Dongeng: Raja Langit, Raja Bumi Dan Putri Bulan 2
Kamis, 25 September 2014
Sebelumnya...
Dengan semangat yang menyala-nyala pasukan Kerajaan Bumi mulai mengerahkan seluruh kekuatan yang telah disiapkan dengan matang. Pasukan itu dipimpin pribadi Maharaja Kerajaan Bumi. Semula serangan-serangan itu sanggup ditahan oleh tentara Kerajaan Langit. Karena pasukan Kerajaan Bumi yang banyak dan peralatan perang yang lengkap, tentara-tentara Kerajaan Langit sanggup ditaklukan. Mereka menyerbu masuk ke istana. Begitu mengetahui Tuan Putri sudah tak ada, marahlah Raja Bumi. Istana dihancurkan. Semua keluarga dihabisi. Begitu juga dengan Maharaja Langit dan Permaisuri.
Kekejaman pasukan Kerajaan Bumi tak hingga di situ saja. Bangunan yang ada dihancurkan. Tidak satu pun yang bersisa. Tak seorang pun yang sanggup selamat dari serbuan mereka. Kerajan Langit hancur lebur tanpa sisa.
Tuan putri yang mendengar kerajaannya hancur menangis sedih, apalagi dikala beliau tahu ayah, ibu, dan seluruh penduduknya dibunuh. Kesedihannya sungguh luar biasa. Ingin rasanya ia membalaskan dendam atas janjkematian ayahandanya tercinta, tapi apa daya beliau hanyalah seorang wanita dan tidak punya kekuatan apa-apa.
Sejak itu Tuan Putri bermetamorfosis pemurung. Setiap hari ia hanya melongo dan mengurung diri di kamarnya sambil membuka pintu jendela. Ia duka melihat kehancuran kerajaannya. Setiap hari ia termenung sambil melihat Bumi dari kejauhan. Inang pengasuh mencoba menghibur Tuan Putri dengan banyak sekali cara. Tapi sia-sia belaka. Tuan Putri selalu terkenang akan keluarganya. Ia ingin pulang ke Langit sekadar melepaskan kerinduan pada keluarga dan kerajaannya yang telah musnah. Penghiburannya kini hanyalah menatap Kerajaan Bumi yang telah menghancurkan istana ayahandanya.
Suatu kali ia melihat ada sekuntum bunga yang mekar di kejauhan sana. Bunga itu terlihat sangat indah, berkilau-kulauan diterpa cahaya. Tuan Putri ingin sekali mempunyai bunga yang berada di Bumi itu, tapi ia takut kalau-kalau Maharaja Kerajaan Bumi mengetahui keberadaannya dan bersegera menculiknya.
Keinginannya makin menjadi-jadi untuk mempunyai kembang itu. Suatu kali ia meminta izin kepada inang pengasuh untuk turun ke Bumi dan mengambil bunga itu kemudian bersegera kembali ke Bulan.
“Jangan turun ke Bumi, Tuan Putri. Apa jadiya nanti jikalau raja yang jahat itu mengetahui keberadaan Putri? Mereka tidak akan membiarkan Tuan Putri kembali lagi ke sini,” kata inang pengasuh menasehati.
“Tapi saya menginginkan bunga itu, Bi.”
“Bibi tahu harapan Tuan Putri. Tetapi alangkah baiknya kalau bunga itu dibiarkan saja tumbuh di sana dan kita sanggup melihatnya setiap hari dari sini. Apa yang tampak indah itu tak melulu sama dikala kita menyentuhnya.”
Tuan Putri membisu saja. Hatinya ragu dan menimbang-nimbang.
“Bagaimana kalau contohnya itu hanya tipuan dari Maharaja Kerajaan Bumi saja untuk mengundang Tuan Putri keluar dari persembunyian? Satu hal lagi, kita tidak akan sanggup kembali lagi ke Bulan ini kalau sudah menjejaki kaki di Bumi, daerah di mana banyak banyak darah ditumpahkan itu. Ingat itu, Tuan Putri. Kamu tidak akan sanggup lagi ke sini.”
