Bunga Setahun Sehujan - Cerpen Persahabatan Remaja
Senin, 14 September 2015
BUNGA SETAHUN SEHUJAN
Karya Aiyas Mutiara
Kota Bengawan, Desember 2012
Gerimis bukan lagi gerimis. Angin yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih menentukan untuk menjadi mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya… inilah Desember.
♥♥♥
“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang gadis berambut panjang setengah punggung, yang gres saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa mantol?” tanya temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” sahabat gadis itu melangkah ke arah balkon kelas yang memang berada di lantai dua. Kemudian, menengadahkan wajah menatap langit. Sesekali tangannya mencicipi air hujan sambil diulurkan. “Ada ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Kaprikornus resah yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan alasannya apa-apa.”
Gerimis bukan lagi gerimis. Angin yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih menentukan untuk menjadi mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya… inilah Desember.
♥♥♥
“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang gadis berambut panjang setengah punggung, yang gres saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa mantol?” tanya temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” sahabat gadis itu melangkah ke arah balkon kelas yang memang berada di lantai dua. Kemudian, menengadahkan wajah menatap langit. Sesekali tangannya mencicipi air hujan sambil diulurkan. “Ada ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Kaprikornus resah yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan alasannya apa-apa.”
Bunga Setahun Sehujan |
Temannya mengernyitkan kening, sambil mengikuti langkah gadis itu yang semakin cepat menuruni anak tangga, “terus? Kenapa, dong? Kamu aneh. Kayak Kugy di novel Perahu Kertas!”
“Hujan itu berisik.”
Desember 2011
“Hobi kok hujan-hujanan! Masuk! Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga repot!”
Omelan masuk akal itu keluar dari lisan seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang diomeli itu pun masuk ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan loh!” ujarnya, masih sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan anaknya yang badung kayak kamu, to?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Dasar, bawel. Cepet mandi! Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih..”
“Asiiiik… makasih mamaaah…”
Lila. Gadis periang pecinta hujan. Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh. Semua bermula ketika dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang supaya putrinya tidak terlalu kebasahan. Walaupun bahwasanya sama saja. Lila tetap lembap kuyub. Tapi, ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan itu… menenangkan. Lila suka ketenangan.
Lila menghentikan aktivitasnya menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan banyak bahan sekolah alasannya harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya. Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air hujan yang berebutan menitik di beling jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai gelap, ia niscaya sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
Ketenangan Lila buyar, ketika bunyi meja makan yang digebrak terdengar. Tak usang setelahnya bunyi ayahnya ikut menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi ketika ibunya ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya. Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik juga.
Kejadian mirip itu berulang kali dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan selama belajarnya pun menjelma Lila yang harus menyumpal lubang telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras supaya suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu ketenangannya dulu… ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani gres saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kau nggak suka hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!” Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak pribadi menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan sepele, mirip ketika ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam, dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥
Desember 2012
“Nah, udah reda kan?”
Lila berdiri dari lamunannya, kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda. Matahari mulai menyembul, memeriksa ranah buminya dengan sinar setengah cerah. Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.
Kedua mata Lila tertuju pada Kumi yang entah semenjak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah. Memandangi jejeran bunga yang bentuknya ibarat dandelion. Hanya saja ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia yakin, bunga asing itu mustahil terbang mirip dandelion ketika ditiup. Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam beginian? Kamu?” tanya Lila sehabis mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kau nggak up to date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kau nggak nyambung sama omongan saya sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung! Sini jongkok! Biar saya jelasin!”
Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya beliau tumbuh sendiri gitu?” tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama mirip namanya. Manis, kan? Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia niscaya menunggu-nunggu datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya, siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang, ‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ bila saya jadi bunga Desember, niscaya bakalan senang banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.
“Semua akan indah pada saatnya. Kesabaran selalu berbanding lurus dengan pencapaian. Kesabaran yang lapang dada akan membuahkan keberhasilan. Begitu pula sebaliknya. Dan ia yakin, persoalan tak selamanya menjadi masalah. Ada saatnya semua akan berlalu. Seperti hujan di Bulan Desember yang mengantarkan ke sebuah bunga yang indah.
Selesai
“Hujan itu berisik.”
Desember 2011
“Hobi kok hujan-hujanan! Masuk! Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga repot!”
Omelan masuk akal itu keluar dari lisan seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang diomeli itu pun masuk ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan loh!” ujarnya, masih sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan anaknya yang badung kayak kamu, to?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Dasar, bawel. Cepet mandi! Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih..”
“Asiiiik… makasih mamaaah…”
Lila. Gadis periang pecinta hujan. Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh. Semua bermula ketika dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang supaya putrinya tidak terlalu kebasahan. Walaupun bahwasanya sama saja. Lila tetap lembap kuyub. Tapi, ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan itu… menenangkan. Lila suka ketenangan.
Lila menghentikan aktivitasnya menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan banyak bahan sekolah alasannya harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya. Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air hujan yang berebutan menitik di beling jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai gelap, ia niscaya sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
Ketenangan Lila buyar, ketika bunyi meja makan yang digebrak terdengar. Tak usang setelahnya bunyi ayahnya ikut menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi ketika ibunya ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya. Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik juga.
Kejadian mirip itu berulang kali dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan selama belajarnya pun menjelma Lila yang harus menyumpal lubang telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras supaya suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu ketenangannya dulu… ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani gres saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kau nggak suka hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!” Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak pribadi menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan sepele, mirip ketika ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam, dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥
Desember 2012
“Nah, udah reda kan?”
Lila berdiri dari lamunannya, kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda. Matahari mulai menyembul, memeriksa ranah buminya dengan sinar setengah cerah. Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.
Kedua mata Lila tertuju pada Kumi yang entah semenjak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah. Memandangi jejeran bunga yang bentuknya ibarat dandelion. Hanya saja ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia yakin, bunga asing itu mustahil terbang mirip dandelion ketika ditiup. Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam beginian? Kamu?” tanya Lila sehabis mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kau nggak up to date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kau nggak nyambung sama omongan saya sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung! Sini jongkok! Biar saya jelasin!”
Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya beliau tumbuh sendiri gitu?” tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama mirip namanya. Manis, kan? Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia niscaya menunggu-nunggu datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya, siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang, ‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ bila saya jadi bunga Desember, niscaya bakalan senang banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.
“Semua akan indah pada saatnya. Kesabaran selalu berbanding lurus dengan pencapaian. Kesabaran yang lapang dada akan membuahkan keberhasilan. Begitu pula sebaliknya. Dan ia yakin, persoalan tak selamanya menjadi masalah. Ada saatnya semua akan berlalu. Seperti hujan di Bulan Desember yang mengantarkan ke sebuah bunga yang indah.
Selesai
PROFIL PENULIS
Siswi kelas XII, di Sekolah Menengan Atas N 4 Surakarta yang udah mulai nulis semenjak SD.
tapi, maklum kalo masih ada kurang-kurang di dalam karya-karya saya.
anda semua mau baca, sudah penghargaan buat saya.
Add fb: 'Aiyas' Mutiara
Follow twitter: @AiyasMutiara
tapi, maklum kalo masih ada kurang-kurang di dalam karya-karya saya.
anda semua mau baca, sudah penghargaan buat saya.
Add fb: 'Aiyas' Mutiara
Follow twitter: @AiyasMutiara