Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 8 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 01 Desember 2014
Sebelumnya...
Bisa saja seorang musuh berlagak lemas terhuyung mirip minta dikasihani, sebagai jebakan. Ki Rotan melihat lelaki itu menuju ke arahnya dengan wajah yang loyo dan gerak yang letoy. Dia siap dengan tongkat ampuhnya. Tongkat Rotan itu miring 45 derajat dari pegangan tangannya. Ketika lelaki berkemeja putih loyo itu sudah sejarak tujuh hasta. Ki Rotan dengan satu teriak di sertai lompatan menghayunkan tongkat saktinya itu menyabet kepingan kiri tubuh lelaki itu. Lelaki itu terseruduk ke samping kemudian jungkir balik. Tapi aneh! Dia tak mengaduh atau menjerit kesakitan. Dia malah bangun berdiri lagi sehingga dalam sekelebatan Ki Rotan menghayunkan tongkat saktinya dari kebalikan pukulan pertama tadi. Lelaki loyo itu menunduk ke samping dan jatuh jumpalitan.
Juga tak menjerit kesakitan!
“Bangun kau!” beniak Ki Rotan.
Letaki itu bagaikan patuh. Dia bangun. Dan Ki Rotan memegang gagang tongkat dengan kedua tangan, kemudian menghayunkan ke arah jidat lelaki itu. Pukulan tegak lurus yang dahsyat membentur jidat musuhnya itu hingga mengakibatkan cahaya arus listrik mirip palu melesat menghantam paku beton.
“Kau tentu insan tangguh”, gerutu Ki Rotan sembari mundur.
Tapi ia cuma mundur tiga langkah saja. Dia siap untuk menerjang ke depan.
Benarlah Ki Rotan membabi buta menghantamkan cakaran srigalanya yang sempat mengoyak tubuh lawannya. Satu loncatan sigap ke kiri dalam dua langkah sudah membuat ia piawai mengambil tongkat yang dalam sedetik dihayunkan untuk menebas dua tulang kering lawannya. Bunyi berdengking kedengaran, lawannya ambruk. Ketika itu disabetnya tongkat rotan itu berkali-kali. Tiap pukulan dahsyat itu disertai teriakan keras. Dan ini membut Harwati terbangun.
Dia cepat merasa sanggup inspirasi untuk segera keluar dan disaksikannya Ki Rotan sedang asyik menyiksa seseorang yang bergulingan telungkup telentang. Harwarti cepat berseru: “Hentikan Guru!”
Mulanya Ki Rotan tak ambil peduli. Terus saja ia melecuti lawannya yang terus bergulung-gulung telungkup telentang.
Barulah ia berhenti melecut sesudah ia mencicipi adanya amis stanggi yang membuat Ki Rotan gemetaran seketika. Bau stanggi ini membuat Ki Rotan merasa berkurang tenaga. Harwati melangkah. Langkah itu semakin mendekati tubuh yang tertelungkup itu.
Tapak kaki Harwati sudah berada sejengkal pada tubuh telungkup itu. Dikuakkamya dengan ujung jari kakinya tubuh itu sehingga laki-laki tersiksa itu telentang. Begitu Harwati melihat wajah laki-laki itu ia menjerit dengan lantang. Ki Rotan terkesima. Lalu ia dengan cemas menghampiri Harwati yang kelihatan histeris sesudah menjerit itu, lantaran ia menggigit jarinya dan menangis mendadak.
“Siapa dia?” tanya Ki Rotan kebingungan.
“Dia kakakku! Dia Gumara!” kata Harwati.
Ki Rotan tercengang. Dia pernah dengar nama itu, yang dianggapnya sederajat dengan Ki Karat. Rasa hormatnya timbul.
“Bangun Tuan Guru Gumara”, ujar Ki Rotan, “Sebab saya tak layak menolong kau berdiri disebabkan hinanya ilmuku”.
Orang berkemeja putih koyak-koyak yang disebut “Gumara” itu berdiri. Dia tetap tampak loyo. Tak selintas pun sorot matanya melirik Ki Rotan, lantaran sorot mata yang berbinar itu sedang menatap Harwati.
10 Kelompok Penyiksa yang pingsan kena eksekusi Guru Rotan sudah sadarkan diri. Tapi mereka terpana melihat tawanan mereka tadi sedang bercakap-cakap ramah dengan Gurunya dan Ki Harwati.
“Saya ke sini hanya ingin menjemput Harwati. Adik tiri lain ibu”, kata Gumara.
“Saya kuatir ia menolak”, kata Ki Rotan.
“Memang saya tak sedia kembali ke Kumayan”, ujar Harwati.
“Lalu kenapa kau ada di sini?” “
“Aku akan memadukan ilmu Pita Loka dengan ilmu Sang Guru. Selain itu, saya tidak tertarik dengan kehidupan insan moderen lagi”, kata Harwati dengan tegas.
“Kalau begilu beritahu saya jalan menuju tempat Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
“O, abang masih mencintainya ya?” tanya Harwati menyeringai.
“Soalnya bukan itu”, sahut Gumara
“Hmm. Jangan berdusta Aku tidak rela apabila abang menemui dia, apalagi bila menjadi suami dia! Bukankah saya sudah bersumpah: demi isi perutku dan seluruh yang ada di badanku, saya akan selalu menghalangi perkawinan kalian!”
Mata Harwati mulai berbinar mengerikan. Pembuluh darah Ki Harwati itu mencari jalan keluar dan membuat aroma amis stanggi. Dan Gumara mengangguk-angguk mengerti.
“Kau satu perguruan tinggi dengan Pita Loka kalau begitu”, ujar Gumara.
“Aku memang mencar ilmu pada dia. Tapi pada ketika saya harus lulus ujian, saya mendapat wangsit tersendiri. Ilham yang hebat, bahwa ilmu Pita Loka digabung dengan ilmu Ki Rotan yaitu ilmu yang khas punyaku!”
“Dan saya nanti akan menjadi murid Ki Harwati”, tambah Ki Rotan.
“Dan secara bersama, kalian berdua akan menumpas Ki Pita Loka”, ujar Gumara ingin kepastian.
“Benar”, kata Harwati tegas.
“Dan Tuan Gumara yang saya hormati, saya minta meninggalkan padepokan saya. Sembari saya mohon maaf anda lantaran saya salah siksa tadi”, kata Ki Rotan dengan perilaku hormat yang palsu.
“Baik”, kata Gumara, “Tapi saya sangat kecewa, Harwati. Betapapun, kau sudah dtitipkan Ayah kita supaya saya jaga. Pada alhasil kita semua ini insan moderen dalam arti insan kurun tehnologi, tak ada gunanya kembali ke zaman pra sejarah”.
“Apa? Ulangi ejekanmu terhadap perilaku kami! Manusia moderenlah yang melaksanakan perusakan dan kejahilan. Kini saya bebaskan sumpahku. Pergilah abang mencari Pita Loka ke Bukit Lebahsana . Jika abang berhasil membujuk ia untuk kembali ke Kumayan, iris-iris jantungku ini!” dan Harwati menebah-nebah dadanya dengan angkuh.
Gumara geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu purba ada yang baik. Dan ada yang sesat. Siapapun yang keluar dari Kumayan yaitu orang sesat. Tapi seluruh desa Kumayan tetap mengharap kau kembali, Wati!”. Gumara kemudian tak bicara sepatah pun. Tidak juga ucapan selamat tinggal.
Sementara itu, di tempat Guha Lebah telah terjadi satu pertarungan batin dalam diri seorang yang bagus bertaraf “Guru”.Tiga hari lamanya ia membiarkan lelaki asing itu mundar-mandir mirip orang tolol. Dan ketololan itu perlu bagi seseorang yang memang berniat untuk mencari derajat ilmu. Juga kelaparan itu penting, lantaran makanan dalam pencernaan perut insan sering merubah caranya berfikir. Dengan mengamati tingkah laris laki-laki tak dikenal itu dengan teropong selama tiga hari, munculah dalam hati nurani sang Guru Pita Loka, Ki Pita Loka telah kehilangan Harwati yang telah menipunya dengan khianat. Kini diperlukanya seorang anak buah!
Bukankah lelaki tak dikenal itu sanggup dijadikan anak buah, sekaligus pengawal?
Suatu parasaan asing laimya menyelinap ke hati Ki Pita Loka: Pria tak dikenal itu, selain tegap, juga gagah! Mirip Gumara!
Dan melihat laki-laki itu sudah mulai memakan urat kayu, di hari keempat Pita Loka merasa “kasihan”. Dari balik tebing ia berseru: “Hooi!” Pria yang hampir teler itu, lantaran makan urat kayu yang salah, lantas mendongak!
“Hoooi!” didengarnya lagi.
Dia lantas cepat menyahuti: “Hoooi!”
“Siapa anda?” teriak Ki Pita Loka.
“Aku?!”!”
“Ya, kamu!”
“Saya Dasa Laksana! Siapa anda?” seru lelaki itu di sebalik tebing sebelah. Mendadak Ki Pita Loka bimbang. Dia berdiam diri sembunyi di balik pohon. Dia mempertanyakan dirinya: “Apakah ini bukan godaan Iblis?!”
“Tidak”, sahut dirinya pula, kemudian ia memperlihatkan diri dan berkata: “Tunggu disana! Aku akan menolongmu!”
Lelaki yang sudah frustasi kehilangan arah, impian dan makanan itu, mendadak berbesar hati. Dia menyaksikan gadis berpakaian hitam itu jumpalitan di angkasa, dari dahan pohon ke dahan pohon laimya. Lalu mirip burung cicakrowo yang terbang melayang, gadis tak dikenalnya itu tampak hinggap di sebuah pohon. Dalam jaraklima meter itu Dasa Laksana benar-benar takjub menyaksikan kecepatan gerak setiba di tanah.
Jarak tegak gadis itu sekarang sudah tiga meter saja lagi! Dasa Laksana mengamati gadis itu dengan gentar. Memang penampilan Ki Pita Loka mendadak begitu berwibawa.
Sebab ia sudah mempesenjatai dirinya dengan ketebalan mental. Jantungnya bergerak serentak dengan gerak lidahnya yang selalu menyebut sepatah kata mukjizat yang ampuh mengusir lblis.
Ki Pita Loka sekarang dengan kekuatan daya ilmu gelombangnya, telah membuat Dasa Laksana sebagai tawananya. Tak ada kata. Lelaki itu bagai terkena hipnotis. Dia menuruti saja langkah Ki Pita Loka di belakang. Tanpa takut menuruni tebing curam.
Juga tanpa mengeluh lelah. Lalu ia ikuti terus merayapi dinding curam. Juga ia bagaikan anjing yang patuh pada tuannya ketika datang di depan pintu Guha Lebah.
Ki Pita Loka ingin segera mengisi kekuatan batin orang yang akan dijadikanya pengawalnya. Begitu lelaki itu berdiri tegak di depan pintu guha, ia tendang pantatnya sehingga bagaikan bola ia terhambur memasuki pintu guha, menerobos kawalan lebah-lebah yang bertugas sebagai daun pintu.
Bersambung...
Bisa saja seorang musuh berlagak lemas terhuyung mirip minta dikasihani, sebagai jebakan. Ki Rotan melihat lelaki itu menuju ke arahnya dengan wajah yang loyo dan gerak yang letoy. Dia siap dengan tongkat ampuhnya. Tongkat Rotan itu miring 45 derajat dari pegangan tangannya. Ketika lelaki berkemeja putih loyo itu sudah sejarak tujuh hasta. Ki Rotan dengan satu teriak di sertai lompatan menghayunkan tongkat saktinya itu menyabet kepingan kiri tubuh lelaki itu. Lelaki itu terseruduk ke samping kemudian jungkir balik. Tapi aneh! Dia tak mengaduh atau menjerit kesakitan. Dia malah bangun berdiri lagi sehingga dalam sekelebatan Ki Rotan menghayunkan tongkat saktinya dari kebalikan pukulan pertama tadi. Lelaki loyo itu menunduk ke samping dan jatuh jumpalitan.
Juga tak menjerit kesakitan!
“Bangun kau!” beniak Ki Rotan.
Letaki itu bagaikan patuh. Dia bangun. Dan Ki Rotan memegang gagang tongkat dengan kedua tangan, kemudian menghayunkan ke arah jidat lelaki itu. Pukulan tegak lurus yang dahsyat membentur jidat musuhnya itu hingga mengakibatkan cahaya arus listrik mirip palu melesat menghantam paku beton.
“Kau tentu insan tangguh”, gerutu Ki Rotan sembari mundur.
Tapi ia cuma mundur tiga langkah saja. Dia siap untuk menerjang ke depan.
Benarlah Ki Rotan membabi buta menghantamkan cakaran srigalanya yang sempat mengoyak tubuh lawannya. Satu loncatan sigap ke kiri dalam dua langkah sudah membuat ia piawai mengambil tongkat yang dalam sedetik dihayunkan untuk menebas dua tulang kering lawannya. Bunyi berdengking kedengaran, lawannya ambruk. Ketika itu disabetnya tongkat rotan itu berkali-kali. Tiap pukulan dahsyat itu disertai teriakan keras. Dan ini membut Harwati terbangun.
Dia cepat merasa sanggup inspirasi untuk segera keluar dan disaksikannya Ki Rotan sedang asyik menyiksa seseorang yang bergulingan telungkup telentang. Harwarti cepat berseru: “Hentikan Guru!”
Mulanya Ki Rotan tak ambil peduli. Terus saja ia melecuti lawannya yang terus bergulung-gulung telungkup telentang.
Barulah ia berhenti melecut sesudah ia mencicipi adanya amis stanggi yang membuat Ki Rotan gemetaran seketika. Bau stanggi ini membuat Ki Rotan merasa berkurang tenaga. Harwati melangkah. Langkah itu semakin mendekati tubuh yang tertelungkup itu.
Tapak kaki Harwati sudah berada sejengkal pada tubuh telungkup itu. Dikuakkamya dengan ujung jari kakinya tubuh itu sehingga laki-laki tersiksa itu telentang. Begitu Harwati melihat wajah laki-laki itu ia menjerit dengan lantang. Ki Rotan terkesima. Lalu ia dengan cemas menghampiri Harwati yang kelihatan histeris sesudah menjerit itu, lantaran ia menggigit jarinya dan menangis mendadak.
“Siapa dia?” tanya Ki Rotan kebingungan.
“Dia kakakku! Dia Gumara!” kata Harwati.
Ki Rotan tercengang. Dia pernah dengar nama itu, yang dianggapnya sederajat dengan Ki Karat. Rasa hormatnya timbul.
“Bangun Tuan Guru Gumara”, ujar Ki Rotan, “Sebab saya tak layak menolong kau berdiri disebabkan hinanya ilmuku”.
Orang berkemeja putih koyak-koyak yang disebut “Gumara” itu berdiri. Dia tetap tampak loyo. Tak selintas pun sorot matanya melirik Ki Rotan, lantaran sorot mata yang berbinar itu sedang menatap Harwati.
10 Kelompok Penyiksa yang pingsan kena eksekusi Guru Rotan sudah sadarkan diri. Tapi mereka terpana melihat tawanan mereka tadi sedang bercakap-cakap ramah dengan Gurunya dan Ki Harwati.
“Saya ke sini hanya ingin menjemput Harwati. Adik tiri lain ibu”, kata Gumara.
“Saya kuatir ia menolak”, kata Ki Rotan.
“Memang saya tak sedia kembali ke Kumayan”, ujar Harwati.
“Lalu kenapa kau ada di sini?” “
“Aku akan memadukan ilmu Pita Loka dengan ilmu Sang Guru. Selain itu, saya tidak tertarik dengan kehidupan insan moderen lagi”, kata Harwati dengan tegas.
“Kalau begilu beritahu saya jalan menuju tempat Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
“O, abang masih mencintainya ya?” tanya Harwati menyeringai.
“Soalnya bukan itu”, sahut Gumara
“Hmm. Jangan berdusta Aku tidak rela apabila abang menemui dia, apalagi bila menjadi suami dia! Bukankah saya sudah bersumpah: demi isi perutku dan seluruh yang ada di badanku, saya akan selalu menghalangi perkawinan kalian!”
Mata Harwati mulai berbinar mengerikan. Pembuluh darah Ki Harwati itu mencari jalan keluar dan membuat aroma amis stanggi. Dan Gumara mengangguk-angguk mengerti.
“Kau satu perguruan tinggi dengan Pita Loka kalau begitu”, ujar Gumara.
“Aku memang mencar ilmu pada dia. Tapi pada ketika saya harus lulus ujian, saya mendapat wangsit tersendiri. Ilham yang hebat, bahwa ilmu Pita Loka digabung dengan ilmu Ki Rotan yaitu ilmu yang khas punyaku!”
“Dan saya nanti akan menjadi murid Ki Harwati”, tambah Ki Rotan.
“Dan secara bersama, kalian berdua akan menumpas Ki Pita Loka”, ujar Gumara ingin kepastian.
“Benar”, kata Harwati tegas.
“Dan Tuan Gumara yang saya hormati, saya minta meninggalkan padepokan saya. Sembari saya mohon maaf anda lantaran saya salah siksa tadi”, kata Ki Rotan dengan perilaku hormat yang palsu.
“Baik”, kata Gumara, “Tapi saya sangat kecewa, Harwati. Betapapun, kau sudah dtitipkan Ayah kita supaya saya jaga. Pada alhasil kita semua ini insan moderen dalam arti insan kurun tehnologi, tak ada gunanya kembali ke zaman pra sejarah”.
“Apa? Ulangi ejekanmu terhadap perilaku kami! Manusia moderenlah yang melaksanakan perusakan dan kejahilan. Kini saya bebaskan sumpahku. Pergilah abang mencari Pita Loka ke Bukit Lebahsana . Jika abang berhasil membujuk ia untuk kembali ke Kumayan, iris-iris jantungku ini!” dan Harwati menebah-nebah dadanya dengan angkuh.
Gumara geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu purba ada yang baik. Dan ada yang sesat. Siapapun yang keluar dari Kumayan yaitu orang sesat. Tapi seluruh desa Kumayan tetap mengharap kau kembali, Wati!”. Gumara kemudian tak bicara sepatah pun. Tidak juga ucapan selamat tinggal.
Sementara itu, di tempat Guha Lebah telah terjadi satu pertarungan batin dalam diri seorang yang bagus bertaraf “Guru”.Tiga hari lamanya ia membiarkan lelaki asing itu mundar-mandir mirip orang tolol. Dan ketololan itu perlu bagi seseorang yang memang berniat untuk mencari derajat ilmu. Juga kelaparan itu penting, lantaran makanan dalam pencernaan perut insan sering merubah caranya berfikir. Dengan mengamati tingkah laris laki-laki tak dikenal itu dengan teropong selama tiga hari, munculah dalam hati nurani sang Guru Pita Loka, Ki Pita Loka telah kehilangan Harwati yang telah menipunya dengan khianat. Kini diperlukanya seorang anak buah!
Bukankah lelaki tak dikenal itu sanggup dijadikan anak buah, sekaligus pengawal?
Suatu parasaan asing laimya menyelinap ke hati Ki Pita Loka: Pria tak dikenal itu, selain tegap, juga gagah! Mirip Gumara!
Dan melihat laki-laki itu sudah mulai memakan urat kayu, di hari keempat Pita Loka merasa “kasihan”. Dari balik tebing ia berseru: “Hooi!” Pria yang hampir teler itu, lantaran makan urat kayu yang salah, lantas mendongak!
“Hoooi!” didengarnya lagi.
Dia lantas cepat menyahuti: “Hoooi!”
“Siapa anda?” teriak Ki Pita Loka.
“Aku?!”!”
“Ya, kamu!”
“Saya Dasa Laksana! Siapa anda?” seru lelaki itu di sebalik tebing sebelah. Mendadak Ki Pita Loka bimbang. Dia berdiam diri sembunyi di balik pohon. Dia mempertanyakan dirinya: “Apakah ini bukan godaan Iblis?!”
“Tidak”, sahut dirinya pula, kemudian ia memperlihatkan diri dan berkata: “Tunggu disana! Aku akan menolongmu!”
Lelaki yang sudah frustasi kehilangan arah, impian dan makanan itu, mendadak berbesar hati. Dia menyaksikan gadis berpakaian hitam itu jumpalitan di angkasa, dari dahan pohon ke dahan pohon laimya. Lalu mirip burung cicakrowo yang terbang melayang, gadis tak dikenalnya itu tampak hinggap di sebuah pohon. Dalam jaraklima meter itu Dasa Laksana benar-benar takjub menyaksikan kecepatan gerak setiba di tanah.
Jarak tegak gadis itu sekarang sudah tiga meter saja lagi! Dasa Laksana mengamati gadis itu dengan gentar. Memang penampilan Ki Pita Loka mendadak begitu berwibawa.
Sebab ia sudah mempesenjatai dirinya dengan ketebalan mental. Jantungnya bergerak serentak dengan gerak lidahnya yang selalu menyebut sepatah kata mukjizat yang ampuh mengusir lblis.
Ki Pita Loka sekarang dengan kekuatan daya ilmu gelombangnya, telah membuat Dasa Laksana sebagai tawananya. Tak ada kata. Lelaki itu bagai terkena hipnotis. Dia menuruti saja langkah Ki Pita Loka di belakang. Tanpa takut menuruni tebing curam.
Juga tanpa mengeluh lelah. Lalu ia ikuti terus merayapi dinding curam. Juga ia bagaikan anjing yang patuh pada tuannya ketika datang di depan pintu Guha Lebah.
Ki Pita Loka ingin segera mengisi kekuatan batin orang yang akan dijadikanya pengawalnya. Begitu lelaki itu berdiri tegak di depan pintu guha, ia tendang pantatnya sehingga bagaikan bola ia terhambur memasuki pintu guha, menerobos kawalan lebah-lebah yang bertugas sebagai daun pintu.
Bersambung...