Cerpen Cinta Duka - Hujan Terakhir Bersamamu

HUJAN TERAKHIR BERSAMAMU
Oleh S. A. Balqis

Gadis ini mencengkram bersahabat kepalanya. Di tengah hujan, beliau masih harus mengalami perdebatan sengit antara hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa. Menangis di tengah hujan yang sangat deras memang efektif alasannya tetesan air matapun takkan terlihat.

Dinda berjalan di koridor kelas dengan lesu. Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar sedang kacau. Apalagi kalau bukan karna cinta. Tepatnya karna Denis, si pangeran berkuda putih itu. Sebenarnya Denis hanyalah laki-laki biasa, hanya saja cinta menciptakan Denis terlihat tak biasa di mata Dinda. Mungkin Dinda melihat memakai mata hati. Mungkin.

Tak ada yang jelek dari mengenal Denis. Hanya saja Denis terlalu untuk Dinda. Terlalu baik, terlalu tampan, terlalu pintar.. Nyaris sempurna. Dulu, Dinda tidak suka pada Denis, bahkan Dinda membencinya. Tapi sekarang? Ia menyukainya. Atau mencintainya. Mungkin.
“Din, kau baik-baik saja?” Suara itu. Suara itu sudah tak absurd lagi di indera pendengaran Dinda. Dan benar saja, ketika Dinda melihat siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku? Aku baik-baik saja.” Jawab Dinda. Sungguh dibalik kata baik-baik saja ada kata tidak dalam keadaan baik yang tersembunyi. Perempuan. Bukankah itu salah satu keahliannya untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya?

Hujan Terakhir Bersamamu
Seperti biasa, Dinda duduk di samping Gisha. Gisha dulunya yakni gadis yang Denis sukai. Gisha itu wanita yang cantik, pintar, dan bakir bergaul, hampir tak ada celah pada dirinya. Tapi itu dulu, hingga Denis berkata kalau ia menyukai Dinda. Dinda mendengus geli ketika otaknya memutar memori antara Dia, Gisha dan Denis.

Waktu itu, hujan sangat lebat. Dinda dan Gisha menunggu hujan itu berhenti. Gisha sibuk mengamati hujan yang deras itu, tetapi Dinda justru menikmatinya. Aroma hujan, Dinda selalu menyukai itu. Rintikan hujan mengalun ibarat sebuah musik di telinganya. Dinda menikmati itu hingga beliau tahu bahwa Denis memperlihatkan jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar cemburu hingga beliau lepas kendali.
“Din maaf.. Aku nggak mau semua berakhir hingga di sini?”

Dinda sempat resah dengan isi pesan singkat Denis. Kata-katanya sedikit sulit untuk dicerna oleh otaknya. Bahkan butuh waktu yang usang untuk memikirkan kata-kata Denis. Tetapi kesudahannya Dinda menjawab
“Apa yang berakhir? Nggak ada yang berakhir. Semuanya akan sama ibarat dulu. Maaf, tadi saya memang lagi emosi. Jangan berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust me.”
Tiba-tiba Dinda tersadar dari lamunannya alasannya guru sudah memasuki kelas. Lagi-lagi matanya kembali menangkap sosok Denis. Denis sibuk dengan wanita itu. Target gres mungkin. Dinda akal-akalan tidak memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini demi mimpinya juga kebahagiaannya.

Jam tambahanpun berakhir. Semua bawah umur sibuk mengobrol sana-sini, membicarakan rencana mereka sepulang jam tambahan. Dinda sedang fokus membereskan buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada satupun barangnya yang tertinggal. Tapi tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak. Hanya ingin melihat kamu. Dinda yang fokus benar-benar lain ya.”

Dinda mengangkat sudut bibirnya ketika mendengar kata-kata Denis.
“Eh? Dinda tersenyum?”

Setelah mendengarnya, Dinda segera merubah raut wajahnya. Dinda meratapi senyumannya tadi. Harusnya ia tidak memperlihatkan senyuman berharganya itu kepada Denis. Si pemberi cita-cita palsu.
“Dinda, ada yang mau saya bicarakan. Kita keluar sebentar ya”

Dinda segera keluar bersama Denis sebelum teman-temannya melihat. Ketika Denis mengajak Dinda untuk mengobrol di kawasan teduh, Dinda menolaknya. Dinda beralasan kalau ketika ini hanya hujan. Hujan air, dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kau menjauhiku. Kamu nggak pernah mengirimiku pesan singkat. Bahkan ibarat kau membenciku. Aku salah apa sama kamu?” jawab Denis yang kembali bertanya.
“Semuanya sudah berakhir”
“Berakhir? Maksudmu? Apa yang berakhir?”
“Kita.”

Beberapa menit kemudian Dinda meralat kata-katanya
“Maksudku bukan kita. Tapi saya dan kamu. Bukankah saya dan kau tidak akan pernah menjadi kita?”
“Kamu ini bicara apa Dinda. Siapa yang bilang kalau kau dan saya tidak akan pernah menjadi kita?”
“Takdir. Takdir memang tak pernah berkata ihwal hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir tak pernah memperlihatkan itu Din” jawab Denis tegas.
“Tak pernah? Bagaimana dengan kebudayaan kita? Bukankah itu cukup memperlihatkan kalau kita tidak dapat bersama? Kamu keras sedangkan saya lembut. Kamu api sedangkan saya air. Kita berbeda, bahkan bila kita bersama maka kita akan menghancurkan satu sama lain.”

Hujan semakin deras. Sebanyak air hujan itulah air mata Dinda yang ditahannya. Mungkin untuk terakhir kalinya, Dinda ingin Denis mengingat senyumnya, bukan tangisnya.
“Kenapa kau menginginkan ini berakhir? Bukankah terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku? Kamu yang mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku? Aku tak pernah menyampaikan ingin mengakhiri semuanya.”
“Sekali lagi, mungkin lidahmu terlalu kelu untuk menyampaikan bahwa semua ini telah berakhir. Tetapi kau berhasil menunjukkan. Kamu memperlihatkan gejala bahwa kau ingin mengakhirinya.”
“Din.. Dulu saya kan pernah bilang kalau saya nggak mau —” ucapan Denis terpotong karna Dinda segera menjawab
“Itu dulu Sekarang, tanda-tandanya sudah terperinci bahwa kau ingin mengakhirinya.”

Hening. Denis tidak dapat menjawab apa-apa lagi. Tak pernah terfikirkan oleh Denis kalau Dinda akan menyampaikan hal-hal ibarat ini. Denis tak tahu apa yang menciptakan Dinda berubah ibarat ini.
“Lagipula, kau kini sudah punya pacar, kan?” kata Dinda yang tampaknya ingin menyindir Denis.
“Pasti kau resah saya tahu dari mana kalau kau sudah punya pacar.” sambung Dinda sambil memaksakan senyum pada wajahnya.
“Pastinya. Kamu ini jangan-jangan penguntit saya ya.” Denis benar-benar tertawa lepas dengan jawabannya tadi. Bahkan Dinda ikut terkekeh dengan tanggapan Denis.
Tiba-tiba Dinda berhenti tertawa. Dia memperhatikan Denis yang masih tertawa lepas. Mungkin ini terakhir kalinya Dinda melihat Denis tertawa karnanya dan bersamanya. Dinda menatap wajah Denis lekat-lekat. Ia mencoba mengingat setiap lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak mengizinkannya untuk mempunyai Denis, maka biarkanlah Dinda mempunyai kenangan ihwal Denis. Tetapi Dinda tak ingin mengingat kenangan ini setiap saat. Biarkanlah hujan menyimpan kenangan antara Dinda dan Denis.

Tanpa sadar Dinda menitihkan setetes air matanya. Dia berbalik membelakangi Denis. Pundaknya bergetar hebat. Tangisannya benar-benar tak dapat ditahan lagi. Suara tangisnya pecah diantara lebatnya hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia menatap punggung itu. Punggung gadis yang dulu sempat menjadi kawasan pertama ketika murung maupun senang. Denis tahu betapa rapuhnya gadis ini.

Dinda segera menghapus air matanya. Mengatur suaranya biar tak bergetar ketika berbicara dengan Denis nantinya. Dinda membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku ketika melihat Denis. Denis membalas senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu harus bagaimana atas sesuatu yang telah berakhir. Yang terbesit di benaknya yakni betapa bodohnya dia. Dinda juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada kenangan antara beliau dan Denis, tetapi pada ketika hujan berhenti kenangan itu bertahap akan menghilang.

Dinda beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan Denis.
“Sepertinya saya harus pulang. Hujannya semakin deras. Dan kau juga harus pulang.” kata Dinda.
“Aku harap sesudah hujan ini akan ada pelangi. Pelangi yang menghubungkan saya dengan pasanganku, dan kau dengan pasanganmu.” sambungnya.
Dinda pergi meninggalkan Denis lebih dahulu. Dinda kini sadar bahwa tak selamanya pangeran baik untuknya. Dan hujan? Terimakasih untuk hujan alasannya bersedia menjadi pengingat kenangan yang Dinda miliki.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel