapkan sama sekali. Ibarat duri dalam daging, kalau dibiarkan akan menyebabkan luka membisul. Musuh yang perkasa harus dihancurkan, namun musuh yang kecil dan lemah jangan dilalaikan. Ibarat bara, kalau tidak segera dipadamkan bisa berkobar menyala mengkremasi hutan. Jika tak bisa meng- hancurkan musuh perkasa dengan kekuatan senjata, kita gunakan tipu muslihat.”
Duryodhana meyakinkan ayahnya bahwa ia telah ber- hasil menghimpun sekutu dan pengikut yang setia. Kata- nya, “Ananda telah menghadiahkan harta benda, pangkat dan kehormatan kepada semua pengawal kerajaan Has- tina. Ananda telah menciptakan mereka bersumpah untuk setia kepada kita. Begitu Ayahanda mengirim Pandawa ke Waranawata, seisi ibukota dan kerajaan ini akan memihak kita. Tak ada lagi sekutu Pandawa di kerajaan ini. Begitu kerajaan ini ada di tangan kita, mereka akan kehilangan kekuasaan. Setelah itu, barulah kita pikirkan bagaimana caranya melenyapkan mereka.”
Jika seseorang banyak mendengar wacana apa yang tolong-menolong ingin ia yakini, maka ia akan merasa bahwa keyakinannya itu benar. Demikianlah, pikiran Dritarastra goyah oleh desakan anaknya dan tawaran para penasihat- nya. Tanpa bisa berpikir jernih, ia merestui planning Duryodhana.
Sejak itu, para senapati Hastina sengaja memuji-muji keindahan Waranawata di hadapan Pandawa. Mereka membisikkan, bahwa di sana akan diadakan upacara pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran. Pandawa sama sekali tidak curiga mendengar semua itu. Lebih-lebih sehabis Dritarastra menyuruh mereka mengikuti upacara itu. Dritarastra menambahkan, bahwa bukan saja upacara itu sangat penting, tetapi rakyat di Waranawata sudah usang merindukan kunjungan Pandawa.
Demikianlah, Pandawa memutuskan untuk pergi ke Waranawata sehabis menerima restu dari Bhisma dan para tetua lainnya.
Duryodhana bahagia lantaran planning pertamanya berha- sil. Bersama Karna dan Sakuni, ia menyusun planning untuk membunuh Dewi Kunti dan Pandawa di Warana- wata. Pertama-tama mereka mengirimkan Purochana de- ngan perintah diam-diam yang harus dilaksanakan dengan taat dan hati-hati.
Jauh sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata, Purochana sudah mendahului pergi ke sana dengan kiprah membangun istana peristirahatan untuk Pandawa. Istana itu dibangun dari papan-papan kayu yang diukir indah. Di sudut-sudut tersembunyi disisipkan bahan-bahan yang gampang terbakar, menyerupai lak, minyak kental, dan karung kering. Semua perabotannya juga terbuat dari bahan- materi yang gampang terbakar.
Penjagaan diatur secara ketat dan diam-diam semoga Pandawa tidak curiga. Sebelum upacara dilaksanakan, di Waranawata diadakan pesta meriah, lengkap dengan majemuk hiburan dan pertunjukan kesenian.
Rencananya, lewat tengah malam, saat Pandawa tidur pulas kecapekan sehabis berpesta, istana itu akan dibakar. Kaurawa akan menyambut Pandawa dengan ramah dan penuh hormat. Jika istana terbakar, rakyat tidak curiga dan mereka menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi tanpa sengaja dan tidak akan melemparkan tuduhan kepada mereka. Tak seorang pun akan menyalahkan Kaurawa, sementara Duryodhana akan puas lantaran ber- hasil memusnahkan Pandawa.
Demikianlah dengan banyak sekali cara Duryodhana beru- saha memusnahkan Pandawa. Hanya Widura yang ingin menyelamatkan wangsa Kuru dari malapetaka itu.
Bersambung...
Seiring dengan bertambahnya usia dan semakin dalam- nya ilmu olah senjata serta siasat perang yang dipela- jari oleh Kaurawa dan Pandawa, Duryodhana semakin iri melihat keperkasaan Bhima dan kesaktian Arjuna dalam segala hal. Duryodhana kemudian mengangkat Karna dan Sakuni sebagai penasihatnya dan menugaskan mereka untuk merencanakan siasat-siasat licik untuk mengalah-kan Pandawa.
Dritarastra, ayah Kaurawa, tolong-menolong bijaksana dan sangat menyayangi Pandawa, putra-putra adiknya. Sayang- nya, ia berwatak lemah. Dalam memilih segala sesu- atu, ia terlalu memihak putra-putranya sendiri. Semua cita-cita putra-putranya, terutama cita-cita Duryodha- na, selalu dikabulkannya. Tidak jarang, dengan sadar ia menuruti mereka meskipun tahu bahwa mereka salah.
Bagi Duryodhana, yang lebih menyakitkan hati yaitu kenyataan bahwa rakyat Hastina, terutama yang tinggal di ibukota Hastinapura, selalu memuji-muji Pandawa secara terang-terangan. Mereka senantiasa menyerukan bahwa Yudhistiralah yang paling sempurna dinobatkan sebagai raja, menggantikan Dritarastra. Rakyat bergerombol di jalan- jalan, memperdebatkan siapa yang paling pantas menjadi raja mereka. Sering terdengar percakapan menyerupai ini.
“Dritarastra tidak pantas menjadi raja lantaran ia buta. Ia tidak bisa memerintah kerajaan dengan baik lantaran kekurangannya itu. Bhisma juga mustahil menjadi raja, lantaran ia telah bersumpah akan mengabdikan selu- ruh hidupnya pada kebenaran, keadilan dan kesucian. Kecuali itu, ia memang tidak ingin menjadi raja dan sudah bersumpah takkan pernah menikah. Karena itu, Yudhis- tiralah yang paling pantas dinobatkan menjadi raja. Hanya dialah yang akan sanggup memerintah wangsa Kuru dan kerajaan ini dengan adil.”
Demikianlah rakyat berbicara di mana-mana. Mende- ngar semua itu, pendengaran Duryodhana terasa panas. Hatinya sakit didera rasa iri dan kebencian. Ia menghadap ayah- nya, mengadukan hal itu. Katanya, “Ayahanda, rakyat kerajaan ini telah menghina kita. Mereka sama sekali tidak punya rasa hormat kepada orang-orang yang patut dimu- liakan menyerupai Bhisma dan Ayahanda sendiri. Menurut mereka, kerajaan ini seharusnya diperintah oleh Yudhistira lantaran dialah yang paling pantas menjadi raja.
“Mereka berkata bahwa lantaran buta, tolong-menolong Aya- handa tidak pantas menjadi raja. Jika mereka bersikeras meminta penobatan Yudhistira, itu berarti kehancuran bagi kita. Ayahanda telah menyerah kepada Paman Pandu. Kalau tidak lantaran Paman Pandu mengundurkan diri, Aya- handa takkan pernah menjadi raja. Sekarang, kalau Yudhis- tira menuntut haknya untuk menggantikan ayahnya, ke manakah kita akan pergi? Tak ada lagi kesempatan bagi keturunan kita untuk menjadi raja, lantaran hanya keturu- nan Yudhistira atau Pandawa yang berhak menjadi raja. Keturunan kita akan menjadi orang-orang miskin yang menggantungkan hidupnya pada belas kasihan keturunan Pandawa.”
Dritarastra merenung mendengar kata-kata anaknya. Beberapa usang kemudian beliau berkata, “Anakku, apa yang engkau katakan itu benar. Namun, Ayah percaya, Yudhis- tira niscaya takkan menyimpang dari jalan yang benar dan penuh kebajikan. Ia mengasihi kita semua. Ia mewarisi semua sifat mulia ayahnya. Rakyat mengagumi beliau dan mereka niscaya mendukung dia. Semua menteri dan senapati juga menyayangi Pandu dan mereka niscaya akan mengabdi padanya dengan sepenuh hati. Rakyat memang memuja Pandawa. Kita tak sanggup menentang mereka atau menung- gu kesempatan baik untuk mengalahkan Pandawa. Sean- dainya kita berbuat tidak adil dan tidak benar, rakyat akan berontak melawan kita. Mereka akan mengusir kita dan kita akan terjerumus dalam kubangan kutuk dan cemooh.”
Duryodhana menjawab, “Rasa cemas Ayahanda tidak beralasan. Dalam keadaan paling jelek pun Bhisma tetap tidak akan memihak, sedangkan Aswattama niscaya akan patuh padaku. Dan itu berarti bahwa ayahnya, Mahaguru Drona, dan Mahaguru Kripa ada di pihak kita. Widura tak mungkin menentang kita secara terang-terangan, kecuali kalau beliau punya alasan lain, lantaran ia tidak punya pengikut atau kekuatan apa pun. Kirimlah Pandawa ke Waranawata secepatnya.
“Ayahanda, sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh den- dam dan iri hati. Aku tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak lezat makan dan tak lezat tidur. Semua ini seolah-olah merobek-robek dada- ku. Hidupku terasa penuh siksa dan derita.
“Ayahanda, segera kirimlah Pandawa ke Waranawata. Setelah itu, kita akan menghimpun kekuatan kita.”
Setelah Duryodhana berkata demikian, para penasihat raja tiba dan bergantian memperlihatkan nasihat kepada Dritarastra. Mereka semua mendukung planning Duryodha- na. Kanika, asisten Sakuni dan pemimpin kelompok ini, mengusulkan kepada Dritarastra, “Paduka, hamba mo- hon Paduka berhati-hati dan waspada terhadap bawah umur Pandu, lantaran kebaikan dan efek mereka merupakan ancaman bagi kewibawaan Paduka. Ketahuilah, semakin akrab relasi keluarga, semakin akrab dan semakin mengerikan pula ancaman itu. Mereka sangat kuat.”
Dritarastra diam, mendengarkannya sungguh-sungguh. Kemudian Kanika melanjutkan, “Jangan Paduka gusar kepada hamba kalau hamba katakan bahwa seorang raja harus berkuasa dalam nama, di atas takhta dan tinda- kannya, lantaran tak seorang pun akan percaya pada keku- atan yang tidak pernah diperlihatkan. Hal-hal yang berkai- tan dengan tata kerajaan memang harus dirahasiakan. Tetapi, bukti aktual suatu planning bijak bagi rakyat yaitu pelaksanaannya. Bodoh sekali kalau memperlihatkan kemes- raan terhadap mereka.
“Demikianlah, keburukan harus dilenyapkan sama sekali. Ibarat duri dalam daging, kalau dibiarkan akan menyebabkan luka membisul. Musuh yang perkasa harus dihancurkan, namun musuh yang kecil dan lemah jangan dilalaikan. Ibarat bara, kalau tidak segera dipadamkan bisa berkobar menyala mengkremasi hutan. Jika tak bisa meng- hancurkan musuh perkasa dengan kekuatan senjata, kita gunakan tipu muslihat.”
Duryodhana meyakinkan ayahnya bahwa ia telah ber- hasil menghimpun sekutu dan pengikut yang setia. Kata- nya, “Ananda telah menghadiahkan harta benda, pangkat dan kehormatan kepada semua pengawal kerajaan Has- tina. Ananda telah menciptakan mereka bersumpah untuk setia kepada kita. Begitu Ayahanda mengirim Pandawa ke Waranawata, seisi ibukota dan kerajaan ini akan memihak kita. Tak ada lagi sekutu Pandawa di kerajaan ini. Begitu kerajaan ini ada di tangan kita, mereka akan kehilangan kekuasaan. Setelah itu, barulah kita pikirkan bagaimana caranya melenyapkan mereka.”
Jika seseorang banyak mendengar wacana apa yang tolong-menolong ingin ia yakini, maka ia akan merasa bahwa keyakinannya itu benar. Demikianlah, pikiran Dritarastra goyah oleh desakan anaknya dan tawaran para penasihat- nya. Tanpa bisa berpikir jernih, ia merestui planning Duryodhana.
Sejak itu, para senapati Hastina sengaja memuji-muji keindahan Waranawata di hadapan Pandawa. Mereka membisikkan, bahwa di sana akan diadakan upacara pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran. Pandawa sama sekali tidak curiga mendengar semua itu. Lebih-lebih sehabis Dritarastra menyuruh mereka mengikuti upacara itu. Dritarastra menambahkan, bahwa bukan saja upacara itu sangat penting, tetapi rakyat di Waranawata sudah usang merindukan kunjungan Pandawa.
Demikianlah, Pandawa memutuskan untuk pergi ke Waranawata sehabis menerima restu dari Bhisma dan para tetua lainnya.
Duryodhana bahagia lantaran planning pertamanya berha- sil. Bersama Karna dan Sakuni, ia menyusun planning untuk membunuh Dewi Kunti dan Pandawa di Warana- wata. Pertama-tama mereka mengirimkan Purochana de- ngan perintah diam-diam yang harus dilaksanakan dengan taat dan hati-hati.
Jauh sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata, Purochana sudah mendahului pergi ke sana dengan kiprah membangun istana peristirahatan untuk Pandawa. Istana itu dibangun dari papan-papan kayu yang diukir indah. Di sudut-sudut tersembunyi disisipkan bahan-bahan yang gampang terbakar, menyerupai lak, minyak kental, dan karung kering. Semua perabotannya juga terbuat dari bahan- materi yang gampang terbakar.
Penjagaan diatur secara ketat dan diam-diam semoga Pandawa tidak curiga. Sebelum upacara dilaksanakan, di Waranawata diadakan pesta meriah, lengkap dengan majemuk hiburan dan pertunjukan kesenian.
Rencananya, lewat tengah malam, saat Pandawa tidur pulas kecapekan sehabis berpesta, istana itu akan dibakar. Kaurawa akan menyambut Pandawa dengan ramah dan penuh hormat. Jika istana terbakar, rakyat tidak curiga dan mereka menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi tanpa sengaja dan tidak akan melemparkan tuduhan kepada mereka. Tak seorang pun akan menyalahkan Kaurawa, sementara Duryodhana akan puas lantaran ber- hasil memusnahkan Pandawa.
Demikianlah dengan banyak sekali cara Duryodhana beru- saha memusnahkan Pandawa. Hanya Widura yang ingin menyelamatkan wangsa Kuru dari malapetaka itu.
Bersambung...