Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 18 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Namun ini bukan sebuah petaka kekeliruanku menafsirkan pertamakali Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 18 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Namun ini bukan sebuah petaka kekeliruanku menafsirkan pertamakali, bahwa KitabTujuh yang kucari akan diwariskan pada 7 orang : saya dan enam muridku”.
Setelah ia membisu sejenak, kemudian ia menafsirkan gerak kosong ini lagi: “Kenapa harus berdukacita kehilangan enam murid? Bukankah dengan mempunyai satu buku kini ini, saya akan mewariskan enam buku lagi?” Pita Loka merasa matanya berat. Dalam duduk bersila itu ia sebetulnya sedang tidur. Tidur menyerupai insan sedang mati duduk. Dan rupanya ia mendapat mimpi!
Mimpi itu amat luar biasa. Dia melihat enam buah bintang jatuh pada sebuah bukit yang ia rasanya kenal. Dan keenam tahi bintang itu ditelan oleh seekor harimau yang punya garis bulu 41 bulatan.
Lalu Ki Pita Loka terbangun.
Malam sudah menjelang tibanya fajar meyingsing di ufuk timur. Pita Loka masih duduk bersila, memikirkan makna mimpi ahli itu. Lalu ia teringat seorang Guru penafsir mimpi yang jago. Dia ialah Guru Gumara. Rupanya ingatan pada Gumara inilah menuntun Ki Pita Loka untuk menafsirkan mimpi yang gres terjadi. Baru ia ingat.
Bukit yang ada di mimpi itu ialah Bukit Kumayan. Kalau demikian: “Tafsir mimpi itu adalah, enam bintang jatuh diterima olah salah satu dari harimau-harimau Kumayan.
Ki Pita Loka mencoba mempedalam tafsir mimpinya tadi. Bukankah itu berarti, saya harus merebut enam bintang itu dari hero Kumayan? Enam bintang itu pastilah enam dari tujuh Kitab Sakti itu, tentunya! Kini, tinggal lagi bagaimana melaksanakan mimpi itu.
Dibukanya Kitab Pertama yang telah menjadi miliknya sekarang. Dia membaca huruf-huruf kuno gundul tak bertanda. Tapi ia mengerti. Dan ia telah amalkan tiap tafsiran dalam Kitab itu, mulai dari pensucian diri, latihan gerak bayi dalam rahim ibu hingga gerak bayi keluar dari kandungan serta teriakan pertama. Penutup keterangan Kitab Pertama itu ialah kalimat yang hampir sulit terbaca saking kunonya; “Kitab Pertama ini harus diamalkan, dan ia disebut juga Kitab Asal. Apabila pemegang Kitab ini sudah menyempurnakan amalnya, maka ia mempunyai kewajiban yang akan diamalkannya berikutnya sehabis melewati satu mimpi di waktu dini hari. Kini tergantung si Pemlik Kitab ini, apakah ia melakonkan tafsir mimpi itu dengan betul dan baik, lantaran kesalahan langkah akan menjadi sebuah musibah”.
Ki Pita Loka menutup Kitab Pertama itu. Dia kembali menggulungrya dengan bungkusan berupa kain kuning.
Kitab itu sesuai dengan pesan, harus diikat sebagai ikat pinggang, di atas pusar.
Setetah final semua, Ki Pita Loka mencoba memantapkan tafsiran mimpinya. Hati kecilnya berseru: “Kembalilah ke Kumayan, rebut enam kitab lainnya itu semoga ilmu kau lengkap”.
Dia lain menyempurnakan pakaiannya dan ikat rambutnya yang panjang. Setelah tepat berdiri, Ki Pita Loka berkata pada badan gadis di hadapannya: “Terima kasih tujuh bidadari yang mengawalku dikala ngelmu. Aku akan meninggalkan kalian dan saya tidak perlu dikawal lagi”.
Tujuh gadis yang samar dalam kabut subuh itu menghilang bagai menguapnya embun.
Ketika ia siap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari itu, sekonyong hatinya gentar.
Tubuhnya menggigil, bulu romanya merinding. Dan rasa takut pun muncul menarik hati batin. Melalui pengalaman, ia mencoba mengusir godaan itu. Dan ia melangkah lebih tegap lagi. Tapi ia tidak menyadari, bahwa langkahnya dibuntuti. Andaikata ia mengetahui bahwa ia dibuntuti tentu ia akan berbalik, menghadapi orang yang membuntuti itu. Dan orang yang membuntuti itu kebetulan jaraknya agak jauh. Orang itu hanya melihat arah pintasan yang dituju Ki Pita Loka. Setelah orang itu yakin bahwa Pita Loka menuju Kumayan, orang itu mengambil jalan pintas.
Ketika Ki Pita Loka melewati celah terowong Karakeling, ia tampaknya menjadi ragu. Dia merasa tak pernah melewati terowongan ini.
KERAGUAN Ki Pita Loka rupanya diintai oleh dua orang pengintip. Dua orang ini pun rupanya sedang membuntuti Ki Pita Loka semenjak keluar dari Lembah Tujuh Bidadari.
“Bohong kau bilang ia telah mempunyai Kitab itu”.
“Percayalah, bahkan saya melihatnya sendiri. Dibungkus dengan kain kuning, dan jatuh dari angkasa ke pangkuannya pada hari Rebo Legi. Aku berdosa kalau saya mendustaimu. Lihat, ia duduk di watu itu”.
“Mungkin ia kuatir tersesat”.
Memang Ki Pita Loka kuatir akan tersesat. Pedoman baginya sudah tak ada lagi, kecuali bintang. Letak desa Kumayan ialah pada ekor dari Bintang Bimasakti yang gres akan muncul menjelang tengah malam.
“Sekarang saja kita rampas Kitab itu”, kata pengintip perempuan itu„ yang tak lain ialah Ki Harwati. Dan pengintip pria, Talago Biru, kemudian meraih pundak Ki Harwati dan berbisik: “ Lihat, ia siap akan melanjutkan perjalanan”.
“Sssst”, bisik Ki Harwati, “Dia justru mendengar bunyi kita. Telinganya amat tajam. setajam indera pendengaran burung.”
Memang indera pendengaran Ki Pita Loka tajam. Dia mendengar menyerupai ada dua insan bercakap-cakap di atas celah terowongan Karakeling.
Dia mencoba memancing dangan mendehem. Lalu, terdengarlah suaranya yang menantang: “Siapa lagi di atas itu kalau bukan musuhku?”
Dan tantangan itu dipertegas lagi, bagai bunyi gemuruh: “Ayoh turun kau singa betina Kumayan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu! Dan kau ... kuda jantan muda pengkhianat, kuharap kau turun juga!”. Ki Harwati menatap mata Talago Biru dengan tegang.
Dia meraih pundak Talago Biru dan berbisik: “Dia tajam sekali. Begitu tajam sehingga ia mengenal diri kita masing-masing”.
“Benar, Harwati. Ketajaman pendengaran ialah bab dari kependekaran. Kau harus turun ke bawah. Jika tidak, saya yang naik ke atas”, terdengar bahaya itu begitu dahsyat.
Harwati menghela lengan Talago Biru: “Ayohl”
Talago Biru kecut seketika. Begitu Harwati menghela lengan Talago sekali lagi, mendadak sudah menancap di cabang pohon genuk itu ... dua kaki Ki Pita Loka kokoh berdiri, berkacak pinggang.
Dalam sekelebatan ia sudah melayang dengan terjangan menghentak ke pinggang Ki Harwati. Tetapi dikala Ki Harwati akan jatuh, satu tungkai kaki Talago Biru membantu menghalangi. Namun tanpa diperkirakannya, Talago mencicipi kepalanya terkena tamparan Ki Pita Loka. Dia terlempar kesamping, kemudian cepat bergayut di dahan pohon, mengayunkan badan yang kemudian melayang menyerbu ke badan gurunya sendiri, yang sedang berkacak pinggang sehabis menendang Ki Harwati.
Ki Pita Loka berbalik dengan tendangan membelakang mengenai pangkal leher Talago sementara tendangan satunya mengenai perut Ki Harwati yang barusan saja akan menerjang.
Ki Harwati kena terjangan itu bagaikan terbang mundur, dan dengan seluruh perasaan murka dikala punggungnya menabrak pohon, ia meneriakkan kutukan: “Mampus kau digigit kalajengking!”
Teriakan kutukan itu ampuh.
Seratus mungkin dua ratus ekor kalajengking menghambur menuju badan Ki Pita Loka.
Tetapi dikala itu pula Ki Pita Loka sudah menciptakan “tutupan” yaitu kedua telapak tangannya dengan gerak perlahan silih banting bersilang.
Dan seratus atau dua ratus ekor kalajengking itu merasa bagai menerjang bara api dikala menabrak telapak tangan Ki Pita Loka. Kesemuanya jatuh ke tanah sebagai bangkai - bangkai hewan yang mati hangus.
“Demikian tinggi ilmumu, Ki Pita Loka”, ujar Ki Harwati sehabis menyaksikan bangkai-bangkai kalajengkingnya yang mati hangus.
“Aku akan berguru padamu,” ujar Ki Harwati.
“Aku juga mohon ampun Ki Guru atas durhakaku menyalahi pelajaran. Terimalah kami berdua sebagai murid”, kata Talago Biru.
Ki Pita Loka tenang. Dikira sedang mempertimbangkan.
Tahu-tahunya ia bagai terbang menguakkan dua kaki, satu kaki menerjang pundak kiri Talago Biru, dan satunya lagi menendang pundak kanan Harwati. Dua-duanya jatuh ke samping dengan teriakan-teriakan mengerikan.
“Tolong saya ... saya akan mati...!” Ki Pita Loka mendengar bunyi perempuan di bawah tebing curam itu. Rupanya memang benar, dilihatnya Ki Harwati perutnya tertembus dahan runcing. Rasa kasihannya bangkit, dan ia cuma melaksanakan dua lompatan ke kiri dan ke kanan, kemudian tubuhnya melekat di dinding tebing di sebelah Harwati yang tersangkut di dahan runcing. Dengan darurat jempol tangannya dilekatkan ke langit-langit mulut, kemudian diusapkan ke perut Harwati.
MELIHAT kesungguhan Ki Pita Loka merawat Ki Harwati, Talago Biru sadar betapa besar jiwa pendekar itu. ia pernah mendengar pedoman Ki Pita Loka, bahwa seorang pendekar barulah berjiwa besar apabila ia tidak memancung kepala musuhnya yang sudah tak berdaya. Dan seseorang takkan dapat menjadi pendekar yang baik apabila ia tak dapat menahan nafsu, terutama nafsu kelamin. Inilah yang menginsyafkan seketika Talago Biru.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel