Wiro Sableng: Episode 11 - Seri Pahlawan Terkutuk Pemetik Bunga

 sikapnya waktu melangkah meski hirau tak  hirau  dan  seenaknya  namun  mengandung  kewibaw Wiro Sableng: Episode 11 - Seri Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
Sebelumnya...
LAKI-LAKI ini masih muda belia. Rambutnya gondrong menjela-jela hingga ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya waktu melangkah meski hirau tak hirau dan seenaknya namun mengandung kewibawaan dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar beliau berhenti dan menjura pada Supit Jagat kemudian melayangkan senyuman pada puluhan biarawati- biarawati yang duduk di ruangan itu.
Semua orang membathin siapakah adanya perjaka ini dan cara bagaimanakah beliau sanggup masuk ke dalam gedung Biara Pensuci Jagat?
Pintu gerbang dikunci, seseorang yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski bagaimanapun jago serta tinggi ilmunya pasti beliau tak sanggup membukanya! Melompati tembok juga mustahil. Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan ditambah besi-besi panjang berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah kedatangan perjaka aneh tak dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan tetapi Supit Jagat meski keterkejutannya serta rasa tidak yummy menyelinapi hatinya, namun melihat si perjaka menjura hormat kepadanya beliau balas menganggukkan kepala, tapi tetap tutup lisan menunggu hingga si perjaka bicara duluan.
“Apakah dikala ini saya berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?!” tanya perjaka itu.
Melihat pada pertanyaan yang diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa perjaka itu belum berada usang di ruangan tersebut.
Paling usang semenjak ketika Biarawati Satu membaca bab terakhir dari surat mendiang Ketua Biara yang lama.
“Betul orang muda, kamu memang berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat,” menjawab Supit Jagat.
“Ah... syukur. Syukur kalau begitu....' Si perjaka garuk kepalanya dua kali.
“Orang muda harap terangkan siapa kau. Bagaimana caramu sanggup masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.
Pemuda itu tertawa aib macam anak kecil. “Namaku buruk,” katanya, “jadi tak usahlah saya beri tahu pada Ketua Biara Pensuci Jagat.
Mohon maaf. Apalagi saya orang tolol dan banyak mencap saya ini berotak miring.... “
Biarawati Lima, seorang nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah tinggi lekas naik darah, bangun dari kursinya dan membentak.
“Pemuda sedeng! Di sini bukan kawasan melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kamu membawa niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok!”
Si perjaka naikkan kedua alis matanya.
“Galak betul! Galak betul!” katanya. “Aku tiba ke sini bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua, tak ada satu hal lucupun yang saya buat. Tak ada satu orang disini yang tertawa! Bagaimana kamu sanggup bilang saya melawak?!”
Beberapa arang Biarawati tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya kemudian berseru pada Supit Jagat, “ketua, harap izinkan saya menghajar perjaka edan ini!” Ketua Biara Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi arahan supaya mempersabar diri. Dia maklum kalau si perjaka sanggup menyelinap masuk ke dalam gedung, pastilah beliau bukan sembarang orang!
“Orang muda, kuharap kamu sanggup bicara seperlunya mengingat di mana kamu berada dikala ini dan mengingat pula kamu ialah tamu yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.
“Sekarang harap terangkan apa maksud kedatanganmu ke sini.”
“Aku tiba membawa maksud baik dan persahabatan,” kata si pemuda.
“Hem, begitu? maksud baik dan persahabatan macam manakah kiranya?” tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula.
Si perjaka memandang dulu berkeliling kemudian kembali palingkan kepala pada Supit Jagat. “Ketua”, katanya, “kau saksikan sendiri, sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini ialah perempuan- wanita muda dan cantik-cantik....”
“Pemuda kurang ajar! Mulutmu pantas untuk disumpal dengan ujung pedangku!” hardik seorang biarawati. Tapi Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan memberi arahan supaya anak buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya.
Kepada si perjaka sang Ketua berkata, “Teruskan ucapanmu!”
Setelah terbatuk-batuk beberapa kali gres si perjaka membuka mulutnya kembali. “Kerbau sekandang sanggup dikurung! Harimau berlusin- lusin sanggup disekap! Tapi kecantikan wanita tak sanggup dikurung, tak sanggup disembunyikan, tak sanggup disekap! Betul atau tidak...?!”
Diam-diam Ketua Biara yang gres ini menjadi gemas juga dalam hatinya. “Orang muda, ucapanmu terlalu berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”
Si perjaka hela nafas dan garuk kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari golongan renta bangun dari dingklik dan berseru, “Ketua, kehadiran perjaka ini lebih usang tidak menyenangkan kami! Narap beri izin kami untuk mengusimya!”
Pemuda itu memandang pada beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut dengan pengusiran!”
“Baik atau jahat maksud kedatanganmu, kami tidak suka kamu hadir di sini.”
“Eh, apakah kamu yang menjadi Ketua di sini?” ejek si pemuda. Merahlah muka si biarawati.
Dia segera hunus pedangnya dan melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si perjaka sedikit pun tidak bergerak! Malahan dengan perilaku hirau tak hirau beliau berpaling pada Ketua Biara Pensuci Jagat.
Sementara tebasan pedang tiba menyerangnya beliau berseru, “Ketua! Sungguh penyambutan yang memalukan. Bukannya saya disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”
Angin pedang menyambar tanda senjata janjkematian sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si perjaka masih juga memandang pada Ketua Biara Pensuci Jagat seolah-olah tak perduli atau tak tahu apa-apa kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan tertahan bahkan kaget memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot. Biarawati yang menyerang si perjaka kelihatan bangun terhuyung-huyung sedang pedang yang tadi dipakainya untuk menyerang sekarang kelihatan berada dalam tangan si pemuda! Jurus yang dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi ialah jurus yang cukup lihai dalam ilmu pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si perjaka menghancur le- burkannya dalam satu gebrakan saja dan dengan perilaku hirau tak acuh, sambil bicara dengan Ketua mereka! Betul-betul hebat!
Biarawati golongan muda yang semenjak tadi tertarik akan kecakapan tampang si perjaka kin! semakin tertarik melihat ketinggian ilmu perjaka itu. Dan dalam hati masing-masing mereka membathin siapakah gerangan perjaka ini?!
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan maksud baik dan bersahabat, tapi orangmu telah menyerangku!
Orang lain mungkin sudah kalap dan tak terima perlakuan ini! Tapi saya orang tolol dan rendah, tak apa-apa. Ini soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan!”
Dengan tertawa-tawa perjaka itu memutar tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati yang tadi menyerangnya. Dia membungkuk sedikit kemudian mengangsurkan senjata itu seraya berkata .
“Harap kamu suka terima pedangmu kembali dan maaf kalau saya bikin kamu jadi kalap. “
Biarawati itu tak berkata apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
“Orang muda, jikalau kamu betul-betul tiba dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah seringkas mungkin!”
Pemuda itu mengangguk.
'Tadi saya sudah bilang bahwa kecantikan itu tak sanggup disembunyi- sembunyikan, tak sanggup dibendung dengan tembok setinggi apapun!
Kecantikan sebagian besar biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan tokoh-tokoh persilatan! Telah hingga ke pendengaran seorang tokoh golongan hitam bergelar Pendekar Pemetik Bunga.... “
Si perjaka tak sanggup teruskan keterangannya alasannya hingga di situ suasana di ruangan tersebut menjadi ribut! Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana.
Dan si perjaka meneruskan keterangannya pula.
“Jika kalian di sini pada gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian sudah tahu insan macam apa beliau adanya!”
Pemuda itu palingkan kepalanya pada Supit Jagat. “Ketua Biara,” beliau berkata lagi, “aku menerima kabar bahwa insan terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi, beliau akan mendatangi Biara ini untuk melakukan perbuatan-perubatan mesumnya selama ini!”
Suasana tegang dan sunyi laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam kesunyian yang tegang itu, belakang layar Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara Biara Pensuci Jagat dengan ilmu menyusupkan suara.
“Ketua, hatiku tetap bercuriga pada perjaka ini. Aku yakin beliau tiba bukan dengan maksud baik. Apa yang diucapkannya cuma omong kosong belaka.”
“Yang saya herankan ialah bagaimana beliau sanggup masuk kesini,” menyahuti Supit Jagat. “Meski ilmu tinggi tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!”
Biarawati satu bertanya, “Apa perlu saya suruh beberapa orang-orang kita untuk menyelidik sekeliling tembok dan pintu gerbang?!”
“Lakukanlah!” kata Supit Jagat pula.
Maka sepuluh orang biarawati angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi lisan Biarawati Satu dan Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.
“Ketua Biara Pensuci Jagat,” kata sipemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka dada. “Rupanya kamu dan biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”
“Tentu saja,” sahut Supit Jagat. “Kau tiba tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau terangkan diri!”
“Apakah kamu tidak percaya kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini...?”
“Dia boleh tiba dengan maksud jahat. Tapi beliau musti tinggalkan kepala di sini!”
Sipemuda tertawa bergelak.
“Nama Biara Pensuci Jagat memang sudah usang dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun tiada sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga!”
“Kau menghina guru dan Ketua kami!” teriak beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si pemuda. “
Supit Jagat tidak berusaha menahan. Dia ingin lihat hingga dimana kehebatan perjaka berambut gondrong itu. Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan bunyi angin bersiuran. Karena yang menyerang itu ialah biarawati-biarawati dari golongan renta yang ilmunya sudah tepat maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya.
Dalam sekejapan mata tidak sanggup tidak tubuh si perjaka akan tersatai!
Atau akan terputus berkeping-keping!
“Sungguh memalukan!” seru si pemuda. “Di sarang sendiri biarawati- biarawati yang katanya mau mensucikan dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok!”
“Bagi manusia-manusia edan tak tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa malu!” sentak salah seorang dari biarawati yang menyerang.
Sekejap kemudian ruangan besar itu bergemuruh oleh bunyi beradunya sepuluh tubuh pedang yang menyebabkan bunga api yang terang sekali!
Semua orang berseru kaget. Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar. Tapi si perjaka yang tadi hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba terdengar bunyi salah seorang biarawati. “Hei! Lihat!
Manusia itu sudah bergantung pada kawat lampu!”
Semua kepalapun mendongak ke langit-langit di atas ruangan!
Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu bergantung di langit-langit ruangan dengan tangan kirinya memegangi kawat kecil lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau beliau tidak mempunyai ilmu mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!
“Pemuda edan!” pekik seorang biarawati, “jangan kira saya dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kamu ke atas sana!”
Sepuluh tubuh berjubah putih laksana belum dewasa panah melesat ke atas dan serentak itu pula kirimkan serangan pedang yang lebih ganas yaitu jurus “Menabas Gunung Menusuk Rembulan”
Terdengar bunyi bersiut-siut dan sedetik kemudian disusul oleh bunyi jatuhnya lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah bertebaran, minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah awut-awutan ke lantai.
Dan hebatnya lagi dikala itu si perjaka sudah bangun lagi di tempatnya semula sebelum diserang pertama kali tadi. Berdiri diantara pecahan beling dan minyak lampu sambil tertawa-tawa rangkapkan tangan di muka dada!
Penasaran sekali sepuluh biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya!
Tapi kali ini Ketua Biara Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!”
Meski hati gusar tapi sepuluh biarawati hentikan serangan namun ketika turun kelantai kembali tetap membentuk posisi mengurung si pemuda!
“Para biarawati harap kembali ke tempat,” perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh biarawati turun perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke kawasan semula.
Disaat itu pula sepuluh biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan.
Dengan ilmu menyusupkan bunyi Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada biarawati-biarawati itu, tapi mendadak si perjaka sudah mendahului!
“Bagaimana?” tanyanya. “Apa kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?!”
Sepuluh biarawati itu tiada perdulikan pertanyaan si perjaka melainkan melangkah ke hadapan Ketua mereka dan melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang mencurigakanpun di luar sana. Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat anggukkan kepala dan suruh sepuluh biarawati itu kembali ke kawasan masing-masing.
“Pemuda,” berkata sang Ketua. “Ilmu yang barusan kamu pamerkan...”
“Ah...!” memotong perjaka itu. “Siapa yang pamerkan ilmu!” tanyanya. “Orang diserang toh musti mengelak? Siapa sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau dicincang? Kucing budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”
Tenggorokan Supit Jagat turun naik beberapa kali. Kemudian beliau berkata lagi. “Meski ilmumu setinggi gunung sedalam lautan, meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jikalau kamu tiba ke sini dengan membawa niat jahat, jangan harap kamu sanggup keluar hidup-hidup dari sini!” Si perjaka menghela nafas.
“Apakah kalian di sini tuli semua? Apa saya semenjak tadi cuma bicara dengan tonggak-tonggak mati?!” katanya. Lalu beliau meneruskan. “Pertama tiba saya sudah bilang bahwa maksudku ke sini ialah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan saya kasih keterangan pada kalian di sini bahwa Biara ini dan kalian semua sedang terancam bahaya! Bahaya itu datangnya belum tentu tapi pasti datang! Bahaya Pendekar Pemetik Bunga! Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga padaku! Malah menyerang aku! Aku yang edan apa kalian yang keblinger!”
“Kalau kamu tiba betul membawa niat baik dan bersahabat, mengapa tiba tidak memberi tahu lebih dulu? Mengapa lancang masuk dengan belakang layar ke kawasan orang?!” Si perjaka tertawa.
“Kalian sedang rapat! Sedang adakan pertemuan! Kalau saya tiba dengan mengetuk pintu gerbang sana atau berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian.”
“Kau memang sudah mengganggu kami!” semprot Biarawati Lima yang memang semenjak tadi belum habis rasa penasarannya.
Si perjaka angkat bahu.
Dipalingkannya tubuhnya pada Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata.
“Ketua, jikalau kamu dan semua orang di sini menganggap saya telah mengganggu kalian dan mengacaukan suasana pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama.”
Pemuda itu menjura dua kali di hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti benar!”
Pemuda ini menjura satu kali pada barisan biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer di dingklik kemudian segera hendak putar tubuh tinggalkan ruangan itu!
Mendadak biarawati gemuk tadi berteriak.
“Ketua! Bukan tidak mungkin perjaka ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”
Supit Jagat tercekat hatinya. “Ya, bukan tak mungkin,” katanya membathin. Cepat-cepat beliau bertepuk tiga kali dan keseluruhan biarawati yang duduk di dingklik bangun cepat, menyebar di seluruh tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak mungkinlah bagi si perjaka untuk meninggalkan kawasan itu kini!
Lebih-lebih ketika terdengar suara. “Sret... sret..., sret...!” Suara pedang yang dicabut dari sarungnya! Seratus pedang sekarang melintang di tangan!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel