Senja Cinta Keabadian - Cerpen Cinta
Rabu, 26 Februari 2014
SENJA CINTA KEABADIAN
Karya Novy Inna Fitriana
Senja kala itu, sebuah pesta yang dinaungi lengkungan janur kuning telah mempertemukan dua sejoli, Edi dan Ema. Yang di mana Edi didaulat menjadi pembaca puisi yang mengalunkan alunan simponi indah karyanya. Seusai ia lantunkan syair puitisnya, Edi menghampiri Ema yang sedang sendiri dengan air mata harunya yang melihat sahabatnya menemukan jodohnya. Ternyata gadis anggun itu telah menarik perhatian perjaka itu. “Hai..” sapa Edi lembut kepada Ema. Ema lantas membalas seraya memekarkan senyum indah di bibir manisnya. Edi yang jantungnya serasa berheti berdetak ketika melihat senyuman Ema itu pun ingin sekali rasanya mengenal gadis anggun itu lebih dalam. Pemalu, bukanlah jati diri Ema yang sebenarnya, namun entah apa yang dirasakanya Ema hanya bisa tersipu malu ketika Edi memandangnya. Tatapan mata yang seolah membekukan fatwa darahnya, sungguh ini bukanlah yang biasa. Tidak tau menyerupai apa rasanya, Ema pun juga mencicipi degupan jantungnya yang tak biasa pula. Apakah ini sudah menjadi filing dua sejoli pada pandangan pertama?
Senja Cinta Keabadian |
Sudah berbulan bulan lamanya mereka saling mengenal. Rupanya Edi semakin mencicipi getaran di dadanya sebab Ema. Sang perjaka yang jauh dari kata payah, Edi pun lantas selalu saja ada alasan untuk mendekati Ema, gadis yang ternyata sudah menjadi pujaan hatinya. Tak lantas Ema berbunga, ia bukanlah gadis yang gampangan. Tak menyerupai menjentikan kuku jari jikalau ingin mempunyai Ema. Bukan maksud Ema sok, tapi memang itulah prinsipnya. Bukan juga hendak jual mahal, namun ia ingin mengenal menyerupai apa calon lelakinya kelak. Pun Edi yang sejatinya ialah perjaka tangguh, ia tak simpel terputus asanya untuk mengejar Ema sang perempuan idamanya.
Seiring waktu berjalan, dua sejoli yang dipertemukan Tuhan itu semakin mengenal. Mereka semakin akrab dan akrab kolam ombak dan pasirnya. Ema yang masih sebagai perempuan biasa, mencicipi dengan hati bagaimana perjaka berjulukan Edi itu sangat berusaha mengejar hatinya, ia pun tak sanggup lagi mempertahankan benteng gengsinya itu. Tak sanggup ia pungkiri gejolak di dadanya, mengingat Edi hatinya kolam kuntum yang bermekaran. Sungguh inilah jatuh cinta. Namun ekspresi Ema sering kali tertahan untuk membalas sapaan sayang dari Edi, ia hanya menahan perasaanya itu di dalam hatinya seraya menguntai doa semoga Edi juga mendengar getaran di hatinya. Lantas penuh keyakinan Edi pun berani menyatakan niatnya untuk menjadi kekasih Ema. Tak perlu ditanya lagi, Ema pun membalas cinta Edi dengan cintanya pula yang selama ini hanya tersimpan di hatinya. Dengan cinta kolam kejora yang mentahtai malam, Ema berkata, “Sayangi dan hormati aku, sebelum engkau mendapatkan kehormatanku wahai kekasihku”.
***
Sudah sekian usang mereka berpacaran namun tak kunjung menikah juga. Entah apa yang mereka nantikan. Walau juga banyak sanak yang mempertanyakan dan ingin mereka cepat menikah tetapi itu belum juga dilaksanakan. Namun mereka ialah pasangan yang dipertemukan Tuhan, walau sudah banyak perjaka yang ingin melamar Ema, tetapi tetap saja hati dan jiwa Ema hanya untuk Edi seorang. Bukan berarti karna Edi ialah penyair populer lantas Ema hanya mau menambatkan hati denganya, Ema ialah perempuan setia yang menyayangi kekurangan Edi pula.
***
Selang waktu berjalan karir Edi semakin melangit saja. Namun Ema tetap tak tergila abnormal dengan popularitas Edi, karna yang ia cintai ialah Edi, bukan popularitasnya. Namun hidup tak semulus kurva matematika. Sebuah kecelakaan telah akan merenggut nyawa Edi. Namun Tuhan masih memberi anugrah padanya, Edi selamat. Dengan ia harus kehilangan anggota tubuhnya, tangan kanannya putus dan matanya buta sebelah. Edi yang tak pernah menyangkakan mimpi jelek itu akan terjadi, sekarang ia sendiri harus mengalaminya sendiri. Namun nasi telah menjadi bubur, dan ia tak kan bisa menyentuh air yang sama di fatwa sungai untuk kedua kalinya. Mentalnya amat terguncang, gejolak di hantinya masih amat berpengaruh tak sanggup membendung kesedihan. Namun segala kalutnya itu ia sembunyikan di hadapan kekasihnya, Ema. Dengan cinta yang tulus, tak sedikit pun rasa keberatan untuk mendapatkan kondisi Edi ketika itu. Ema mencintainya bagaimanapun kondisinya. Sejatinya di balik senyum sumringah dan ketegaran yang ditunjukan Edi, dengan hati dan perasaan Ema memahami betul kekalutan di jiwa Edi. Ema sering mendapati Edi yang menyendiri dengan tampang putus asa yang selama ini senantiasa ia sembunyikan. Hati Ema miris rasanya. Melihat lelaki yang amat ia sayangi mencicipi siksaan batin yang begitu mencabik cabik hati edi yang sebenarnya. Tak tega rasanya, namun apalah daya, ia harus menghapus tetes demi tetes tumpahan air matanya di hadapan Edi. Ia tak ingin lelakinya itu mengetahui miris hatinya.
Sore itu Ema mendapati Edi yang duduk berdiam di sebuah baliho klasik di taman rumah Edi. Jauh dari hadapan Ema, Edi tampak termenung, entah apa yang ada di pikirannya. Dengan mata yang hanya tinggal sebelah, ia mencoba membaca syair syair karyanya. Namun dengan alunan nada yang tak biasa. Ia terdengar terisak isak menahan tangis dan suaranya tertahan untuk menyambungkan larik demi larik. Dalam benak ema mengerti benar yang dirasakan edi. edi yang karirnya tak secemerlang yang dulu lagi, mungkin hati edi sudah tak sanggup menahan ratapan batinnya kini. Ema mengerti benar.
Lalu dua cangkir kopi Ema suguhkan pada Edi yang tetap saja mencoba ceria di hadapannya. Mereka ingin menghabiskan senja berdua. Hanya berdua. Dengan cita rasa pahit anggun kopi yang Ema buat, Edi pun perlahan lahan menghabiskan sisa nafasnya. Racun yang di berikan Ema dalam dua cangkir kopi itu telah merenggut nyawa Edi yang sejatinya. Ema ingin mereka mati berdua. Ema pun ikut meminumnya seraya berkata, “Maafkan saya Edi, ini yang terbaik untukmu”. Sebelum minuman itu membasahi bibir Ema yang bercampur air mata, dengan sisa sisa nafasnya tangan Edi yang tinggal satu satunya itu mencoba menampik minuman itu sampai pecah di tanah. Edi tak ingin Ema mengakhiri hidupnya begitu saja. Air mata Ema pun tumpah bercampur buih di ekspresi Edi yang tak bernyawa itu. Ema tak ingin Edi semakin mencicipi penderitaanya itu. Tetes demi tetes air mata di senja itu telah menjadi saksi, betapa demi cinta yang menyudahi nafas kekasihnya.
***
Berpuluh tahun kemudian Ema telah menjadi perempuan karir yang sukses. Ia hidup senang dengan dua anak. Mereka sejatinya bukan buah dari kandungan ema. Tak ada yang bisa menggantikan Edi. Edi telah membawa mati cinta sejatinya yang tak lekang oleh masa. Walau raga sudah tak ada di alam fana, namun kasihnya tetap bersatu di keabadian cinta.
TAMAT
PROFIL PENULIS
Saya ialah anak Sekolah Menengan Atas 1 Karanganyar berusia 16 th yang mencoba mencari hal gres dengan menulis, and I'd like to share ma writings in this place. hope you like that :)