Cerpen - Kalau Banjir Jadi Tiba Di Jakarta

Cerpen Alex R Nainggolan (Suara Merdeka, 10 Maret 2013)

INILAH kota yang terus dicaci-maki, sekaligus dipuji. Saat itu kamu merasa gembira kalau telah menginjakkan kakimu di sini. Padahal engkau tahu, kota ini selalu mengenakan topeng. Berusaha untuk tetap menawan. Beratus-ratus tahun yang lampau. Kau bilang, masih ada sejumlah puisi yang kerapkali ditulis buat kota ini.

“Tolong, ceritakanlah ihwal banjir yang tiba di suatu kota,” wanita berbaju ungu itu meminta. Ada kerling harap di binar matanya. Di tipis merah muda bibirnya. Ada semacam kerinduan yang merengutnya ihwal sebuah kisah. Engkau terdiam. Betapa hirau taacuh air hujan yang kaupuja dalam puisi, mendadak  menjelma jadi tragedi. Engkau termangu sesaat dan berkisah:

Syahdan, mungkin ini terjadi cuma dalam rangkaian ingatanmu, kamu akan segera percaya dengan seketika, ihwal kisah Nabi Nuh. Hujan yang kerapkali turun. Tak kunjung berhenti. Hujan yang menghadirkan sosok monster dengan kekuatan raksasanya. Betapa debit air yang turun terasa menggila. Mendadak engkau malas ke mana-mana. Sayangnya, engkau bukan lagi pengantin baru. Yang masih segar dalam bercinta. Padahal dulu, engkau selalu merasa asyik kalau hujan telah datang. Dengan begitu kamu sanggup bebas mendekap wanita itu sepanjang hari. Membakar berahi yang merambat. Tapi hari-hari terus berjejalan. Mengayuh tanpa henti. Mendadak engkau sudah merasa layu. Lama-lama mendadak segalanya terasa bosan. Kerutinan membuat kita bosan, engkau mengingat, mungkin ada bait itu pada salah satu puisi yang pernah kaubaca. Istrimu, ketika ini, tak lebih menjadi sekadar sobat belaka. Teman yang bahwasanya terasa asyik juga, sanggup diajak bercakap ihwal segala hal. Tentang sebuah hujan, misalnya. Hujan yang kerap membuatmu termangu, melecut keterjagaanmu.

Hujan? Ah, tunggu sebentar, tapi bukan hujan semacam ini. Hujan yang tak kunjung berhenti. Hujan yang selalu tiba tiada henti. Hujan yang sekejap mengingatkanmu pada kisah Nuh. Duh, betapa ngerinya. Ketika hujan memberontak dan membuat lautan. Hujan tujuh hari tujuh malam. Sayangnya, tak ada yang menyediakan bahtera besar untuk para pengungsi. Tidak ada orang-orang sinting yang berbuat menyerupai dalam film 2012.

Dan sekejap kamu teringat Jakarta. Kau teringat jejalan jalan, gang, atau impitan rumahnya. Kau mengingat beton-beton tajam terus melubangi tanahnya. Gedung-gedung tumbuh lebih tinggi dari pohon-pohon yang kekar di hutan. Pasak bumi, cakar ayam, atau juga sedotan air terus melubangi paru-paru tanahnya. Hingga di kedalaman. Rumah-rumah kayu triplek, dengan balok kayu, menyerupai tumpah rumpang di sepanjang Sungai Ciliwung. Para insan berjejalan. Asap kendaraan. Bising suara. Tak ada lagi rawa, empang, atau sawah. Para pribumi tergusur, mengungsi dan mendiami pinggiran. Para pribumi lari tunggang-langgang ke Bekasi, Bogor, atau Tangerang.

Mendadak kamu mengingat Jakarta. Seperti sebuah benang jahit yang digulung-gulung. Semakin banyak. Menyatu dengan benang jahit warna lainnya. Indonesia mini. Benang jahit itu sekejap kusut. Sebenarnya apa yang salah dengan kota ini? Bukankah engkau telah lahir sekaligus beranjak remaja di sini? Engkau menggeleng. Tidak tahu bagaimana mesti menjawabnya. Kau menyerupai tak punya tanggapan untuk pertanyaan semacam itu. Hanya kaurasakan riuh bunyi yang ramai berkicau. Kau menyerupai masuk dan menelusup ke dalam hutan beton raksasa. Kau tak sanggup sembunyi. Melangkah dari stasiun bis satu ke stasiun bis lainnya. Dari Kalideres ke Grogol, kemudian ke Senen, ke Kampung Melayu, ke Kampung Rambutan. Hilir pulang kampung manusia. Bising yang asing.

Atau barangkali pula, engkau ingin berjalan di kota ini memakai kereta api? Tenang saja ada begitu banyak stasiun yang akan kaucatat. Manggarai. Senen. Gambir. Tanah Abang. Kota. Kembali ke Bekasi. Kau akan bertemu dengan jejalan penumpang yang terasa terus mengejar waktu. Hingga lelah dan kepayahan bergantung di bahu dan kepala mereka.

Dan rimbun gedung tumbuh di sepanjang jalan pikiranmu. Ah, betapa engkau ingin kembali ke rumah. Tapi perjalanan terasa tambah jauh. Macet yang berliku, knalpot kendaraan yang menderu. Tubuh yang mendadak kaku. Tapi, engkau akan selalu bertahan. Sebab kota ini selalu meninggalkan kembali gigil misterinya sendiri. Dengan caranya yang ajaib. Kota yang menyihirmu dengan pelbagai tempat hiburan. Di sini, kebosanan akan pongah. Mengecil dan bersembunyi di bawah tumit telapak kaki.

Semestinya engkau bangkit pagi sekali. Sebelum matahari nampak di langit. Berjalanlah di kota ini, engkau akan mencicipi lengang yang panjang di pagi buta. Bersama tukang sayuran. Sebelum pagi meninggi. Tak akan kautemui rimbun kemacetan ketika itu. Dengan begitu mungkin kamu akan merasa masih ada yang sanggup diakrabi dari kota ini. Di setiap kelokan jalannya, kamu akan menempuh sebuah jarak yang luas.

Namun bising telah merengkuhmu seharian. Maka pergilah dirimu ke kawasan Kota, Taman Sari. Pula sejumlah diskotik yang berdenyar, atau ruang-ruang kafe di Kemang. Engkau merasa tenang. Betapa kebosanan sekejap dirampas oleh kota ini. Dengan lembar-lembar rupiah segalanya sanggup dibeli. Betapa mudah, begitu indah. Tapi kamu tersentak tiba-tiba, ada wanita lain yang menunggumu di rumah. Perempuan yang berbaju ungu dengan tiga anak yang masih kecil. Seperti tanak di kepalamu. Menghantammu dengan dentangan jam atau godam. Kau mesti meninggalkan arena ini. Sudah cukup—kau hanya ingin kembali ke rumah. Bercengkrama dengan mereka, dengan hingar bunyi kanak-kanan yang berlarian di dalam rumah.

***

“MANA dongeng banjirnya?” wanita berbaju ungu itu tiba-tiba memotong jalan cerita. Engkau berpikir lagi. Terdiam. Menatap matanya yang bulat dan berdenyar. Seperti ada sengat listrik yang menyala di sana.

“Banjir itu terlalu sedih untuk dikisahkan,” ucapmu.

“Tolonglah….” wanita itu terus saja merengek penuh harap.

Akhirnya hujan tiba juga. Rebah dengan berair di segala tanah. Engkau mungkin terbiasa untuk segera keluar–di ketika masa kecil dulu—untuk segera mandi hujan. Membiarkan hujan meraba tubuhmu dengan tangannya yang hirau taacuh alami. Ya, betapa dulu engkau terbiasa untuk menjalaninya. Tetapi ini bukan hujan biasa. Hujan ini terus saja singgah tanpa interval waktu. Begitu deras. Menerjang semua permukaan tanah dan lantai. Mencari celah di antara rapat beton. Dan sungai pun mendadak penuh. Air tumpah di mana-mana.

Orang-orang masih saja berkerumun dengan payung warna-warni. Adakah engkau salah seorang di antaranya? Hujan menderas. Memenuhi setiap kubangan dan celah-celah yang kosong. Sepertinya hujan ingin terus berbagi. Pada siapa pun. Mungkin juga dirimu. Menerjang apa saja. Tak sanggup bersembunyi. Air pun terus tumpah. Tanggul yang jebol. Masuk ke basemen. Orang-orang panik. Berteriak. Air terus saja meninggi. Dari semata kaki, sebetis, selutut, sepinggang, sedada, seleher. Tenggelam. Dua meter, tiga meter. Air terus saja menderas. Apa yang sedang engkau perbuat. Berlarian. Hilir-mudik orang-orang.

