Sang Samudera - Cerpen Motivasi

SANG SAMUDERA
Karya Ahmad Riyan Nailanie
Hidup menyerupai sebuah kertas yang masih polos tanpa sebuah tinta. Awal kehidupan menyerupai telur yang berada di ujung tanduk. Sebuah dongeng dan realita kehidupan menyerupai goresan pena yang dikarang penulis. Aku bagaikan samudera yang lantang terdengar, bagiku hidup ini menyerupai lukisan dan hanyalah imaji seorang pengarang. Sudah sekian usang saya merenung dalam kabut senja dan hanya ditemani delusi mimpi. Bukanlah sebuah kepahitan hidup yang dialami seorang yang mempunyai moto hidup bagai samudera. Tetapi orang yang mempunyai samudera yaitu orang yang mempunyai lukisan hidup yang abadi.

Sore itu ketika semua barisan mata tertutup diantara bilik kamar 006, saya mendengar jeritan mereka. ‘’Suara kemana saya berlari’’, sahut guraman hatiku yang mendengar jeritan itu. Suasana ketika itu menyerupai ditutupi kabut merah, saya hanya mendengar tetapi tak sanggup arti rasa itu. Bagiku hanyalah sebuah jeritan yang terkadang sulit untuk dipahami. Lalu sesaat hilanglah bunyi jeritan itu dan tiba-tiba bunyi tangis terdengar. Apa makna ini semua? Pertanyaan itu muncul lagi dari hatiku. Setelah beberapa ketika saya melamun dan memutuskan untuk menghilang dari kabut merah yang mencekam hatiku.
Sang Samudera
Sudahlah lupakan pertanyaan yang membuatku menyerupai menelan duri. Terkadang akupun ragu untuk memikirkan sesuatu. Hidup ini memang sebuah teka-teki, jikalau saya salah langkah maka akan besar akibatnya. Akupun melangkah menuju sebuah jalan, tetapi jalan kali ini menghantarkanku pada sebuah gemerlapnya dunia malam. Aku mendengar bunyi mereka yang diiringi dengan lampu yang berdendang. Menurutku mereka itu menyerupai menelan jeruji besi, sungguh malang yang mereka lakukan. Akupun tak sanggup menduga dengan semua ini. Bagiku hanyalah sebuah kiasan kata yang mereka nikmati dan hanya mereka yang sanggup mengakhiri. ‘’Ya Tuhan untuk apa kamu ciptakan dunia ini? Kataku sambil meneteskan air mata. Sudahkah mereka pikirkan selesai kehidupan ini. Tapi tetaplah hidup menciptakan kehidupan yang aktual dan dibalik sisi ada sebuah diam-diam yang belum terungkap di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, saya kembali melangkahkan kaki menuju sebuah jalan. Jalan apakah yang akan ku tempuh selanjutnya, mungkinkah sebuah citra yang ingin diungkapkan penulis pada setiap episode yang kulihat. Entahlah, kembali saya menerima sebuah teka-teki dalam setiap jalan yang ku hampiri. Lalu saya terdampar pada sebuah lukisan Rakyat Anai-Anai. Kulihat hidup mereka menyerupai menerima siksaan yang amat perih. Dimanakah letak keadilan bagi kehidupan mereka? ‘’Tolong, kami tidak sanggup menjalani kehidupan ini’’, kata beberapa Rakyat Anai-Anai yang menjerit dan meronta. Kulihat mereka tak sanggup melawan setiap kobaran api yang menyala. Inikah hidup yang sebenarnya? Tanyaku dengan pandangan hampa. Di balik sebuah sisi saya melihat Rakyat Tikus yang rakus akan makanan. ‘’Hidupku kami bagai di surga, inilah bahwasanya keadilan bagi kehidupan kami yang mempunyai kekuasaan yan abadi’’, kata beberapa Rakyat Tikus yang tertawa gembira. Mereka tak memikirkan Rakyat Anai-Anai yang menderita. Kembali saya bertanya, Apakah mereka hanya memikirkan kepuasan mereka? Lukisan ini memberikanku sebuah kepahitan yang mendalam.

Sudahkah saya menerima makna perihal setiap lukisan yang kulihat. Akupun masih ragu untuk menduga semua ini. Hatiku masih diambang kegelisahan yang membuatku sulit mendapatkan semua ini. Mungkinkah setiap citra yang kulihat mengandung makna samudera di dalamnya. Apakah hidup menyerupai samudera itu mempunyai cobaan yang sangat sulit dihadapi? Akupun tak mengerti dengan semua pertanyaan itu. Lalu kembalilah saya di tunjukkan pada sebuah gerbang jalan yang sangat gelap bahkan hampir tidak mempunyai titik terperinci di dalamnya. Jalan apakah ini? Tanyaku dengan hati yang takut. Lalu untuk apa saya dibawa ke daerah yang hampir membutakan setiap hati dan pikiranku.

Mungkinkah ini lukisan yang terakhir dalam setiap perjalanan yang ku tempuh. Kembalilah saya dalam sebuah permainan teka-teki yang membuatku bertanya-tanya. Sejenak terdiam, kemudian ketika itulah saya melihat sebuah kehidupan yang sangat kusam. Tak adapun terlihat kedamaian di dalamnya. Mereka menyerupai Singa yang mengamuk bahkan ingin terus menjatuhkan musuh-musuhnya. Apakah mereka hanya menginginkan kekuasaan yang abadi? Tanyaku dengan amarah yang mendalam. ‘’Akulah Raja dari segala Raja, barang siapa yang ingin bersaing denganku maka bersiap untuk mencicipi kepahitan’’, kata Raja Singa yang mengaum keras menyerupai halilintar yang menyambar. Kau pikir tahtamu itu surgamu yang abadi. Lihatlah dari semua penjuru, kaupun tak sebanding dengan satu tetes air di samudera yang luas. Sungguh tak berarti lukisan yang hanya menggambarkan kekuasaan belaka.

Inikah jalan yang akan ku hadapi dari setiap perjalanan hidupku. Hidup memang tak menawarkan sebuah jaminan untuk kebahagian yang abadi. Tapi bagiku hidupku bagai samudera yang tak sanggup di samakan dengan semboyan belaka, saya memandang bagi setiap kehidupan mereka itu yaitu sebuah lukisan. Lukisan itu hanya menciptakan sebuah dongeng pada setiap episode yang di tayangkan. Akulah samudera yang luas menawarkan setiap makna yang belum terungkap dan menawarkan lukisan bagi arti sebuah kehidupan yang abadi.
***THE END***
PROFIL PENULIS
Nama Ahmad Riyan Nailanie kelahiran Kotabaru, 28-05-1993 Anak yang terlahir dari ekonomi yang sederhana saja tetapi mempunyai imajinasi dan kemampuan menulis di bidang sastra sejak ia duduk di akademi tinggi STKIP Paris Barantai Kotabaru. Dia sangat menyukai menulis cerpen dan puisi. alamat facebook di Riyan Doank. hubungi 087715638077 bisa untuk sharing.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel