Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 20 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Ketika itu pulalah Ki Putih Kelabu yang sedang makan malam mencicipi kedaluwarsa yang absurd Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 20 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Ketika itu pulalah Ki Putih Kelabu yang sedang makan malam mencicipi kedaluwarsa yang aneh. Bau tujuh macam kembang mayat. Dia tinggalkan santapannya. Dia membuka pintu ruang pendapo, dan alangkah kagetnya dia dikala dilihatnya yang muncul yaitu Guru Gumara.
“Hah, Guru!” Ki Putih Kelabu kaget Guru Gumara berpakaian putih, menatapnya tajam dan berkata: “Harap malam ini tuan guru tidak tidur. Karena saya gres saja dibangunkan oleh mimpi yang jarang terjadi?”.
“Akan dibinasakanlah penduduk Kumayan?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Tidak, Tapi sebaiknya anda jangan turun tangan jikalau ada kejadian yang terjadi”.
Lalu Guru Gumara berlalu. Dia datangi Ki Ladang Ganda, dan diucapkan kata-kata yang sama, begitupun kepada guru-guru yang lain.
Seluruh Harimau Kumayan malam itu menjalankan tirakat. Sudah lewat dua jam dari tengah malam yang menegangkan, tak kedengaran satu suarapun yang mencurigai.
Rupanya perintah itu dipatuhi oleh seluruh guru penjaga Kumayan alasannya yaitu rasa hormatnya mereka kepada wibawa yang dipancarkan sorot mata Gumara. Ketika itu Gumara sedang menggali sepetak tanah tak jauh dari Bukit Kumayan. Seluruh yang dilakukannya persis menyerupai yang dialaminya pada mimpi. Dan dikala mata pacul terdengar meleduk, tahulah Gumara bahwa itulah papan kayu ruyung yang tahan rayap. Perlahan jari tangannya membersihkan permukaan papan ruyung itu.
Dia mengumpulkan tenaga untuk menyibak susunan papan ruyung itu dengan hati-hati.
Tampaknya seluruhnya jadi begitu cepat Ki Pita Loka merasa waktunya tiba untuk meninggalkan daerah persembunyiannya di balik semak pohon kopi.
Dia melihat orang yang membongkar tadi sudah niscaya masuk ke dalam tanah. Dia hampiri daerah penggalian itu. Dia lihat susunan papan ruyung yang berada di samping lobang. Dan tanpa menanti waktu lagi, dia masuk ke dalam lobang. Hati-hati dengan perjuangan peringatan badan sempurna. Kini peranan indera pendengaran sungguh diutamakannya. Dia mendengar ada benda yang digeser dan dibuka di daerah gelap itu. Dia mendengar ada lembaran-lembaran yang sedang dibuka. Tapi di dalamsana itu tak ada cahaya apalagi lampu! Siapa orang tadi?
Pastilah orang itu sedang membaca Kitab yang Enam.
Namun Ki Pita Loka tetap saja tidak mengetahui, bahwa orang yang di dalam itu yaitu Guru Gumara. Kini Ki Pita Loka, yang merasa bahwa enam buah kitab itu yaitu pemanis dari Kitab Pertama yang dia miliki dan berada dalam sampul kain kuning di pinggangnya... melangkah ringan lagi untuk tarus masuk.
SEMENTARA Ki Pita Loka merayap dalam gelap tanpa menjadikan suara, Gumara meraba Kitab Ketujuh dengan jari-jarinya. Dia sanggup membaca goresan pena pada sampul kitab ketujuh itu, lewat cahaya yang muncul bagai neon kecil dari sepuluh kuku jarinya.
“Kitab ini yang ketujuh yang berupa Kitab Perdamaian tapi perdamaian ini tidak tepat sebelum engkau dapatkan Kitab Pertama. Jagalah kukumu yang tajam”.
Baru Gumara bisa menghela nafas, alasannya yaitu semenjak mendapat Enam Kitab dia terheran-heran alasannya yaitu seluruhnya bukan tujuh melainkan enam. Sesuai dengan pesan Kitab kedua yang pada kulit buku itu tertera kemestian membungkusnya kembali dengan kain kuning, maka Gumara melaksanakannya. Lalu keenam kitab itu dia ikatkan pada pinggangnya. Sebelum dia meninggalkan lubang bentuk guha di bawah Bukit Kumayan itu, dia sempat mencium peti daerah kitab itu yang terbuat dari tembaga tidak boleh membawanya. Semula dia begitu bangga dan bisa menahan kegembiraan itu. Semula dia akan menuntaskan Tugasnya pada malam Kamis Wage itu dan akan merencanakan mencari Kitab Pertama pada malam Jum”at Kliwon besok.
Semulanya memang begitu...
Tapi begitu dia lihat sosok tak terang di hadapannya, yang telah memasang kuda-kuda tapi tak terang siapa, Gumara menghentikan langkah. Dia melaksanakan puncak permainan kependekarannya, sebagaimana dia melayani tantangan Ki Karat. Dia cuma berdiri tegak dengan dua tangan melipat silang di dada, menghela nafas dalam, meringankan seluruh gerakan otot dan urat, sehingga seluruh perjalanan darah seperti tak memiliki getaran lagi. Getaran itu sudah terpusat pada permainan nafas. Dan seluruh gerak yaitu nafas.