Teriakan minta tolong. Evakuasi. Perahu karet. Pelampung. Tangisan bayi. Kecemasan mendadak tiba bertubi. Dari mata kaki hingga kepala. Mobil-mobil yang terendam. Lumpur. Genangan cokelat. Sungai telah penuh. Siaga satu. Pintu air. Waduk. Denting jam. Waktu terasa sebuah karet yang longgar. Kedodoran dan terus berputar. Tangis yang kembali pecah. Berduyun orang-orang berlari. Melangkah ke tempat yang tinggi. Engkau mengingat Nuh. Mana kapal besar tak ada. Hujan masih saja turun dengan deras. Amat deras. Lebih deras dari air mata. Cemas berkecambah. Resah pun terus pecah. Tak ada matahari. Langit yang melulu mendung. Kecemasan orang-orang. Dingin yang menjebak nyali. Hujan terus saja rebah, begitu deras.

Ada lansia yang terjebak di dalam rumah. Belum ada yang membantu. Dapur umum. Mana nasi bungkus. Mana mie rebus. Mana air bersih. Tak ada toilet. Hanya genangan air yang terus meninggi. Listrik tiba-tiba dipadamkan. Gelap gulita. Kecut hirau taacuh yang pengap. Tubuh yang melulu lembap. Raungan ambulan. Jalanan macet. Sejumlah motor menerobos genangan. Mati mendadak. Orang-orang menyewakan gerobak. Mengangkut motor. Hujan masih saja berkecambah. Semakin deras. Seperti memeras tubuh. Tak kunjung berhenti. Puluhan kendaraan kaku. Tak bergerak. Padahal, lampu lalu-lintas masih saja menyala. Tapi segalanya terasa nampak sia-sia.

Air terus saja meninggi. Mulanya hanya di jalan depan rumah. Seketika masuk rumah. Mulanya cuma semata kaki. Lalu sebetis. Lalu selutut. Lalu sepinggang. Lalu sedada. Lalu seleher. Tenggelam. Dua meter. Tiga meter. Belum juga surut. Tanggul masuh ambruk. Belum juga menyusut. Air tumpah ke mana. Hujan deras ke mana-mana. Di mana dirimu? Di mana wanita berbaju ungu itu? Di mana pelampung juga bahtera karet?

Berita-berita terus saja bergaung. Semacam deru ambulan. Masih saja mengabarkan banjir. Setiap kali jalan masuk televisi diganti yang nampak hanyalah banjir menggenang. Hanya ada air cokelat yang merambat. Memenuhi jalanan.

Air masih saja tergenang. Puluhan kendaraan beroda empat terjebak air. Terendam. Pasrah dalam bingung yang berkecambah. Gairah yang mendadak susut, padam dengan tiba-tiba. Raung ambulan dan kendaraan beroda empat pemadam kebakaran. Engkau masih saja bertahan. Teringat kembali pada masa kanak lampau, betapa hujan ketika itu membius pikiranmu. Tapi bukan hujan yang semacam ini. Mendadak engkau merindukan sosok menyerupai Nuh.

***

INILAH kota yang terus dicaci-maki, sekaligus dipuji. Saat itu kamu merasa gembira kalau telah menginjakkan kakimu di sini. Padahal engkau tahu, kota ini selalu mengenakan topeng. Berusaha untuk tetap menawan. Beratus-ratus tahun yang lampau. Semakin renta usia kota ini, ia harus semakin cantik. Tidak menyerupai perempuan, semakin renta akan semakin peyot dan keriput. Namun kamu bersikeras, kamu bilang, masih ada sejumlah puisi yang kerapkali ditulis buat kota ini.

Syahdan, banjir tiba lagi. Genangan air meninggi. Engkau menyerupai ingin mengembangkan dari sunyi ihwal kedalaman air. Engkau berteriak parau. Tapi segalanya mendadak terasa payau. Barangkali di suatu tempat banjir singgah kembali. Mungkin di Jakarta…. (*)

Sumber : lakonhidup.wordpress.com

Poris Plawad, Edelweis, 2013
Alex R Nainggolan, dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dimuat di beberapa media massa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel