Dan, Berkalang Senja - Cerpen Sedih

DAN, BERKALANG SENJA
Karya AP. Santoso

Keberhasilan kali ini sanggup jadi ialah keberhasilan pertama dan terakhir bagi Lundru. Wajah wanita paruh baya itu tetap tidak berubah masih tersaput mendung, garis hitam di bawah lingkar mata dan tajam keriput menggunting di sudut kening sebagian kecil tanda bahwa kehidupan selama ini dijalani jauh dari kemudahan. Tubuh ringkih tergoda penderitaan sekian usang mencambuk, menyerupai tak pernah henti. Tidak satupun orang tahu.
Bertahun-tahun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dan perlakuan biadab Bankaryan ayah tirinya, malam ini gres kesampaian.
Ketika sebuah pisau karatan berhasil menembus dalam ulu hati. ketika fisik Bankaryan tak sekokoh dulu lagi, Lundru sangat yakin sanggup menghabisinya malam ini.
Sebuah teriakkan melengking merobek kesunyian.
Tangan Lundru gemetaran.
Sehabis menusukkan pisau.
Nafas terengah, mata merah berkobar seolah hendak memperabukan sebuah selendang hijau pupus berumbai lembut yang tergeletak tak jauh dari badan Bankaryan yang mulai terhuyung.

Dan, Berkalang Senja
Kilatan kenangan menyambar ingatan Lundru untuk sesaat. Selendang itu digunakan Bankaryan menyumpal verbal ketika merenggut paksa kehormatannya. Esok paginya ketika ditanya tetangga, ada apa tadi malam, kurang jelas ada ribut-ribut di rumahmu, Lundru? Waktu itu, ia hanya menjawab singkat,”tidak ada apa-apa, itu bunyi ayah sedang memburu tikus di dapur”. Tetangga percaya begitu saja, toh rumah Lundru dipisahkan kebun dan kebun di sebelah kiri-kanan. Jadi, tidak cukup bukti menguatkan mereka bahwa telah terjadi sesuatu di dalam sana. Hari-hari berikutnya, sehabis bencana malam itu, rasa dan hati Lundru berubah masbodoh membeku. Sering kali ada seorang cowok mendekati serta menaruh simpati, bayang-bayang wajah menyeringai ayah tirinya tiba-tiba muncul di atas kepala para cowok itu. Kebencian dan kebencian yang ada - di benak Lundru - semua pria sama mirip ayah tirinya-bengis, kejam dan tidak punya perasaan. Manakala tetangga menanyakan, kenapa Lundru tidak kunjung menikah? Kembali waktu itu ia menjawab singkat,”belum ketemu jodoh”.

Tangan Lundru gemetaran.
Dengan beringas Lundru mencabik-cabik selendang hijau pupus yang masih tertinggal bekas noda darah, lelehan dari sudut bibir yang pecah ketika dianiaya. Sebenarnya, selendang bermotif bunga melati itu ialah benda kesayangan menyimpan dongeng indah, kali pertama ibunya bertemu dengan ayahnya di program tayuban desa. Selendang itulah yang mengikatkan cinta mereka.

Darah terus mengalir.
Tubuh Bankaryan rebah terhuyung ke lantai.
Mulutnya mirip terkunci rapat hanya tatapan mata iba, memandang Lundru mengharap ampunan.
Tangan Lundru gemetaran.
Lundru tak berkeming, emosi makin naik manakala melihat sebatang balok tersandar di sudut kamar. Balok itu sering digunakan menggebukinya tanpa ampun, menciptakan sekujur badan memar. Meski ia menggelepar kesakitan, Bankaryan terus saja mengayunkan seenaknya, hingga pingsan. Siraman seember air bekas cucian piring lantas menyadarkannya. Dilanjutkan Bankaryan mengumbar cacian sengaja menyayat-nyayat batin Lundru. “Lundru, mana uang hasilmu memijat hari ini. Cepat!” hardik Bankaryan sambil mengayunkan balok lagi. Baak-buuuk-baaak! belum sempat Lundru mengulurkan uang, balok duluan lagi-lagi menghajar tanpa kompromi.
Wajar jika kebencian Lundru pada selendang-balok itu sama besar dengan kebencian pada ayah tirinya.

Tangan Lundru gemetaran.
Lundru bergegas menyiramkan minyak tanah dan memperabukan selendang serta balok, benda keparat. Bankaryan-selendang-balok ialah monster yang selama ini mencabik-cabik hidupnya. Api berkobar badan Bankaryan ikut terbakar, kemeretak bunyi tulang membangunkan tetangga Lundru, sekaligus membuka tabir yang tertutup rapat. Tabir bahwa kehidupan Lundru selama ini baik-baik saja sontak terurai satu demi satu. Membuat tetangga terperangah.

Aroma menyengat menusuk hidung, Lundru menghisapnya dalam-dalam. Menikmati serasa hembusan angin malam menembus ruang batin. Ternyata mimpi yang acap hadir ketika masih kecil, ketika memandangi kemerlip bintang, impulsif titik-titik cahaya menembus sentra pandang. Kepak sayap Lundru terbang membawa ke ujung langit ke sebuah istana megah berhambur berjuta mainan, memanjakan kolam puteri kecil seorang raja, hidup penuh kedamaian dan gemerlap kegembiraan. Hanya mimpi belaka, tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Tangan Lundru makin gemetaran.

Kembali ingatan Lundru terseret ke belakang.
“Lundru, ayo masuk, kenapa kau sering termangu berlama-lama di serambi memandangi langit sepanjang malam. Buruan tidur, nanti jatuh sakit”, perintah Marganti membuyarkan lamunan Lundru.
Tanpa menyahut sepatah kata ia berlalu masuk kamar tidur, tidak perduli sembari sore Bankaryan ayah tiri yang gres sebulan menikahi ibunya memperhatikan.
Marganti bergegas mengikuti.

Sudah sejak awal Lundru menunjukkan perilaku ketidaksetujuan, apabila ibunya menikah dengan lelaki itu. Bukannya Marganti tidak tahu atau akal-akalan tidak tahu isi hati anak wanita satu-satunya. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, ijab kabul sudah terjadi.

Marganti berusaha bicara dari hati ke hati membujuk Lundru lebih bersikap lunak mau mendapatkan Bankaryan sebagai ayah pengganti ayahnya yang meninggal setahun lalu. Namun entah di sudut hati Lundru terdalam, selalu saja muncul penolakan, semakin ia memaksa untuk mendapatkan Bankaryan sebagai ayahnya semakin keras penolakan muncul di dalam hati.

Hubungan Lundru-Bankaryan mirip laten, api dalam sekap. Saat berkumpul Lundru mati-matian menekan kebencian dengan berlaku masuk akal demi menjaga perasaan ibunya. Saat ibunya keluar, sorot mata kebencian Lundru pada Bankaryan positif sekali terlihat.

Adalah Bankaryan, lelaki itu amat tahu apa yang sedang dihadapi, sehabis menikah dengan Marganti ia merasa punya kuasa atas nasib sepasang ibu-anak. Sama hal dengan Lundru, ketika berkumpul Bankaryan menunjukkan perilaku sebagaimana seorang ayah yang baik tetapi ketika Marganti tidak ada di rumah, perangai beringasnya muncul.

Pelan namun niscaya ia menghembus-hembuskan fitnah, menanamkan bibit permusuhan meracuni pikiran Marganti menciptakan Lundru kehilangan daerah untuk bersandar. Ketika, Bankaryan sudah berani terang-terangan memarahi, bukan membela ibunya malah ikut-ikutan.

Beberapa tahun kemudian, nasib Lundru tambah tak karuan sepeninggal ibunya. Ia menjadi sebatang kara, tak tahu harus bagaimana. Hampir saban hari sepanjang malam, pukulan demi pukulan-siksaan demi siksaan diterima. Bankaryan kolam monster yang gres merasa puas jika sudah membantai Lundru dengan garang. Kebencian, sakit hati dan dendam kesumat melumut di dasar batin Lundru. Walaupun tidak punya daya untuk melawan, ia tidak mau mati dengan mudah. Bertahun-tahun menunggu bahkan puluhan tahun.
Tangan Lundru berhenti bergetar.
Akhirnya gres malam ini kesampaian.
Tubuh Bankaryan ayah tirinya sekarang teronggok menjadi bubuk pekat.
Lundru tidak lagi peduli!!!

PROFIL PENULIS
Nama: AP. Santoso
Nama Email : aditiyakaendra@yahoo.co.id

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel