Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 9 - Seri Tujuh Insan Harimau

lebah yang murka terkena sentuhan badan yang dijadikan  Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 9 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Sekitar lebih seratus lebah-lebah yang murka terkena sentuhan badan yang dijadikan “bola tendangan” tadi, menggigitnya dengan buas. Ki Pita Loka tersenyum berkacak pinggang. Setelah bisa lebah itu menyengat laki-laki itu, Ki Pita Loka mencolokan jempol jarinya pada langit-langit mulut, dan jarinya beliau tekankan pada kening lelaki itu.
Dasa Laksana siuman!
Dan, semenjak hari itu, Dasa Laksana diajar mulai menjalani ketololan yang sama ibarat Harwati dulu. Dia mengangkut kerikil dari sungai, ke guha, dan kemudian menaruh kerikil itu kembali ke sungai. Kemudian beliau mengajari proses berikutnya. Dia harus memanjat pohon tinggi. Lalu turun. Lalu memanjat lagi. Dan pada suatu pagi, ketika Dasa Laksana sudah tiba di pucuk sebuah pohon, setinggi 21 meter itu, kemudian dahan-dahan pohon itu ditebang sedahan demi sedahan oleh Ki Pita Loka. Dari bawah Ki Pita Loka momberi perintah: “Ayoh, turun kamu, Dasa !”
Kelihatan kecut sekali Dasa Laksana ketika terpaksa mengikuti perintah sang Guru dengan patuhnya, turun meluncur ke bawah. Setiba di bawah beliau amat kaget alasannya yaitu terkena tendangan lagi. Setelah jungkir balik, Ki Pita Loka mengejarnya dengan cambuk dan golok. Dasa Laksana ketakutan. Lalu membebaskan bahaya itu dengan cepat memanjat pohon. Dan Ki Pita Loka mengejarnya keatas. Dan dalam keadaan terdesak, Dasa Laksana dari pucuk terpaksa melompati dahan satu. Tapi alasannya yaitu bahaya cambuk, Dasa terpaksa meloncat ke dahan lain ….
Sang murid yang patuh itu kagum pada dirinya sendiri yang sudah bisa melompat dari dahan ke dahan. Tambah kagum lagi beliau alasannya yaitu seakan beliau pernah melompat ke dahan satunya tampaknya terbang. Namun alasannya yaitu dilatih begitu selama tujuh hari.
Dasa Laksana pada ketika selesai latihan sorenya, mengeluh,”Saya tak sanggup latihan besok. Saya lelah”.
“Hari ini terakhir, Dasa! Coba kau melompati lagi pohon hutan ini, hingga kau menemukan satu pohon kelapa. Petik sebuah kelapa muda yang kulitnya masih hijau, serahkan itu kepadaku!”
Dasa Laksana gembira melakukan perintah Sang Guru. Dia berlompatan dari dahan ke dahan menerobos hutan lebat di daerah Guha Lebah yang bentuknya ibarat payung itu. Setelah beliau menemukan salah sebuah pohon kelapa, beliau memanjat dan memetiknya, kemudian meluncur ke bawah.
Dan beliau tiba-tiba merasa tersesat Dia tak tahu jalan kembali. Untunglah ingatannya cukup kuat. Syarafnya memang bukan saja syaraf pemburu, tapi juga syaraf baja. Dia ingat, bentuk Guha Lebah itu ibarat payung terkembang. Dia perhatikannya setiap bukit ketika beliau melihat bukit berbentuk payung itu, biarpun sudah senja, beliau berlompatan juga dari pohon ke pohon.
Rupanya upaya mencari pohon kelapa itu amat sulit. Buktinya, letak itu amat jauh jaraknya. Cuma saja alasannya yaitu beliau lakukan dengan kegembiraan dan gembira rasanya erat saja! Ternyata gres erat tengah malam bisa tercapai olehnya Bukit Guha Lebah itu ...
Dia mempersembahkannya kelapa muda itu. Ki Pita Loka membawa Dasa Laksana memasuki guha amis stanggi mulai menyergap hidung lelaki gagah yang patuh itu.
Sebab ketika ini Ki Pita Loka berada pada dinding pembatas. Yaitu asap setanggi yang berupa bulat ibarat kain nilon.
Beliau bersila dalam bulat asap itu. Dasa Laksana memperhatikannya dengan ta”zim. Tampak sang Guru sedang memegang kulit kelapa itu. Lama kelamaan kelapa itu tampak menguning. Setelah itu Ki Pita Loka keluar dari bulat asap stanggi itu.
“Kelapa ini sudah menjadi kelapa puan dalam proses penyingkatan waktu. Kamu harus meminum airnya. Dan memakan isiya, demi kepatuhanmu pada saya”, kata Ki Pita Loka.
“Dengan cara bagaimana saya mendapatkannya?”, tanya Dasa.
“Bolongi”, ujar Pita Loka.
Dasa Laksana kebingungan. Tapi beliau sempat juga dengan tolol bertanya “Beri saya petunjuk, Tuan Guru!”
“Hah, tolol. Bukankah kau punya kuku?” tanya Ki Pita Loka.
Manis sekali cara Dasa Laksana tersenyum aib itu. Ki Pita Loka sadar. Iblis sedang menarik hati bathinnya. Dia usir sang iblis dengan memompa jantungnya dengan nada tunggal menyebut kata-kata Agung yang Suci.
Diperhatikannya Dasa Laksana mengorek, melubangi kelapa puan itu dengan buku jarinya. Jari telunjuk dan jari tengah! Dasa mulai luka. Ki Pita Loka membentaknya: “Terus, tolol!”
Dasa Laksana ketakutan. Luka itu hingga tak dirasanya pedih lagi hingga mencapai batok kelapa..
“Bolongi dengan telunjukmu batok itu”, perintah SangGuru.
Dasa Laksana memaksakan diri menggenjot telunjuknya menetak batok kelapa itu. Saking terlalu keras, air kelapa muncrat dan telunjuknya tak bisa keluar lagi. Pita Loka tak sabaran, memegang kelapa dan menyentak telunjuk yang terbenam itu.
“Minum! Minumlah dengan membaca nama Tuhanmu yang Pengasih Penyayang, Dasa!” perintah Ki Pita toka.
Sang murid yang patuh mengikuti perintah Guru itu, meneguk terus sehingga jakunnya tampak turun naik. Cahaya obor kayu karet dalam guha itu membuat gerak goyangnya. Sehingga batin Ki Pita Loka tergoyang beberapa detik ketika menyaksikan jakun Dasa Laksana yang bergerak-gerak itu.
“Bencana ...”. Ki Pita Loka menggerutu, terdengar oleh Dasa Laksana yang selesai minum.
“Bencana apa, Ki Guru?” tanya Dasa Laksana.
“Jangan tanya! Kedatanganmu ini mungkin akan dibuntuti mala musibah di kemudian hari. Aku tiba-tiba membenci kamu!” kata Ki Pita Loka, yang ketika dilihatnya Dasa Laksana bengong, kemudian membentak: “Ayoh belah kelapa puan itu dengan jarimu, dan makan dagingnya hingga habis!” Bentakan itu memang menggetarkan. Tak terlintas sedikitpun roman kecantikan wajah sang Guru di mata si murid.
“Selesai? Nah, mulai malam ini kau tidur di sebelah kerikil tempat saya selalu sembahyang di luarsana itu. Hadapkan matamu ke langit. Dan tunggulah datangnya ilham!”
Sang Murid mematuhi dengan kontan. Dia sigap keluar guha. Dirasanya dalam dirinya sudah tak ada lagi keraguan maupun rasa takut. Langsung beliau celentang di permukaan kerikil yang rata itu.
Langit penuh dengan bintang gemintang. Dasa Laksana menatapinya dengan tak sengaja. Tapi heran, beliau sekarang merasa dirinya ibarat biasa saja. Dia heran mengapa beliau sanggup mengenal kembali kelompok Bintang Tujuh itu. Juga beliau melihat. bintang Mars itu, juga beliau mengenal bintang venus yang amat terang itu!
Lalu Dasa Laksana mulai memikirkan kembali semenjak awalnya beliau tersesat dengan Landrovernya. Perasaan dirinya menjadi seorang pemburu bangun lagi.
Dan tiba-tiba beliau bertanya: “Perlunya apa saya patuh terus pada Sang Gur? Aku bukan insan purba yang bahagia jadi orang hutan melulu! Bukankah saya melompat dari dahan ke dahan tak lebih dari seekor kera?”
Rupanya, tanpa beliau ketahui. Sang Guru sudah tegak dengan tangan terlipat, memperhatikan sang murid ... dirinya sendiri!
Begitu melihat kecantikan Ki Pita Loka, hatinya tergiur. Birahinya meronta-ronta.
Dan tiba-tiba ada melintas keinginannya untuk memperkosa gadis ini ...
Sementara itu, di Bukit Runtuh dalam keadaan celentang kelihatan berpakaian putih berlipat tangan di dada, menatapi bintang Bima Sakti, seorang laki-laki yang tak sanggup tidur. Namun beliau tidak gelisah. Dia seolah-olah sedang mempertanyakan diri: “Untuk maksud apa saya berada di sini? Beberapa hari siang dan malam inspirasi tak pernah kuterima! Aku bisa gila! Aku sebaiknya ke Kumayan daripada penuh keraguan menemui Pita Loka!”
“Memang pantas Harwati mengutuk saya.. Saya ini absurd cinta, mabuk cinta” gerutunya lagi. Namun beliau tidak berbicara, bibirnya terkatup, sedang matanya tetap menatap bintang Bima Sakti yang tersusun di langit itu.
“Bukankah kembali ke Kumayan itu lebih baik? Percuma saja membujuk Pita Loka, alasannya yaitu akhimya beliau toh tetap akan bertahan sebagai Guru ilmu Sakti di Guha Lebahsana itu !”
Sekonyong beliau bagai melompat. Duduk! Dipandangnya alam dini hari sekeliling Bukit Rotan nun sudah jauh disana . Bukit Lebah. yang ibarat payung upacara itu, padahal sudah dekat.
Mendadak tekadnya menjadi goyah, dan hatinya bergelora ingin ke Bukit Lebah. Dan menjelang subuh, ketika beliau merayap di balik sungai, beliau mendengar teriakan-teriakan. Sepertinya dua insan yang sedang berlatih silat!
Lelaki berbaju putih itu menjadi ragu untuk menyeberangi tebing sungai yang dalam itu. Keraguan ini mendadak saja muncul. Dia merasa tertipu oleh satu inspirasi yang didapatnya ketika beliau akan meninggalkan desa Kumayan. Dia semalam sebelumnya bermimpi, bahwa Pita Loka cuma seorang diri. Jangan-Jangan beliau bukan sendirian.
Tapi bedua! Dan jangan-jangan, Pita Loka justru sedang berlatih dengan suaminya !
Tiba-tiba lelaki berkemeja koyak itu teringat dalam alam sadarnya, masa silam di SGA. Dia pernah membaca drama Hamlet karya Shakespeare. Tokoh Hamlet yaitu tokoh pangeran Ragu. Dan seorang yang ragu selalu akan berhati dua.
Menjelang matahari terbit, tampak olehnya memang dua orang sedang berlatih. Hebat sekali persilatan mereka! Terutama, agak terang yang satu lagi! Pastilah Pita Loka.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel