Wiro Sableng: Episode 12 - Seri Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga

 Si cowok memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening Wiro Sableng: Episode 12 - Seri Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
Sebelumnya...
Si cowok memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening. “Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak. “Jika kamu tidak mengaku bahwa kamu ialah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kamu bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee... kenapa memaksa saya yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak kali ini ialah Biarawati Lima.
Si cowok geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat- sempurna ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kamu sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau saya tidak mengaku, saya mau dibikin mampus! Kalau saya mengaku bahwa saya Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus!
Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan!
Tak ada perlunya! Kalau saya Pendekar Pemetik Bunga sudah semenjak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, jikalau cowok ini ialah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah semenjak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si cowok bertanya.
“Sebelum kamu terangkan siapa kamu punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, gres kami akan izinkan kamu berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati insan yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh kehebatan bunyi tertawa si pemudal “Kenapa kamu tertawa?!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku den kini tanya saya berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang sedang pacar- pacaran!”
Merahlah pares Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak sanggup dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan lembap oleh darahmu, cowok bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia gerakkan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi setangkah, seratus biarawati dari angkatan bau tanah dan muda, dengan pedang ditangan masing- masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya cowok itu masih juga bangun tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!” Si cowok membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan pendengaran ia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam badan mengapung begitu rupa cowok ini berseru, “Ketua, harap kamu sudi hentikan serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan. tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita ialah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua Biara, saya betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-- orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras semoga orang-orangnya menggempur cowok itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana angin ribut menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan badan mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke atas, badan mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki cowok itu, demikian ia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalarni kesia-siaan, tiada hasil melaksanakan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah... Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kamu sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang mata si cowok melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi lantaran keseluruhan biara di ruangan itu ambil penggalan menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si cowok sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan- serangan lawan, “harap maaf, ketika ini saya tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula saya anggap kita semua ini ialah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping kemudian menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si cowok sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap insan itu hidup atau mati!”
Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan belasan iainnya melompat ke atas atap, namun si cowok lenyap tiada bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa penggalan dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan gugusan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya termangu tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi instruksi pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan bau tanah semoga mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di bangku goyang yang dulu menjadi bangku kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya cowok itu,” berkata Supit Jagat. “Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang berdasarkan guru kita tempo hari merupakan mitra baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap cowok itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau ia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang ia terangkan diri...?!”
“Pemuda itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang menganggapnya cowok gila, edan kurang ingatan!
Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun ia tertawa-tawa atau bersiul-siul menyerupai yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana- mana. Kurasa itulah sebabnya cowok tadi tidak mau kasih keterangan siapa ia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera berkemas-kemas menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kamu atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat belakang layar di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, kemudian bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan kawasan itu sesudah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerjadi penggalan dapur biara segera pribadi menuju ke penggalan dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapat seorang cowok yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah bangku dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya ketika itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak sanggup berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta badan kedua biarawati itu berhenti mematung, verbal mereka yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya menyerupai tak ada bencana apa-apa, menyerupai dirumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapat dua mitra mereka bangun tak bergerak sedang verbal menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau minum kemudian melanjutkan kiprah sehari-hari. Tahu-tahu cowok itu sudah nongkrong di bangku sana, melahap nasi dan makan daging ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah bunyi tertawanya. Biarawati- biarawati yang tiba melapor itupun alhasil ikut-ikutan pula tertawa!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel