Kekasih Bukan Pacar - Cerpen Cinta

KEKASIH BUKAN PACAR
Karya Rafael Stefan Lawalata.

Ibu selalu berpesan kepadaku bahwa saya diizinkan untuk berpacaran ketika usiaku menginjak angka 17. Ibu bilang sebagai seorang gadis, saya sudah matang dan bisa bertanggung jawab pada tindakan maupun pilihanku bila sudah mencapai umur ''sweet seventeen'' itu. Tapi namanya juga perempuan normal, hormon cinta dan perasaanku tumbuh melampaui tubuhku. Aku mulai menjaga sikap, mencari perhatian lawan jenisku serta rahasia melirik mereka ketika usiaku mencapai 13 tahun. Sejak Sekolah Menengah Pertama saya telah mendambakan seorang lelaki, yang kebetulan siswa di sekolah yang sama. Dia anak laki-laki yang baik. Namanya Raden Surya. Raden tampil ''beda'' di mataku, beliau terlihat gagah, berdiri sebagai pemimpin serta bisa bertanggungjawab. Sayangnya, Raden tidak melihatku dari sisi menarikku. Dia juga yaitu salah seorang sahabat baikku.

Sudah 6 tahun lamanya saya mengenal Raden, dari Sekolah Menengah Pertama dan kini memasuki masa SMA. Sebagai seorang sahabatnya, saya senang bisa menemaninya setiap saat, bersama dirinya ketika berguru maupun pulang sekolah. Sampai ketika kelas 3, saya tetap mengidolakannya walau hanya menyimpan perasaan dalam hati. Aku ingat janjiku pada ibu, gres berpacaran ketika usiaku 17. Sebenarnya, ibu juga sudah mengenal Raden, bagiku mungkin tidak problem bila nantinya saya berpacaran dengannya.
Aku sudah mempersiapkan planning yang matang. Di ulang tahunku yang ke 17 nanti, saya akan menyatakan perasaanku kepada Raden. Dengan pertolongan dan dukungan dari beberapa teman, saya semakin siap dan yakin pada rencanaku. Namun, cinta berkata lain. Aku menjadi ragu melihat Raden, alasannya yaitu beberapa hari belakangan ini beliau jarang berbicara kepadaku. Dia sedang melirik gadis lain, yang juga seorang temanku. Irama namanya, gadis Jawa berwajah manis yang juga berasal dari Sekolah Menengah Pertama yang sama denganku. Raden sendiri, lelaki bertubuh tinggi dan besar itu memberanikan diri mendekati Irama. Di satu sisi, saya senang sebagai sahabatnya, namun di sisi lain hatiku terkoyak melihat cinta yang pergi.
''Sudahlah lis, Raden itu bukan jodoh ataupun pacarmu, kenapa kau menangis terus?'' kataku pada diriku, sambil menangis sedih malam itu.

Kekasih Bukan Pacar
Tepat kemarin malam, ketika pesta ulang tahunku dirayakan, bukan kebahagiaan yang kurasakan tetapi rasa hancur berlarut yang menyerangku. Hatiku pecah berkeping-keping kala Raden menyatakan perasaannya kepada Irama malam itu. Sungguh pedih hatiku mendengarnya. Manalagi Irama mendapatkan cintanya dan kini mereka berpacaran. Tinggalah saya mengenakan topeng senyum palsu menyembunyikan air mata yang terus mengalir.
Raden bukan jodohku, itulah yang tertanam dalam pikiranku hingga ketika ini.

Tidak selamanya saya bersedih. Lulus dari SMA, saya bekerja dan mulai hidup mandiri. Meninggalkan jauh kota kelahiranku untuk melupakan masa kemudian yang kelam. Kini usiaku sudah memasuki kepala dua, tepatnya 22 tahun. Sesekali saya pulang untuk bertemu ibu. Dan jalan yang kupilih inilah yang membawa perubahan dalam hidupku.
Sebagai perempuan berdarah orisinil Sunda dengan tinggi tubuh 156 cm, berwajah khas ''neng gelis'' serta bersuara nyaring, saya tumbuh menjadi perempuan sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan kuat. Berkat pengalaman yang lalu, kini saya bisa mencari jalanku sendiri.
Tuhan memang adil, di usiaku yang ke 25, Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Seorang perwira tentara berbadan tegap yang ternyata adik kelas ketika saya Sekolah Menengan Atas dulu. Pria ini berjulukan Dirgantara. Aku memanggilnya Dirgan. Dirgan menjadi suami yang sangat menyayangi dan mencintaiku sebagai istrinya.
Dari hasil perkawinanku dengannya, kami diberikan seorang anak laki-laki berjulukan Raganelis. ''Gan'' diambil dari nama suamiku sementara ''Elis'' diambil dari namaku, Fanelis. Sementara nama Raden rahasia kusisipkan dalam nama anakku. Suamiku memang tidak bertanya asal muasal nama itu. Jujur hingga sekarang, saya masih teringat pada Raden.

Tiga tahun berselang sesudah pernikahanku, putraku kini berusia dua tahun. Masa terberat mulai kualami. Aku terpaksa di PHK dari pekerjaanku yang semula yakni sebagai seorang akuntan alasannya yaitu perusahaan bangkrut, sementara suamiku meninggal dalam tugas. Tidak banyak klarifikasi kuterima dari para sahabat suamiku di markas besar, mereka hanya berkata, bahwa suamiku tewas dalam tugasnya mempertahankan negara. Aku dan anakku berduka cukup lama, hampir satu tahun saya berdiam diri dan menangis. Ibu menyuruhku pulang, maka saya dan anakku kini tinggal bersama ibu.

Selepas masa duka, saya mulai berbenah. Mempersiapkan masa depan putraku. Muncullah pelangi sehabis hujan deras, angin kencang yang berlalu meninggalkan sinar cerah di depan mata.

Siang itu, saya sedang melamar pekerjaan di sebuah kantor swasta sebagai seorang sekertaris. Di sanalah pelangiku muncul. Seorang dari masa kemudian yang membawa angin kencang kini menebarkan cerah dalam hatiku.
''Selamat siang, perkenalkan diri anda segera,'' kata seorang manajer yang mewawancaraiku.
''Selamat siang...'' kataku tercengang ketika melihat wajahnya. Wajah yang tak pernah kulupakan. Dia yaitu Raden Surya.
''Raden..??'' tanyaku.
''Maaf, tunggu sebentar, kamu... kau Fanelis, kau Elis kan?'' katanya.

Spontan saya melompat padanya dan memeluk dirinya sambil berlinangan air mata. Aku menangis sedu bertemu dirinya kembali.
''Raden...'' kataku dengan bunyi parau alasannya yaitu terlalu bahagia.
Ia membiarkan diriku memeluk dirinya hingga beberapa lama, kemudian beliau mendorong bahuku dan menatap wajahku.
''Apa yang terjadi padamu? Apa yang membawamu kemari?'' tanyanya.

Sebuah sesi wawancara berkembang menjadi sesi obrolan khusus antara kami. Dari ruangannya pun kami berpindah ke rumah makan di depan perusahaannya. Sambil menyantap makan siang kami, soto ayam, saya mulai bercerita kepadanya.
''Aku turut berduka atas suamimu lis,'' katanya sambil menyeruput es teh manisnya.
''Iya den, andai kau ada di sana...''
''Maksudnya?''
''Eh bukan, bukan apa-apa,'' kataku salah tingkah. ''Maksudku, andai kau di sana ketika itu, kau kan bisa bermain bersama anakku.''
''Ah benar juga, saya ingin bertemu dengan putramu, bisakkah?''
''Bertemu?'' kataku sedikit terkejut. ''Untuk apa?''
''Seperti yang kau tahu, saya menyukai anak kecil, mungkin kami bisa menjadi sobat baik?'' tanyanya dengan wajah berhiaskan senyum.

Hatiku kembali bersemi, seolah bunga mulai tumbuh kembali. Lampu cinta yang menyala merah redup kini bersinar hijau terang, menyala untuk mengatakan kata ''Ya'' pada Raden. Tetapi, saya dihentikan terlalu berharap, masih ada Irama. Ya, bagaimana kabarnya dengan Irama.
''Aku dan Irama sudah usang berhenti berhubungan, ya dibilang putus salah, tapi kami sudah tidak berpacaran juga,'' jelasnya dalam perjalanan pulang sore itu. Raden memperlihatkan dirinya untuk mengantarkanku pulang.
''Mengapa demikian?''
''Dia melanjutkan kuliahnya di luar negeri dan hingga kini tidak kembali, sudah usang saya menanti kepulangannya...''
''Kamu masih menunggunya?''
''Ya, walau tidak terang kapan kepulangannya, hati ini semakin ragu, entah saya masih berharap pada cintanya atau tidak.''

Apakah ini sebuah kesempatan bagiku? Untuk membangun ulang perahu rumah tanggaku yang karam, kini tiba Raden membawakan perahu yang lebih besar dan bisa bergerak dalam deburan angin kencang ombak sekalipun. Ah nanti saja kupikirkan, saya begitu nyaman dan senang bersamanya.
''Baiklah, hingga bertemu besok,'' kata Raden sesudah tiba di rumahku.
''Besok? Ada apa memangnya?''
''Kamu akan menjadi sekertarisku mulai besok, siap neng gelis?'' katanya memanggilku dengan panggilan semasa SMA.
''Ihh apa sih, serius deh,'' kataku belum percaya.
''Tidak percaya nih, kau sudah kuterima, bukan alasannya yaitu sahabatku, tapi kau memenuhi kualifikasi yang kuberikan, kamulah yang kucari lis.''

Yang beliau cari? Jangan-jangan... ah sudahlah saya berpikiran yang tidak-tidak saja.
''Tidak mampir dulu den?'' tanyaku.
''Aku harus segera pulang, lagipula anakmu sudah tidur kan? Aku tak mau merepotkan ibumu juga, salam saja untuk mereka,'' katanya kemudian masuk ke mobil.
''Baik den, terimakasih ya!''
''Jam 8 di kantor! Jangan telat neng!'' katanya lagi.
Aku memandang kepergian Raden yang disinari lembayung senja dengan sangat bahagia. Pancaran wajahnya, bunyi khasnya, kini kembali hadir dalam hidupku. Semoga benar beliau memilihku, ah maksudku semoga lancar pekerjaanku, duh mikir apa sih aku.

Hari demi hari kulalui sebagai sekertaris pribadi Raden Surya, manajer perusahaan transportasi dan jasa khusus penerbangan. Bahkan hari-hari yang kulewati penuh dengan warna. Warna merah menyerupai hatiku yang merona, warna jingga menyerupai warna pipiku alasannya yaitu aib diriku, warna kuning laksana mentari cerah bersinar dari wajahnya, warna hijau bagaikan nafas dalam diriku yang segar, warna biru menyerupai lamunanku terhadap dirinya dan warna ungu menyerupai laptop pemberiannya untukku bekerja.

Pagi ini, saya tengah membereskan arsip dan dokumen yang siap ditandatangani oleh Raden, tiba-tiba beliau masuk ke ruangannya dengan wajah senang yang gres kulihat.
''Ada ap..'' kataku sempurna sebelum dirinya memelukku erat dan mengangkat tubuh kecilku melambung di udara. Karena terkejutnya saya tak bisa berkata-kata.
''Proposalku diterima oleh perusahaan koalisi, ini semua berkatmu!'' katanya masih memelukku dan memutar-mutarkanku di udara. Beberapa ketika kemudian tawanya berhenti dan beliau menurunkanku kemudian berdiri aib dengan kepala tertunduk.
''Eh enggak, harusnya, eh maaf...'' katanya.

Aku pribadi mengecup pipi kanannya dan tersenyum. Dia membisu seribu bahasa ketika saya melaksanakan itu.
''Lho, kenapa? Memangnya dihentikan seorang sekertaris mencium bosnya? Atau seorang sahabat pada sahabat yang disayanginya?'' tanyaku.
Dia menggelengkan kepala kemudian tersenyum. ''Terimakasih neng.''
''Untuk apa?'' tanyaku masih tersenyum. Begitu senang saya melihatnya menyerupai tadi.

Dia masih tertawa kecil dan kemudian meletakkan tasnya kemudian bertanya, ''Kamu ada program malam ini?''
''Wah maaf pak Raden, tumben sekali bertanya begitu?''
''Aku mau mengajakmu makan di luar neng, itu pun jikalau kau mau.''
''Tapi saya lihat jadwal bapak penuh hari ini.''
''Benarkah?'' tanyanya bingung. ''Aneh, memangnya apa saja, setahuku hanya hingga sore...''
''Pagi rapat, siang meet and greet dengan pejabat, sore ada kesepakatan makan bersama dengan manajer perusaahan ekspor Bayumara, kemudian malamnya...''
''Apa?''
''Malamnya ke rumahku...'' kataku tertawa. ''Katanya mau bertemu ibu dan Ragan kan?''
Dia pribadi menggelitikku dan impulsif saya terdorong ke belakang. Hampir saja saya berteriak, namun Raden pribadi menangkap tubuhku dan membiarkan diriku dalam dekapan tangannya. Kami berpandangan cukup lama.
''Ehmm udah belum pak peganginnya?'' tanyaku.

Raden segera melepas dekapannya, ''Ah maaf aku...''
''Gak apa-apa kok,'' kataku tersenyum. ''Sampai ketemu nanti malam ya.''

Rembulan tak nampak malam ini, padahal langit cerah tanpa awan dan asap di angkasa. Hanya ribuan bintang bisu yang memperhatikan dari balik tirai langit. Raden tiba dan menikmati makan malam bersama di rumah ibu. Ibu senang dengan kehadirannya. Belum lagi Ragan yang sudah bersahabat dengan Raden. Tampaknya Raden senang bermain bersamanya.

Sesudah dentang jam berbunyi sembilan kali, Raden dan saya berjalan-jalan di sekitar rumah. Kami berjalan bersama walau sempat saling bisu untuk beberapa saat.
''Ehmmm, neng, malam ini terang ya?''
''Terang? Kan gak ada bulan, kok terang?''
''Ya soalnya ada kau yang menjadi terang bulan malam ini...''
''Ihhh apa sih gombal kamu,'' kataku menyikutnya. Padahal dalam hati, saya tertawa senang mendengarnya.
''Bukan gombal kok,'' katanya mengusap matanya.
''Ada apa, kau kelilipan?''
''Iya nih, bantuin keluarkan dong, saya rasa ada sesuatu...'' katanya.
''Apa?'' kataku sambil melihat ke matanya, mencoba menemukan benda yang membuatnya kelilipan.
''Ada kau di mataku,'' katanya sambil tertawa.

Aku segera mendorongnya sambil tertawa. Perasaan kesal, jengkel namun senang inilah yang sudah usang tidak kurasakan. Raden tiba dan menghadirkannya kembali.
''Neng, saya mau bicara...'' katanya ketika kami menyeberangi sebuah jembatan.
''Apa den? Memangnya daritadi kau mengigau ya denganku?'' kataku mengejek.
''Ini serius,'' katanya menghentikan langkah. Aku pun turut membisu dan memandang air wajahnya yang serius. Tatapan matanya berbeda.
''Bicara apa den?'' tanyaku.
''Aku rasa saya harus menanyakannya pribadi kepadamu, sejujurnya saya senang bisa bermain dengan putramu...''

Ah, apakah ini tanda-tanda... kataku dalam hati.
''Memangnya kenapa Ragan?''
''Sudah usang saya mendambakan seorang anak laki-laki, ya maksudku anakku sendiri... dan Ragan sudah kuanggap menyerupai itu...''
''Maksudmu?'' tanyaku dengan jantung yang berdebar-debar.
''Apakah pernah terbesit dalam pikiranmu, atau mendengar bisikan hatimu ihwal cinta yang lama?''
''Ah, saya tidak mengerti den...''
''Bagaimana bila seseorang dari masa lalu, kini kembali hadir dalam hidup gres yang kau bangun, apa pendapatmu...?''
''Pastinya saya akan mengejar orang itu, alasannya yaitu dialah yang membuatku menyerupai kini ini, alasannya yaitu dialah saya di sini,'' jawabku.
''Entah kenapa orang itu begitu dekat sekarang,'' tambahnya. ''Aku merasa menyerupai dulu.''
''Ohh den,'' kataku memegang tangannya kemudian mengecup bibirnya. Cukup usang saya menciumnya. Hangat bibirnya kulumat dengan bibirku, begitu berhasrat penuh cinta. Namun, beliau melepaskannya begitu saja ketika saya tengah asyik menciumnya.
''Ah, maafkan saya den aku...''
''Tidak apa, saya juga minta maaf lis,'' katanya. Kemudian beliau mengambil saputangannya dan membersihkan bibirku. ''Bibirmu yaitu untuk laki-laki yang bisa mebahagiakanmu.''
''Apa maksudmu den? Bukankah kamu...''
''Maaf lis, ada yang harus kusampaikan kepadamu,'' katanya. ''Seperti katamu, saya meminta pendapatmu. Seseorang dari masa laluku telah hadir kembali. Irama, ya cinta masa laluku, kini tiba dan membawa nuansa masa laluku dengannya, tidak sanggup kupungkiri, saya masih mencintainya...''

Aku membisu seribu jawab. Malu, kecewa, sedih, pupus, hancur, ya semua itu kembali kurasakan. Namun saya bukanlah perempuan rapuh, dari balik retak tubuhku telah kuikat dengan tali kepercayaan bahwa memang inilah jalan dari Tuhan. Memang takdirku bukan bersama dengan Raden, walau saya sangat menyayanginya. Sahabat tetaplah sahabat, meski cinta dan suka hadir di antaranya.
''Pasti kau pun begitu neng, dengan laki-laki yang dahulu kau cinta...'' katanya.
''Ya den, saya mengerti. Memang laki-laki yang kucinta akan tetap begitu selamanya, dan hingga ketika ini pun saya tak sanggup meraih atau bersamanya...''
''Suamimu niscaya sangat menyayangimu neng, saya harus pergi,'' katanya. ''Irama menungguku, menyerupai katamu, saya akan mengejar cintaku.''
Dia mengecup pipiku kemudian berlari pergi. ''Salam untuk Ragan dan ibu ya!''
Aku hanya melambaikan tangannya walau berat rasanya. Cinta tiba tiba-tiba dan pergi begitu saja, itulah aturan cinta. Cinta tidak sanggup ditambahkan atau dikurangi, tidak sanggup dibagikan begitu saja. Semua menerima jatahnya.
Raden benar soal cinta, cinta yang kemudian harus tetap dikejarnya alasannya yaitu itulah sejatinya kekuatan cinta yang nyata. Namun Raden salah, dari dulu hingga sekarang, saya tetap mencintainya. Bukan suamiku yang pergi, tetapi dirinyalah yang meninggalkanku, cinta yang pergi untuk cintanya sendiri. Raden, kekasihku walau bukan pacarku, cintaku walau bukan milikku.

Selesai.
(13-11-12)


PROFIL PENULIS
Rafael Stefan Lawalata.
Jakarta, 22 November 1993.
Penulis pemula dan muda namun berpengalaman.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel