Cerita Silat: Misteri Tirai Setanggi 7 - Seri Tujuh Insan Harimau
Minggu, 30 November 2014
Sebelumnya...
Dia tak ingin diketehui. Dia hanya ingin mengetahui, siapa dan ingin apa orang yang tadi menyenternya. Malam yang mulai datang dan gelap tidak menjadi soal. Dia sudah tahu ke dahan yang mana nanti beliau akan hinggap sesudah terbang melayang melompati dua tebing ini.
Tiba-tiba saja Pita Loka agak kesal alasannya yaitu rupanya orang yang menyenternya itu menyalakan lampu neon baterai . Makara sekarang teranglah sekitar kendaraan beroda empat landrover itu.
Rupanya orang itu sedang menggelarkan tikar plastik di rumputan sekitar batu-batu di pinggir tebing itu. Dan ketika Pita melihat rantang, tahulah beliau bahwa laki-laki itu ketika untuk makan malam. Tampaknya beliau memang seorang diri. Dan selalu siap menembak. Sebab ketika beliau duduk bersila begitu, senapannya disandarkannya ke dada. Barulah beliau mulai makan.
Hal inilah yang bikin Ki Pita Loka jadi ngiler, selama ini beliau hanya makan buah- buahan saja. Dia rindu makan nasi sesudah lebih 1000 hari tak menikmatinya. Dan itulah yang mendorongnya mempersiapkan diri untuk melompati tebing curam dengan sungai di bawah itu!
Kalau begitu saya harus memakai tenaga dalam kedap-suara!
Ya. Ki Pita Loka berkonsentrasi sejenak. Nafasnya beliau tarik dalam-dalam dan nafas ini tak boleh dihembuskan lagi hingga saatnya hinggap niscaya di pohonsana itu. Dan ini memang cara lompatan kedap-suara yang tidak akan terdengar satu indera pendengaran pun.
Begitu selesai beliau tarik nafas dalam pada ketuntasan tenaga, dengan tenaga dalam itu pulalah Pita Loka melompat ke atas, kemudian memegang satu dahan untuk pola tenaga lompatan sejarak 17 meter ke sana. Ah, indah sekali badan yang melayang dan kemudian hinggap di dahan yang dituju, tanpa suara. Juga tak secemil bunyi pun kedengaran ketika satu tangannya hinggap di dahan pohon seberang itu, begitupun ketika kedua kakinya menjepit badan pohon tinggi itu. Dan dari ketinggian ini melihat laki-laki yang lahap makan malam itu, Ki Pita Loka tambah jadi ngiler.
Kini dengan nafas ditarik untuk kedap suara, beliau turun bagaikan seekor cicak...
Ki Pita Loka merayap dengan cepat takut kalau orang itu sudah keburu menghabisi makanannya. Dia merayap ke arah barat Tempat yang ditujunya yaitu himpunan pohon savana yang cuma setinggi paha. Dia menyelinap terus hingga pada posisi eksklusif menghadap orang yang asyik makan itu.
Setelah hingga pada posisi itu, Pita Loka yang sudah jongkok dan menghela nafas itu, eksklusif batuk dengan konsentrasi pandangan pada laki-laki yang asyik makan itu.
Pria pemburu itu kaget dan melihat ke arah bunyi batuk tadi, begitu beliau meliat gadis bercelana blue jean berdiri di balik pohonan savana itu, laki-laki itu terpana bagai kena hipnotis. Waktu lelaki itu terpana begitulah, Ki Pita Loka meniupkan udara dengan puncak kekuatan gelombang.
Lelaki itu bagai patung. Nasi bergelantungan di bibirnya yang ternganga. Pita Loka merasa itu sudah cukup. Lelaki itu sudah beku bagai patung. Lalu Pita Loka mendekati pohonan savana itu. Dengan sedikitgaya bercanda, Pita Loka berkata:
“Aku bukan merampok makan malammu. Tapi kalau kamu makan sendiri sedangkan saya ada dan lapar, itu berarti kamu seorang asosial dan amoral”.
Dengan bismillah, Pita Loka makan dengan lahap. Memang seluruh isi rantang-rantang itu disantap licin habis olehnya! Di ambilnya senapan yang tersandar pada dada laki-laki itu.
Pita Loka kemudian berkata (yang niscaya takkan disahuti laki-laki itu): “Pemburu yang jahat juga anda ini. Anda insan perusak di muka bumi. Tuhan tak menyukai itu. Tuhan melarang insan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kau tembaki hewan-hewan sehingga hutan-hutan kesepian”.
Setelah senapan itu diambilnya, Pita Loka mengambil lagi senter. Dan beliau berkata, yang niscaya takkan disahuti lawan bicaranya itu: “Kau coba main-main dengan senter ini itu nakal!”
Dan tiba-tiba Pita Loka benci melihat kendaraan beroda empat Landrover itu. Dia ingat pada masa sekolah, di mana buangan gas kendaraan beroda empat melalui knalpotnya yaitu mengotori kebersihan alam. Lalu beliau melangkah ke belakang Landrover itu. Dengan tangan kanannya saja, ia dorong kendaraan beroda empat itu. Tak usang kemudian, di bawahsana itu kedengaran bunyi dahsyat; byurrr! Mobil itu sudah kecebur dalam sungai.
Pita Loka kemudian melempar senapan pemburu tadi ke arah daerah kendaraan beroda empat tadi menghambur masuk sungai. Tapi senter? “Ini perlu bagiku!” katanya. Dan tanpa menoleh sedikitpun pada laki-laki yang duduk kaku bagai patung itu. Ki Pita Loka menerobos pohonan savana dan memanjat pohon tadi kemudian dengan konsentrasi lincah bangga Pita Loka sudah terbang ke tebing seberangsana , lincah bergelantungan dan berlompatan hingga akibatnya beliau melaksanakan lompatan terakhir sempurna di ekspresi guha.
Sejenak Pita Loka menoleh kesetumpak cahaya lampu neon baterai disana , dengan silhoutte badan yang masih duduk kaku. Barulah kemudian, Pita Loka meniupkan satu konsentrasi angin dari mulutnya dalam radius gelombang tinggi. Angin menerjang punggung lelaki itu. Dia terbanting ke samping dan sadarkan diri.
Pertama yang dirasanya hilang yaitu senapan pemburu.
Kedua: senter!
Lho, yang juga tak dilihatnya lagi yaitu kendaraan beroda empat Landrovernya itu Bah…bah…bah! Peta! Peta di mobil! Dalam tas di mobil!
Barulah yang terakhir beliau melihat rantangnya sudah licin. Dan ketika beliau kalap serta penasaran, dari arah timur ada dilihatnya cahaya berkedap-kedip ke arahnya.
Kurang ajar..... laki-laki itu menggerutu.
Kemudian cahaya kelap-kelip senter itu pun lennyaplah. Sunyi perasaan laki-laki pemburu ini. Selama ini beliau tak pernah takut ke luar masuk hutan belantara. Tapi sekarang beliau takut alasannya yaitu tidak mempunyai senjata, ya, senapan pemburunya!
Namun, betapapun murka dan dongkolnya. Namun beliau seorang insan praktis. Dia tak banyak pikir kemudian tidur saja di tikar itu sesudah melemparkan rantangnya yang kosong ke kanan dan ke kiri. Dia tidur pulas disinari lampu neon baterai itu.
Pada jam 3 dinihari kekuatan baterei lampu neon itu habis. Lalu gelaplah! Hal ini rupanya secara naluriah telah menciptakan laki-laki itu terbangun. Dia ingat, kalau mau terang harus ganti baterai! Mulanya pikirnya memang begitu. Tapi ketika ia sadar alasannya yaitu mobilnya pun tak ada sedangkan butiran-butiran persediaan baterai ada di mobil, dengan gerak beliau tendang lampu dalam itu seraya memaki: “Kamu tak ada gunanya bersamaku tanpa baterei!”
Makian itu terang kedengaran ke indera pendengaran Ki Pita Loka yang masih duduk bersila untuk mencari tahu, sudah hingga di manakah pelarian Harwati. Setelah batinnya mendapatkan wangsit bahwa Ki Harwati menuju padepokan Ki Rotan, Pita Loka tersenyum dan berkata: “Kau takkan bisa menjadi guru dari Gurumu!”
Dingin di luar guha yang menggigit, menggugah Pita Loka untuk masuk. Ribuan Lebah mengiringinya dari belakang ketika Pita menuju pembaringan.
Satu sosok badan laki-laki sedang merayap pada dinding bukit terjal. Lagi-lagi kemeja putihnya koyak terkena sayatan batu-batu tajam. Namun laki-laki itu terus merayap ke atas dan ke atas. Kadangkala beliau mengasoh sejenak. Sinar matahari begitu menyengat pagi itu. Tetapi dari akar-akar yang sempat beliau pegang, beliau gembira. Sebab beliau mengenal akar itu akar pohon rotan.
Dan kegembiraan meluap ketika beliau datang di puncak dinding bukit terjal itu. Ya, sekeliling bukit itu penuh dengan rotan-rotan yang merimba dan amat rapat. Di sela- sela rotan-rotan yang bergelantungan itulah laki-laki itu melangkah hati-hati. Dan beliau mulai melihat asap. Kini ia yakin, tentu itu desa padepokan Ki Rotan yang populer angker: Dan dalam keraguan itulah sang laki-laki terkena sergapan Kelompok Penyergap yang terdiri dari sepuluh orang. Semuanya yaitu anak buah Ki Rotan.
Pria yang tertawan itu sebenarnya bisa saja melepaskan diri dan sekali sikat bisa menciptakan rontok 10 orang yang menawannya. Dan ketika itu pula ia eksklusif dilemparkan ramai-ramai oleh Kelompok Penyergap itu ke sebuah lubang. Dalam lubang itu sudah menanti ujung-ujung bambu runcing. Dan semua penawan itu tercengang!
“Aneh! Dia tak menjerit!” ujar Keruen dengan gugup. Sebagai kepala Kelompok Penyiksa sudah masuk akal beliau menjadi gugup. Dia eksklusif melihat kepinggiran lubang.
“Dia berdiri tegak” ujar Keruen lagi.
Ini menciptakan Lanto ingin tahu. Dia kepinggir lubang, dan disaksikannya lelaki berkemeja putih yang sudah penuh koyak-koyak itu berdiri tegak. Kedua sepatu Phumanya berada pada ujung tombak- tombak rotan itu.
Dan ketika Keruen dan Lanto meilhat lagi, beliau berdua berteriak: “Dia berubah jadi kakek”
“Ada Tuo di lobang siksa!” teriak ke delapan orang lainnya sembari lari lintang pukang.
Ki Rotan keluar dari padepokannya yang atapnya seluruhnya terbuat dari jerami. Mendengar laporan Keruen yang ketakutan. Ki Rotan membetulkan destar merah pada kepalanya. Bukannya beliau membenarkan anak buahnya. Tetapi dengan satu lecutan bulat ke sepuluh anak buahnya roboh sekali pecut putar.
“Bikin aib aku, mana si Tuo itu?” tanyanya geram.
Mata Ki Rotan menjadi liar meneliti sekeliling. Sebab beliau pun musti berhati-hati alasannya yaitu mungkin saja laporan anak buahnya benar. Sebab gelar si Tuo yaitu gelar kehormatan dari orang yang mempunyai ilmu tinggi. Karena itu beliau siap untuk melayani lawan yang mungkin punya ilmu harimau.
Tapi yang beliau lihat justru seorang lelaki bercelana jean dan berkemeja putih yang koyak-koyak. Berjalan terhuyung ke arahnya. Ki Rotan merasa mesti waspada biar tidak terjebak.
Bersambung...
Dia tak ingin diketehui. Dia hanya ingin mengetahui, siapa dan ingin apa orang yang tadi menyenternya. Malam yang mulai datang dan gelap tidak menjadi soal. Dia sudah tahu ke dahan yang mana nanti beliau akan hinggap sesudah terbang melayang melompati dua tebing ini.
Tiba-tiba saja Pita Loka agak kesal alasannya yaitu rupanya orang yang menyenternya itu menyalakan lampu neon baterai . Makara sekarang teranglah sekitar kendaraan beroda empat landrover itu.
Rupanya orang itu sedang menggelarkan tikar plastik di rumputan sekitar batu-batu di pinggir tebing itu. Dan ketika Pita melihat rantang, tahulah beliau bahwa laki-laki itu ketika untuk makan malam. Tampaknya beliau memang seorang diri. Dan selalu siap menembak. Sebab ketika beliau duduk bersila begitu, senapannya disandarkannya ke dada. Barulah beliau mulai makan.
Hal inilah yang bikin Ki Pita Loka jadi ngiler, selama ini beliau hanya makan buah- buahan saja. Dia rindu makan nasi sesudah lebih 1000 hari tak menikmatinya. Dan itulah yang mendorongnya mempersiapkan diri untuk melompati tebing curam dengan sungai di bawah itu!
Kalau begitu saya harus memakai tenaga dalam kedap-suara!
Ya. Ki Pita Loka berkonsentrasi sejenak. Nafasnya beliau tarik dalam-dalam dan nafas ini tak boleh dihembuskan lagi hingga saatnya hinggap niscaya di pohonsana itu. Dan ini memang cara lompatan kedap-suara yang tidak akan terdengar satu indera pendengaran pun.
Begitu selesai beliau tarik nafas dalam pada ketuntasan tenaga, dengan tenaga dalam itu pulalah Pita Loka melompat ke atas, kemudian memegang satu dahan untuk pola tenaga lompatan sejarak 17 meter ke sana. Ah, indah sekali badan yang melayang dan kemudian hinggap di dahan yang dituju, tanpa suara. Juga tak secemil bunyi pun kedengaran ketika satu tangannya hinggap di dahan pohon seberang itu, begitupun ketika kedua kakinya menjepit badan pohon tinggi itu. Dan dari ketinggian ini melihat laki-laki yang lahap makan malam itu, Ki Pita Loka tambah jadi ngiler.
Kini dengan nafas ditarik untuk kedap suara, beliau turun bagaikan seekor cicak...
Ki Pita Loka merayap dengan cepat takut kalau orang itu sudah keburu menghabisi makanannya. Dia merayap ke arah barat Tempat yang ditujunya yaitu himpunan pohon savana yang cuma setinggi paha. Dia menyelinap terus hingga pada posisi eksklusif menghadap orang yang asyik makan itu.
Setelah hingga pada posisi itu, Pita Loka yang sudah jongkok dan menghela nafas itu, eksklusif batuk dengan konsentrasi pandangan pada laki-laki yang asyik makan itu.
Pria pemburu itu kaget dan melihat ke arah bunyi batuk tadi, begitu beliau meliat gadis bercelana blue jean berdiri di balik pohonan savana itu, laki-laki itu terpana bagai kena hipnotis. Waktu lelaki itu terpana begitulah, Ki Pita Loka meniupkan udara dengan puncak kekuatan gelombang.
Lelaki itu bagai patung. Nasi bergelantungan di bibirnya yang ternganga. Pita Loka merasa itu sudah cukup. Lelaki itu sudah beku bagai patung. Lalu Pita Loka mendekati pohonan savana itu. Dengan sedikitgaya bercanda, Pita Loka berkata:
“Aku bukan merampok makan malammu. Tapi kalau kamu makan sendiri sedangkan saya ada dan lapar, itu berarti kamu seorang asosial dan amoral”.
Dengan bismillah, Pita Loka makan dengan lahap. Memang seluruh isi rantang-rantang itu disantap licin habis olehnya! Di ambilnya senapan yang tersandar pada dada laki-laki itu.
Pita Loka kemudian berkata (yang niscaya takkan disahuti laki-laki itu): “Pemburu yang jahat juga anda ini. Anda insan perusak di muka bumi. Tuhan tak menyukai itu. Tuhan melarang insan melaksanakan kerusakan di muka bumi. Kau tembaki hewan-hewan sehingga hutan-hutan kesepian”.
Setelah senapan itu diambilnya, Pita Loka mengambil lagi senter. Dan beliau berkata, yang niscaya takkan disahuti lawan bicaranya itu: “Kau coba main-main dengan senter ini itu nakal!”
Dan tiba-tiba Pita Loka benci melihat kendaraan beroda empat Landrover itu. Dia ingat pada masa sekolah, di mana buangan gas kendaraan beroda empat melalui knalpotnya yaitu mengotori kebersihan alam. Lalu beliau melangkah ke belakang Landrover itu. Dengan tangan kanannya saja, ia dorong kendaraan beroda empat itu. Tak usang kemudian, di bawahsana itu kedengaran bunyi dahsyat; byurrr! Mobil itu sudah kecebur dalam sungai.
Pita Loka kemudian melempar senapan pemburu tadi ke arah daerah kendaraan beroda empat tadi menghambur masuk sungai. Tapi senter? “Ini perlu bagiku!” katanya. Dan tanpa menoleh sedikitpun pada laki-laki yang duduk kaku bagai patung itu. Ki Pita Loka menerobos pohonan savana dan memanjat pohon tadi kemudian dengan konsentrasi lincah bangga Pita Loka sudah terbang ke tebing seberangsana , lincah bergelantungan dan berlompatan hingga akibatnya beliau melaksanakan lompatan terakhir sempurna di ekspresi guha.
Sejenak Pita Loka menoleh kesetumpak cahaya lampu neon baterai disana , dengan silhoutte badan yang masih duduk kaku. Barulah kemudian, Pita Loka meniupkan satu konsentrasi angin dari mulutnya dalam radius gelombang tinggi. Angin menerjang punggung lelaki itu. Dia terbanting ke samping dan sadarkan diri.
Pertama yang dirasanya hilang yaitu senapan pemburu.
Kedua: senter!
Lho, yang juga tak dilihatnya lagi yaitu kendaraan beroda empat Landrovernya itu Bah…bah…bah! Peta! Peta di mobil! Dalam tas di mobil!
Barulah yang terakhir beliau melihat rantangnya sudah licin. Dan ketika beliau kalap serta penasaran, dari arah timur ada dilihatnya cahaya berkedap-kedip ke arahnya.
Kurang ajar..... laki-laki itu menggerutu.
Kemudian cahaya kelap-kelip senter itu pun lennyaplah. Sunyi perasaan laki-laki pemburu ini. Selama ini beliau tak pernah takut ke luar masuk hutan belantara. Tapi sekarang beliau takut alasannya yaitu tidak mempunyai senjata, ya, senapan pemburunya!
Namun, betapapun murka dan dongkolnya. Namun beliau seorang insan praktis. Dia tak banyak pikir kemudian tidur saja di tikar itu sesudah melemparkan rantangnya yang kosong ke kanan dan ke kiri. Dia tidur pulas disinari lampu neon baterai itu.
Pada jam 3 dinihari kekuatan baterei lampu neon itu habis. Lalu gelaplah! Hal ini rupanya secara naluriah telah menciptakan laki-laki itu terbangun. Dia ingat, kalau mau terang harus ganti baterai! Mulanya pikirnya memang begitu. Tapi ketika ia sadar alasannya yaitu mobilnya pun tak ada sedangkan butiran-butiran persediaan baterai ada di mobil, dengan gerak beliau tendang lampu dalam itu seraya memaki: “Kamu tak ada gunanya bersamaku tanpa baterei!”
Makian itu terang kedengaran ke indera pendengaran Ki Pita Loka yang masih duduk bersila untuk mencari tahu, sudah hingga di manakah pelarian Harwati. Setelah batinnya mendapatkan wangsit bahwa Ki Harwati menuju padepokan Ki Rotan, Pita Loka tersenyum dan berkata: “Kau takkan bisa menjadi guru dari Gurumu!”
Dingin di luar guha yang menggigit, menggugah Pita Loka untuk masuk. Ribuan Lebah mengiringinya dari belakang ketika Pita menuju pembaringan.
Satu sosok badan laki-laki sedang merayap pada dinding bukit terjal. Lagi-lagi kemeja putihnya koyak terkena sayatan batu-batu tajam. Namun laki-laki itu terus merayap ke atas dan ke atas. Kadangkala beliau mengasoh sejenak. Sinar matahari begitu menyengat pagi itu. Tetapi dari akar-akar yang sempat beliau pegang, beliau gembira. Sebab beliau mengenal akar itu akar pohon rotan.
Dan kegembiraan meluap ketika beliau datang di puncak dinding bukit terjal itu. Ya, sekeliling bukit itu penuh dengan rotan-rotan yang merimba dan amat rapat. Di sela- sela rotan-rotan yang bergelantungan itulah laki-laki itu melangkah hati-hati. Dan beliau mulai melihat asap. Kini ia yakin, tentu itu desa padepokan Ki Rotan yang populer angker: Dan dalam keraguan itulah sang laki-laki terkena sergapan Kelompok Penyergap yang terdiri dari sepuluh orang. Semuanya yaitu anak buah Ki Rotan.
Pria yang tertawan itu sebenarnya bisa saja melepaskan diri dan sekali sikat bisa menciptakan rontok 10 orang yang menawannya. Dan ketika itu pula ia eksklusif dilemparkan ramai-ramai oleh Kelompok Penyergap itu ke sebuah lubang. Dalam lubang itu sudah menanti ujung-ujung bambu runcing. Dan semua penawan itu tercengang!
“Aneh! Dia tak menjerit!” ujar Keruen dengan gugup. Sebagai kepala Kelompok Penyiksa sudah masuk akal beliau menjadi gugup. Dia eksklusif melihat kepinggiran lubang.
“Dia berdiri tegak” ujar Keruen lagi.
Ini menciptakan Lanto ingin tahu. Dia kepinggir lubang, dan disaksikannya lelaki berkemeja putih yang sudah penuh koyak-koyak itu berdiri tegak. Kedua sepatu Phumanya berada pada ujung tombak- tombak rotan itu.
Dan ketika Keruen dan Lanto meilhat lagi, beliau berdua berteriak: “Dia berubah jadi kakek”
“Ada Tuo di lobang siksa!” teriak ke delapan orang lainnya sembari lari lintang pukang.
Ki Rotan keluar dari padepokannya yang atapnya seluruhnya terbuat dari jerami. Mendengar laporan Keruen yang ketakutan. Ki Rotan membetulkan destar merah pada kepalanya. Bukannya beliau membenarkan anak buahnya. Tetapi dengan satu lecutan bulat ke sepuluh anak buahnya roboh sekali pecut putar.
“Bikin aib aku, mana si Tuo itu?” tanyanya geram.
Mata Ki Rotan menjadi liar meneliti sekeliling. Sebab beliau pun musti berhati-hati alasannya yaitu mungkin saja laporan anak buahnya benar. Sebab gelar si Tuo yaitu gelar kehormatan dari orang yang mempunyai ilmu tinggi. Karena itu beliau siap untuk melayani lawan yang mungkin punya ilmu harimau.
Tapi yang beliau lihat justru seorang lelaki bercelana jean dan berkemeja putih yang koyak-koyak. Berjalan terhuyung ke arahnya. Ki Rotan merasa mesti waspada biar tidak terjebak.
Bersambung...