Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 21 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 04 Januari 2015
Sebelumnya...
Ketika itulah Gumara kaget melolot melihat orang yang digeramkannya itu ternyata Pita Loka.
“Ki Pita Loka” serunya sedikit menyesal lantaran dilihatnya mata kanan Ki Pita Loka terbeset jari kukunya dan luka.
“Aku telah buta sebelah”. ujar Ki Pita Loka. Gumara begitu gugup berusaha mengambil lendir langit-langit mulutnya dan mencoba menggosok ke mata Pita Loka.
“Percuma, Guru”. Rasa menyesal Gumara melebihi dari kecamuk cintanya yang berkobar-kobar pada Pita Loka.
“Saya rasa kamulah yang pantas mempunyai buku ini, lantaran saya gres saja melihat warna kuning yang membelit di pinggangmu”, ujar Gumara. Ki Pita Loka kaget.
Gumara menyibakkan pakaian putihnya. Dan warna kuning yang membelit di pinggangnya itu semakin terperinci oleh sorot cahaya matahari yang masuk ke celah lubang galian.
Ketika Gumara akan mencopot kain kuning pembungkus enam buah kitab penemuannya itu, Ki Pita Loka mencegah: “Jangan tuan Guru. Anda yang harus mempunyai Kitab Tujuh ini”.
Ki Pita Loka akan melepas ikat pinggang kuning yang melapis Kitab Pertama yang terselip di pinggangnya, tetapi Ki Gumara menolak: “Aku baru.membuktikan mimpiku. itupun sudah memuaskanku!”
“Ada pesan dalam kitab-kirtab itu?” tanya Ki Pita Loka.
“Ada. Pada Kitab Keenam ada pesan, bahwa saya harus menemukan Kitab Pertama sebelum hari Jum”at besok tiba. Dan pagi ini pagi Jum”at Kliwon. Dan kitab itu ada padamu”.
“Tidak, Guru. Tidak! Saya tidak berhak mendapat Kitab Tujuh itu lantaran ilmu saya masih rendah. Lagi pula saya akan buta mata sebelah, selama-lamanya!”
“Buta atau tidak butanya kau, sama saja buatku!” ucap Gumara, yang segera melepaskan ikat pinggang yang berisi enam buku itu. Pita Loka meronta, “Tidak, tidak!”
Tanpa mereka sadari, Ki Harwati sudah mendengar seluruh perdebatan itu.
Dia eksklusif bagaikan terbang ke bawah menyambar ikat panggang kuning yang membungkus buku enam kitab, begitupun Ki Dasa Laksana eksklusif mempreteli ikat pinggang kuning yang melilit di pinggang Ki Pita Loka.
Namun Gumara tidak tinggal diam. Begitu Ki Rotan turun ke lubang ia sudah nanti dengan terjangan membalik, sehingga tumit Gumara menghantam dagu Ki Rotan.
Ki Rotan tak berdaya lantaran kepalanya melintir kebelakang dan tidak kembali lagi. Dia cuma meronta-ronta dalam keadaan sekarat.
Ki Harwati berhasil membebaskan diri dari tendangan gading Ki Pita Loka. Dia akan lari, tetapi lengannya disambar oleh Gumara, sehingga ikat pinggang kuning itu kembali berada dalam tangan Gumara.
Dasa Laksana sudah berlari jauh dengan kecepatan luar biasa melarikan ikat pinggang kuning berisi Kitab Pertama.
Biarpun dalam keadaan mata sebelah. Ki Pita Loka menghambur meloncat keluar lubang, kakinya disamber Harwati namun berhasil jumpalitan.
KI PITA LOKA dengan lari sekencang angin limbubu menerjang semua pohon yang merintanginya untuk mengejar terus Ki Dasa Laksana.
Ki Dasa Laksana membalik dan merobohkan pohon pucung. Pohon itu meluncur cepat hendak menimpa Ki Pita Loka, tapi Pita Loka sudah terlebih dulu meloncat terbang yang justru meloncati pohon yang roboh itu. Bunyi berdembam bagaikan bom menggelegar keseluruh Kumayan.
Begitulah besar pohon pucung yang roboh itu.
Akar pohon itu sempat menyabet lengan buntung Dasa Laksana, tapi ia cepat mundur sembari memasang kuda-kuda saat mendadak sontak Ki Pita Loka melaksanakan tendangan bangau merobek pipinya.
Darah mengucur dari pipi Dasa Laksana, dan ia membalik ke samping seraya menungkaikan kakinya yang menyerobot tangan Ki Pita Loka.
Ki Pita Loka tersungkur dan sebelumnya merobohkan pohon cemara yang ditabrak tubuhnya.
Gumara melihat Ki Pita Loka dalam bahaya. Dia meloncati badan Harwati yang rupanya mau menghalanginya. Harwati mengejarnya, dan menjegalnya dengan memelintirkan tubuhnya sebanyak 36 kali putaran, sehingga Gumara harus mengakui kegesitan itu dengan menyungkurkan diri dengan dua telapak tangan ke tanah tapi menciptakan salto putaran tujuh kali jungkir balik, yang pada kesudahannya putaran salto terakhirnya menyempatkan telapak tumitnya menghantam leher Ki Dasa Laksana.
Ketika dalam keadaan terpelanting itulah Ki Pita Loka sudah mencegat badan itu, kemudian menangkapnya dan melemparkannya ke pohon jenggarang yang tegap.
Tulang rusuknya keluar disertai teriak kesakitan. Kesempatan ini menciptakan Ki Pita Loka dengan ceat menerkam tubuhnya yang mandi darah itu. Dia lepaskan ikat pinggang kuning yang membelit pinggang Ki Dasa Laksana, yang kelihatannya merintih. Tulang rusuk itu masih nongol merobek isi perutnya, warnanya putih gading diseling oleh kucuran darah.
Setumpuk rambutnya ternyata lengket pada kulit pohon jenggareng lepas dari kulit kepalanya.
Gumara hanya diam, membiarkan Ki Pita Loka menyiksa Ki Dasa Laksana dengan tamparan mundar mandir dengan telapak kaki kanan.
Rupanya Ki Pita Loka sudah puas melampiaskan kemarahannya, yang bukan sifat aslinya, lantaran kebutaan telah menciptakan ia kehilangan kontrol.
Ki Harwati masih ingin meneruskan perang tanding itu, tetapi ia kehabisan nafas Gumara masih berdiri, dan matanya melihat bagaimana tujuh belum dewasa muda buntung tangan pada melarikan diri satu demi satu.
Ki Pita Loka kesudahannya cukup puas dengan membentak Ki Dasa Laksana: “Pergi kau dari bumi Kumayan. Jangan kotori desaku dengan darahmu yang kotor itu !”
Dengan satu tendangan tempelengan pada muka Ki Dasa Laksana, Ki Pita Loka mengangkat badan Ki Dasa Laksana kemudian memakinya: “Matilah kau di desa Anggun sana, desa dari bajingan tengik!”
“Begitukah kau memperlakukan ilmu kependekaranmu?” Ki Harwati dalam nafas sesak bertanya di bawah pohon ceremai padanya. Ini mengejutkan Ki Pita Loka.
Dia sadar kini, bahwa apa yang telah diperbuatnya yang terakhir atas Ki Dasa Laksana memang tindakan di luar batas.
“Jika kau tersinggung lantaran tindakan kasarku kepada insan hewan Dasa Laksana, mohon dimaafkan.
Panca inderaku kini kurang satu. Kau lihat! Mataku! buta satu!”.
Gumara merasa terkena sindiran itu dan segera menerkam badan Pita Loka kemudian meluncurkan diri berlutut, bersembah: “Ampuni saya pewaris Ilmu Sakti Tertinggi !!
Engkau begitu mulia, tapi apa daya saya tak sengaja mencolok matamu!”
Ki Pita Loka menyerahkan ikat pinggang kuning berisi Kitab Satu itu kepada Gumara, yang masih berjongkok: “Kau, tuan Guru, yaitu orang yang lebih berhak. Hidupmu hanya patut apabila didampingi Harwati, yang mestinya anda didik ke ilmu yang benar.
Kekalahan saya bukan lantaran kekuatan otot maupun otaknya. Kekalahan saya hanya kalah bersaing dengan perempuan yang penuh ambisi. Harap diketahui, sama sekali saya tidak ada ambisi pada tuan, alasannya yaitu tuan guru lebih mulia”.
Ki Harwati gres menyadari siapa dirinya. Dia seharusnya mengakui kenyataan ini, apabila ia melihat begitu gencarnya langkah Gumara berlari mengejar Ki Pita Loka.
Gumara terusmengejarnya hingga Ki Pita Loka memasuki rumah ayahnya, kemudian menerkam hero renta Ki Putih Kelabu dengan kata-kata mengharukan: “Ayah, terimalah saya sebagai gadis biasa yang durhaka ini. Ayah, tolonglah mataku yang buta ini supaya sanggup melihat lagi”.
Sementara Harwati masih menangis tersedu di Bukit Kumayan, Gumara masuk dan berkata pada Ki Putih Kelabu: “Maafkan, kebutaan puteri tuan hanyalah lantaran kelancangan jari saya.”
“Anda tentu sanggup mengobatinya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dengan sangat menyesal, saya tidak sanggup mengobatinya. Tapi cacat Pita Loka menjadi tangung jawab saya..”
“Jangan menghibur orang buta, tuan Guru”, kata Ki Pita Loka.
“Aku bersumpah, bila perlu saya mati untuk menyembuhkan butamu itu, Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
Ki Harwati yang sudah berada di pekarangan rumah Ki Putih Kelabu, telah mendengar tiap ucapan Gumara.
Tangisnya bertambah ahli dan ia tidak habis pikir mengapa cintanya pada abang tiriya itu tidak pernah sanggup punah dari hatinya.
TAMAT (bersambung ke kitab selanjutnya)
Ketika itulah Gumara kaget melolot melihat orang yang digeramkannya itu ternyata Pita Loka.
“Ki Pita Loka” serunya sedikit menyesal lantaran dilihatnya mata kanan Ki Pita Loka terbeset jari kukunya dan luka.
“Aku telah buta sebelah”. ujar Ki Pita Loka. Gumara begitu gugup berusaha mengambil lendir langit-langit mulutnya dan mencoba menggosok ke mata Pita Loka.
“Percuma, Guru”. Rasa menyesal Gumara melebihi dari kecamuk cintanya yang berkobar-kobar pada Pita Loka.
“Saya rasa kamulah yang pantas mempunyai buku ini, lantaran saya gres saja melihat warna kuning yang membelit di pinggangmu”, ujar Gumara. Ki Pita Loka kaget.
Gumara menyibakkan pakaian putihnya. Dan warna kuning yang membelit di pinggangnya itu semakin terperinci oleh sorot cahaya matahari yang masuk ke celah lubang galian.
Ketika Gumara akan mencopot kain kuning pembungkus enam buah kitab penemuannya itu, Ki Pita Loka mencegah: “Jangan tuan Guru. Anda yang harus mempunyai Kitab Tujuh ini”.
Ki Pita Loka akan melepas ikat pinggang kuning yang melapis Kitab Pertama yang terselip di pinggangnya, tetapi Ki Gumara menolak: “Aku baru.membuktikan mimpiku. itupun sudah memuaskanku!”
“Ada pesan dalam kitab-kirtab itu?” tanya Ki Pita Loka.
“Ada. Pada Kitab Keenam ada pesan, bahwa saya harus menemukan Kitab Pertama sebelum hari Jum”at besok tiba. Dan pagi ini pagi Jum”at Kliwon. Dan kitab itu ada padamu”.
“Tidak, Guru. Tidak! Saya tidak berhak mendapat Kitab Tujuh itu lantaran ilmu saya masih rendah. Lagi pula saya akan buta mata sebelah, selama-lamanya!”
“Buta atau tidak butanya kau, sama saja buatku!” ucap Gumara, yang segera melepaskan ikat pinggang yang berisi enam buku itu. Pita Loka meronta, “Tidak, tidak!”
Tanpa mereka sadari, Ki Harwati sudah mendengar seluruh perdebatan itu.
Dia eksklusif bagaikan terbang ke bawah menyambar ikat panggang kuning yang membungkus buku enam kitab, begitupun Ki Dasa Laksana eksklusif mempreteli ikat pinggang kuning yang melilit di pinggang Ki Pita Loka.
Namun Gumara tidak tinggal diam. Begitu Ki Rotan turun ke lubang ia sudah nanti dengan terjangan membalik, sehingga tumit Gumara menghantam dagu Ki Rotan.
Ki Rotan tak berdaya lantaran kepalanya melintir kebelakang dan tidak kembali lagi. Dia cuma meronta-ronta dalam keadaan sekarat.
Ki Harwati berhasil membebaskan diri dari tendangan gading Ki Pita Loka. Dia akan lari, tetapi lengannya disambar oleh Gumara, sehingga ikat pinggang kuning itu kembali berada dalam tangan Gumara.
Dasa Laksana sudah berlari jauh dengan kecepatan luar biasa melarikan ikat pinggang kuning berisi Kitab Pertama.
Biarpun dalam keadaan mata sebelah. Ki Pita Loka menghambur meloncat keluar lubang, kakinya disamber Harwati namun berhasil jumpalitan.
KI PITA LOKA dengan lari sekencang angin limbubu menerjang semua pohon yang merintanginya untuk mengejar terus Ki Dasa Laksana.
Ki Dasa Laksana membalik dan merobohkan pohon pucung. Pohon itu meluncur cepat hendak menimpa Ki Pita Loka, tapi Pita Loka sudah terlebih dulu meloncat terbang yang justru meloncati pohon yang roboh itu. Bunyi berdembam bagaikan bom menggelegar keseluruh Kumayan.
Begitulah besar pohon pucung yang roboh itu.
Akar pohon itu sempat menyabet lengan buntung Dasa Laksana, tapi ia cepat mundur sembari memasang kuda-kuda saat mendadak sontak Ki Pita Loka melaksanakan tendangan bangau merobek pipinya.
Darah mengucur dari pipi Dasa Laksana, dan ia membalik ke samping seraya menungkaikan kakinya yang menyerobot tangan Ki Pita Loka.
Ki Pita Loka tersungkur dan sebelumnya merobohkan pohon cemara yang ditabrak tubuhnya.
Gumara melihat Ki Pita Loka dalam bahaya. Dia meloncati badan Harwati yang rupanya mau menghalanginya. Harwati mengejarnya, dan menjegalnya dengan memelintirkan tubuhnya sebanyak 36 kali putaran, sehingga Gumara harus mengakui kegesitan itu dengan menyungkurkan diri dengan dua telapak tangan ke tanah tapi menciptakan salto putaran tujuh kali jungkir balik, yang pada kesudahannya putaran salto terakhirnya menyempatkan telapak tumitnya menghantam leher Ki Dasa Laksana.
Ketika dalam keadaan terpelanting itulah Ki Pita Loka sudah mencegat badan itu, kemudian menangkapnya dan melemparkannya ke pohon jenggarang yang tegap.
Tulang rusuknya keluar disertai teriak kesakitan. Kesempatan ini menciptakan Ki Pita Loka dengan ceat menerkam tubuhnya yang mandi darah itu. Dia lepaskan ikat pinggang kuning yang membelit pinggang Ki Dasa Laksana, yang kelihatannya merintih. Tulang rusuk itu masih nongol merobek isi perutnya, warnanya putih gading diseling oleh kucuran darah.
Setumpuk rambutnya ternyata lengket pada kulit pohon jenggareng lepas dari kulit kepalanya.
Gumara hanya diam, membiarkan Ki Pita Loka menyiksa Ki Dasa Laksana dengan tamparan mundar mandir dengan telapak kaki kanan.
Rupanya Ki Pita Loka sudah puas melampiaskan kemarahannya, yang bukan sifat aslinya, lantaran kebutaan telah menciptakan ia kehilangan kontrol.
Ki Harwati masih ingin meneruskan perang tanding itu, tetapi ia kehabisan nafas Gumara masih berdiri, dan matanya melihat bagaimana tujuh belum dewasa muda buntung tangan pada melarikan diri satu demi satu.
Ki Pita Loka kesudahannya cukup puas dengan membentak Ki Dasa Laksana: “Pergi kau dari bumi Kumayan. Jangan kotori desaku dengan darahmu yang kotor itu !”
Dengan satu tendangan tempelengan pada muka Ki Dasa Laksana, Ki Pita Loka mengangkat badan Ki Dasa Laksana kemudian memakinya: “Matilah kau di desa Anggun sana, desa dari bajingan tengik!”
“Begitukah kau memperlakukan ilmu kependekaranmu?” Ki Harwati dalam nafas sesak bertanya di bawah pohon ceremai padanya. Ini mengejutkan Ki Pita Loka.
Dia sadar kini, bahwa apa yang telah diperbuatnya yang terakhir atas Ki Dasa Laksana memang tindakan di luar batas.
“Jika kau tersinggung lantaran tindakan kasarku kepada insan hewan Dasa Laksana, mohon dimaafkan.
Panca inderaku kini kurang satu. Kau lihat! Mataku! buta satu!”.
Gumara merasa terkena sindiran itu dan segera menerkam badan Pita Loka kemudian meluncurkan diri berlutut, bersembah: “Ampuni saya pewaris Ilmu Sakti Tertinggi !!
Engkau begitu mulia, tapi apa daya saya tak sengaja mencolok matamu!”
Ki Pita Loka menyerahkan ikat pinggang kuning berisi Kitab Satu itu kepada Gumara, yang masih berjongkok: “Kau, tuan Guru, yaitu orang yang lebih berhak. Hidupmu hanya patut apabila didampingi Harwati, yang mestinya anda didik ke ilmu yang benar.
Kekalahan saya bukan lantaran kekuatan otot maupun otaknya. Kekalahan saya hanya kalah bersaing dengan perempuan yang penuh ambisi. Harap diketahui, sama sekali saya tidak ada ambisi pada tuan, alasannya yaitu tuan guru lebih mulia”.
Ki Harwati gres menyadari siapa dirinya. Dia seharusnya mengakui kenyataan ini, apabila ia melihat begitu gencarnya langkah Gumara berlari mengejar Ki Pita Loka.
Gumara terusmengejarnya hingga Ki Pita Loka memasuki rumah ayahnya, kemudian menerkam hero renta Ki Putih Kelabu dengan kata-kata mengharukan: “Ayah, terimalah saya sebagai gadis biasa yang durhaka ini. Ayah, tolonglah mataku yang buta ini supaya sanggup melihat lagi”.
Sementara Harwati masih menangis tersedu di Bukit Kumayan, Gumara masuk dan berkata pada Ki Putih Kelabu: “Maafkan, kebutaan puteri tuan hanyalah lantaran kelancangan jari saya.”
“Anda tentu sanggup mengobatinya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dengan sangat menyesal, saya tidak sanggup mengobatinya. Tapi cacat Pita Loka menjadi tangung jawab saya..”
“Jangan menghibur orang buta, tuan Guru”, kata Ki Pita Loka.
“Aku bersumpah, bila perlu saya mati untuk menyembuhkan butamu itu, Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
Ki Harwati yang sudah berada di pekarangan rumah Ki Putih Kelabu, telah mendengar tiap ucapan Gumara.
Tangisnya bertambah ahli dan ia tidak habis pikir mengapa cintanya pada abang tiriya itu tidak pernah sanggup punah dari hatinya.
TAMAT (bersambung ke kitab selanjutnya)