Kedua tangan terlipat itu menghadap ke depan. Tapi ternyata begitu pula lawannya yang tak dikenalnya. Dia merasa lawannya cukup kuat, tarasa sekali ada getaran elektron yang mendorongnya semoga bergeser dari daerah berdirinya. Gumara merasa yakin dirinya sanggup menahan kiriman getaran elektron itu, dan dia. Berusaha semoga tumitnya tak bergeser.
Tapi tiba-tiba dia merasa tumitnya bergeser. Ini berarti kekuatan lawannya cukup tangguh dan memiliki gaya yang sama. Keringatnya menetes. Keringatnya menetes lagi.
Dan Ki Pita Loka juga sudah berair kuyup. Keringatnya pun menetes. Dia berusaha untuk mengetahui lawannya.
Tapi wajah dan bentuk tubuhnya pun tak jelas. Dia terus bertahan dengan perang nafas. Jarak antara telapak tangannya dan telapak tangan Gumara sudah tinggal beberapa senti meter lagi. Apabila kedua telapak tangan ini sempat beradu, maka akan terciptalah malapetaka besar antara dua pendekar. Akan terdengarlah bunyi petir dan empat potong tangan pahlawan ini akan buntung semuanya.
Urat leher Gumara sudah kejang, begitupun Ki Pita Loka, dan kedua pahlawan itu tidak sanggup mengenali masing-masing. Bila dua-duanya mau memaksakan diri, maka akan celaka. Namun kedua-duanya pun tidak mau menahan diri, menjaga saja semoga letak telapak tangan itu berhadap – hadapan saja, tanpa ada geseran.
Empat Jam sudah pertarungan itu berlangsung. Cuma alasannya yaitu tadi malam ada bulan puurnama, pagi tiba tampaknya lebih lambat. Karena seluruh desa Kumayan diliputi embun yang turun menyirami bumi.
Sinar matahari tak sanggup menembus embun tebal itu.
Tapi memang tampak ada sepuluh bintik yang bergerak teratur menuju Bukit Kumayan itu. Satu di antaranya, Ki Harwati, berkata: “Kita telah tiba di Bukit Kumayan. Karena ini wilayah kekuasaan almarhum ayah saya, kalian yang sembilan orang menunggu di sini”.
“Uu tidak bisa”, membantah Dasa Laksana, “Kita yang sepuluh ini berada di bawah panji keilmuan Kitab Sepuluh Dasa Laksana”.
“Ki Harwati”. cegah Talago Biru, “Aku tidak suka anda membantah beliau”.
Ki Harwati kali ini tunduk pada perintah Talago Biru. Dan menurut petunjuk Dasa Laksana, maka sepuluh mereka itu semuanya membisu di daerah melihat dulu keadaan.
“Aneh, embun pekat gres sekali ini terjadi”“, kata Ki Harwati.
“Apa tafsirannya?” tanya Ki Rotan.
“Tentu ada sesuatu yang menyelimuti kita. Ini berarti sedang ada diam-diam di sekitar Bukit Kumayan sakti ini”, kata Ki Harwati.
Apa yang sedang terjadi memanglah demikian. Perasaan Gumara dikala menahan letihnya telapak tangannya berhadapan dengan lawan, merasa lawannya semakin kabur.
Dia tak menyadari, bahwa tirai embun menyelusup ke dalam guha itu.
KI PITA LOKA pun agak heran. Lawannya malahan semakin usang semakin kabur, sehingga dia tak menyadari bahwa sebetulnya embun sudah memasuki guha itu.
Pertempuran macam begini berbahaya. Jika sedikit saja tumit bergeser maka dorongan telapak tangan akan keluar dari poros getaran. Ya, yang sedang bertempur sebetulnya getaran nafas lawan getaran nafas. Dan Gumara tiba-tiba merasa bahwa ada dorongan berpengaruh dari telapak tangan lawannya. Dia harus imbangi. Dia bergeser ke kanan sedikit, dan dengan serta merta jurus telapak tangannya berubah dan dia rasakan kukunya mencapai sasaran.
Ki Pita Loka menahan nyeri di mata kanannya terkena kuku lawan, sehingga dia melaksanakan putaran tendangan lamban, yang sebetulnya amat berpengaruh menghentak ke paha Gumara. Gumara menahan sakit sembari tersungkur dan dia mencicipi sekali lagi tendangan lamban mengenai dadanya. Darah muncrat oleh tendangan lamban yang menggedebuk keras ke dadanya. Gumara bangun lagi tetapi kakinya terkena serimpung, sehingga sekarang dia tahu bahwa lawannya yaitu wanita.
“Kamu itu Harwati?”“ tanya Gumara mengira adik tirinya.
Pita Loka yang menyesal gres tahu lawannya yaitu Guru Gumara, berusaha melarikan diri. Tetapi dia tersungkur kena serimpungan Gumara. Dia eksklusif merenggut rambut yang kebetulan kena sambernya, dan dia mau mencekik sambil berkata geram: “Kamu dilaknat ayahmul”
Embun menyingkir cepat dan cahaya matahari melintas sekejap.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel