Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 17 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Ternyata bersama ludah yang disemburkan jagoan buntung itu yaitu bangkailima ekor kala Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 17 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Ternyata bersama ludah yang disemburkan jagoan buntung itu yaitu bangkailima ekor kalajengking.
“Sungguh ilmu anda rendah sekali, pendekar!” ujar Talago biru.
“Kalau demikian saya perlu berguru pada anda, anak muda!”
“Anda sudah menghabiskan usia anda. Anda tidak layak untuk diajak bicara”, kata Talago biru, yang berkelebat menyusup semak secara mencengangkan, Harwati berusaha mengejarnya, Tapi dia gagal.
Talago biru dengan pelajaran terakhirnya untuk berkelebat cepat telah tiba di padepokan Tujuh Bidadari. Dia dapati Ki Pita Loka sedang bersemedi, sedangkan sejenak lagi hari pun akan jadi malam Talago biru harus menanti hingga semedi itu selesai. Begitu semadi itu selesai Ki Pita Loka menoleh ke arah Talago biru dan bertanya: “ Sudahkah kau lakukan apa yang saya perintahkan ?”
“Belum “, sahut Talago biru.
“Belum? Saya yakin sudah. Kau sudah pada tingkatan ilmu yang lebih tinggi. Yaitu braja-geni kokoh perkasa di sulut api !”
Talago biru tercengang. Dia berkata:”Itukah yang tuan Guru maksudkan ?”
“Itulah semuanya! Kau diserang musuh yang menyimpan ilmu barzah, kau disengat oleh hewan peliharaannya berupa jin mirip hewan menyengat, kemudian kau terkena bisa yang mengakibatkan panas dan haus. Lalu kau pukul kerikil bersahabat ilalang.
Lalu terbitlah api yang membakar. Dan kau terjun ke api itu sesuai perintahku. Lalu kau selamat”
Talago biru tercengang. Dengan nada lugu dia berseru: ”Rasanya yang saya alami tadi yaitu jagoan dan musuh yang mengerikan”.
“Dia sedang mengalami terus alam kemasukan. Tahukah kau siapa dia ?” tanya Ki Pita Loka.
“Saya tak tahu. Dia beringas dan cukup mengerikan!”.
“Dialah Ki Harwati, sekutu dari jagoan Ki Dasa Laksana yang telah membuntungi tanganmu buntung.
Di tempat ini ada tiga jagoan liar, yang semuanya kehilangan guru sebab rakusnya pada ilmu. Tapi jagoan perempuan yang kau temui itu kelak akan merupakan lawan kita yang tangguh. Kini ketiganya berpencar sebab masing-masing tanpa ikatan ikrar dan semuanya kehilangan mata angin. Kau harus tahu, muridku, jagoan yang baik yaitu yang tahu mata angin”.
“Terima kasih, Tuan Guru”, ujar Talago biru.
“Sebelum tiba bencana, saya akan titiskan ke tubuhmu Kitab Pertama dari tujuh buah Kitab yang sedang kita cari”. kata Ki Pita Loka.
“Berikan ilmu itu padaku, Ki Guru!”
“Pergilah mandi dengan bunga mayat”, ujar Ki Pita Loka, “Nanti sehabis selsai, kau harus tiba ke Padepokan dengan selembar kain yang tanpa jahitan”.
TUBUH Talago biru benar-benar mengatakan tubuh lelaki jantan yang perkasa dan kekar. Usianya yang enam belas tahun tampaknya tidak sesuai dengan bentuknya, sebab ia lebih tepat bila dijuluki kuda.
Kakinya, badannya, lengannya, kepalanya, hanya bisa ditandingi oleh bentuk kuda jantan.
Terlebih ketika Talago biru harus mandi telanjang, dan membersihkan seluruh kotoran tubuhnya itu dengan air bunga mayat, maka siapapun yang melihatnya, termasuk lelaki (apalagi wanita) akan terkesan pada bentuk otot tubuhnya itu, mulai dari kaki hingga leher.
Ketika itu pulalah Ki Harwati tergiur dari balik semak pohon bambu tulup. Apalagi sinar matahari terbenam mirip menyinari cahaya ke tubuh Talago biru, sehingga lekukan otot perkasa itu seolah-olah bisa memberi rangsang pada 10 perempuan secara serempak. Ki Harwati kehilangan tujuan, kehilangan mata angin.
Dia bergotong-royong sudah tidak sabaran lagi hingga Talago biru mengenakan selembar pakaian lebar, yang seteteh digulung-gulung mirip mirip pendeta Budha. Tapi, begitu Talago biru akan meninggalkan pancuran mandi itu, dia sekelebat melihat sosok di balik rumpun bambu tulup.
Dia terpana beberapa ketika sebab rasa-rasanya dia mengenal insan itu , termasuk pakaian hitam yang dikena-kannya. Namun dia melangkah terus. Tapi dia kena cegat.
Ki Harwati telah bangun di situ, dan berkata: “Kamu benar-benar salinan dari Gumara”.
“Anda siapa?”
“Aku dilahirkan untuk kaGuru kepada jagoan yang berjulukan Gumara. Kenalkah kau?”
“Belum”, sahut Talago Biru.
“Engkau rugi. Dia yaitu jagoan merangkap Guru dari semua guru yang membentang dari tempat Kumayan hingga Bukit Lebah di selatan. Man bersamaku menghadap beliau”.
Talago Biru termakan oleh buah dada yang terang kelihatan, sewaktu perempuan itu menyediakan diri membuang sehelai daun bambu kering yang menyela pada jari kaki Talago.
Kemudian Talago Biru terpesona sewaktu jari perempuan itu meraba betisnya, seolah-olah menyelusupi bulu kakinya. Harwati terus meraba semakin ke atas. Talago Biru semakin berdiam diri dan dalam ketegangan lelaki yang amat sangat, dia seolah-olah melayang dalam kenikmatan, yang dalam sekejap mata menciptakan dia terhambur dengan berkelebat sambil berseru: “Celaka aku! Celaka aku!”
Dia menumpas setiap pohonan yang menghalanginya sewaktu dia berlari mirip seorang yang merasa salah. Dengan wajah yang masih dirundung rasa dosa, Talago Biru hingga ke tempat semedi Ki Pita Loka. Namun dia tidak berani masuk.
Tapi didengarnya bunyi sang guru dari dalam: “Kamukah itu, Talago Biru?”
“Ya, Tuan Guru”.
“Kamu tidak kuperkenankan bertemu denganku selama 21 hari”, ujar Ki Pita Loka, “Karena di sekitar tempatku ini saya mencicipi busuk air mani yang bau yang menciptakan saya hampir muntah”.
Belum pernah dia dimaki dengan ucapan lembut namun melukai ini. Mendadak saja Talago Biru tidak akan menjadikan dirinya pemimpin darilima temannya yang lain.
Yang selama ini lamban dalam kemajuan memperdalam ilmu.
Mendadak saja Talago Biru teringat pada perempuan jelita disana tadi, kemudian terangkum kembali ucapan perempuan itu. Bahwa guru dari segala Guru yaitu Gumara.
Seingat Talago, tak jauh dan pancuran mandi itu ada gundukan 17 buah kerikil besar, yang bentuknya mirip sebuah guha.
Dia yakin, tentu perempuan tadi ada di guha itu. Lalu secara belakang layar dia susuri lebih dulu pancuran mandi. Dengan berkelebat langkah belalang, dia sudah tiba di depan pintu guha.
“Adaorang di dalam?” tanya Talago Biru.
Harwati mandengar bunyi itu. Dia yakin itu bunyi lelaki. Dan ketika dia berlompatan mendapatkannya, sungguh benar, yang heran dihadapannya yaitu lelaki dengan bentuk kuda jantan.
“Aku ke sini sebab sudah kena kutuk oleh guruku?” kata Talago.
“Maka sudah waktunya kau kubantu. Tapi kenalkan kepadaku siapa gurumu itu”, kata Ki Harwati dengan membujuk yang disertai jarinya yang meraba bulu dada Talago Biru. Anehnya, ketika dia akan menyebut nama Ki Pita Loka, ketika itu pulalah Talago menjadi mirip lupa, dan lidahnya pun kelu.
“Jika kini kau tidak bersedia, nanti bila lelahmu telah kuakhiri tentu kau akan sudi menyebut namanya”, kata Harwati yang membawa masuk cowok kekar itu ke dalam guha.
KI PITA LOKA memang sedang disiapkan untuk menjadi seorang Guru yang sejati.
Guru sejati yaitu jagoan lahir dan batin yang sanggup menangkap sepak terjang musuh tapi juga sanggup mendengar bisik angin. Dan Guru yang tepat sebab sanggup menangkap gerak ketiga yaitu gerak kosong.
Kini, dalam semedi yang kusyuk kini ini, Ki Pita Loka sanggup menangkap gerak kosong itu. Tak ada isyarat. Kecuali itu akidah akan sesuatu. Yang telah terjadi dan akan terjadi. Ia mirip berkata pada dirinya sendiri seketika musuh menangkap gerak kosong itu:Lima muridku diperangkap musuh. Kini satu lagi muridku diperangkap musuh.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel