Cerita Silat: Belakang Layar Kitab Tujuh 19 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 04 Januari 2015
Sebelumnya...
Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: “Aku kasihan padamu.
Sesungguhnya, saya ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kau pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang satria harus mempunyai yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... “, kemudian Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati “Dia pernah mencar ilmu pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh-sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan lantaran ilmu itu bukan ilmu tempelan maka beliau takkan hilang selama-lamanya sehingga dikala beliau mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang beliau pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian sanggup dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku”.
Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: “Apa yang kalian cari? Kalau kalian berdua ingin mendapat Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, alasannya ialah kalian akan celaka”.
Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: “Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru. Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal satria besar ini. Tapi saya tidak ikut”.
Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: “ Kamu ikut saya! “
Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya beliau menjelang matahari terbit.
Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju.
Kesabaran ialah modalnya. Bisa saja beliau melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang satria yang akan memetik kenaikan derajat.
Celah Karakeling beliau tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup bila terinjak, tetap mekar lantaran tiada terkena sentuhan telapak sang guru.
Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin terperinci olehnya. Tujuh manusia. Makin bersahabat semakin jelas, Tujuh insan itu buntung semua.
Beberapa puluh langkah menjelang beliau harus menjelang puncak bukit itu, terdengar bahaya dari atas: “Tujuh satria buntung meminta anda tidak melewati bukit ini”. Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin bersahabat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas.
Dan tahulah beliau dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung sekarang sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhati-hati. Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu.
Dia bertongkat Dan beliau menyatakan siapa dirinya: “Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan”.
Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru.
Ki Dasa Laksana kemudian berkata: “Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu adonan dalam namaku: Dasa Laksana, lantaran akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya”.
Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah dikala itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka lantaran menginjak bubur itu.
Apa yang beliau perbuat seluruhnya mirip kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya dikala itu.
“Gebrak!” perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan bunyi teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan beliau bergulingan bagai bantal guling.
SEKETIKA itu juga angin puting-beliung menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu.
Ki Pita Loka sudah hingga di lembah bawah yang seluruhnyapadang rumput.
Dia bangun dengan ringan, dan mendengar bunyi riuh di belakangnya mirip riuhnya belalang menyerbu.
Ki Pita Loka berdiri perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, kemudian beliau menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala hingga ke ujung telapak kaki kanan.
Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu membuat angin menggebu yang menerkam sepuluh satria yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya.
Kesepuluh satria itu semuanya jumpalitan dengan lolongan bunyi yang mengerikan sekali.
Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, kemudian melangkah lamban di ataspadang rumput itu hingga ke kaki Bukit Kumayan.
Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, biar senja itu beliau mandi di Pancuran Mayang. Tapi beliau kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan satria yang lengkap kesaktiannya.
Namun dikala beliau melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka-akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan bunyi bisikan itu seakan semakin besar lengan berkuasa untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang.
Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri menyerah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang busuk menyannya sudah mulai menerpa hidung alasannya ialah pertukaran malam dan siang.
Malam benderang datang.
Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung mirip kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia sekarang sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak?
Bersambung...
Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: “Aku kasihan padamu.
Sesungguhnya, saya ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kau pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang satria harus mempunyai yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... “, kemudian Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati “Dia pernah mencar ilmu pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh-sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan lantaran ilmu itu bukan ilmu tempelan maka beliau takkan hilang selama-lamanya sehingga dikala beliau mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang beliau pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian sanggup dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku”.
Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: “Apa yang kalian cari? Kalau kalian berdua ingin mendapat Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, alasannya ialah kalian akan celaka”.
Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: “Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru. Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal satria besar ini. Tapi saya tidak ikut”.
Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: “ Kamu ikut saya! “
Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya beliau menjelang matahari terbit.
Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju.
Kesabaran ialah modalnya. Bisa saja beliau melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang satria yang akan memetik kenaikan derajat.
Celah Karakeling beliau tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup bila terinjak, tetap mekar lantaran tiada terkena sentuhan telapak sang guru.
Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin terperinci olehnya. Tujuh manusia. Makin bersahabat semakin jelas, Tujuh insan itu buntung semua.
Beberapa puluh langkah menjelang beliau harus menjelang puncak bukit itu, terdengar bahaya dari atas: “Tujuh satria buntung meminta anda tidak melewati bukit ini”. Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin bersahabat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas.
Dan tahulah beliau dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung sekarang sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhati-hati. Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu.
Dia bertongkat Dan beliau menyatakan siapa dirinya: “Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan”.
Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru.
Ki Dasa Laksana kemudian berkata: “Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu adonan dalam namaku: Dasa Laksana, lantaran akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya”.
Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah dikala itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka lantaran menginjak bubur itu.
Apa yang beliau perbuat seluruhnya mirip kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya dikala itu.
“Gebrak!” perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan bunyi teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan beliau bergulingan bagai bantal guling.
SEKETIKA itu juga angin puting-beliung menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu.
Ki Pita Loka sudah hingga di lembah bawah yang seluruhnyapadang rumput.
Dia bangun dengan ringan, dan mendengar bunyi riuh di belakangnya mirip riuhnya belalang menyerbu.
Ki Pita Loka berdiri perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, kemudian beliau menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala hingga ke ujung telapak kaki kanan.
Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu membuat angin menggebu yang menerkam sepuluh satria yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya.
Kesepuluh satria itu semuanya jumpalitan dengan lolongan bunyi yang mengerikan sekali.
Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, kemudian melangkah lamban di ataspadang rumput itu hingga ke kaki Bukit Kumayan.
Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, biar senja itu beliau mandi di Pancuran Mayang. Tapi beliau kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan satria yang lengkap kesaktiannya.
Namun dikala beliau melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka-akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan bunyi bisikan itu seakan semakin besar lengan berkuasa untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang.
Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri menyerah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang busuk menyannya sudah mulai menerpa hidung alasannya ialah pertukaran malam dan siang.
Malam benderang datang.
Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung mirip kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia sekarang sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak?
Bersambung...