Memiliki Kehilangan - Cerpen Cinta Romantis

MEMILIKI KEHILANGAN
Karya Stephanie Beauty

Pagi ini, cuaca mendung menaungi kota Bandung. Tak heran lagi mata ini melihatnya. Bandung begitu sejuk. Sekalipun hujan, hujan itu tak akan lama, hujan itu tak akan mengakibatkan banjir yang parah. Akupun sangat senang berada di sini untuk menikmati hujan di kota Bandung. Sudah empat bulan saya meninggalkan ibukota. Aku mempunyai alasan yang berpengaruh untuk menetap di sini. Namun semua itu hanya menjadi potongan perjalanan hidupku. Aku pergi meninggalkan ibukota tanpa memberi kabar apapun pada keluargaku.

Aku tak cukup berpengaruh untuk memberikan pada ibuku jikalau saya pergi dengan membawa beribu kerikil dipundak ini. Aku tak cukup tega untuk menyampaikan pada keluargaku bahwa mereka akan mendapatkan cucu dari rahimku dengan statusku yang masih pelajar kelas 3 SMA. Aku bahkan tak mempunyai muka untuk melihat mereka semua. Di kawasan inilah saya sanggup berjalan tegak tanpa kuatir ada yang merendahkanku. Walaupun sesungguhnya saya pantas direndahkan.

Memiliki Kehilangan
Kejadian 2 bulan yang kemudian telah menjadi luka yang begitu dalam. Dimas telah menggoreskan luka yang teramat dalam bagiku. Dia merenggut kegadisanku dan melarikan diri dengan perempuan lain. Masih kuingat dengan jelas, sebelum kepergiannya, ia dengan berani menampakkan muka di depanku bersama seorang perempuan yang menggelayut manja dilengannya. Wanita itu berpakaian seksi. Semua potongan intimnya kelihatan. Dadanya yang putih mulus bahkan menyembul menarik hati dibalik blouse bunganya. Kaki jenjangnya dibalut hotpants yang membuatnya terlihat semakin seksi. Kakinya bahkan mengenakan sepasang heels yang indah. Aku sempat mematung dan menatap diriku sendiri dalam bayanganku, apa yang sanggup kubanggakan dariku? Flat shoes buluk kesayanganku? Atau kemeja dan celana jeans murahan yang kubeli di pasar? Aku meringis menahan malu.

Wajar Dimas menentukan perempuan itu. Naluri kelaki-lakiannya berhak untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Tetapi mengapa harus menodai saya dulu gres ia menentukan perempuan itu. Cukup pergi dan tinggalkan aku, jangan lukai saya ibarat ini. Hidup segan, mati tak hendak. Itulah saya yang dulu sebelum kesannya saya menyadari bahwa saya harus bangun dengan memulai hari yang baru. Membuang semua kenangan jelek dan orang-orang yang melukai aku. Aku akan kembali, tetapi ketika saya telah menapak tepat dipuncak kesuksesan dengan membesarkan anakku sendiri.

Tanpa kusadari, saya telah hingga di pertokoan kecil milik kenalanku. Aku berjalan masuk dan membereskan toko sebelum toko di buka. Sebuah toko elektronik kecil-kecilan. Toko ini milik Yanti, sahabat masa kecil yang dulu tinggal bersebelahan di rumahku. Sekarang Yanti hijrah ke Bandung untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Ia mempercayakan toko ini untuk kujaga sebab ia berniat membantuku. Yanti tak bisa lama-lama di toko sebab ia sedang sibuknya meninjau lokasi untuk toko barunya. Perlahan tapi niscaya ia kini telah sukses. Terbukti dengan rencananya untuk membuka cabang gres dan di sinilah saya sekarang. Lisa si penjaga toko elektronik.
“Hei Lis, udah datang? Aku mau pergi ke lokasi dulu nih. Toko kuserahkan padamu, ya. Kalau sorean saya belum pulang, ditutup aja, nggak apa-apa. Nanti kemalaman jikalau harus menunggu aku. Ok? Aku pergi dulu ya.” Yanti tersenyum sembari berjalan mengambil tasnya. Aku balas tersenyum dan menggangguk mengiyakan permintaannya.

Bukan kasus gampang menunggu kata ya meluncur dari lisan Yanti. Ia bergotong-royong tak menyetujui saya tinggal bersamanya dan bahkan menjaga tokonya. Namun ia lebih bersimpati pada bayi di kandunganku. Bayi tak bersalah yang entah bagaimana nasibnya jikalau ibunya yang bodoh ini tak mendapat uang untuk memberinya asupan gizi. Dengan alasan itulah Yanti menerimaku di rumah dan tokonya. Ia sungguh berhati mulia.
“Permisi mbak, saya mau mengambil pesanan saya kemarin. TV Flat 21 inch atas nama tuan Satria. Apa sudah dipersiapkan?” Seketika lamunanku buyar. Ah akhir-akhir ini saya memang lebih banyak terdiam daripada dulu.
“Saya lihat sebentar ya chek listnya. Silakan duduk dulu mas.” Aku tersenyum ramah pada seorang laki-laki yang kukira berumur sekitar 27 tahunan. Lebih bau tanah 10 tahun dariku, gumamku dalam hati.
“Pesanan Anda telah dipersiapkan. Saya akan menyuruh kurir membawanya. Mas bawa kendaraan sendiri atau mau diantarkan ke rumah?”
“Saya bawa sendiri aja, mbak. Kebetulan saya membawa mobil. Boleh tolong di bawa ke kendaraan beroda empat avanza silver di depan?”
“Baik, mas. Silakan tanda tangan di sini sebagai bukti telah mengambil pesanan Anda. Kurir kami akan segera mengangkatnya ke kendaraan beroda empat Anda.” Aku menyerahkan padanya kuitansi pembelian yang telah dilapisi karbon sehingga ada salinan yang sanggup disimpan sebagai arsip.
“Baik terima kasih, mas. Semoga Anda puas dengan pelayanan kami. Selamat berkunjung kembali.” Aku mengakhiri pembicaraan kami dengan seulas senyuman.
“Terima kasih kembali. Boleh saya bertanya sesuatu?”
“Ya?”
“Siapa nama kamu? Saya gres pertama kali melihat kau di sini?”
“Saya penjaga toko yang baru. Saya hanya membantu pemiliknya saja. Mas kenal dengan pemiliknya ya?”
“Maksud kau Yanti? Dia tetangga saya, saya gres pulang tadi dan pribadi menuju ke sini untuk mengambil pesanan papa saya. Nama kau siapa?”
“Saya Lisa, mas. Maaf saya tidak pernah melihat mas sebelumnya. Maaf jikalau saya memperlakukan mas dengan tidak sopan.”
“Tidak apa-apa. Kamu sudah berlaku baik terhadap saya. Pantas Yanti mempekerjakan kamu. Oke Lisa, saya pulang dulu ya. Oya, nama saya Januar. Salam kenal ya.” Januar tersenyum lembut ke arah Lisa sembari melambaikan tangannya sebelum berbalik menuju mobilnya.
Ah, jikalau saja saya tidak sadar diri, niscaya saya sudah terhanyut dalam senyuman lembut Januar. Wajah tampannya disandingkan dnegan tubuh atletisnya. Aku yakin perempuan manapun niscaya akan menyukainya. Setidaknya pada kesan pertama. Aku mengibaskan tanganku dan berkata pada diriku sendiri bahwa saya hanya bermimpi seandainya saya bisa mendapatkan hatinya. Bangun Lisa. Kamu tidak lagi gadis. Kamu membawa seorang janin berusia hampir dua bulan. Apa lagi yang kau harapkan. Aku menghela napas kemudian menyibukkan diriku dengan seabrek pesanan pelanggan yang harus saya kerjakan hari ini.

Tanpa terasa hari sudah sore. Aku segera menutup toko dan berjalan kaki pulang ke rumah. Letak toko dan rumah Yanti tak begitu jauh. Cukup 10 menit untuk berjalan kaki. Aku lebih suka berjalan kaki. Sembari berjalan-jalan melihat sekitar, saya juga bisa menghemat ongkos. Biaya untuk melahirkan dan merawat seorang bayi tidaklah murah. Aku harus berilmu mengatur keuanganku dengan honor yang diberikan Yanti. Sesampainya di rumah, lampu depan masih gelap. Artinya Yanti belum tiba di rumahnya. Setelah menghidupkan lampu, saya berjalan ke dapur dan memasak. Sudah menjadi tugasku memasak sehari-hari. Tak ada lauk yang wah menghiasi meja makan Yanti. Semuanya demi berhemat. Uang belanja selalu diberikan Yanti, ia sungugh baik mau menanggung makan kami. Aku tak tahu bagaimana kelak harus membalas budinya. Tiba-tiba pintu depan diketuk. Ada seseorang yang datang. Bukan Yanti sebab ia selalu membawa kunci sendiri. Siapa ya, gumamku. Aku berjalan menuju pintu dan mengintip dari samping jendela. Januar! Ada gerangan apa dia ke sini. Mencari Yanti? Aku memutar kunci dan membuka pintu.
“Januar? Ada apa?”
“Nggak, saya cuma pengen ngobrol aja sama kamu. Boleh kan?” Januar duduk di teras rumah Yanti dengan santainya. Malam ini ia kelihatan beda. Lebih rapi dibanding tadi pagi.
“Ada apa? Boleh saja mengobrol. Tapi jangan kemalaman ya, saya takut di anggap tidak sopan.” Aku ikut duduk di teras tetapi sedikit lebih jauh dari posisi Januar.
“Nggak, hanya sebentar saja. Aku cuma ingin tahu sedikit wacana kamu. Sebagai tetangga kita kan harus saling mengakrabkan diri. Betul kan?” Alis mata Januar naik sebelah, menerangkan meminta persetujuanku atas kalimat yang diucapkannya.
“Oh, tentu saja. Apa yang ingin kau tanyakan? Sebisa mungkin akan saya jawab.”
“Kalau bisa kita ngobrolnya santai saja. Nggak perlu pakai kata saya. Kita kan nggak lagi di toko.” Januar tersenyum lebar, sementara saya tersipu malu.
“Kamu dari Jakarta ya? Lulusan mana?” Januar mengawali pembicaraan kami dengan menanyai asal-usulku.
“Iya, saya dari Jakarta. Aku gres kelas 3 SMA, Jan. Hanya saja itu beberapa bulan yang lalu. Aku tidak sekolah lagi” Aku tersenyum getir menanggapi pertanyaan Januar.
“Kok nggak dilanjutkan? Sepertinya kau nggak berasal dari keluarga yang tidak mampu. Maaf wacana pertanyaanku, jikalau dirasa tidak perlu dijawab tidak apa-apa.”
“Nggak apa-apa, Jan. Aku yang berhenti, bukan orang tuaku yang menghentikan studiku. Aku punya alasan berpengaruh untuk berhenti.”
“Oh, begitu. Kamu berencana tinggal di sini hingga kapan?”
“Aku juga nggak tahu, belum memikirkannya. Mungkin hingga Yanti mendepakku keluar dari sini.” Aku tertawa keras disambut tawa Januar.
“Aku kenal Yanti, dia nggak mungkin mengusir kau dari sini. Orangnya baik kok. Kamu temanan sama Yanti semenjak kapan?”
“Sejak kecil, kami bertetangga. Kemudian dia pindah ke sini. Kamu berapa saudara?”
“Aku anak tunggal, Lis. Makanya saya suka mengajak seseorang mengobrol, soalnya selalu kesepian. Aku pulang ke Indonesia sebab sedang cuti kuliah.”
“Oya, kuliah di mana? Ambil jurusan apa?” Mataku berbinar ketika berbicara wacana studi.
“Di Amerika, saya mengambil jurusan komunikasi bahasa asing. Ini studi S2-ku.”
“Wah, kau jenius ya, udah hingga S2. Ngomong-ngomong berapa usia kamu, Jan?”
“26 tetapi bulan depan menjadi 27. Kalau kamu?”
“Baru 17 tahun, Jan. Kelihatan bau tanah ya?”
“Nggak, malah kelihatan muda banget. Semula saya kira masih 15 tahun.” Januar tertawa kecil.
“Pujian atau ngejek nih. Hahaha.. Eh sudah pukul 8 malam nih, kita sudahan ya ngobrolnya. Aku takut tetangga terganggu. Lagian besok sudah mau kerja lagi.”
“Ok Lis, hingga ketemu besok ya. Terima kasih sudah menemaniku ngobrol. Selamat malam.” Januar pamitan sembari melambaikan tangannya dan tersenyum manis ke arahku. Sungguh wajah yang rupawan, bisikku dalam hati.

Malam ini Yanti terlambat pulang. Aku mendapatkan pesan singkatnya di layar beling handphoneku. Yanti menyuruhku tidur duluan sebab mungkin ia akan pulang pukul 11 malam. Kelihatannya Yanti sibuk sekali. Besok saya harus menanyainya apakah ada yang bisa saya bantu kerjakan. Setelah mengunci pintu dan jendela, saya masuk ke kamar. Menarik diriku masuk dalam selimut dan terbuai dalam mimpi yang kuharap indah. Memimpikan masa depan yang entah bagaimana nantinya sehabis si kecil lahir. Saat ini perutku memang masih normal ukurannya, belum kelihatan sedang berbadan dua. Ah, bagaimana bila Januar tahu ya. Aku mengigau dalam mimpiku. Sungguh saya ibarat jatuh cinta lagi. Segera kutepis buaian mimpi tentangnya. Aku takut terlalu tinggi dan terjatuh ibarat dulu lelaki brengsek itu menyampakkan aku.

Pagi tiba dengan cepat. Aku terbangun mendengar bunyi Yanti yang berbicara di teras depan. Sepertinya itu bunyi Januar. Ada apa ya, batinku mencari tahu. Aku beranjak menuju jendela ruang tamu dekat pintu. Berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kamu jangan dekati dia lagi, Jan. Dia tidak ibarat yang kau lihat. Biarkan ia tumbuh dengan lingkungan barunya.”
“Apa maksudmu? Aku tidak akan melukai dia. Aku menyukainya semenjak mata kami pertama kali bertemu. Apa itu salah?” Aku terhenyak menyadari bahwa yang mereka perbincangkan yaitu tentangku. Januar menyukaiku? Aku memegang dada ini, bergemuruh luar biasa. Antara cemas dengan jawaban Januar apabila mengetahui kenyataan itu dan juga kaget mengetahui dia memendam rasa yang sama denganku.
“Lisa hamil dua bulan. Ia diperkosa dan kini ia tengah kabur dari keluarganya. Terserah apa yang kau lakukan. Aku sudah memberitahumu sebisaku. Kalau kau pikir baik untuk bersamanya, silakan. Aku cuma ingin dia menyembuhkan lukanya dulu.”
“Diperkosa? Hamil 2 bulan? Lisa?!” Januar terdiam mendengar penuturan Yanti. Ia terhenyak mendapati kenyataan bahwa Lisa tengah mengandung janin berusia 2 bulan hasil pemerkosaan.
“Ya. Kalau kau tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan menyampaikan kau menyukainya lagi. Aku pergi kerja dulu. Sampai nanti.” Yanti pergi dari hadapan Januar menuju mobilnya yang terparkir di halaman.
Sementara saya hanya berdiri terdiam dibalik pintu di sisi jendela. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana ekspresi Januar sekarang. Januar sudah tahu semuanya. Lisa gadis berusia 17 tahun tengah berbadan dua. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku. Menghela napas sedalam mungkin untuk menghilangkan rasa di dalam dada. Semuanya berkecamuk menjadi satu. Takut, bimbang, rasa tak ingin kehilangan, sekaligus pengharapan.

Januar melangkahkan kakinya pulang. Seharusnya saya sudah tahu bahwa tak mungkin ia masih nekad menemui saya lagi. Ia lebih pantas dan bahkan teramat pantas mendapatkan seseorang yang layak untuk dicintai. Sedangkan aku, jauh dari kata pantas untuknya.
Tepat pukul delapan pagi saya melangkahkan kaki menuju toko Yanti. Hari ini saya tiba lebih siang sebab Yanti telah membuka toko duluan. Yanti mengirimi saya pesan singkat yang isinya meminta maaf dikarenakan telah lancang menceritakan keadaanku pada Januar. Aku menyampaikan pada Yanti bahwa saya baik-baik saja. Aku malah berterima kasih padanya sebab dengan begitu Januar tidak akan mengganggu hidupku. Aku tidak perlu terluka lagi sebab seorang pria.

Dengan langkah lunglai saya berjalan menuju toko Yanti yang sudah tampak di depan mata. Tiba-tiba langkahku terhenti sebab seseorang yang kukenal berada tak jauh di depanku. Dimas! Untuk apa bajingan itu kemari? Dari mana ia tahu saya pindah ke Bandung? Aku menggigit bibirku dengan kuat. Bagaimana ini, apa saya harus berbalik arah atau terus melangkah. Aku terdiam cukup lama, hingga kesannya Dimas terlanjur menyadari kehadiranku. Dia mendekatiku. Ingin rasanya saya berbalik, kemudian berlari sekencang mungkin. Tapi kaki ini mati beku rasanya. Baiklah, akan kuhadapi saja, batinku.
“Hai, apa kabar?” sapa Dimas sembari memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi.
“Kabar jelek sebab kini saya bertemu seseorang yang tidak ingin saya temui.” Aku mendengus hirau dan memalingkan muka ke arah lain.
“Lis, kau harus dengar kata-kataku. Aku ingin kita kembali, ibarat dulu, Lis. Aku menyadari semuanya. Sekarang saya hanya membutuhkan kau dan anak kita.” Dimas mencoba meraih tanganku, tapi dengan sigap saya memasukkan tanganku ke dalam kantong celana jeansku.
“Maaf, Dim. Semua sudah berlalu. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mungkin kembali padamu. Aku yang akan membesarkan anak ini. Kamu tidak mengakuinya dulu, jadi jangan pernah berpikir bahwa kini dia akan mengakui kau sebagai bapaknya. Aku sibuk! Aku pergi dulu dan jangan temui saya lagi. Jangan ganggu hidup kami!!” Aku bergegas berlalu dari hadapan Dimas, tetapi dengan cekatan dia meraih tanganku, mencoba menahan kepergianku.

Tiba-tiba tanganku ditepis, dilepaskan dari genggaman tangan Dimas. Januar! Oh, Tuhan apa lagi sekarang. Aku meringis menahan rasa di dada. Bagaimana ini? Sekarang Januar bahkan bisa melihat siapa bapak anak ini.
“Jangan ganggu Lisa lagi! Sekarang dia bersama saya. Dia dan anaknya yaitu tanggung jawab saya. Saya yang akan menjaganya.” Januar melepaskan genggaman Dimas yang mencengkram erat tanganku.
“Hehh, siapa kamu, berani-beraninya kau ikut campur duduk kasus kami!” Dimas terbawa emosi dan hampir menonjok wajah Januar.
“Saya tunangan Lisa. Kami akan segera menikah. Kamu sudah paham? Silakan pergi sebelum saya memanggil polisi untuk menangkap kamu.
“Tunangan?! Gadis anyir yang sudah ternoda itu kau nikahi? Dasar laki-laki bodoh!” Dimas tertawa merendahkan, namun tiba-tiba gumpalan bogem Januar mendarat di wajahnya. Dengan sekali pukul ia menjatuhkan Dimas ke tanah.
“Jangan sekali-sekali kau merendahkan Lisa. Kamu tidak pantas untuk merendahkannya, sebab kau jauh lebih rendah dari dia. Dia hanya menanggung beban yang kau perbuat. Bajingan, enyahlah sekarang. Kalau tidak kuhabisi kamu!!” Januar terlihat menakutkan dengan emosi memuncah di wajahnya. Dadanya bergemuruh dikala menyampaikan kalimat-kalimat tadi.
“Jan, sudahlah. Aku tidak apa-apa. Terima kasih.” Aku berbalik meninggalkan keduanya sebab merasa tak cukup berpengaruh lagi untuk menyaksikan semuanya.
“Lis, tunggu dulu. Kamu mau kan menikah denganku? Aku berjanji akan menjadi ayah dan suami yang baik. Ijinkan aku, Lis untuk mengobati hatimu dan mengisinya dengan kebahagiaan.” Januar meraih tanganku dengan lembut.
“Belum sempat saya menjawabnya, Dimas telah berada di belakang Januar dengan sebongkah kerikil yang berukuran tidak mengecewakan besar. Dimas menghantamkan ke kepala Januar. Januar ambruk bersimbah darah, Dimas kabur melarikan diri. Aku sendiri terdiam dan kesannya tersadar dikala kerumunan orang-orang sibuk mengangkat Januar ke dalam kendaraan beroda empat ambulans. Sejak kapan orang-orang tersebut berkerumun dan kendaraan beroda empat ambulans tiba di sini, tak sedikitpun teringat.

Sesampainya di rumah sakit, Januar pribadi menjalani operasi. Kepalanya mengalami gegar otak ringan. Ia membutuhkan banyak darah. Operasinya memang berjalan sukses. Namun, hingga detik ini Januar belum sadarkan diri. Saat ini saya tengah berada di sampingnya dan memegang kedua tangan kokoh milik Januar. Pria bodoh ini telah mengasihi saya dan mengalami luka berat sebab saya juga, si bodoh Lisa.
“Sabar, Lis. Januar niscaya sadar. Dia lelaki yang kuat.” Yanti merangkul bahuku mencoba menenangkan hatiku.
“Iya, Yan. Dia harus sadar. Aku bahkan belum sempat menjawab lamarannya.” Aku menitikkan air mata untuk kesekian kalinya selama di rumah sakit ini.
“Kamu juga mencintainya kan?”
“Iya, Yan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia sungguh baik mendapatkan saya dengan segala kekuranganku.”
“Kalau begitu kau mau menikah denganku, Lis?” bunyi rintihan Januar terdengar ketika Lisa selesai mengakui perasaannya pada lelaki itu.
“Januar!” Rona senang terpancar dari wajah Lisa dan juga Yanti.
“Kamu sudah sadar? Aku panggilkan dokter dulu ya.” Yanti segera keluar meninggalkan kami berdua untuk memanggil dokter.
“Kamu mau kan, Lis?” Lisa mengangguk sembari meneteskan air mata. Kali ini air mata bahagia.
“Kamu harus sembuh dulu jikalau benar-benar menginginkan aku.” Aku menghapus air mataku dan tersenyum senang ketika jemari Januar menggenggam erat jemariku.

Akhirnya cinta kami bersatu juga. Cinta yang semula kukira tidak mungkin untuk dipersatukan. Aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku, namun saya mendapatkan seseorang yang berharga sebagai penggantinya. Aku dan anakku beruntung bisa mendapatkan kebahagiaan terindah sehabis luka yang saya derita. Tuhan begitu baik mengirimkan Januar untukku. Ia nrimo mendapatkan saya dengan segala kekuranganku. Walau saya tak bisa mempersembahkan bunga semerbak ibarat gadis lainnya, saya akan memperlihatkan segenap jiwa dan ragaku untuk mengasihi dan mengasihinya seumur hidupku. Terpenting, saya telah menemui kedua orang tuaku, mengakui semuanya dan memohon ampun atas kesalahan terbesar dalam hidupku, Dimas. Kabar terakhir yang kudengar, Dimas telah mendekam di penjara dengan masalah pelecehan seksual dan percobaan pembunuhan. Aku tidak akan menaruh dendam lagi padanya. Tuhan telah mengganti semuanya dengan kebahagiaan ini, dan dikala ini saya dan Januar berada di altar ijab kabul kami untuk bertukar cincin. Terima kasih Januar, kamulah hidupku kini dan selamanya.

PROFIL PENULIS
Nama Saya Stephanie Beauty. Saya biasa dipanggil Vany, Pani, ataupun Beauty oleh orang-orang yang pernah mengenal saya. Saya lahir di Palembang, 24 Agustus 1990. Saya menyukai dunia menulis semenjak duduk di kursi SMP. Saat itu saya bergabung dalam klub ekstrakurikuler jurnalistik. Saya ditempatkan pada potongan cerpen. Terus terang saya tidak mempunyai pengalaman sama sekali. Namun saya mencoba menulisnya. Kenapa tidak? Saya suka membaca. Setidaknya saya tahu bagaimana cara menulisnya nanti. Itu pikiran saya dikala itu. Akhirnya, terbitlah cerpen pertama saya dalam majalah sekolah, judulnya hanya sekedar sahabat. Saat itu saya mendapat kebanggaan dari guru ekstrakurikuler saya, Pak Markus Bastomi. Berkat didikan beliau, kemampuan menulis saya semakin terasah. Saya sendiri tidak akan pernah tahu bahwa saya mempunyai talenta ini. Saya bersyukur tergabung dalam klub ekstrakurikuler jurnalisitik tersebut dan bertemu dengan beliau. Berikut prestasi menulis saya:

1. Juara III Lomba Mengarang Cerpen Sekolah Menengan Atas Xaverius 1 (2006)
2. Cerepn berjudul: Rey?? (dimuat dalam tabloid Teen – April 2008)
3. Puisi berjudul: Kepak Sebelah Sayap (dimuat dalam harian Berita Pagi – 2008)
4. Pemenang Harapan Kompetisi Mengarang “Seandainya Aku Gubernur Sumsel” (Agustus 2008)
5. Puisi berjudul: Unintended (dimuat dalam majalah Story Edisi 8 tahun 2010)
6. Juara II Lomba Essay “Potensi Sumsel” Gebyar 17 tahun Lembaga Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya (Oktober 2010)
7. Juara II Lomba Karya Tulis SEA Games XXVI dengan tema “Sea Games XXVI dan Kemajuan Sumatera Selatan” (Oktober 2011)
8. Puisi berjudul: Asa Yang Terpendam (dimuat dalam kolom Xpresi Sumatera Ekspres - September 2012)
9. Harapan I Pena Sumsel Gemilang 2012 Cerpen Pilihan Pembaca Sumatera Ekspres (Desember 2012)

Saya berharap dan akan berusaha untuk terus menulis dalam hidup saya. Entah dalam bentuk essay, karya tulis, cerpen, ataupun puisi. Saya mempunyai harapan ingin menjadi penulis terkenal. Saya berharap ada penerbit yang bersedia bekerja sama dengan saya untuk menerbitkan karya saya suatu hari nanti. Semoga teman-teman semua menyukai karya saya ya. Mohon doa dan dukungannya untuk “like” cerpen saya dalan website ini. Boleh komen / kasih masukan wacana cerpen ini di facebook saya http://www.facebook.com/vany.imut.58

Terima kasih dan salam budaya^^

Baca juga Cerpen Cinta dan Cerpen Romantis yang lainnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel