Diary Tekutuk - Cerpen Horor Remaja
Selasa, 20 Januari 2015
DIARY TERKUTUK
Karya Lintang Putri Negari
Suasana siang ini cerah sekali. Terlihat semua murid sedang memanfaatkan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya. Mungkin biar pada ketika pelajaran selanjutnya dimulai mereka tidak akan merasa tegang. Banyak murid yang berlalu lalang di depan kelasku dengan bebasnya. Namun tidak denganku.
Hanya alasannya ketika pelajaran pertama saya mendapat masalah, saya jadi harus bangkit di depan kelas hingga jam pulang sekolah nanti. Dan sehabis sanksi ini selesai, masih ada satu sanksi lagi yang mengungguku. Dan sanksi itu adalah, membersihkan halaman sekolah. Benar-benar menyebalkan. Padahal problem yang tadi kan bukan salahku.
“Lucy, maaf ya.” Sesal Rani sambil menatapku. “Kita kan friend. Masa mau ngambek terus?” ia menarik-narik tanganku.
“Temen sih temen. Tapi kalau kena sanksi jangan ngajak-ngajak dong!” jawabku ketus.
“Iya-iya. Maaf deh.” Rani terus menatapku dengan wajah mirip akan menangis hingga membuatku merasa iba. Sahabatku yang satu ini memang tau bagaimana caranya membuatku berhenti murka padanya.
Hanya alasannya ketika pelajaran pertama saya mendapat masalah, saya jadi harus bangkit di depan kelas hingga jam pulang sekolah nanti. Dan sehabis sanksi ini selesai, masih ada satu sanksi lagi yang mengungguku. Dan sanksi itu adalah, membersihkan halaman sekolah. Benar-benar menyebalkan. Padahal problem yang tadi kan bukan salahku.
“Lucy, maaf ya.” Sesal Rani sambil menatapku. “Kita kan friend. Masa mau ngambek terus?” ia menarik-narik tanganku.
“Temen sih temen. Tapi kalau kena sanksi jangan ngajak-ngajak dong!” jawabku ketus.
“Iya-iya. Maaf deh.” Rani terus menatapku dengan wajah mirip akan menangis hingga membuatku merasa iba. Sahabatku yang satu ini memang tau bagaimana caranya membuatku berhenti murka padanya.
Diary Tekutuk |
Saat sekolah sudah terlihat sepi, saya dan Rani masih menyapu di halaman sekolah. Padahal jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah dua. Tapi sampah di halaman belum habis juga. Huh! Benar-benar menyusahkan.
“Hore! Akhirnya kerjaan kita selesai juga.” Kataku dengan sangat bahagia sehabis melihat halaman yang semenjak tadi kami bersihkan telah bersih.
“Oh, iya Lucy. Aku harus pulang dulu nich. Soalnya setengah jam lagi saya ada les bahasa inggris. Kamu gak papa kan kalau harus buang sampah sendiri?” tanya Rani.
“Hm… gimana ya?” saya berpikir sejenak. “Ya udah deh. Nggak papa.” Kataku sambil tersenyum tipis.
“Ok. Kalau gitu saya duluan ya!” Rani beranjak pergi sehabis mengambil tasnya di kelas.
Sebenarnya sih membawa daerah sampah ini sendirian niscaya akan terasa berat. Tapi alasannya Rani sering membantuku, jadi saya akan menganggap ini sebagai balas budi.
Aku menjinjing daerah sampat itu menuju container. Karena containernya sedikit tinggi, saya jadi harus mengangkat daerah sampah itu biar sanggup mengeluarkan isinya. Benar-benar berat. Lenganku jadi terasa sakit. Setelah daerah sampah itu kosong, saya segera melangkahkan kakiku untuk menuju kelas. Namun sehabis beberapa kali, saya menghentikan langkahku. Kini pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna biru yang ada di akrab container. Aku meletakkan daerah sampah yang kubawa kemudian memungut buku itu.
“Ini diary?” tanyaku sambil membuka satu-persatu lembaran buku itu. Sepertinya buku ini sudah dibuang. Kulihat goresan pena berwarna merah yang tertulis dalam buku itu. Susah payah saya membaca goresan pena itu tapi tetap tak bisa. Tita yang dipakai sangat tipis juga telah luntur mirip terkena air.
“Ya ampun. Udah jam segini!” seruku sehabis melirik jam tanganku yang telah menunjukkan pukul 02.05. Aku meletakkan buku itu ke tempatnya semula kemudian menjinjing daerah sampah dan berlari menuju kelas.
“Hore! Akhirnya kerjaan kita selesai juga.” Kataku dengan sangat bahagia sehabis melihat halaman yang semenjak tadi kami bersihkan telah bersih.
“Oh, iya Lucy. Aku harus pulang dulu nich. Soalnya setengah jam lagi saya ada les bahasa inggris. Kamu gak papa kan kalau harus buang sampah sendiri?” tanya Rani.
“Hm… gimana ya?” saya berpikir sejenak. “Ya udah deh. Nggak papa.” Kataku sambil tersenyum tipis.
“Ok. Kalau gitu saya duluan ya!” Rani beranjak pergi sehabis mengambil tasnya di kelas.
Sebenarnya sih membawa daerah sampah ini sendirian niscaya akan terasa berat. Tapi alasannya Rani sering membantuku, jadi saya akan menganggap ini sebagai balas budi.
Aku menjinjing daerah sampat itu menuju container. Karena containernya sedikit tinggi, saya jadi harus mengangkat daerah sampah itu biar sanggup mengeluarkan isinya. Benar-benar berat. Lenganku jadi terasa sakit. Setelah daerah sampah itu kosong, saya segera melangkahkan kakiku untuk menuju kelas. Namun sehabis beberapa kali, saya menghentikan langkahku. Kini pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna biru yang ada di akrab container. Aku meletakkan daerah sampah yang kubawa kemudian memungut buku itu.
“Ini diary?” tanyaku sambil membuka satu-persatu lembaran buku itu. Sepertinya buku ini sudah dibuang. Kulihat goresan pena berwarna merah yang tertulis dalam buku itu. Susah payah saya membaca goresan pena itu tapi tetap tak bisa. Tita yang dipakai sangat tipis juga telah luntur mirip terkena air.
“Ya ampun. Udah jam segini!” seruku sehabis melirik jam tanganku yang telah menunjukkan pukul 02.05. Aku meletakkan buku itu ke tempatnya semula kemudian menjinjing daerah sampah dan berlari menuju kelas.
Setelah mengunci kelas, saya bergegas pergi meninggalkan sekolah. Tapi ketika hingga di gerbang, langkahku terhenti. Aku teringat dengan buku diary yang kutemukan tadi. Tiba-tiba perasaan absurd menghampiriku. Rasanya ingin sekali saya mengambil dan membawanya pulang. Tapi yang saya tau itu hanyalah diary yang telah lusuh dan terbuang.
Tanpa berpikir panjang saya segera berlari menuju container. Meski rasa lelah sudah kurasakan semenjak tadi, saya tetap memaksakan diri untuk berlari lebih cepat. Namun ketika sampai, saya sudah tak menemukan diary itu lagi.
“Aneh. Padahal tadi saya sudah meletakkannya disini? Apa mungkin ada orang lain yang telah memungutnya?” saya bertanya-tanya. Aku berusaha mencari diary itu disekitar tempatku meletakkannya tadi.
Akhirnya saya menemukannya. Kulihat diary itu berada di dalam daerah sampah yang ditinggalkan kelas lain. Mungkin ada orang lain yang menemukannya sehabis saya pergi kemudian membuangnya alasannya menganggapnya sampah. Jika itu benar, beruntung orang itu tidak mengambilnya.
Sore ini saya duduk termenung di akrab jendela. Ada banyak hal yang kupikirkan hingga menciptakan kepalaku terasa pusing. Salah satu hal yang saya pikirkan yaitu kiprah Bahasa Indonesia yang akan dikumpulkan besok. Tapi problem utamanya bukan itu. Yang menciptakan kepalaku pusing yaitu bagaimana caranya saya mengerjakan pr kalau bukunya saja tidak ada? Salahku juga sih alasannya tak sengaja menghilangkannnya.
“Oh, ya! Diarynya!” seruku sehabis teringat dengan buku diary itu. saya mengambil tasku untuk mencarinya juga sebuah pulpen yang akan kugunakan untuk menuliskan pengalaman yang saya alami hari ini.
“Dear diary. 3 hari yang kemudian saya nggak sengaja menghilangkan buku Bahasa Indonesiaku. Gimana ya? Padahal besok ada kiprah yang harus kubawa. Mana gurunya galak lagi. Masa saya mau dieksekusi lagi kaya tadi?
Andai saya bisa, saya akan meminta biar Pak Ahmad tidak sanggup tiba untuk mengajar besok. Apapun alasannya saya ingin beliau tidak sanggup mengajar. Dan satu lagi permintaanku. Aku ingin biar bukuku sanggup ketemu secepatnya.”
Ya… walau pun saya tau kalau menulis diary itu nggak akan sanggup menuntaskan masalahku, tapi setidaknya saya sanggup merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Soalnya saya sanggup menceritakan masalahku walau hanya pada buku diary. Ini masih lebih baik dari pada saya harus bercerita pada ibuku. Yang ada nanti saya malah dimarahi.
Hari ini kelas ramai sekali. Benar-benar mirip pasar. Kulihat teman-temanku terus mondar-mandir untuk menghampiri temannya yang ada di dingklik lain. Sementara saya masih berdebar-debar sambil melihat kearah pintu alasannya takut kalau Pak Ahmad tiba- tiba tiba dan pribadi menyidik pr-nya. Duh… nggak sanggup kubayangkan human apalagi yang akan menimpaku hari ini.
“Woi! Kok bengong?” Rani berteriak sempurna ditelingaku hingga membuatku kaget.
Aku menatapnya kesal. ”Ih, ganggu orang aja!” gerutuku kesal. Suda pagi-pagi stress, dikagetin lagi. Gimana gak tambah stress?
“Iya deh, saya minta maaf.” Katanya sehabis duduk disebelahku.
“Oh, ya. Pak Ahmad mana? Kok dari tadi gak kelihatan?” tanyaku penasaran.
“Kamu gak tau?” Rani menatapku serius.
“Apa?”
“Hari ini tuh Pak Ahmad nggak sanggup ngajar. Katanya sih lagi sakit.”
Aku tertegun mendengar tanggapan Rani. “Sakit?” batinku. Perasaan kemarin Pak Ahmad masih sanggup mengajar di kelas sebelah. Kok kini tiba-tiba sakit ya? Tapi sudahlah. Bukankah itu artinya ini yaitu hari keberuntunganku? Dengan begini saya tidak akan kena hukuman. Setidaknya saya masih punya waktu seminggu lagi untuk menemukan buku itu.
“Bosen nih. Main yuk!” ajak Rani.
“Main apa?”
“Pancasila ada lima dasar tapi pakai lempiran.”
“Ok. Setuju.” Aku membuka tasku untuk mengambil buku tulis untuk mendapat selembar kertas. Tapi bukannya mendapat selembar kertas, saya malah mendapat benda yang kucari selama ini.
“Ini kan?” tanyaku sembari menatap buku Bahasa Indonesiaku yang kini ada didalam tasku. Tapi kenapa sanggup ada disini? Bukankah saya belum sanggup menemukan buku ini? Ah, niscaya ini hanya kebetulan saja.
Setiap hari saya terus menulis semua problem yang saya alami dalam buku ini. Entah itu menyenangkan atau menyedihkan saya tetap tak memperdulikannya. Tapi sehabis mengisi lembaran-lembaran diary ini, saya menyadari satu hal, yaitu sehabis saya menulis ajakan dalam buku diary ini, maka beberapa ketika kemudian permintaanku niscaya terkabul. Sejak menyadari hal itu saya terus menulis semua permintaanku dalam buku diary itu. Karena saya yakin kalau permintaanku niscaya akan terkabul.
Saat saya bertemu dengannya, dadaku selalu terasa berdebar-debar. Saat melihat senyumnya, hatiku terasa berbunga-bunga. Dan ketika mendengar suaranya, hatiku mencicipi kedamaian. Dia yaitu orang yang menciptakan hariku menjadi indah alasannya beliau telah membuatku mencicipi cinta.
Ditempat ini saya selalu sanggup melepas semua rasa lelahku. Saat melihat langit dari jendela kamar, rasanya semua rasa lelah itu hilang begitu saja. Apalagi sehabis saya mempunyai buku diary itu. Senang sekali rasanya kalau semua permintaanku sanggup terkabul setiap hari. Hanya saja lembaran buku diary ini tidak akan sanggup mengabulkan semua permintaanku yang mempunyai banyak keinginan ini. Tapi saya tak peduli. Meski lembaran buku ini hanya tinggal 3 lembar, tapi saya akan tetap menuliskan permintaanku yang satu ini.
“Dear diary. Sejak dulu saya menyukainya. Saat beliau ada didekatku, rasanya ingin sekali saya menyampaikan kalau saya menyukainya. Tapi kenapa ya selalu tak bisa? Setiap kali saya ingin mengatakannya, rasanya pengecap dan bibirku jadi kaku hingga tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
Dear diary. Aku harap beliau juga punya perasaan yang sama denganku. Jika itu benar, saya ingin sekali beliau mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ketika beliau mengatakannya, saya harap saya juga sanggup menyampaikan kalau saya juga menyukainya.”
Semoga harapanku yang satu ini sanggup terkabul mirip harapanku sebelumnya. Tapi kenapa saya merasa tidak yakin. Padahal setiap menulis keinginan yang lain, saya selalu yakin kalau harapanku itu akan terkabul. Kenapa kini tidak? Apa alasannya saya terlalu gugup?
Keesokan harinya harapanku terkabul lagi. Saat pulang sekolah, tiba-tiba Alex menghentikanku sebelum saya keluar dari kelas. Awalnya beliau menatapku penuh keraguan. Lalu tiba-tiba ia menyampaikan kalau beliau menyukaiku. Aku sungguh merasa senang. Tanpa ragu saya menjawab kalau saya juga menyukainya. Tapi tak mirip biasanya. Hari ini saya sanggup menyampaikan hal itu dengan sangat mudah. Kini saya merasa ini yaitu hari terindah dalam hidupku. Ini semua berkat buku diary itu. Aku jadi merasa menjadi orang paling beruntung alasannya pernah mempunyai buku diary itu.
Dengan langkah yang terasa ringan saya melangkahkan kaki menuju rumah. Itu semua terjadi sehabis Alex menyatakan perasaannya padaku.
Kubuka pintu rumah. Tak mirip biasanya. Hari ini rumah kelihatan sepi sekali. Padahal biasanya ada ibu yang selalu bersantai sambil menonton tv diruang tamu. Tapi kenapa hari ini sepi sekali ya?
Aku terus menunggu di rumah. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.30 tapi tak ada seorang pun yang datang. Bahkan ayah yang harusnya sudah pulang bekerja juga belum datang. Sebenarnya mereka kemana sih? Membuatku khawatir saja.
Tiba-tiba saya mendengar bunyi motor dari luar disusul dengan bunyi pintu gerbang yang terbuka. Karena penasaran, saya segera berlari keluar untuk melihat siapa yang datang.
Kulihat ibu berlari dengan sangat terburu-buru. Sementara diluar ada seorang perempuan yang tak kukenal sedang menunggu ibu dengan motornya.
“Ibu dari mana? Kok wajah ibu pucat?” tanyaku cemas.
Ibu menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat lembap alasannya air matanya yang mengalir dengan deras. “Ayahmu!” kata ibu dengan bunyi sesak. Sepertinya ia sudah menangis terlalu lama.
“Ada apa dengan ayah?” tanyaku semakin panik.
“Ayahmu kecelakaan. Sekarang keadaannya sedang kritis.” Ibu menangis semakin keras kemudian memelukku dengan sangat erat. “Ibu akan kembali ke rumah sakit.” Kata ibu sehabis melepaskan pelukannya. Ia mengambil sebuah foto keluarga yang ada di ruang tamu. Setelah itu, ia berlari keluar menyusul temannya.
“Aku ikut!” teriakku berusaha menghentikan ibu. Ia tak mendengarku. Motor yang ditumpanginya telah melaju dengan sangat cepat.
“Kenapa ini sanggup terjadi?” kataku sambil terus menangis. saya ingin sekali nyawa ayah terselamatkan. Tapi bagaimana caranya?
“Aku ingat! Diary itu niscaya sanggup membantuku!” seruku. Tanpa memmbuang waktu saya segera berlari ke kamar dan mengambil diary itu. Setelah itu, saya segera menuliskan ajakan kalau saya ingin ayahku selamat.
Tiba-tiba lembaran diary itu berubah warna menjadi merah. Saat diary itu masih ada di genggamanku, tiba-tiba cairan berwarna merah membasahi tanganku. Warnanya mirip sekali dengan darah. Aku sangat takut. Tanpa berpikir panjang saya melemparkan diary itu ke lantai.
Gumpalan asap muncul di kamarku. Lama-lama bentuknya mirip wujud manusia. Tak hingga 1 menit gumpalan itu berubah. Dan yang membuatku terkejut adalah, gumpalan itu kini bermetamorfosis sosok seorang laki-laki yang tak kukenal.
“S-siapa kau?” tanyaku gemetar.
“Aku? Namaku Virgo. Aku yaitu pemilik diary ini sebelum kau.” Jawabnya sambil mendekat kearahku.
“K-kenapa kamu b-bisa ada d-disini?”
“Aku akan menjelaskan wacana buku diary ini padamu.” Katanya yang membuatku tak mengerti. “Dulu saya juga sama sepertimu. Karena diary ini sanggup mengabulkan semua permintaanku, saya terus menggunakannya hingga lembar terakhir. Saat saya menulis di lembar terakhir itulah saya mengerti kalau diary ini bukanlah diary yang hanya sanggup mengabulkan ajakan pemiliknya, tapi diary ini juga mempunyai kutukan.” Jelasnya panjang lebar.
“K-kutukan?” saya masih belum mengerti.
“Iya, kutukan bagi siapa saja pemilik diary ini, maka orang itu akan menghilang dari dunia ini sehabis mengisi lembar terakhir. Tapi orang itu tidak mati, melainkan terkurung dalam diary ini. Didalam diary itu ada aneka macam siksaan. Disana kamu akan merasa sangat kesakitan alasannya kamu masih menjadi seorang manusia. Lalu kalau kamu ingin keluar dari dalam diary itu, maka kamu harus mencari orang untuk menggantikanmu. Dengan kata lain orang itu akan dijadikan korban selanjutnya. Hanya saja ketika kamu telah berhasil keluar, wujudmu bukanlah sebagai manusia, melainkan sebagai roh. Itu artinya kamu sudah mati. Dan kini giliranmu Lucy. Sama mirip lembar yang tersisa dalam diary itu. Sisa hidupmu hanya tinggal 2 tahun lagi. Karena setiap kamu mengisi satu lembaran diary ini, maka itu artinya kamu mengurangi satu tahun sisa hidupmu sendiri.” Sambungnya.
“Tapi saya belum mengisi lembar terakhir.”
“Itu beliau masalahnya.” Kata Sunbulat sambil mengambil buku diary itu. “Didalam diary ini kamu gres saja menciptakan kesalahan.”
“Kesalahan.”
“Yap. Kesalahan itu sangat fatal. Karena kesalahan itu sama saja artinya dengan mengisi lembar terakhir diary ini.”
“Memang apa salahku?”
“Kau telah menciptakan ajakan yang tak sanggup dikabulkan oleh diary ini. Yaitu, meminta buku diary ini untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Itu artinya kamu juga telah bersedia menukarkan nyawamu dengan nyawa orang yang ingin kamu selamatkan. Tapi kamu masih sanggup membatalkan ajakan itu dengan aben lembaran ini. Tapi sisa hidupmu akan berkurang setengah tahun.”
“Kalau begitu berikan saja nyawaku pada ayahku!” kataku sambil menangis.
“A-apa?” Sunbulat kelihatan kaget sehabis mendengar pernyataanku. “Tapi dalam diary ini masih ada 1lembar lagi. Kau masih sanggup menciptakan ajakan yang lebih baik daripada kamu harus memberi nyawamu untuk orang lain.” Sunbulat berusaha mengubah pikiranku.
“Lalu apa untungnya bagiku? Bukankah sama saja? Jika saya terus menulis di buku diary ini maka itu artinya saya mengurangi sisa hidupku. Lalu apa bedanya kalau saya memberi nyawaku pada ayahku yang selama ini selalu menjagaku?” kataku dengan sangat yakin.
“Apa kamu yakin?” Sunbulat berusaha memastikan.
“Ya. Aku yakin dan benar-benar yakin.” Jawabku mantap.
“Baiklah. Kalau begitu kini peganglah tanganku.” Sunbulat mengulurkan tangannya. Aku menggengga tangannya yang dingin. “Sekarang saya akan memasukkanmu dalam diary ini. Aku jamin ayahmu akan selamat.” Sambungnya.
Cahaya putih menyinari sekelilingku. Tiba-tiba tubuhku terasa lebih ringan dari sebelumnya. Kulihat tubuhku bermetamorfosis titik-titik cahaya yang bergerak masuk ke dalam diary itu. Semakin saya masuk ke dalamnya, lembaran buku diary itu bermetamorfosis putih sama ketika pertama kali saya menemukannya. Sementara semua hal yang kutulis selama ini hilang begitu saja. Hal itu terus terjadi hingga jiwaku benar-benar menghilang dari dunia ini.
4 hari kemudian…
Diary ini kembali lagi ke tempatnya semula. Tempat dimana Lucy menemukannya, yaitu di akrab container sekolah. Meski Lucy sudah terkurung dalam diary itu, tapi kutukannya tidak akan berhenti. Kini diary itu ditemukan lagi oleh orang lain. Lucy yang terkurung dalam diary itu benar-benar terkejut sehabis melihat pemilik diary yang berikutnya. Karena orang itu addalah Rani sahabatnya sendiri. Kini Lucy hanya sanggup berharap biar Rani tidak mengalami hal yang sama dengannya. Karena beliau tak ingin, akan orang lain yang menjadi korban selanjutnya. Apalagi kalau itu yaitu orang yang sangat ia sayangi.
TAMAT