Tapi Tuan Putri sepertinya bersikukuh dengan pendiriannya dan tak peduli dengan nasihat inang pengasuh. Keinginannya untuk memetik bunga yang terlihat indah itu makin menjadi-jadi. Suatu hari, tanpa sepengetahuan inang pengasuh, Tuan Putri turun ke Bumi untuk mengambil bunga itu.
Tapi alangkah terkejutnya beliau begitu mengetahui tak ada bunga di sana. Kelopak-kelopak indah dan mekar yang terlihat dari jauh itu hanyalah ampas tebu yang berserakan. Tiba-tiba sang putri merasa telah masuk ke dalam perangkap Maharaja Bumi. Ia takut sekali dan ingin segera kembali pulang ke istananya di Bulan.
Berkali-kali ia mencoba untuk terbang. Tetapi tubuhnya tak kunjung naik-naik juga. Ia sama sekali tak sanggup mengawang. Ia ingat nasehat inang pengasuh bahwa beliau tidak akan sanggup lagi naik ke Bulan jikalau sudah menjejakkan kaki di Bumi.
Tuan Putri duka sekali. Menangislah beliau keras-keras. Dia merasa sangat takut, lantaran sewaktu-waktu orang-orang akan melihatnya dan menyerahkan kepada Maharaja Kerajaan Bumi.
Tuan Putri kemudian memanjat sebatang pohon, beliau berharap dari sana beliau akan sanggup terbang kembali ke Bulan. Tapi sayang, usahanya tak pernah berhasil. Setiap kali ia mencoba, setiap kali itu pula ia terjatuh. Dengan kesedihan yang bertambah-tambah dan ketakutan yang maha mahir ia terus mencoba dan selalu gagal.
Karena larut dengan kesedihan dan penyesalan yang luar biasa, makin usang tubuhnya semakin kecil. Ia tidak menyadari kalau tubuhnya mulai ditumbuhi sayap. Lama-lama sempurnalah ia menjadi seekor burung.
Maka setiap bulan purnama tiba ia akan selalu berbunyi sambil mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainya. Ia selalu teringat akan istana cantiknya di Bulan sana. Demikian juga dengan inang pengasuh, ia selalu duduk di bawah pohon beringin raksasa sambil menunggu kedatangan Tuan Putri. Setiap purnama tiba akan terlihat bayangannya dari Bumi.
TAMAT
Dengan semangat yang menyala-nyala pasukan Kerajaan Bumi mulai mengerahkan seluruh kekuatan yang telah disiapkan dengan matang. Pasukan itu dipimpin pribadi Maharaja Kerajaan Bumi. Semula serangan-serangan itu sanggup ditahan oleh tentara Kerajaan Langit. Karena pasukan Kerajaan Bumi yang banyak dan peralatan perang yang lengkap, tentara-tentara Kerajaan Langit sanggup ditaklukan. Mereka menyerbu masuk ke istana. Begitu mengetahui Tuan Putri sudah tak ada, marahlah Raja Bumi. Istana dihancurkan. Semua keluarga dihabisi. Begitu juga dengan Maharaja Langit dan Permaisuri.
Kekejaman pasukan Kerajaan Bumi tak hingga di situ saja. Bangunan yang ada dihancurkan. Tidak satu pun yang bersisa. Tak seorang pun yang sanggup selamat dari serbuan mereka. Kerajan Langit hancur lebur tanpa sisa.
Tuan putri yang mendengar kerajaannya hancur menangis sedih, apalagi dikala beliau tahu ayah, ibu, dan seluruh penduduknya dibunuh. Kesedihannya sungguh luar biasa. Ingin rasanya ia membalaskan dendam atas janjkematian ayahandanya tercinta, tapi apa daya beliau hanyalah seorang wanita dan tidak punya kekuatan apa-apa.
Sejak itu Tuan Putri bermetamorfosis pemurung. Setiap hari ia hanya melongo dan mengurung diri di kamarnya sambil membuka pintu jendela. Ia duka melihat kehancuran kerajaannya. Setiap hari ia termenung sambil melihat Bumi dari kejauhan. Inang pengasuh mencoba menghibur Tuan Putri dengan banyak sekali cara. Tapi sia-sia belaka. Tuan Putri selalu terkenang akan keluarganya. Ia ingin pulang ke Langit sekadar melepaskan kerinduan pada keluarga dan kerajaannya yang telah musnah. Penghiburannya kini hanyalah menatap Kerajaan Bumi yang telah menghancurkan istana ayahandanya.
Suatu kali ia melihat ada sekuntum bunga yang mekar di kejauhan sana. Bunga itu terlihat sangat indah, berkilau-kulauan diterpa cahaya. Tuan Putri ingin sekali mempunyai bunga yang berada di Bumi itu, tapi ia takut kalau-kalau Maharaja Kerajaan Bumi mengetahui keberadaannya dan bersegera menculiknya.
Keinginannya makin menjadi-jadi untuk mempunyai kembang itu. Suatu kali ia meminta izin kepada inang pengasuh untuk turun ke Bumi dan mengambil bunga itu kemudian bersegera kembali ke Bulan.
“Jangan turun ke Bumi, Tuan Putri. Apa jadiya nanti jikalau raja yang jahat itu mengetahui keberadaan Putri? Mereka tidak akan membiarkan Tuan Putri kembali lagi ke sini,” kata inang pengasuh menasehati.
“Tapi saya menginginkan bunga itu, Bi.”
“Bibi tahu harapan Tuan Putri. Tetapi alangkah baiknya kalau bunga itu dibiarkan saja tumbuh di sana dan kita sanggup melihatnya setiap hari dari sini. Apa yang tampak indah itu tak melulu sama dikala kita menyentuhnya.”
Tuan Putri membisu saja. Hatinya ragu dan menimbang-nimbang.
“Bagaimana kalau contohnya itu hanya tipuan dari Maharaja Kerajaan Bumi saja untuk mengundang Tuan Putri keluar dari persembunyian? Satu hal lagi, kita tidak akan sanggup kembali lagi ke Bulan ini kalau sudah menjejaki kaki di Bumi, daerah di mana banyak banyak darah ditumpahkan itu. Ingat itu, Tuan Putri. Kamu tidak akan sanggup lagi ke sini.”
Tapi Tuan Putri sepertinya bersikukuh dengan pendiriannya dan tak peduli dengan nasihat inang pengasuh. Keinginannya untuk memetik bunga yang terlihat indah itu makin menjadi-jadi. Suatu hari, tanpa sepengetahuan inang pengasuh, Tuan Putri turun ke Bumi untuk mengambil bunga itu.
Tapi alangkah terkejutnya beliau begitu mengetahui tak ada bunga di sana. Kelopak-kelopak indah dan mekar yang terlihat dari jauh itu hanyalah ampas tebu yang berserakan. Tiba-tiba sang putri merasa telah masuk ke dalam perangkap Maharaja Bumi. Ia takut sekali dan ingin segera kembali pulang ke istananya di Bulan.
Berkali-kali ia mencoba untuk terbang. Tetapi tubuhnya tak kunjung naik-naik juga. Ia sama sekali tak sanggup mengawang. Ia ingat nasehat inang pengasuh bahwa beliau tidak akan sanggup lagi naik ke Bulan jikalau sudah menjejakkan kaki di Bumi.
Tuan Putri duka sekali. Menangislah beliau keras-keras. Dia merasa sangat takut, lantaran sewaktu-waktu orang-orang akan melihatnya dan menyerahkan kepada Maharaja Kerajaan Bumi.
Tuan Putri kemudian memanjat sebatang pohon, beliau berharap dari sana beliau akan sanggup terbang kembali ke Bulan. Tapi sayang, usahanya tak pernah berhasil. Setiap kali ia mencoba, setiap kali itu pula ia terjatuh. Dengan kesedihan yang bertambah-tambah dan ketakutan yang maha mahir ia terus mencoba dan selalu gagal.
Karena larut dengan kesedihan dan penyesalan yang luar biasa, makin usang tubuhnya semakin kecil. Ia tidak menyadari kalau tubuhnya mulai ditumbuhi sayap. Lama-lama sempurnalah ia menjadi seekor burung.
Maka setiap bulan purnama tiba ia akan selalu berbunyi sambil mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainya. Ia selalu teringat akan istana cantiknya di Bulan sana. Demikian juga dengan inang pengasuh, ia selalu duduk di bawah pohon beringin raksasa sambil menunggu kedatangan Tuan Putri. Setiap purnama tiba akan terlihat bayangannya dari Bumi.
TAMAT