Senja Di Serambi Rumah - Cerpen Cinta

SENJA DI SERAMBI RUMAH
Karya Reswati Ningsih

Matahari telah kembali keperaduannya. Sinarnya telah tergantikan oleh gelap. Perannya telah selesai. Jam kerjanyapun telah usai. Kini tinggal sang penjaga malam tiba mengisi kekosongan.

Aku terduduk di serambi rumah. Memasang telingga untuk diisi oleh kumandang adzan maghrib. Celotehan ibu tak membangkitkanku untuk masuk.
“Anak perawan jangan duduk di teras ketika Maghrib. Masuk .”
“Sebentar lagi bu,”jawabku hanya untuk menghentikan celotehan Ibu.
Suasana senja kali ini menyemangatkan pikiranku untuk bergerilya untuk menuju masa-masa yang sekarang telah menyublim menjadi kenangan. Aku memutar DVD yang ada dimemori otakku tantang kau, Rendi.

Semilir angin senja begitu terasa menyengat kulit mengalir keseluruh urat nadi dan menusuk kelumbung hati. Saat angin senja menyerupai ini, beberapa tahun silam kau duduk disampingku. Tak pernah kau biarkan sebelah kursi ini kosong. Tak pernah kau biarkan bibir ini mengatup tanpa senyum.
Senja di Serambi Rumah
Di senja menyerupai ini kau pernah datang, mengusap pipiku yang lembap karna hujan, kau mekarkan hati ini dan tak kau biarkan ekspresi ini terbungkam. Setiap kata bijak yang keluar dari mulutmu ialah penenang bagi jiwaku.
Aku mencintaimu, Rendi. Rasanya tidak ingin jikalau harus berpisah. Aku akan menjadi raga tanpa tulang. Tak sanggup berdiri. Tak sanggup menguyah makan. Aku tak sanggup menyebutmu sebagai kenangan.
Aku hanya melihat kau terdiam. Wajahmu terlihat ragu. Tapi saya tak mau menaruh curiga padamu. Apalagi perihal hubunganmu dengan sahabatku Lina. Tapi ada keraguan dalam hatiku, ketika usapan tanganmu mulai menjauh dari pipiku.
Malam ahad ini saya terduduk menyerupai biasa diserambi rumah. Menantikan kehadiranmu yang tanpa terpanggil niscaya kan hadir.

Aneh. Jam telah melewati adzan isya, saya pun telah sempatkan untuk berdo’a. namun belum juga terdengar ketukan pintu darimu ketika saya telah tinggalkan serambi itu. Bahkan ujung kuncup hidungmu itupun tak terlintas melewati hidungku.
“Ada dimana mas Rendi? Kenapa tak tiba ? Sibukkah mas?”
Berulang kali laporan pesan terkirim melintas diberanda handphone ku. Namun tiada balas darimu. Haruskah malam ahad ini saya hampa tanpa kehadiranmu? Tiadanya kabar darimu telah membuat pikiranku terisi oleh kegelapan malam tanpa bintang.
Apakah Lina telah menynyikan lagu nina bobo sehingga kau terlelap diranjang hatinya? Ataukah beliau telah mengotori otakmu dengan jambi-jambi warisan nenek moyangnya? Aaaaaaacccchhhh…… tiada hentinya pikiranku bertanya-tanya tiada hentinya. Tapi tiada jawab.

Gelengan kepalamu selalu menjadi pemandangan atas semua jawabanmu. Kau bilang kau akan setia kepadaku, selalu mencintaiku dan akan segera melamarku. Deretan kalimat itu selalu bersenandung menyerupai lagu yang kau nyanyikan. Dan lagi-lagi saya terbius oleh bualanmu. Walau kerap kali saya mendengan kedekatanmu dengan Lina.
Malam semakin larut. Tak ingin saya biarkan kehitaman mengisi pikiranku. Lebih baik segera saya istirahatkan pikiran ini. Berharap esok pagi mentari mengajarkanku perihal kebijaksanaan. Tak pandang bulu. Dan aaaccchhh…… ku tutup mataku dan terbang.

Mentari telah beranjak dari peraduannya. Aku pun telah siap dengan seragam kerjaku. Berjas putih dan elana putih. Ku urai separuh rambutku dan ku pasang jepit bunga di pemisahnya. Anggun. Aku memang terlihat begitu anggun. Mungkin ini yang membuatku dicintai oleh Rendi.
Benak ini kembali tertancap belati yang kau kirimkan bagai santet yang tiba menghujam tiba-tiba. Seketika, keanggunanku hilang bagitu saja. Pikiranku semakin cepat bergrilya menghujamkan beribu tanya yang saya sendiri tak tahu jawabnya.

Akankah beliau tiba menjemputku ? Seperti pagi-pagi biasanya dan mengantarkanku berangkat kerja sebelum beliau sendiri beranjak ke pekerjaannya. Namun mentari semakin terik menyinari bumi. Waktu pun semakin berjalan maju. Alangkah bodohnya apabila saya hanya menunggunya yang tak kunjung datang. Menunggunya dan pastinya berangkat terlambat itu berarti menantang pemimpin dan mempermalukan diri sendiri di depan rakyat.

Alangkah pintarnya apabila saya berangkat sendiri dengan sepeda motor yang saya punyai. Tapi beliau akan murka apabila saya tinggal. Tapi saya akan terlambat apabila menunggunya. Sudahlah. Aku segera meraih kunci motor di meja riasku. Aku segera beranjak dari peraduanku dan melangkah menuju tempat penentu masa depan.
Serasa gres kemarin ku pijaki senin sesudah malam kehampaan, sekarang saya kembali di pertemukan dengan senin yang kelima sesudah malam kehampaan. Dan saya tetap hampa. Masih hampa.

Ruang kerjaku terasa sepi. Meja kerja dan lembaran-lembaran kerja bagai ikut mencicipi kehampaan yang sedang menghujam jiwaku. Bunyi tambun mainan para pekerja bangunanpun tak sanggup pecahkan keheningan yang menghujam. Aku serasa mati. Tak ada pekerjaan yang sanggup saya selesaikan selincah dulu. Selincah saya menari di panggung ketika menjajaki dunia teater.
Semuanya hancur. Kacau. Bagai petugas lighting yang tledor dalam memblackout lampu panggung sampai membuat kekacauan. Perkataan dari hasil evaluasi para tetangga membuat perasaanku semakin kacau.

Aku masih ingat dimalam ahad kemarin, pernah seorang tetanggaku tiba dengan kekasihnya menghampiri ketika saya tengah karam dalam keheningan malam dan kehampaan perasaan. Mereka mengabariku perihal suatu hal yang membuatku ingin putus darimu, Rendi.
“Hai, mengapa kau masih disini ? Rendi sudah menunggumu di gardu, tadi saya bertemu dengannya disana. Mengapa kau masih saja disini ?”

Aku hanya menggeleng. Melihat reaksiku yang dingin, sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara itu pribadi beranjak meninggalkanku. Aku hanya sanggup melamun mendengar pernyataan itu. Tiada komitmen yang ku ikat dengan Rendi malam ini. Bahkan sudah usang tak ku pijaki diri dihadapannya.
Rasa penasran dalam serbuan beribu pertanyaan menghantui. Aku beranjak dari serambi. Aku berdiri di depan rumahku. Ku arahkan pandangan mataku menuju kearah gardu yang terpampang terang apabila dilihat dari halaman rumahku.

Ya. Aku dapati rendi. Dia mengenakan baju yang biasa beliau pakai ketika saya dan Rendi tengah berjauh hubungan. Aku mendapati beliau sendiri, mungkin tengah menunggu seseorang. Terpampang diwajahnya beliau tengah gelisah menunggu. Terpikir untuk menghampiri dan menanyakan sesuatu padanya, semua impian terpatahkan bahkan batal. Seorang gadis yanng tampaknya saya kenal tiba dari arah berlawanan dan pribadi mencumbu Rendi.

Perasaanku terpontang-panting bagai kapal berlayar ditengah bahari ketika ombak pasang, ketika ku dapati tanggapan bahwa gadis itu ialah Lina, sahabatku. Aku menyerupai tengah melakoni operasi pencangkokkan hati tanpa efek obat bius. Tubuhku terbang melayang kemudian jatuh terhempas dengan dahsyatnya. Otakku serasa tercabik-cabik gading singga kelaparan.

Tanpa sadar. Panasnya sinar mentari telah lelehkan gumpalan es didaerah kutub utara. Semua panca indraku tak berfungsi tepat bahkan telah tak berfungsi. Sepintas saya seolah mendengar panggilan dari bunyi yang ku kenal, menyerupai bunyi Ibu. Tap bunyi itu hanya memantul dan memantul entah keman. Sampai kesudahannya saya dapati semua pandanganku terasa gelap. Semuanya gelap. Dan menjadi gelap.

Senja kali ini saya trelah membuka mata, membuka telinga, membuka perasaan untuk sanggup mendapatkan kenyataan. Aku telah usang tertidur. Sepanjang tidurku mimpi jelek selalu menerjang. Kemarau panjang pun ikut menghujam.

Beribu kalimat menyusup ketelinga. Rendi dan Lina akan menikah sebentar lagi. Dalam tidurku saya telah mempersiapkan jiwaku untuk semua ini.
Rendi, saya mencintaimu. Mungkin sebab itu saya jadi tak sanggup melihat semua kenyataan. Satu dosa yang sanggup saya maafkan Rendi, kau tak putuskan kekerabatan antara kita berdua.
Aku hanya sanggup menyalamimu ketika hari pernikahan. Senyum palsu dalam irisan hati yang tersayat bertebaran dalam kelam.

Sadar. Aku harus sadar. Kau akan menjadi kenangan dalam benakku. Lukisan tinta emas yang kau torehkan dalam kehidupan akan saya tutup. Berharap suatu ketika kau akkan bersilaturahmi denganku dalam batin yang berbeda.
“Kharisma cepat masuk…….,”teriak Ibu dari dalam rumah.

Semua pecah memoriku kembali ke zaman modern. Yang kemudian biarlah berlalu. Mimpiku selama ini ialah mipi bersama Rio. Penggantimu Rendi.
“Kharisma…….”
“Iya bu…………”

...THE END…
PROFIL PENULIS
Nama : Reswati Ningsih
Alamat : Purbalingga
Add fb : Reswati Ningsih
Sekolah : Sekolah Menengan Atas N 1 Padamara 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel