Wiro Sableng: Episode 13 - Seri Jagoan Terkutuk Pemetik Bunga
Sabtu, 06 Desember 2014
Sebelumnya...
Gadis berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari yang kemudian ia sudah berhasil menemui jejak insan yang dicarinya. Kemarin ia bahkan telah menguntit insan itu tapi hari ini, sesampainya di tepi kali itu, bayangan insan yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!
Penuh letih balasannya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah watu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat ia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika kemudian mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu kurang jelas kelihatan satu rasa murung derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang kemudian ia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu ia berhadap-hadapan dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu...”
Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi gres kamu boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang tiba kemarin siang.... Guru tentu sanggup memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kamu menangis, Sekar! Aku mengajarkan kamu ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa kemudian dibunuh! Dapatkah hati seorang wanita menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan alasannya ialah bencana itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari insan terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan sehabis menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kamu bertemu dengan insan itu, belum tentu kamu berhasil menghadapinya Sekar.
Belum tentu kamu sanggup membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”
'°Murid tahu, insan itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang renta dan adikku, dengan doa restu guru serta derma Tuhan, murid yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa bila dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun termenung oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di tangan insan itu, Sekar,” katanya sehabis berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun saya mati, saya akan mati dengan puas. Puas alasannya ialah saya telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik... oke muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa cuek tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kamu berhasil...”
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
“Terima kasih guru... Terima kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku....”
Lamunan perihal ketika lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar bangun dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan bangun di atas sebuah watu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kamu berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras perjaka yang ganteng itu. Sewaktu ia memperhatikan rambut gondrong yang menjela hingga ke pundak si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak tidak mungkin insan ini ialah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan sekarang telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat terperinci tampang Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si perjaka terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat- cepat ia menghindar. Angin cuek menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibentuk main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu perjaka bejat!”
Si perjaka keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri- ciri khas dari jagoan yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun gres kali ini sudah sanggup me- nyumpahiku perjaka bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan bunyi dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana angin ribut hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu watu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin ahli oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang mempunyai ilmu mengentengi badan tepat biasa saja niscaya tak akan sanggup melaksanakan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi ingin tau sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling ia melompat ke muka lebih bersahabat pada si perjaka dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang ahli luar biasa, padahal si gadis gres mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan alasannya ialah tak mau menciptakan si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa- apa, maka Wiro Sableng semenjak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi kali.
“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang renta dan adikku tak akan hening di alam abadi sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari badan keparatmu!” Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kamu salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira sanggup selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kamu pernah lihat saya memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau....”
“Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali ia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau keliwat kesusu sanggup tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kamu suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik...”
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka sekarang terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini menciptakan si gadis jadi penasaran.
“Ayo, perjaka keparat! Kenapa membisu saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping kemudian gerakkan tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon jawaban betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika ia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang ia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dis menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus gila berjulukan “Kabut Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu badan Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak sanggup ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam alasannya ialah marah! Hatinya geram alasannya ialah sadar tiada akan sanggup menghadapi perjaka yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal insan itu tidak boleh serba kesusu....”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas murka penasaran....”
“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si perjaka tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba ia sanggup akal.
“Saudari, kalau kamu tetap keras kepala tak sanggup bicara baik-baik saya akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kamu lari saya akan kejar!”
Wiro Sableng angkat pundak dan garuk-garuk kepala!
“Tak pernah saya ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi kalau kamu pergunakan lagi untuk menyerangku...?”
“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibentuk main dan dihina, niscaya nyawamu yang cuma selembar tak akan aman'“
“Heh... jadi kamu muridnya Empu Tumapel?! Akh... orang renta itu ialah mitra main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kamu tahu, ia suka main curang. He.... He... he...!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh penggalan tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam.
Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di badan si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi indera pendengaran masih sanggup mendengar dan verbal masih sanggup bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya saya tidak punya waktu banyak, tapi kamu bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan....”
“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kamu murka dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu...?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh saya tetah membunuh orang renta serta adikmu! Apakah kamu punya alasan? Punya bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang saya Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap membisu Wiro Sableng tertawa.
“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru saya tengah dalam perjalanan mencari insan yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi saya tak punya waktu usang melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di badan Sekar kemudian diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kamu bilang bahwa kamu dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kamu tahu di mana insan itu berada...?”
“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan insan bejat itu....”
“Ya, kamu sudah bilang tadi. Kaprikornus maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan saya heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah.
“Kuharap kamu jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” hardik Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu insan biang racun penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng ialah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali ia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula ia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.
Bersambung...
Gadis berbaju kuning ringkas itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya. Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan kegemasan!
Dua hari yang kemudian ia sudah berhasil menemui jejak insan yang dicarinya. Kemarin ia bahkan telah menguntit insan itu tapi hari ini, sesampainya di tepi kali itu, bayangan insan yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas masuk ke dalam kali!
Penuh letih balasannya gadis ini dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah watu hitam. Dia memandang ke hulu sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini, menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan. Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat ia tarik kedua kaki dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk menendang!
Binatang itu mencelat mental. Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika kemudian mati dan dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras itu, di belakang kejelitaan wajah itu kurang jelas kelihatan satu rasa murung derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang kemudian ia masih berada di Goa Blabakan. Dan hari itu ia berhadap-hadapan dengan gurunya. “Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa waktu...”
Empu Tumapel memandangi paras muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima tahun lagi gres kamu boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang tiba kemarin siang.... Guru tentu sanggup memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kamu menangis, Sekar! Aku mengajarkan kamu ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa, lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa kemudian dibunuh! Dapatkah hati seorang wanita menghadapi semua ini tanpa air mata? Dan alasannya ialah bencana itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari insan terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan sehabis menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi, sekalipun kamu bertemu dengan insan itu, belum tentu kamu berhasil menghadapinya Sekar.
Belum tentu kamu sanggup membalaskan sakit hati dan dendam kesumatmu!”
'°Murid tahu, insan itu sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang renta dan adikku, dengan doa restu guru serta derma Tuhan, murid yakin murid akan sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa bila dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam puluh tahun termenung oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di tangan insan itu, Sekar,” katanya sehabis berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun saya mati, saya akan mati dengan puas. Puas alasannya ialah saya telah membela keadilan, menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik... oke muridku,” kata Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar putih dan hawa cuek tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar. Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kamu berhasil...”
Sekar berlutut di hadapan gurunya.
“Terima kasih guru... Terima kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku....”
Lamunan perihal ketika lima hari itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning, melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar bangun dan menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan bangun di atas sebuah watu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kamu berada sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras perjaka yang ganteng itu. Sewaktu ia memperhatikan rambut gondrong yang menjela hingga ke pundak si pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak tidak mungkin insan ini ialah Pendekar Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan sekarang telah bertukar pakaian. Dia sendiri memang tidak pernah melihat terperinci tampang Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan ganas! Si perjaka terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik dijawab dengan serangan!” Cepat- cepat ia menghindar. Angin cuek menyambar tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti! Jangan dibentuk main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu perjaka bejat!”
Si perjaka keluarkan siulan dan tertawa gelak-gelak. Inilah ciri- ciri khas dari jagoan yang tak asing lagi yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun gres kali ini sudah sanggup me- nyumpahiku perjaka bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan bunyi dahsyat laksana halilintar, menebarkan angin laksana angin ribut hingga air kali bermuncratan dan batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng. “Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya menjejak disalah satu watu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat! Sebentar lagi kepalamu akan dibikin ahli oleh bola baja berduri ini!” tukas Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir balik sekali lagi. Seorang yang mempunyai ilmu mengentengi badan tepat biasa saja niscaya tak akan sanggup melaksanakan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar 212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya melanda angin kosong jadi ingin tau sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng aling-aling ia melompat ke muka lebih bersahabat pada si perjaka dan putar Rantai Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang ahli luar biasa, padahal si gadis gres mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak ingin melawan dan alasannya ialah tak mau menciptakan si gadis cilaka, lagi pula merasa tidak ada permusuhan apa- apa, maka Wiro Sableng semenjak tadi hanya mengelak, sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini melompat ke tepi kali.
“Saudari harap tahan dulu seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang renta dan adikku tak akan hening di alam abadi sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari badan keparatmu!” Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kamu salah duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira sanggup selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kamu pernah lihat saya memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar atau....”
“Bunga bola baja kematianmu ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali ia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau keliwat kesusu sanggup tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kamu suka simpan itu senjata dan mari kita bicara baik-baik...”
Bukannya si gadis baju kuning simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu maka sekarang terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini menciptakan si gadis jadi penasaran.
“Ayo, perjaka keparat! Kenapa membisu saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping kemudian gerakkan tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang pohon jawaban betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika ia turun ke tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang ia berkata. “Silahkan ambil sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dis menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus gila berjulukan “Kabut Pagi Menelan Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu badan Sekar lenyap laksana kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak sanggup ditipu. Betapapun cepatnya gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam alasannya ialah marah! Hatinya geram alasannya ialah sadar tiada akan sanggup menghadapi perjaka yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini, dalam segala hal insan itu tidak boleh serba kesusu....”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas murka penasaran....”
“Diam!” teriak Sekar hingga suaranya menggema diseantero kali.
Si perjaka tertawa dan geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak macam yang satu ini.
Tiba-tiba ia sanggup akal.
“Saudari, kalau kamu tetap keras kepala tak sanggup bicara baik-baik saya akan pergi dari sini dan larikan senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kamu lari saya akan kejar!”
Wiro Sableng angkat pundak dan garuk-garuk kepala!
“Tak pernah saya ketemu gadis yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi kalau kamu pergunakan lagi untuk menyerangku...?”
“Kau tahu itu senjata milik, siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel tahu senjatanya dibentuk main dan dihina, niscaya nyawamu yang cuma selembar tak akan aman'“
“Heh... jadi kamu muridnya Empu Tumapel?! Akh... orang renta itu ialah mitra main kelerengku sewaktu masih kecil. Dan kamu tahu, ia suka main curang. He.... He... he...!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu dengan kerahkan seluruh penggalan tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro Sableng tidak tinggal diam.
Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning, lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di badan si gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi indera pendengaran masih sanggup mendengar dan verbal masih sanggup bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya saya tidak punya waktu banyak, tapi kamu bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta tanpa alasan....”
“Diam! Lekas lepaskan totokan ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kamu murka dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu...?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh saya tetah membunuh orang renta serta adikmu! Apakah kamu punya alasan? Punya bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang saya Pendekar Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap membisu Wiro Sableng tertawa.
“Dengar saudari, semua tuduhanmu salah belaka! Justru saya tengah dalam perjalanan mencari insan yang bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi saya tak punya waktu usang melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari pinggangnya. Dilepaskannya totokan di badan Sekar kemudian diserahkan rantai baja itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kamu bilang bahwa kamu dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kamu tahu di mana insan itu berada...?”
“Tahu atau tidak tahu memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang harus diselesaikan dengan insan bejat itu....”
“Ya, kamu sudah bilang tadi. Kaprikornus maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan saya heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras si gadis jadi bersemu merah.
“Kuharap kamu jangan bicara keliwat kurang ajar, saudara!” hardik Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu insan biang racun penimbul bahala, lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau Wiro Sableng ialah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan pencongkan hidungnya. Sekali ia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula ia kerahkan ilmu larinya untuk mengikuti Wiro Sableng.
Bersambung...